Anda di halaman 1dari 22

ABSTRAK

Reforma agraria merupakan topik utama permasalahan agraria di Indonesia dewasa


ini. Namun, kita dihadapkan kepada tantangan untuk merumuskan bagaimana bentuk dan
strategi reforma agraria yang akan dilaksanakan. Melalui kajian historis terhadap berbagai
kebijakan tentang lahan sejak zaman prapenjajahan sampai dengan Orde baru, terlihat
bahwa kebijakan agraria tidak berpihak banyak kepada petani kecil, sehingga menyebabkan
ketimpangan pemilikan lahan yang sudah pada taraf yang sangat mengkhawatirkan dan sulit
memperbaikinya. "Landreform (perombakan tanah)" sebagai bagian dari reforma agraria
akan menghadapi banyak tantangan. Selain itu, pelaksanaan "landreform" perlu didukung
oleh basis data yang akurat dan lengkap. Dengan kondisi demikian, maka pelaksanaan
reforma agraria yang mungkin untuk dilaksanakan baru pada upaya perbaikan sistem bagi
hasil dan penyempurnaan berbagai peraturan dan perundangan yang ada. Hal lain yang
perlu diperhatikan adalah upaya yang sistematis untuk melindungi keberadaan lahan sawah
dari tingginya tekanan transformasi ke sektor lain yang juga membutuhkan lahan. Sekarang
ini banyak tanah di Indonesia dijadikan bagian dari politik agraria dari satu masa ke masa
pemerintahan, dimana tanah dijadikan alat politik bagi pihak penguasa. penguasaan sumber
daya tanah oleh pemerintah telah menjadikan petani selalu berada di posisi subordinat dan
tergantung. Hal ini disebabkan karena pemerintahlah yang memegang hak penguasaan
tanah, sedangkan petani menjadi penggarap. Petani belum diberi hak penguasaan yang
secukupnya agar dapat menjadi pengelola penuh dalam usaha-taninya. Struktur sosial
masyarakat pedesaan juga berubah mengikuti perubahan pola penguasaan tanah tersebut,
karena bagi komunitas agraris tanah adalah sumber daya utama kehidupannya. Makalah ini
menggunakan penelitian mengenai konflik agraria yang terjadi antara petani dengan
Perhutani di Desa Genteng sebagai contoh dari reforma agraria.
Kata kunci: landreform, pembangunan pertanian, penguasaan tanah.

BAB I
PENDAHULAN
A. Latar Belakang
Tanah merupakan sumber kehidupan. Hubungan tanah dan manusia yang
sedemikian ini, membuat perubahan-perubahan dalam tata susunan pemilikan
dan penguasaan tanah, pada gilirannya akan juga memberikan pengaruh kepada
pola hubungan antar manusia sendiri. Yang menjadi masalah bukan tanah itu
sendiri tetapi terjadinya penguasaan tanah yang timpang, dimana ada yang tidak
menguasai, dan pihak lain ada yang menguasai dalam jumlah yang besar.
Fakta di atas memberikan gambaran bahwa jika tanah menjadi faktor
dalam suatu proses produksi, maka hubungan produksi, atau hubungan yang
terjadi, akan sangat bergantung pada bagaimana sistem pemilikan tanah tersebut.
Adanya Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria yang telah dimaksudkan sebagai instrumen untuk mendorong
proses

pembaharuan,

dalam

kenyataannya

belum

menjadi

alat

untuk

menciptakan kemakmuran di sektor agraria. Maka dari itu dalam rangka


pembaharuan hukum agraria nasional diperlukan perangkat hukum yang lebih
baik sesuai dengan perkembangan kepentingan di masa-masa akan datang yang
lebih dinamis, memiliki kepastian hukum dan beraspek keadilan. Perubahan itu
bersifat mendasar, karena baik mengenai struktur perangkat hukumnya,
mengenai konsepsinya maupun isinya yang dinyatakan dalam bagian
berpendapat UUPA harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta
memenuhi pula keperluannya menurut keperluan zaman.
Selama ini perkembangan hukum tanah mengalami banyak kritik dan
tantangan. Berbagai peraturan pelaksanaan UUPA belum terwujud, sementara itu
hal-hal baru yang belum pernah diantisipasi muncul dan menghendaki dicarikan
jalan keluarnya. Dalam rangka pembangunan hukum tanah nasional, khususnya
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, diperlukan pendekatan yang
mencerminkan pola pikir yang proaktif dilandasi dengan sikap kritis dan
obyektif. Pendekatan kritis diperlukan untuk menunjang pembangunan hukum
tanah nasional, dengan upaya pemahaman hukum dan aspirasi yang melekat pada
2

