Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA

KECAPAT DISOLUSI INSTRINKSI

DOSEN PENGAMPU:
M. Dzakwan, M.si., Apt

Kelompok : A/4
Nama kelompok :

1.
2.
3.
4.
5.

Hilda khairunnisa S
Mirazizah amanda
Satria Alansyah
Widiyasanti
Rika Arfiana safitri

(20144157A)
(20144169A)
(20144172A)
(20144191A)
(20144194A)

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2016

I. TUJUAN
Mngetahui pengaruh parameter jenis kristal (polimorfi, hidrat, solvat) dari bahan
(baku) obat terhadap kecepatan disolusi instriknya sebagai preformulasi untuk bentuk
sediaannya.
II. DASAR TEORI
Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat
fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanaya ditetapkan oleh
kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaannya. Pelepasan zat aktif dari bentuk
sediaan biasanya ditenmtukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya
(Amir, 2007).
Disolusi adalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang menghasilkan
transfer massa karena adanya pelepasan dan pemindahan menyeluruh ke pelarut dari
permukaan padat. Teori disolusi yang umum adalah:
1.

Teori film (model difusi lapisan)

2.

Teori pembaharuan-permukaan dari Danckwerts (teori penetrasi)

3.

Teori Solvasi terbatas/Inerfisial (Amir, 2007).


Fase biofarmasetika dapat diuraikan dalam tiga tahap yaitu L.D.A yang berarti

pelepasan

(Liberasi),

pelarutan

(Dissolusi)

dan

penyerapan

(Absorbsi)

.Fase

biofarmasetiika dapat digambarkan sebagai berikut :

D
Dispersipad
atanzataktif

Obat = zataktif+ zat pembawa

A
Dispersim
olekulerza
taktif

Darah

Gambar 1.FaseBiofamasetika

Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu bentuk sediaan
utuh/ pecahan/ partikel yang berasal dari bentuk sediaan itu sendiri. Kecepatan disolusi
zat aktif dari keadaan polar atau dari sediaannya didefinisikan sebagai jumlah zat aktif
yang terdisolusi per unit waktu di bawah kondisi antar permukaan padat-cair, suhu dan

kompisisi media yang dibakukan. Kecepatan pelarutan memberikan informasi tentang


profil proses pelarutan persatuan waktu. Hukum yang mendasarinya telah ditemukan oleh
Noyes dan Whitney sejak tahun 1897 dan diformulasikan secara matematik sebagai
berikut :
dC
dt

dc / dt
Cs
Ct
K

= K.S. (Cs-C)

= kecepatan pelarutan ( perubahan konsentrasi per satuan waktu )


= kelarutan (konsentrasi jenuh bahan dalam bahan pelarut )
= konsentrasi bahan dalam larutan untuk waktu t

= konstanta yang membandingkan koefisien difusi, voume larutan


jenuh dan tebal lapisan difusi (Shargel, 1988)
Dari persamaan di atas dinyatakan bahwa tetapnya luas permukaan dan
konstannya suhu, menyebabkan kecepatan pelarutan tergantung dari gradien konsentasi
antara konsentrasi jenuh dengan konsentrasi pada waktu (Shargel, 1988).
Pada peristiwa melarut sebuah zat padat disekelilingnya terbentuk lapisan tipis
larutan jenuhnya, darinya berlangsung suatu difusi suatu ke dalam bagian sisa dari larutan
di sekelilingnya. Untuk peristiwa melarut di bawah pengamatan kelambatan difusi ini
dapat menjadi persamaan dengan menggunakan hukum difusi. Dengan mensubtitusikan
hukum difusi pertama Ficks ke dalam persamaan Hernsi Brunner dan Bogoski, dapat
memberikan kemungkinan perbaikan kecepatan pelarutan secara konkret.
Kecepatan pelarutan berbanding lurus dengan luas permukaan bahan padat,
koefisien difusi, serta berbanding lurus dengan turunnya konsentrasi pada waktu t.
Kecepatan pelarutan ini juga berbanding terbalik dengan tebal lapisan difusi. Pelepasan
zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan
bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari
bentuk sediaan, dimana pelepasan zat aktif ditentukan oleh kecepatan melarutnya dalam
media sekelilingnya (Tjay, 2002).
Lapisan difusi adalah lapisan molekul-molekul air yang tidak bergerak oleh
adanya kekuatan adhesi dengan lapisan padatan. Lapisan ini juga dikenal sebagai lapisan

yang tidak teraduk atau lapisan stagnasi. Tebal lapisan ini bervariasi dan sulit untuk
ditentukan, namun umumnya 0,005 cm (50 mikron) atau kurang (Tjay, 2002).
Hal-hal dalam persamaan Noyes Whitney yang mempengaruhi kecepatan melarut:

Kenaikan dalam harga A menyebabkan naiknya kecepatan melarut


Kenaikan dalam harga D menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Kenaikan dalam harga Cs menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Kenaikan dalam harga Ct menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Kenaikan dalam harga d menyebabkan naiknya kecepatan melarut

Hal-hal lainnya yang juga dapat mempengaruhi kecepatan melarut adalah :

Naiknya temperatur menyebabkan naiknya Cs dan D


Ionisasi obat (menjadi spesies yang lebih polar) karena perubahan pH akan
menaikkan nilai Cs (Ansel, 1989)

Dari persamaan tersebut terlihat bahwa kecepatan disolusi berbanding lurus dengan luas
A= permukaan bahan obat dan kelarutannya. Persamaan ini merupakan turunan dari
persamaan Fick pertama, yang secara matematik dinyatakan dengan
J =D .

Jc
Jx

Dengan :
J = Fluks bahan obat, yaitu jumlah bahan obat yang lewat per satuan waktu, melalui suatu
satuan luas dengan arah tegak lurus (mg cm2 det-1)
D = Koefisien difusi
= Gradien kadar
Pada jarak (x) = h cm dari permukaan bahan obat yang terdisolusiakan berlaku persamaan
:
Jc
Jx

CCs
h

Dengan memasukkan persamaan (3) kepersamaan (2) diperoleh persamaan :

D(CCs)
J= h
Selanjutnya persamaan (4) dapat diubah menjadi :
CsC

D
dm
=
dt S
dm V . dC D. S .(Csc)
=
=
dt
dt
h
dC D . S
=
dt V . h

(Cs-C)

Pada persamaan (7) jika D/V.h diganti dengan K (karena masing-masing) merupakan
tetapan) maka hasilnya akan identic dengan persamaan (1).
Adapun parameter yang berpengaruh pada kecepatan dissolusi antara lain :
1. Polimorfisme :merupakan sifat dimana suatu zat kimia tunggal bisa berada dalam
lebih dari satu bentuk Kristal.
Bentuk Kristal yang berbeda akan memiliki kestbilan yang berbeda, serta titik lebur
dan kelarutan yang juga berbeda sehingga kecepatan disolusinya pun berbeda.
Bentuk amorf umumnya memiliki kelarutan yang lebih baik daripada bentu
kkristalnya, sedangkan bentuk Kristal cenderung lebih stabil daripada bentuk
amorfnya. Karena diperlukan banyak energy untuk menyusun molekul dalam
keadaan amorf yang tidak teratur.
Fenomena polimorfisa yang banyak terdapat dalam senyawa organik dan mineral
mulai dikenal sejak temuan Huay.
2. Keadaan Hidrasi :Bentuk molekul hidrat / anhidrat juga mempengaruhi sifat
kelarutan obat, dimana bentuk hidrat memiliki bentuk kelarutan yang lebih kecil
disbanding bentukan hidratnya.

Dengan kata lain senyawa anhidrat lebih larut dari bentuk trihidrat sehingga dengan
demikian kadar obat didalam darah lebih cepat diperoleh dari bentukan hidrat
(Shargel, 1998).
Perbedaan bentuk Kristal inilah yang dipelajari dalam percobaan ini, yaitu dengan
dilakukan proses rekristalisasi bahan obat dengan menggunakan jenis pelarut yang
berbeda karena dapat menghasilkan bentuk Kristal yang berbeda juga.
III.

IV.

