Anda di halaman 1dari 8

EFEK SAMPING YANG TIMBUL SETELAH IMUNISASI

Keadaan-keadaan yang timbul setelah imunisasi berbeda pada masing-masing imunisasi, seperti
yang diuraikan di bawah ini:

BCG, dua minggu setelah imunisasi terjadi pembengkakan kecil dan merah di tempat
suntikan, seterusnya timbul bisul kecil dan menjadi luka parut.

DPT, umumnya bayi menderita panas sore hari setelah mendapatkan imunisasi, tetapi
akan turun dalam 1 2 hari. Di tempat suntikan merah dan bengkak serta sakit, walaupun
demikian tidak berbahaya dan akan sembuh sendiri.

Campak, panas dan umumnya disertai kemerahan yang timbul 4 10 hari setelah
penyuntikan.

Reaksi yang timbul pada anak setelah imunisasi dapat berasal dari unsur kuman dari vaksin
maupun zat-zat tambahan yang dapat berupa reaksi simpang vaksin. Reaksi-reaksi tersebut
dapat sebagai akibat dari efek farmakologi, efek samping, interaksi obat, intoleransi, reaksi
idiosinkrasi dan reaksi alergi. Reaksi alergi adalah reaksi yang timbul akibat kepekaan seorang
anak yang berhubungan dengan faktor genetik (keturunan).
Ada pula reaksi yang bukan karena vaksinnya sendiri, yaitu akibat dari kesalahan tehnik
pembuatan, pengadaan dan distribusi vaksin, kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan
imunisasi, atau semata-mata kejadian yang timbul secara kebetulan. Menurut hasil telaah Pokja
KIPI Depkes RI, justru penyebab timbulnya KIPI sebagian besar karena kesalahan prosedur dan
teknik pelaksanaan imunisasi dan faktor kebetulan. Ini sesuai pula dengan yang dilaporkan oleh
Vaccine Safety Comitee (VSC), Institute of Medicine AS.
Kejadian ikutan setelah imunisasi yang telah dikenal oleh sebagian besar anggota masyarakat
yaitu efek panas setelah imunisasi PDT dan Campak. Sebetulnya, masih ada efek lain daripada
itu seperti sakit pada tempat suntikan, warna kemerahan di sekitar bekas tempat suntikan, anak
yang menangis terus menerus setelah mendapat imunisasi DPT. Cuma karena kejadiannya agak
jarang sering luput dari perhatian orangtua balita.

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)


Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) atau adverse events following immunization adalah
semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi. Pada
keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari (arthritis kronik pasca
vaksinasi rubella), atau bahkan 42 hari (infeksi virus campak vaccine-strain pada pasien
imunodefisiensi pasca vaksinasi campak, dan polio paralitik serta infeksi virus polio vaccinestrain pada resipien non imunodefisiensi atau resipien imunodefisiensi pasca vaksinasi polio).

Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang (adverse
events), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin. Reaksi simpang
vaksin antara lain dapat berupa efek farmakologi, efek samping (side-effects), interaksi obat,
intoleransi, reaksi idoisinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya secara klinis sulit dibedakan.
Efek farmakologi, efek samping, serta reaksi idiosinkrasi umumnya terjadi karena potensi vaksin
sendiri, sedangkan reaksi alergi merupakan kepekaan seseorang terhadap unsur vaksin dengan
latar belakang genetik. Reaksi alergi dapat terjadi terhadap protein telur (vaksin campak,
gondong, influenza, dan demam kuning), antibiotik, bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau
unsur lain yang terkandung dalam vaksin.
KIPI yang paling serius terjadi pada anak adalah reaksi anafilaksis. Angka kejadian reaksi
anafilaktoid diperkirakan 2 dalam 100.000 dosis DPT, tetapi yang benar-benar reaksi anafilaksis
hanya 1-3 kasus diantara 1 juta dosis. Anak yang lebih besar dan orang dewasa lebih banyak
mengalami sinkope, segera atau lambat. Episode hipotonik/hiporesponsif juga tidak jarang
terjadi, secara umum dapat terjadi 4-24 jam setelah imunisasi.
KIPI adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah
imunisasi,
yang
diduga
ada
hubungannya
dengan
pemberian
imunisasi.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), KIPI dibagi menjadi 3 (tiga)kategori, yaitu:

Related programme atau hal hal berkaitan dengan kegiatan imunisasi, misalnya timbul
bengkak bahkan abses pada bekas suntikan vaksin. Biasanya karena jarum tidak steril.
Contoh lain adalah kelenjar limfe misalnya di daerah ketiak, atau lipat paha membengkak
dan terasa sedikit nyeri. Ini akibat aktivitas sistem kekebalan tubuh yang menerima
vaksin tersebut.

Reaction related to properties of vaccine atau reaksi terhadap sifat sifat yang dimiliki
oleh vaksin yang bersangkutan. Misalnya saja reaksi terhadap bahan campuran vaksin.
Reaksi ini biasanya berupa pembengkakan, kemerahan, demam (misalnya terhadap
vaksin campak, biasanya akan normal kembali dalam satu hari).

Coincidental atau koinsidensi. Koinsidensi adalah dua kejadian secara bersama tanpa
adanya hubungan satu sama lain. Ketika anak menerima imunisasi, sebenarnya dia sudah
dalam keadaan masa perjalanan penyakit yang sama atau penyakit lain (masa tunas) yang
tidak ada hubungannya dengan vaksin yang bersangkutan. Misalnya saja, anak sedang
dalam perjalanan mau sakit batuk pilek atau diare bahkan seringkali penyakit akut yang
lebih serius disertai demam.

Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi karena kesalahan teknik
pembuatan, pengadaan dan distribusi serta penyimpanan vaksin, kesalahan prosedur dan teknik
pelaksanaan imunisasi, atau semata-mata kejadian yang timbul secara kebetulan. Sesuai telaah
laporan KIPI oleh Vaccine Safety Committee, Institute of Medicine (IOM) USA menyatakan
bahwa sebagian besar KIPI terjadi karena kebetulan saja. Kejadian yang memang akibat
imunisasi tersering adalah akibat kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan (pragmatic errors).
Tidak semua kejadian KIPI disebabkan oleh imunisasi karena sebagian besar ternyata tidak ada
hubungannya dengan imunisasi.

Ada 5 (lima) kelompok faktor etologi yang dapat menyebabkan KIPI menurut klasifikasi
lapangan WHO Western Pacific (1999), yaitu:

Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmic errors) Sebagian kasus KIPI


berhubungan dengan masalah program dan teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi
kesalahan program penyimpanan, pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin.
Kesalahan pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi:
(1) Dosis antigen (terlalu banyak) Lokasi dan cara menyuntik (2) Sterilisasi semprit dan jarum
suntik (3) Jarum bekas pakai (4) Tindakan aseptik dan antiseptic (5) Kontaminasi vaksin dan
peralatan suntik (6) Penyimpanan vaksin (7) Pemakaian sisa vaksin (8) Jenis dan jumlah pelarut
vaksin (9) Tidak memperhatikan petunjuk produsen (10) Kecurigaan terhadap kesalahan tata
laksana perlu diperhatikan apabila terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas
yang sama. (11) Reaksi suntikan

Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung maupun tidak
langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya rasa sakit,
bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung
misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope.
Beberapa contoh KIPI setelah imunisasi DPT adalah anak menangis terus tak bisa dibujuk sekitar
3 jam pasca-imunisasi, reaksi syok (anafilaksis), dan kesadaran menurun. KIPI setelah
pemberian imunisasi Campak berupa sakit atau radang sendi yang mendadak atau kronis.
Kejadian-kejadian tersebut memang terbukti kuat sebagai akibat imunisasi. Demikian pula
reaksi-reaksi yang ditimbulkan oleh vaksin lainnya. Cuma kejadiannya sangat jarang kalau
sebagai akibat dari vaksinnya.
Adanya kerusakan syaraf, perdarahan, infeksi pada jaringan otak setelah mendapat imunisasi
DPT, kejadian-kejadian tersebut terbukti tidak ada hubungan dengan pemberian imunisasi.
Demikian pula gangguan saraf setelah imunisasi Campak, tidak ada hubungan dengan
imunisasinya. Telah pula dibahas oleh pejabat yang terkait dalam pelaksanaan PIN, bahwa
sampai saat ini vaksin polio yang sudah dipakai sampai miliaran dosis, terbukti tidak
menimbulkan efek samping.

Induksi vaksin (reaksi vaksin) Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya
sudah dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan
secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat
seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan resiko kematian. Reaksi simpang ini sudah
teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh
produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atau berbagai
tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi obat atau vaksin
lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana
imunisasi.

Faktor kebetulan (koinsiden) Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang
timbul ini terjadi secara kebetulan saja setelah diimunisasi. Indicator faktor kebetulan ini
ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama disaat bersamaan pada kelompok
populasi setempat dengan karakterisitik serupa tetapi tidak mendapatkan imunisasi.

Penyebab tidak diketahui Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat
dikelompokkan kedalam salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan
kedalam kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya dengan
kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI.

Gejala Klinis KIPI


Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi menjadi gejala
lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi lainnya. Pada umumnya makin cepat KIPI
terjadi makin cepat gejalanya.
Reaksi KIPI
Lokal

Gejala KIPI

Abses pada tempat suntikan

Limfadenitis

Reaksi lokal lain yang


misalnya selulitis, BCG-itis

Kelumpuhan akut

Ensefalopati

Ensefalitis

Meningitis

Kejang

Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis,


edema

Reaksi anafilaksis

berat,

SSP

Lain-lain

Syok anafilaksis

Artralgia

Demam tinggi >38,5C

Episode hipotensif-hiporesponsif

Osteomielitis

Menangis menjerit
menerus (3jam)

Sindrom syok septik

yang

terus

Gejala Klinis KIPI sesuai jenis Imunisasi


Tidak ada satupun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping, maka apabila seorang anak telah
mendapatkan imunisasi perlu diobsevasi beberapa saat, sehingga dipastikan tidak terjadi KIPI
(reaksi cepat). Berapa lama observasi sebenarnya sulit ditentukan, tetapi pada umumnya setelah
pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan observasi selama 15 menit.untuk
menghindarkan kerancuan maka gejala klinis yang dianggap sebagai KIPI dibatasi dalam jangka
waktu tertentu timbulnya gejala klinis.

Jenis Vaksin
Gejala Klinis KIPI
Toksoid Tetanus (DPT,Syok anafilaksisNeuritis
DT, TT)
brakhialKomplikasi akut termasuk
kecacatan dan kematian

Saat timbul KIPI


4 jam2-18
haritidak tercatat

Pertusis whole cell


(DPwT)

Syok anafilaksisEnsefalopatiKomplikasi 4 jam72 jamtidak


akut termasuk kecacatan dan kematian tercatat

Campak

Syok anafilaksisEnsefalopatiKomplikasi 4 jam5-15 haritidak


akut termasuk kecacatan dan kematian tercatat
TrombositopeniaKlinis campak pada
7-30 hari6
resipien imunokompromaisKomplikasi bulantidak tercatat

akut termasuk kecacatan dan kematian


Polio hidup (OPV)

Polio paralisisPolio paralisis pada


30 hari6 bulan
resipien imunokompromaisKomplikasi
akut termasuk kecacatan dan kematian

Hepatitis B

Syok anafilaksisKomplikasi akut


termasuk kecacatan dan kematian

4 jamtidak tercatat

BCG

BCG-itis

4-6 minggu

Mengingat tidak ada satupun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping, maka apabila seorang
anak telah mendapatkan imunisasi perlu diobsevasi beberapa saat, sehingga dipastikan tidak
terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa lama observasi sebenarnya sulit ditentukan, tetapi pada
umumnya setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan observasi selama 15
menit.untuk menghindarkan kerancuan maka gejala klinis yang dianggap sebagai KIPI dibatasi
dalam jangka waktu tertentu timbulnya gejala klinis.
Kelompok Resiko yang harus diwaspadai saat imunisasi

Reaksi simpang Imunisasi. Anak yang mendapat reaksi simpang pada imunisasi
terdahulu.