asas hukum yang bertujuan untuk mencapai keadilan, kepastian hukum dan
manfaat bagi masyarakat. Merupakan kenyataan bahwa peraturan perundangundangan yang dibuat jauh dari kata sempurna baik karena kurang lengkap atau
kurang jelas. Peraturan perundang-undangan akan relatif selalu ketinggalan
jaman karena perjalanan waktu, perkembangan masyarakat yang sangat dinamis,
serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
Reforma agraria pada prinsipnya selalu dimaksudkan untuk mengatasi
persoalan sosial ekonomi pedesaan yang terkait dengan penguasaan tanah dan
sumber daya alam. Restrukturisasi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah dan kekayaan alam adalah unsur penting dari program reforma agraria.
Tujuannya, agar tidak terjadi konsentrai penguasaan dan pemaafaatan tanah dan
kekayaan alam, memastikan hak rakyat atas tanah dan kekayaan alam serta
menjamin keberlangsungan dan kemajuan sistem produksi rakyat. Praktik
penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam akan
mengakibatkan lahirnya kelompok rakyat tidak memiliki tanah. Ketimpangan
penguasaan struktur agraria hanya bisa diatasi dengan merombak lalu menata
ulang pola penguasaan, penggunaan, pemanfaatan tanah dan kekayaan alam
secara merata. Seiring dengan proses perombakan ini, Negara memberikan
pengakuan secara utuh, perlindungan dan pemeliharaan hak rakyat atas tanah dan
kekayaan alam.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimanakah konsep reforma agraria dan landasan hukum reforma agraria itu
sendiri?
2. Apa maksud dan tujuan terselenggaranya Reforma Agraria ?

BAB II
LANDASAN TEORI
Secara harfiah istilah landreform berasal dari bahasa Inggris yang terdiri
dari kata land yang berarti tanah dan kata reform yang berarti perombakan.
Oleh karena itu landreform secara sederhana dapat diartikan sebagai perombakan
tanah. Akan tetapi dalam konsep landreform yang sesungguhnya tidaklah
sesederhana itu, artinya tidak hanya perombakan tanah atau perombakan struktur
penguasaan tanah, melainkan perombakan terhadap hubungan manusia dengan
tanah, hubungan manusia dengan manusia yang berkenaan dengan tanah, guna
meningkatkan penghasilan petani dan perombakan ini sifatnya mendasar. Oleh
karena itu untuk mempelajari konsep landreform yang sebenarnya ada beberapa
pendapat para ahli mengenai landreform yang dapat lihat dalam beberapa
literatur literatur agraria Dari pernyataan tersebut diatas bahwa pengertian tanah
mempunyai arti yang bermacam-macam dan sangat tergantung dalam bidang
ilmu mana orang melihatnya. Dari aspek hukum tanah dapat diartikan sebagai
milik (hak milik), tetapi dari disiplin lain pengertian tanah tidak demikian, bisa
saja mempunyai arti sumber kekuatan atau strategi politik, factor produksi,
merupakan bagian dari system social yang menunjukan pada, atau mempunyai
pengertian lahan dalam ilmu pertanian dan lain-lain. Tetapi secara umum
pengertian stratifikasi social tanah tersebut menunjukan pada penggunaan tanah.
Sedangkan istilah reform sudah jelas menunjukan kepada perombakan,
mengubah/membentuk kembali sesuatu untuk menuju perbaikan. Dengan

demikian landreform berkaitan dengan perubahan struktur secara institusional


yang mengatur hubungan mansuia dengan tanah.
Lipton dalam salah satu tulisannya mendefinisakan konsep landreform
diartikan sebagai : Pengambil alihan tanah secara paksa, yang biasanya
dilakukan oleh negara, dari pemilik-pemilik tanah yang luas, dengan ganti rugi
sebagian. Dan pengusahaan tanah sedemikian rupa sehingga manfaat dari
hubungan anatara manusia dengan tanah dapat tersebar lebih merata dari pada
sebelum pengambilalihan.
Dalam definisi tersebut landreform mengandung dua makna yaitu pada
suatu sisi negara dapat mengambil tanah-tanah yang dikuasai oleh perorangan
kemudian membagi-bagikan tanah tersebut (kepada perorangan tentunya) dalam
unit yang kecil, dalam hal ini tentunya sesuai dengan prosedur yang telah
ditentukan. Dalam konteks ini landreform diartikan sebagai distributivist reform.
Pada sisi yang lain tanah-tanah yang telah diambil alih tersebut diusahakan
bersama secara kolektif dalam bentuk usaha bersama seperti koperasi atau usaha
tani lainnya. Dalam pengertian terakhir ini landreform mengandung makna
colektivist reform.
Pendapat