ALAT dan BAHAN


Alat
- Timbangan analitik
- Mesin pencetak tablet
- Alat gelas yang lazim
- Dissolution tester
- Stopwatch
- Spektrofotometer
- Jangka sorong

Bahan
- pelarut ( Etanol 95% Cloroform)
- Bahan obat : Acetosal
- Vaselin
- Medium Disolusi ( dapar acetat pH 4,5)

CARA KERJA
a. Uji disolusi :
Melakukan rekristalisasi asetosal dengan pelarut

Mencetak hasil rekristalisasi menjadi tablet ( Hasil


rekristalisasi dengan pelarut kloroform)

Mengukur diameter tablet dan menimbang bobot tablet yang


diperoleh

Mengolesi tablet dengan vaselin pada seluruh permukaan


kecuali satu bagian permukaan tablet

Melakukan pengujian disolusi. Memasukkan tablet hasil rekristalisasi


Kloroform kedalam dissolusi tester dengan medium disolusi dapar asetat
pH 4,5sebanyak 500 ml. Sampling dilakukan tiap 15 menit sebanyak 5 ml,
dan tiap kali sampling larutan dapar diganti dengan volume yang sama

Sampel ditentukan kadarnya dengan spektrofotometer pada =


265 nm dengan blangko dapar acetat.

b. Pembuatan kurva baku asetosal :


Menimbang dengan seksama 140 mg asetosal
Mela rutkan asetosaldengan alkohol 95% beberapa
tetes dalam labu takar 50 ml, menambahkan dapar acetat ad
tanda batas

Dengan pipet volume mengambil 1 ml; 1,5 ml; 2 ml; 2,5 ml;
3 ml; 3,5 ml larutan stock diatas. Masing-masing dimasukkan
dalam labu takar 50 ml dan di tambahkan aquadest ad 50 ml

Membaca absorbansi masing-masing larutan pada


spektrofotometer = 265 nm dengan blangko dapar acetat

Membuat persamaan kurva baku acetosal antara konsentrasi


(x) Vs absorbansi (y)
c. Membuat larutan dapar acetat pH 4,5 0,05 M sebanyak 1000 ml :
Menimbang 2,99 g Na Acetat, menambahkan 1,66 ml asam acetat glacial dan
menambahkan aquadest ad tanda batas

V.

HASIL DAN PERHITUNGAN


Data percobaan
a. Identitas tablet :
Tablet B : rekristalisasi asetosal dengan kloroform
a. Nama bahan obat
: acetosal
b. Pelarut
: kloroform
c. Diameter tablet
: 1,21 cm (r = 0,605 cm)
d. Bobot tablet
: 526 mg
e.
b. uji disolusi :
Tablet B : rekristalisasi asetosal dengan kloroform
a. Medium disolusi

: dapar asetat pH 4,5 0,05 M

b. Kecepatan

: 50 rpm

c. Pembacaan pada panjang gelombang : 265 nm

Perhitungan
c. Data kurva baku

V1 . N1
2,8 . 1 ml
N2

= V2 . N2
= 50 ml .N2
= 17,85 mg/ml

2,8 . 1,5 ml
N2

2,8 . 2 ml
N2

280 . 2,5 ml

= 50 ml .N2
= 26,78 mg/ml
= 50 ml .N2
= 35,71 mg/ml
= 50 ml .N2

N2 = 46,64 mg/ml

280 . 3 ml
N2

= 50 ml .N2
= 53,57 mg/ml

2,8 . 3,5 ml = 50 ml .N2


N2

= 62,5 mg/ml

Data Kurva Baku


Konsentra

Absorban

si
mg%
17,85
26,78
35,71
44,64
53,57
62,5

si

0,180
0,300
0,365
0,422
0,540
0,585

Data regresi linier hubungan konsentrasi (mg %) vs Absorbansi :


a = 0,0384
b = 0,0089
r = 0,992
persamaan kurva baku y = 0,0384 + 0,0089x
d. Data Sampling
Volume tiap kali sampling = 5 ml