Bayi berat lahir rendah. Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi kurang bulan sama
dengan bayi cukup bulan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan
adalah: Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah dar pada bayi cukup
bulan Apabila berat badan bayi sangat kecil (<1000 gram) imunisasi ditunda dan
diberikan setelah bayi mencapai berat 2000 gram atau berumur 2 bulan
imunisasi hepatitis B diberikan pada umur 2 bulan atau lebih kecuali bila ibu
mengandung HbsAg Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin polio
yang diberikan adalah suntikan IPV bila vaksin tersedia, sehingga tidak menyebabkan
penyebaaran virus polio melaui tinja

Pasien imunokompromais. Keadaan imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat


penyakit dasar atau sebagai akibat pengobatan imunosupresan (kemoterapi,
kortikosteroid jangka panjang). Jenis vaksin hidup merupakan indikasi kontra untuk
pasien imunokompromais dapat diberikan IVP bila vaksin tersedia. Imunisasi tetap
diberikan pada pengobatan kortikosteroid dosis kecil dan pemberian dalam waktu
pendek. Tetapi imunisasi harus ditunda pada anak dengan pengobatan kortikosteroid
sistemik dosis 2 mg/kg berat badan/hari atau prednison 20 mg/ kg berat badan/hari
selama 14 hari. Imunisasi dapat diberikan setelah 1 bulan pengobatan kortikosteroid
dihentikan atau 3 bulan setelah pemberian kemoterapi selesai. Pada resipien yang
mendapatkan human immunoglobulin Imunisasi virus hidup diberikan setelah 3 bulan
pengobatan utnuk menghindarkan hambatan pembentukan respons imun.

Indikasi Kontra dan Perhatian Khusus Untuk Imunisasi Pada umumnya tidak
terdapat indikasi kontra imunisasi untuk individu sehat kecuali untuk kelompok resiko.
Pada setiap sediaan vaksin selalu terdapat petunjuk dari produsen yang mencantumkan
indikasi kontra serta perhatian khusus terhadap vaksin. Petunjuk ini harus dibaca oleh
setiap pelaksana vaksinasi.

PENANGANAN MASALAH PASKA IMUNISASI

Abses pada tempat suntikan. Bengkak tidak perlu diobati dikompres dengan air hangat
atau larutan fisiologis NaCl bila timbul nanah, tetapi bila luka besar dan bengkak di
ketiak anjurkan ke dokter

Limfadenitis. Limfadenitis BCG adalah timbulnya pembesaran kelenjar disekitar tempat


suntikan BCG seperti diketiak atau di lipatan paha. Limfadenitis BCG merupakan efek
samping yang sering dijumpai pada vaksinasi BCG meskipun jarang menimbulkan
masalah yang serius. Kejadiannya berkisar 1-2 per1000 vaksinasi. Penanganan
limfadenitis BCG masih diperdebatkan. Di lapangan tidak jarang kelainan ini diberi obat
antituberkulosis (Isoniasid, INH) meskipun hasilnya tidak memuaskan. Bahkan ada yang
melakukan oprasi pengambilan kelenjar yang sebenarnya tidak perlu dilakukan. Pada tipe
lirnfadenitis non-supuratif, tindakan eksisi tidak dianjurkan, sedangkan pada tipe
supuratif,eksisi dapat dianjurkan. Tindakan eksisi dilakukan apabila dengan aspirasi tidak
menunjukkan hasilyang baik, sudah terjadi bentuk sinus, atau kelenjarnya multipel.
Selain itu tindakan eksisi lebihdiindikasikan pada kosmetik yaitu rnencegah pecahnya
kelenjar secara tidak beraturan. Pemberianobat antituberkulosis setelah eksisi tidak
memberikan hasil yang lebih baik. Kalau eksisi dianjurkan,maka tindakan insisi pada
limfadenitis BCG tidak dianjurkan.