selanjutnya

dikemukakan

oleh

Gunawan

Wiradi

yang

menyatakan bahwa landreform mengacu kepada penataan kembali susunan


penguasaan tanah, demi kepentingan petani kecil, penyakap (tenants), buruh tani
tak bertanah, inilah yang dimaksud dengan redistribusi, yaitu yang mencakup
pemecahan dan penggabungan satuan-satuan usaha tani dan perubahan skala
pemilikan. Konsep ini kemudian berkembang, landreform diberi arti yang
mencakup dua macam sasaran yaitu, Tenure Reform yang berarti sama seperti
tersebut diatas, dan Tenancy Reform yaitu perbaikan atau pembaharuan dalam
hal perjanjian sewa, bagi hasil, gadai, dan seterusnya tanpa harus mengubah
distribusi

kepemilikan.

Dalam

pengertian

landreform

dimasukan

juga

Konsolidasi Tanah (Land consolidation) yang berarti menyatukan kepemilikan


tanah yang letaknya terpencar-pencar menjadi satu hamparan, dengan cara tukar
menukar, karena terpencarnya tanah itu dianggap tidak efisien oleh karena perlu
dikonsolidasikan.

Arie Sukanti Hutagalung mengartikan bahwa landreform adalah : suatu


perubahan yang disengaja dalam suatu sistem land tenure, penguasaan hak-hak
atas tanah dan lain-lain yang berhubungan dengan tanah. Selain beberapa
pandangan tersebut diatas dalam kepustakaan agraria sering sekali dijumpai
istilah Agrarian Reform selain istilah landreform. Bahkan kadang- kadang
penggunaan istilah tersebut digunakan secara bergantian untuk menunjuk pada
konsep yang sama. Kedua istilah tersebut sering dipakai secara bergantian dalam
diskusi-diskusi yang menyangkut perbaikan-perbaikan dan perubahan-perubahan
dalam kebijakan pemerintah mengenai tanah pertanian.
Di samping istilah landreform dan agrarian reform diatas Gunawan Wiradi
mengetengahkan

istilah

reforma

agraria.

Pemakaian

reforma

agraria

digunakannya untuk mengganti istilah landreform dengan pengertian sebagai


usaha untuk melakukan prombakan penguasaan tanah. Dalam suatu masyarakat
non industri, tanah mencerminkan bentuk dasar dari kemakmuran dan sumber
dasar dari prekonomian dan politik. Di sisi lain sistem penguasaa tanah
mencerminkan hubungan-hubungan dan susunan-susunan pengelompokan sosial.
Kenyataan ini umumnya dari suatu negara serta kemauan politik pemerintahnya,
menentukan pula corak reform yang dilakukan. Artinya reforma agraria dapat
dilancarkan dengan titik berat yang berbeda-beda. perubahan dan perlindungan
terhadap petani penggarap dari tuan tanah atau penghapusan tuan tanah,
larangan memiliki tanah pertanian yang luas, larangan absente (guntai) dan
penetapan suatu ceiling bagi pemilik tanah.
Dalam lingkup masalah tersebut A.P.Parlindungan menyatakan kalaulah
mau konsekuen dengan ketentuan bunyi Pasal 1 dan pasal 2 UUPA seharusnya
digunakan istilah agrarian reform, dimana didalamnya terdapat landreform, water
reform dan air reform. Dengan demikian yang diadakan perombakan tidak hanya
hubungan manusia dengan tanahnya saja tetapi juga dengan air dan ruang
angkasa, karena itu dalam konteks UUPA, A.P.Parlindungan lebih suka
menggunakan istilah agrarian reform. Dari uraian tersebut A.P.Parlindungan
secara tersirat membedakan antara landreform dengan agrarian reform, dan
menyatakan bahwa landreform merupakan salah satu bagian dari program
agrarian reform.
6