Waktu
15
30
45
60

A1
0,150
0,251
0,258
0,313

A2
0,162
0,252
0,275
0,314

kadar

1. 15 menit
0,150

= 0,0384 + 0,0089x

0,150 - 0,0384

= 0,0089x
0,1116
0,0089

= 12,539 mg/ml

0,162

= 0,0384 + 0,0089x

0,162 - 0,0384

= 0,0089x
0,1236
0,0089

= 13,888 mg/ml

0,181

= 0,0384 + 0,0089x

0,181- 0,0384

= 0,0089x

2. 30 menit
0,251

0,1426
0,0089

= 16,022 mg/ml

= 0,0384 + 0,0089x

A3
0,181
0,252
0,282
0,317

0,251- 0,0384

0,2126
0,0089

X
0,252

= 23,888 mg/ml
= 0,0384 + 0,0089x

0,252 - 0,0384

= 0,0089x
0,2136
0,0089

= 24 mg/ml

0,252
0,252 - 0,0384
X

= 0,0384 + 0,0089x
= 0,0089x
0,2135
= 0,0089

= 24 mg/ml

3. 45 menit
0,258

= 0,0384 + 0,0089x

0,258 - 0,0384

= 0,0089x

= 0,0089x
0,2196
0,0089

= 24,674 mg/ml

0,275

= 0,0384 + 0,0089x

0,275 - 0,0384

= 0,0089x
0,2366
0,0089

= 26,584 mg/ml

0,282
0,282 - 0,0384
X

= 0,0384 + 0,0089x
= 0,0089x
0,2436
= 0,0089

= 27,371 mg/ml

4. 60 menit
0,313
0,313 - 0,0384

= 0,0384 + 0,0089x
= 0,0089x
0,2746
= 0,0089

= 30,854 mg/ml

0,314
0,314 - 0,0384
X

= 0,0384 + 0,0089x
= 0,0089x
0,2756
= 0,0089

= 30,966 mg/ml

0,317
0,317 - 0,0384
X
X

= 0,0384 + 0,0089x
= 0,0089x
0,2786
= 0,0089
= 31,303 mg/ml

e. Konsentrasi acetosal yang terdisolusi tiap kali sampling :


f.

a. W

c. Kadar terdisolusi (mg/ml)

ak
g.

tu
b. (
m

d. Rata

rata
g. A1

h. A2

i.

A3

x
e. (mg/ml)

en
it)
k. 15

l.

p. 30

12,539

m. 13,888

n. 16,022

o. 14,150

q. 23,888

r. 24

s. 24

t. 23,963

u. 45

v. 24,674

w. 26,584

x. 27371,

y. 26,210

z. 60

aa. 30,854

ab. 30,966

ac. 31,303

ad. 31,041

h.
i.
j.
k.
f. Jumlah asetosal yang terdisolusi (K) :
l. K (mg) = jumlah asetosal yang terdisolusi dalam media disolusi tiap kali
sampling.
m. TABLET B
n. K

o. Perhitungan
r.
5
x 14,150
500 ml

q. K 15 menit

p. hasil

s. 0,1415 mg

mg/ml
u.
t. K 30 menit

5
x 23,963 mg/ml
500 ml

v. 0,2396 mg

5
x 26,210 mg/ml
500 ml

y. 0,2621 mg

x.
w. K 45 menit

aa.
z. K 60 menit

5
x 31,041 mg/ml
500 ml

ab. 0,3104 mg

g. Faktor Koreksi Kadar


ac. Wak
tu
ad. (men
it)

ae. Kadar
terdisolus
i
af. (mg/ml)

ah. Kadar
ag. Faktor koreksi

terkoreksi
ai. (mg)

aj. 15

ak. 14,150

al. 0

an. 30

ao. 23,963

ap.

am.14,150

( 5005 x 14,150 )+0=0,1415

aq. 24,067

at.
ar. 45

as. 26,210

5
x 23,963 +0,1415=0,3815
500

au. 26,591

5
x 26,210 +0,3815=0,6436
500

ay. 31,732

ax.
av. 60

aw.31,041

h. Kecepatan disolusi
az. W
a
k
t
u
ba. (
m
e

bb. Kadar

bd. Kecepatan disolusi


be. (mg/menit.cm2)

terkoreksi
bc. (mg)

n
i
t
)
bh.
bf. 1
5

bg. 14,150

dc 14,150
=
=0,779
dt 15 x 1,21

bi.
bj.

bk. 3
0

bl. 23,963

bm.

dc 23,963
=
dt 30 x 1,21

bn.

= 0,659

bo.
br.
bp. 4
5

bq. 26,210

dc 26,210
=
=0,481
dt 45 x 1,21

bs.
bt.
bw.

bu. 6
0

bv. 31,041

bx.

dc 31,041
=
=0,428
dt 60 x 1,21

by.
bz.

i. AUC trapezoid
ca.