BCG-itis. BCG, luka tidak perlu diobati cukup dibersihkan atau dikompres dengan air
hangat atau larutan fisiologis NaCl bila timbul nanah, tetapi bila luka besar dan bengkak
di ketiak anjurkan ke dokter.

DPT, bila panas atau rewel diberikan obat penurun panas dan berikan kompres dingin.

Campak, bila timbul panas atau rewel berikan obat panas

Shock anafilaksis. Shock anafilaksis adalah suatu syndroma klinis yang ditandai dengan
adanya hipotensi, tacycardia, kulit yang dingin, pucat basah, hiperventilasi, perubahan
status mental, penurunan produksi urine yang diakibatkan oleh reaksi anafilaksis.
Penanganan Shock anafilaksis. 1. Baringkan penderita dalam posisi shock yakni tidur
terlentang dengan tungkai lebih tinggi dari kepala pada alas yang keras 2. Bebaskan jalan
nafas 3. Tentukan penyebab dan lokasi masuknya bahan alergen 4. Bila masuk melalui
ekstremitas pasang torniquette 5. Berikan Adrenalin 1 : 1000 sebanyak 0,25 ml sub
cutane 6. Monitor pernafasan dan hemodinamika 7. Berikan suplemen oksigen 8. Untuk
kasus yang sedang berikan Adrenalin 1 : 1000 sebanyak 0,25 ml intra muskuler 9. Bila
berat berikan Adrenalin 1 : 100- sebanyak 2,5 5 ml intra vena 10.Bila vena colaps

berikan Adrenalin sub lingual atau trans tracheal 11.Berikan Aminophillin 5 6 mg/ kg
BB Iv bolus diikuti 0,4 0,9 mg/kg BB/ menit per drip ini untuk bronchospasme yang
persisten 12.Berikan cairan infus dengan berpedoman pada kadar hematokrit 13.Monitor
hemodinamika dan pernafasan 14.Bila tidak membaik rujuk ke intitusi yang lebih tinggi

Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis, edema dalam keadaan tertentu dapat diberikan
antihistamin, sebaiknya tidak diberikan kortikosteroid. Gejala ini dalam beberapa saat
akan membaik, bila terdapat faktor utama yang lain bisa berkepanjangan tetapi dalam
ekadaan ini imuniasasi hanya dalam keadaan kebetulan (co-accident).

Artralgia Bila mengganggu diberi antipiretik atau analgesik sejenis paracetamol atau
NSID lainnya

Demam tinggi >38,5C. Bila mengganggu diberi antipiretik atau analgesik

Episode hipotensif-hiporesponsif

Osteomielitis Osteomielitis adalah proses inflamasi atau peradangan tulang. Infeksi


tulang lebih sulit disembuhkan daripada infeksi jaringan lunak karena terbatasnya asupan
darah, respons jaringan terhadap inflamasi, tingginya tekanan jaringan dan pembentukan
involukrum (pembentukan tulang baru di sekeliling jaringan tulang mati). Osteomielitis
dapat menjadi masalah kronis yang akan mempengaruhi kualitas hidup atau Bila
mengganggu diberi antipiretik atau analgesik sejenis paracetamol atau NSID lainnya.
Harus segera dibawa ke dokter ortopedi

Menangis menjerit yang terus menerus (3jam). Bila mengganggu diberi antipiretik atau
analgesik

Neuritis brakhial. Dapat diberi vitamin neurotropik Bila mengganggu diberi antipiretik
atau analgesik

Anda mungkin juga menyukai