Pengertian dan cakupan kegiatan landreform Indonesia akan disesuaikan


dengan pandangan hidup pancasila, keadaan alam dan kebudayaan Indonesia.
Seperti yang diungkapkan oleh Sein Lin dalam bukunya Readings In Land
Reform : The concept of the term land reform varies from nation to nation,
culture to culture, and ideology to ideology. In the narrowest sense land reform
just means the redistribution of land while the broadest definition encompasses
reform of tenurial structure, production structure and structure of supporting
services. The tearm agrarian reform and land reform are use as interchangeable
by some; there are others who identify agrarian reform with the broader consept.
Wether this concept will change with the changing emphasis in land policy
remains to be seen
Boedi Harsono mengatakan bahwa landreform didalam arti sempit
merupakan serangkaian tindakan dalam rangka Agrarian Reform Indonesia. Dan
dalam arti luas. Landreform meliputi perombakan mengenai pemilikan dan
penguasaan tanah serta hubungan hubungan hukum yang bersangkutan dengan
penguasaan tanah.
Dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 pasal 2 disebutkan: Pembaruan
agrarian mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan
penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber
daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan
hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Terlihat
disini, bahwa ada dua bagian pokok yang menjadi perhatian pembaruan agraria,
yaitu aspek penguasaan dan pemilikan di satu sisi, dan aspek penggunaan dan
pemanfaatan di sisi lainnya. Penataan penguasaan dan pemilikan tersebut
merupakan kegiatan utama landreform dengan intinya berupa redistribusi tanah.
Dorren Warriner sebagaimana yang dikutip oleh Arie Sukanti Hutagalung,
mengatakan bahwa pada dasarnya landreform memerlukan program retribusi
tanah untuk keuntungan pihak yang menegrjakan tanah danah dan pembatasan
dalam hak-hak individu atas sumber-sumber tanah. Jadi, landreform lebih
merupakan suatu alat perubahan social dalam perkembangan ekonomi, selain
merupakan manifestasi tujuan politik, kebebasan, dan kemerdekaan suatu
bangsa.
7

Pelaksanaan konsep landreform merupakan upaya yang dilakukan oleh


setiap Negara untuk melakukan perubahan dalam proses pemilikan atas tanah.
Oleh karena itu, pelaksanaan landreform ini berkaitan erat dengan kemauan
politik dari suatu Negara. Hal itu membuat PBB memberikan perhatian yang
serius terhadap pelaksanaan landreform di dunia. World Bank dalam sebuah
publikasinya mengenai landreform, juga memberikan pengertian mengenai
berbagai pola penguasaan dan pemilikan tanah di berbagai masyarakat.
Menurutnya, pola ini ada karena pengaruh berbagai factor, yaitu (1) Sistem dan
situasi politik; (2) Struktur ekonomi; (3) system social; (4) system hokum; (5)
situasi geografi; (6) system pertanian; (7) basis sumber daya nasional masingmasing.
Sehubungan dengan pengertian landreform tersebut, maka tujuan
diadakannya landreform adalah: Untuk menyempurnakan adanya pemerataan
tanah; ada dua dimensi untuk tujuan ini; pertama, adanya usaha untuk
menciptakan pemerataan hak atas tanah di anatar para pemilik tanah. Ini dapat
dilakukan melalui usaha yang intensif, yaitu dengan redistribusi tanah; kedua,
untuk mengurangi perbedaan pendapatan antara petani besar dan kecil yang
dapat merupakan usaha untuk memperbaiki persamaan di antara petani secara
menyeluruh.
Untuk meningkatkan dan memperbaiki daya guna penggunaan tanah.
(Supriadi:2010)
Menurut Wiradi (1984), reforma agraria adalah modifikasi berbagai persyaratan
yang dapat mempengaruhi sektor pertanian misalnya berupa kredit, kebijakan
harga, penelitian dan penyuluhan, pengadaan input, koperasi dan lain-lain.
Seluruh komponen tersebut sudah menjadi perhatian kebijakan pemerintah
selama ini, namun karena tidak didahului dengan landreform, maka selain hasil
yang dicapai tidak optimal, juga dibarengi oleh ketimpangan penguasaan yang
berimplikasi kepada ketimpangan kesejahteraan, marjinalisasi petani kecil,
urbanisasi yang tidak terkendali dari para buruh tani dan petani sempit, dan lainlain.
Menurut Harsono (2003), landreform secara luas meliputi lima program,
yaitu: pelaksanaan pembaruan hukum agraria, penghapusan hak-hak asing dan
8

konsesi kolonial atas tanah, diakhirinya kekuasaan tuan tanah dan para feodal,
perombakan pemilikan dan penguasaan tanah, serta perencanaan dan penggunaan
sumber daya alam sesuai kemampuannya. Program landreform secara lebih
spesifik adalah larangan penguasaan tanah melebihi batas maksimum, larangan
tanah absentee, redistribusi tanah objek landreform, pengaturan pengembalian
dan penebusan tanah yang digadaikan, pengaturan tentang bagi hasil, serta
penetapan luas minimum dan pelarangan fragmentasi lahan pada batas tertentu.
Secara umum, reforma agraria dapat menempuh dua jalan, yaitu secara
serentak, cepat, dan menyeluruh; atau secara gradual namun berkelanjutan. Jalan
pertama banyak didukung oleh kalangan pemerhati agraria, terutama dari
golongan LSM, dimana aspek Landreform merupakan focus utamanya.
Sementara, jalan yang kedua yang terkesan lebih soft didukung oleh kalangan
birokrasi terutama departemen-departemen teknis, misalnya Departemen
Pertanian. Kalangan ini beranggapan bahwa untuk mengimplimentasikan jalan
pertama syarat yang dibutuhkan lebih berat, misalnya diperlukan pembiayaan
yang besar dan sekaligus, pendataan secara menyeluruh, melibatkan banyak
organisasi, dan resiko politik yang sangat besar. Selain itu, perkembangan
ekonomi juga akan tersendat dalam jangka pendek semenjak reforma agraria
tersebut dijalankan.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Konsep Reforma Agraria
Konsep

reforma

agraria

adalah

suatu

konsep

untuk

menjawab

permasalahan yang dihadapi oleh petani dan rakyat miskin yaitu kesenjangan
akses

dan

kepemilikan

tanah.