AUC 15
0
=

( 14,150+ 0 ) +(150)
=14,575
2

cb.

AUC 30
15 =

( 23,963+14,150 )+(3015)
=26,537
2

cc.

AUC 30 =

( 26,210+ 23,963 )+( 4530)


=32,568
2

cd.

AUC 60
45 =

( 31,041+26,210 ) +(6045)
=36,1255
2

ce.

AUC total=109,803

45

cf.
cg.
ch.
j. Efficiency (DE)
ci.

DE : merupakan prosentase

jumlah obat yang terdisolusi selama waktu sampling, dibandingkan dengan bobot
atau jumlah zat aktif
109,803
cj. DE60 = 526 mg X 60
ck.

= 0,348 %
Grafik

cl.

Grafik T sampling (menit)

Vs K (mg) Tablet tablet B


cm.

Grafik T sampling (menit) Vs K (mg) TABLET B


0.35
0.3
0.25

K (mg)

0.2
0.15
0.1
0.05
0
0

15

30

45

60

cn.
co.
VI.

PEMBAHASAN
cp.

Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya

suatu zat yang dapat terlarut tertentu setiap satuan waktu. Menurut Farmakope Indonesia
edisi IV, alat uji disolusi ada dua yaitu; alat uji disolusi tipe keranjang (basket) dan alat uji
disolusi tipe dayung (paddle). Namun, dalam percobaan ini yang digunakan adalah alat
uji disolusi tipe keranjang (basket). Uji hancur pada suatu tablet didasarkan pada
kenyataan bahwa, tablet itu pecah menjadi partikel-partikel kecil, sehingga daerah
permukaan media pelarut menjadi lebih luas, dan akan berhubungan dengan tersedianya

obat dalam cairan tubuh. Namun, sebenarnya uji hancur hanya menyatakan waktu yang
diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang ditetapkan. Uji ini tidak
memberikan jaminan bahwa partikel-partikel itu akan melepas bahan obat dalam larutan
dengan kecepatan yang seharusnya. Oleh sebab itu, uji disolusi dan ketentuan uji
dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet. Laju absorpsi dari obat-obat bersifat
asam yang diabsorpsi dengan mudah dalam saluran pencernaan sering ditetapkan dengan
laju larut obat dalam tablet.
cq.
Pada praktikum ini, yang digunakan adalah rekristalisasi asetosal dengan
pelarut kloroform. Acidum acetyl salicylicum atau sering disebut asetosal merupakan
bahan obat yang mempunyai khasiat analgetikum antipiretikum, dan juga kardiovaskuler
dalam dosis rendah. Asetosal mengandung tidak kurang dari 99.5% (BM : 180,2),
dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Kelarutanya agak sukar larut dalam air (10
mg/mL (20C)), mudah larut dalam etanol 95% P, larut dalam kloroform P dan eter P.
Asetosal memiliki titik didih 140C, titik lebur 138 0C - 1400C, dan berat jenis 1.40 g/cm.
Pemerian asetosal berupa hablur putih, umumnya seperti jarum atau lempengan tersusun,
atau serbuk hablur putih; tidak berbau atau berbau lemah. Stabil di udara kering; di
dalam udara lembab secara bertahap terhidrolisa menjadi asam salisilat dan asam asetat.
cr.
Dari percobaan dilakukan pada uji disolusi tablet dengan pelarut yang
berbeda diketahui bahwa tablet dengan pelarut etanol 95% lebih besar jumlah obat yang
terdisolusi tiap kali sampling dibandingkan dengan tablet yang pelarutnya chloroform
dikarenakan chloroform dan etanol 95% berbeda polar (etanol 95%) dan non polar
(chloroform). Tetapi kelompok praktikum kami hanya melakukan percobaan pada
rekristalisasi asetosal dengan kloroform, hasilnya diameter tablet 1,21 cm (r = 0,605 cm),
bobot tablet: 526 mg, luas permukaan:

x 0,6052=0,366 . Setelah itu dilakukan

disolusi tablet B dengan kecepatan 50 rpm, medium disolusi (dapar asetat pH 4,5 0,05 M)
dan panjang gelombang 265 nm. Sampling dilakukan dengan mengambil 5 mL larutan
setiap 15 menit untuk mengetahui konsentrasi acetosal yang terdisolusi karena pada
umumnya tablet obat telah mencapai persyaratan kadar dalam waktu 30 menit. Kadar
terdisolusi

yaitu: 15 menit = 14,150 mg/ml; 30 menit = 23,963 mg/ml; 45 menit =

26,210 mg/ml; 60 menit = 31,04 mg/ml.

cs.