Reforma

agraria

dilakukan

dengan

mendistribusikan tanah kepada petani yang tidak memiliki tanah atau yang
tanahnya sempit. Reforma agraria berkaitan erat dengan reforma ekonomi politik
suatu Negara, walaupun seakan-akan konsep tersebut hanya untuk menjawab
permasalahan petani miskin, tetapi pengimplementasian konsep tersebut akan
mempengaruhi seluruh elemen masyarakat, terutama para pemilik modal dan
Negara.
Bagi pemilik modal, implementasi konsep reforma agraria berarti mereka
harus merelakan kepemilikan mereka atas sumberdaya alam untuk dikembalikan
kepada Negara atau petani miskin. Bagi Negara, implementasi konsep ini berarti
bertambahnya anggaran belanja Negara untuk membiayai pengimplementasian
konsep tersebut. Biaya tersebut meliputi biaya untuk membeli tanah dari pemilik
10

modal dan biaya untuk supporting system yang meliputi pupuk, bibit,
penyuluhan dan lain sebagainya.
Pengimplementasian konsep reforma agraria dilaksanakan sesuai dengan
kondisi, sejarah, dan ideologi suatu Negara, serta motif suatu Negara dalam
melaksanakan reforma agraria. Faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi
antara satu dengan yang lain. Secara sederhana, terdapat empat model utama
dalam reforma agraria, yaitu :
1.Radikal landreform, tanah milik pemilik modal diambil alih Negara tanpa ganti
rugi, model ini diterapkan di Negara-negara komunis seperti Rusia.
2.Land colonization, tanah pemilik modal diduduki oleh petani seperti yang
terjadi di Brazil.
3.Land right restitution, tanah-tanah yang dulu diambil alih oleh warga kulit
putih diambil alih lagi oleh warga kulit hitam seperti yang terjadi di Afrika
Selatan.
4.Market based/assisted land reform, model ini diterapkan dengan tujuan untuk
menghindari sentakan-sentakan politik.

B. Landasan Hukum Reforma Agraria


Reforma Agraria telah dijelaskan di bagian Penjelasan Umum UndangUndang Pokok Agraria pada romawi II angka (7), yang berisi : Dalam pasal 10
ayat (1) dan (2) dirumuskan suatu asas yang pada dewasa ini sedang menjadi
dasar daripada perubahan-perubahan dalam struktur pertanahan hampir di
seluruh dunia, yaitu di negara-negara yang telah atau sedang menyelenggarakan
apa yang disebut Landreform atau Agrarianreform.
Selain peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum, ada
beberapa dasar yang menjadi landasan pelaksanaan Reforma Agraria, antara lain:
a.Landasan Idil, yaitu Pancasila. b.Landasan Konstitusional, yaitu UUD 1945

11

dan Perubahannya. c.Landasan Politis, yang terdiri dari TAP MPR Nomor
IX/MPR/2001 Tentang :
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam; Keputusan MPRRI Nomor 5 Tahun 2003 tentang Penugasan Kepada Pimpinan MPR-RI oleh
Presiden, DPR, BPK, MA pada Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2003; dan
Pidato Politik Awal Tahun Presiden RI tanggal 31 Januari 2007
Landasan Hukum, diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958
tentang Penghapusan Tanah-tanah Partikelir (Lembaran Negara RI Tahun 1958
Nomor 2, Tambahan Lembaran Negra RI Nomor 1517); Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembar Negara RI Tahun 2004
Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4411); Undang-Undang
Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara RI Tahun
2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4725), dan lain
sebagainya.
C. Maksud dan Tujuan terselenggaranya Reforma Agraria
Terselenggaranya Reforma Agraria tentu memiliki maksud dan tujuan tertentu. Adapun
maksud dan tujuan tersebut adalah sebagai berikut:1
Maksud Reforma Agraria
1. Menciptakan sumber sumber kesejahteraan masyarakat yang berbasis agraria
2. Menata kehidupan masyarakat yang lebih berkeadilan
3. Meningkatkan berkelanjutan sistem kemasyarakatan kebangsaan dan kenegaraan
indonesia, serta
4. Meningkatkan harmoni kemasyarakatan
Tujuan Reforma Agraria
Reforma agraria (landreform) juga memiliki beberapa tujuan, diantaranya
sebagai berikut:
1. Menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah ke
arah yang lebih adil.
1

Kementrian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional, Laman


Online, (http://www.bpn.go.id/Program/Reforma-Agraria diakses pada 7
November 2016)
12

2.Mengurangi kemiskinan.
3.Menciptakan lapangan kerja.
4.Memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi (terutama tanah).
5.Mengurangi sengketa dan konflik pertanahan.
6.Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup.
7.Meningkatkan ketahanan pangan.
Adapun tujuan dari landreform menurut Michael Lipton dalam
Mocodompis

(2006)

adalah:

1.Menciptakan pemerataan hak atas tanah diantara para pemilik tanah. Ini
dilakukan melalui usaha yang intensif yaitu dengan redistribusi tanah, untuk
mengurangi perbedaan pendapatan antara petani besar dan kecil yang dapat
merupakan usaha untuk memperbaiki persamaan diantara petani secara
menyeluruh.
2.Untuk meningkatkan dan memperbaiki daya guna penggunaan lahan. Dengan
ketersediaan lahan yang dimilikinya sendiri maka petani akan berupaya
meningkatkan produktivitasnya terhadap lahan yang diperuntukkan untuk
pertanian tersebut, kemudian secara langasung akan mengurangi jumlah petani
penggarap yang hanya mengandalkan sistem bagi hasil yang cenderung
merugikan para petani.
D. Subyek dan Obyek dari Reforma Agraria
Pada dasarnya subyek Reforma Agraria adalah penduduk miskin di
pedesaan baik petani, nelayan maupun non-petani/nelayan. Penduduk miskin
dalam kategori ini dapat dimulai dari yang di dalam lokasi ataupun yang terdekat
dengan lokasi, dan dibuka kemungkinan untuk melibatkan kaum miskin dari
daerah lain. Program Reforma Agraria yang dicanangkan pemerintah merupakan
suatu program yang terdiri dari kegiatan-kegiatan pengembangan kapasitas
subyek Reforma Agraria (petani miskin). Pengembangan kapasitas subyek
Reforma Agraria dapat diartikan sebagai upaya meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk dapat mengatasi keterbatasan yang membatasi kesempatan
hidup mereka, sehingga memperoleh hak yang sama. Melalui pengembangan

13

kapasitas, masyarakat akan lebih mandiri dalam meningkatkan kualitas hidup


dan kesejahteraannya.
Sedangkan yang menjadi obyek dari Reforma Agraria yaitu tanah. Tanah
merupakan komponen dasar dalam Reforma Agraria. Pada dasarnya tanah yang
ditetapkan sebagai obyek Reforma Agraria adalah tanah-tanah Negara dari
berbagai sumber yang menurut peraturan perundang-undangan dapat dijadikan
sebagi obyek Reforma Agraria. Sesuai dengan tahapan perencanaan luas tanah
yang dibutuhkan untuk menunjang Reforma Agraria, maka luas kebutuhan tanah
obyek Reforma Agraria dalam kurun waktu 2007-2014 adalah seluas 9,25 juta
Ha.
E. Reforma Agraria terhadap Kesejahteraan Petani
Berbagai upaya perbaikan dan peningkatan dalam bidang agraria, yaitu
tercapainya keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat Indonesia, terutama petani,
masih jauh dari angan-angan kesejahteraan. Dari tahun ke tahun penguasaan
tanah oleh petani semakin menurun. Di sisi lain penguasaan sumber-sumber
agraria meningkat oleh beberapa orang saja atau pihak dan para pemilik modal,
karena didukung oleh berbagai undang-undang sektoral baik pada bidang
perkebunan, kehutanan, pertambangan, kelautan, dan sebagainya. Dan di sisi
lain, konflik agraria terus terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
Saat ini Program Reforma Agraria kurang berhasil mengatasi kemiskinan,
terutama untuk petani. Seperti konflik yang terjadi di Mesuji dan pertambangan
di Bima, itu pun dua dari 163 kasus agraria yang terjadi selama tahun 2011 lalu.
Hal itu terjadi karena masyarakat yang ada di daerah tersebut merasa khawatir
eksplorasi tambang emas di atas tanah masyarakat itu akan mengganggu mata
pencaharian mereka.
Dan selama ini pemerintah belum menjalankan Program Reforma Agraria
(landreform) dengan sebagaimana semestinya yang telah menjadi mandat TAP
MPR No. 9 Tahun 2001. Undang-undang Pokok Agraria yang sebagai hukum
agraria nasional masih hanya sebatas kebijakan di atas kertas. Belum ada usaha
secara konsisten dan signifikan untuk mengimplementasikan isi dari undang14