Hasil kecepatan disolusi asetosal yaitu 15 menit = 0,779 mg/menit.cm 2; 30

menit 0,659 mg/menit.cm2; 45 menit 0,481 mg/menit.cm2; dan 60 menit 0,428


mg/menit.cm2 yang dapat dilihat dari hasil kecepatan disolusi yang semakin berkurang
dan berbanding terbalik dengan faktor koreksi. Hasil perhitungan AUC total adalah
109,803 dan nilai DE60 = 0,348% yang merupakan ukuran dan laju disolusi secara
keseluruhan.
ct.
Dalam uji disolusi tersebut suhu air harus diperhatikan agar tetap 37 oC
karena suhu yang digunakan tersebut disesuaikan dengan suhu tubuh manusia dan tujuan
dari penambahan pelarut agar tetap konstan yaitu karena pelarut dianalogikan sebagai
cairan tubuh. Adapun faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat, yaitu;
suhu, medium, kecepatan perputaran, kecepatan letak vertikel poros, goyangnya poros,
vibrasi, gangguan pola aliran, posisi pengambil cuplikan, formulasi bentuk sediaan, dan
kalibrasi alat disolusi.
cu.
Faktor-faktor kesalahan yang mungkin mempengaruhi hasil yang
diperoleh antara lain :
1. Suhu larutan disolusi yang tidak konstan.
2. Ketidaktepatan jumlah dari medium disolusi, setelah dipipet beberapa ml.
3. Terjadi kesalahan pengukuran pada waktu pengambilan sampel menggunakan pipet
volume.
cv.

Adapun aplikasi disolusi dalam bidang farmasi, yaitu:

1. Penentuan kecepatan disolusi suatu zat perlu dilakukan karena kecepatan disolusi
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi absorpsi obat di dalam tubuh.
2. Laju disolusi sangat diperlukan karena menyangkut tentang waktu yang dibutuhkan untuk
penglepasan obat dalam bentuk sediaan dan diabsorbsi dalam tubuh.
3. Kecepatan disolusi sangat diperlukan untuk membantu memilih medium pelarut yang
paling baik untuk obat atau kombinasi obat.
4. Membantu dalam mengatasi kesulitan-kesuliantan tertentu yang timbul

pada waktu

pembuatan larutan farmaetis.


cw.
cx.
cy.
VII.

Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum kali ini adalah mahasiswa mencapai tujuannya yaitu
bisa mengetahui parameter jenis Kristal (polimorf,hidrat,solvat) dari bahan baku

obat terhadap kecepatan disolusi intrinsiknya sebagai preformulasi bentuk

sediaannya
Dari percobaan dilakukan pada uji disolusi tablet dengan pelarut yang berbeda
diketahui bahwa tablet dengan pelarut etanol 95% lebih besar jumlah obat yang
terdisolusi tiap kali sampling dibandingkan dengan tablet yang pelarutnya
chloroform dikarenakan chloroform dan etanol 95% berbeda polar (etanol 95%)
dan non polar (chloroform)
cz.
da.
db.
dc.
dd.
de.
df.
dg.
dh.
di.
dj.
dk.
dl.
dm.
dn.
do.
dp.

dq. Daftar Pustaka


-

Herdwiani wiwin, dkk. 2016. Buku Petunjuk Praktikum Biofarmasetika. Universitas

setia budi. Surakarta


Farmakope Indonesia Edisi III Departemen kesehatan RI tahun 1979
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008 Ilmu Resep untuk sekolah

menengah farmasi, Jakarta


Ekowati Dewi dan Dzakwan Muhammad 2016, Petunjuk Praktikum farmasi fisik I,
Universitas Setia Budi Surakarta.

dr.

Anda mungkin juga menyukai