undang tersebut. Sehingga masih banyak persoalan agraria yang masih


terkatung-katung tidak ada penjelasan secara hukum yang terutamanya kaum tani
di pedesaan atas pemilikan dan penguasaan tanah yang adil dan mensejahterakan
kehidupan mereka.
Secara rasional Program Reforma Agraria akan memberikan pengaruh
terhadap laju tingkat kesejahteraan masyarakat yang mendapatkannya. Reforma
Agraria merupakan agenda bangsa yang diharapkan dapat memberikan titik
terang untuk terwujudnya keadilan sosial dan tercapainya kesejahteraan
masyarakat serta diharapkan dapat membantu masyarakat miskin (sebagian besar
petani) beranjak dari keterpurukan ekonomi menuju kehidupan yang layak dan
lebih sejahtera.

Studi Kasus Konflik Petani dengan Perhutani di Desa Genteng Kecamatan Sukasari
Kabupaten Sumedang
Penelitian ini mengenai konflik agraria yang terjadi antara petani dengan Perhutani
di Desa Genteng. Dalam penelitian ini dijelaskan sejarah konflik dan proses perkembangan
konflik serta faktor-faktor penyebab konflik. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan
kehidupan masyarakat Desa Genteng dan bentuk-bentuk konflik yang ada di Desa Genteng.
Berdasarkan temuan penelitian, konflik yang terjadi diakibatkan oleh perbedaan
kepentingan lahan antara petani Desa Genteng dengan Perhutani. Petani yang menginginkan
lahan Perhutani dikelola, khususnya pengelolaan secara intensif yang dilatarbelakangi oleh
motif ekonomi. Berbeda dengan Perhutani, mereka ingin menjaga hutan agar tetap lestari
demi generasi yang akan datang. Perhutani juga tidak ingin kerusakan hutan yang ada di
Timur Manglayang semakin rusak parah karena bisa berdampak pada orang lain, seperti
banjir atau erosi tanah. Dalam masyarakat petani Desa Genteng konflik sudah berlangsung
15

sejak tahun 1982. Konfliknya ada yang berlangsung secara damai dan ada juga yang berujung
pada kerusuhan. Kondisi petani di Desa Genteng kebanyakan tidak bertanah dan
menggunakan alat pertanian yang sangat sederhana. Para petani yang ada di Desa Genteng
menggarap lahan Perhutani hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Petani berani
menggarap lahan Perhutani tidak terlepas dari peran kelompok tani. Dalam kelompok tani
sering dilakukan diskusi sehingga pengetahuan mereka bertambah khususnya dalam politik
dan hukum. Petani malah menuntut kepada pemerintah agar landreform dijalankan. Sekarang
telah dibentuk kelompok kecil untuk mencari solusi yang terbaik.
Petani yang ada di Desa Genteng membutuhkan tanah untuk bertani karena mereka
hanya punya kamampuan bertani untuk menyambung hidup. Perhutani juga bertanggung
jawab untuk menjaga hutan agar tetap lestari. Kedua kepentingan ini menjadikan sebuah
konflik antara petani yang ada di Desa Genteng dengan Perhutani.
Penelitian ini adalah studi kasus sengketa lahan antara petani dan Perhutani yang
ada di Desa Genteng, Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang. Mayoritas mata
pencaharian masyarakat Desa Genteng adalah bertani. Layaknya seorang petani untuk
meningkatkan perekonomiannya, maka tanah sangat dibutuhkan. Begitu juga dengan petani
di Desa Genteng, mereka juga butuh tanah untuk dikelola. Bukan hanya tanah saja yang
mereka butuhkan, modal, teknologi juga mereka butuhkan.
Tanah adalah aset yang paling penting dalam kehidupan masyarakat karena tanah
adalah sumber kehidupan. Dalam negara agraris tanah merupakan sumber utama dalam
berproduksi sehingga di Indonesia dalam hak kepemilikan, hak guna usaha, hak pakai, hak
sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dibatasi dalam undang-undang pokok
agraria. Sebagian besar petani di Indonesia adalah buruh tani dan petani gurem atau sering
disebut sebagai Peasant bukan farmer (Noertjahyo,2005: 14). Peasant merupakan petani
yang bercocok tanam dan berternak di daerah Pedesaan, sedangkan farmer merupakan
pengusaha pertanian yang mengambil keuntungan dari hasil penjualan produksinya di pasar
(Wolf Eric,1985: 2). Secara ekonomi, Wolf mengatakan, petani merupakan produsen utama
kekayaan sosial dan masyarakat yang lain hanya menduduki posisi sekunder (1985: 17).
Masyarakat petani yang ada di Desa Genteng masih bercocok tanam dan beternak dengan
skala yang kecil.
Sengketa tanah yang terjadi di Desa Genteng antara petani dan Perhutani terjadi karena
pendudukan lahan yang dilakukan oleh petani di lahan Perhutani. Masyarakat yang
membutuhkan tanah memanfaatkan lahan dari Perhutani. Sementara Perhutani ingin
melakukan konservasi hutan agar sumber airnya tidak kekeringan. Musyawarah yang
16

dilakukan belum menemukan solusi sehingga permasalahannya telah sampai pada pemerintah
Kabupaten Sumedang. Bagi masyarakat petani Desa Genteng jaminan atas tanah tertuang
dalam UU Pokok Agraria. Undang-undang ini dibuat untuk memberikan tanah kepada
masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Di lain pihak UU Kehutanan merupakan salah
bentuk jaminan bagi Perhutani untuk melakukan konservasi hutan. Hal ini membuat banyak
petani Desa Genteng tergusur dari tanah yang sedang dia kelola untuk menyambung hidup.
Dalam penyelsaian kasus sengketa lahan yang ada di Desa Genteng ada dua caranya,
yaitu yang pertama adalah menjalankan landreform. Bila memang landreform menjadi solusi
yang akan dijalankan oleh pemerintah maka ada hal yang harus diperhatikan yaitu kondisi
hutan. Hutan yang semakin tergerus ekologinya menjadi pertimbangan utama agar tidak
terjadi banjir disaat musim hujan dan kekeringan di saat kemarau. Kedua adalah petani yang
ada di Desa Genteng terkhusus yang berkaitan langsung dengan konflik bisa dialih
profesikan. Selama ini masyarakat hanya berfokus pada pertanian dan membuat kebutuhan
lahan juga sangat tinggi. Dengan pengembangan potensi yang dimiliki oleh masyarakat maka
ketergantungan terhadap lahan juga semakin berkurang sehingga konflik antara petani dengan
Perhutani dapat diselesaikan.
Penelitian tentang konflik petani dengan Perhutani 2012 merupakan salah satu bagian
konflik agraria yang ada di tanah air. Konflik ini menunujukkan kepada kita bahwa selama ini
kehidupan petani sangat terpinggirkan dan tidak mendapatkan perhatian penuh dari
permerintah. Penelitian ini menggambarkan hubungan antara petani dengan lembaga
Perhutani yang memiliki kepentingan terhadap hutan. Di sisi lain peran organisasi juga sangat
memberikan pengaruh yang sangat besar dalam memberikan pencerdasan politik. Hasilnya
petani memiliki keberanian untuk menuntut pemerintah agar tanah dibagikan kepada rakyat
sesuai yang tertuang dalam UU PA dan Perpu No.56 tahun 1960. Adanya pengetahuan baru
yang berasal dari organisasi membuat petani merasa punya landasan hukum untuk menuntut
haknya.
Tanah yang dikelola oleh petani merupakan kawasan hutan yang dikuasai oleh
Perhutani. Permasalahan muncul ketika Perhutani melarang masyarakat untuk bercocok
tanam di area tersebut. Bagi Perhutani kawasan tersebut tidak boleh lagi ditanami karena
sudah menjadi hutan lindung, tetapi disisi lain masyarakat harus tetap bertahan hidup dengan
cara bertani. Pihak Perhutani tetap bertahan karena alasan ekologi hutan yang harus tetap
dijaga. Perhutani takut bila hutan dikelola secara intensif akan membuat kerusakan hutan
semakin parah. Akibatnya pada saat musim kemarau air bisa habis dan pada musim hujan
17

bisa mengakibatkan banjir. Permasalahan ini akhirnya muncul kepermukaan saat masyarakat
petani melakukan aksi demontrasi kepemda Sumedang. Masyarakat yang telah terorganisir
mendatangi kantor bupati dan menuntut pemerintah agar menjalankan landreform.
Kelompok tani memberikan sebuah harapan baru kepada petani, terutama mereka
yang tidak punya tanah. Mereka menuntut supaya agenda reforma agraria dijalankan karena
ada keinginan kehidupan yang lebih baik lagi. Kehidupan yang selama ini sudah sangat jauh
dari harapan ingin diubah dengan adanya UU PA dan Perpu No.56 tahun 1960 yang mereka
dapatkan dari organisasi tani. Di organisasi mereka dapatkan cara-cara untuk melakukan aksi,
menulis dan bermusyawarah. Coser mengatakan konflik akan membuat solidaritas kelompok
akan semakin meningkat. Pada kenyataannya para petani bersatu melawan pemerintah karena
hak mereka sebagai warga negara tidak diberikan. Petani seharunya mendapatkan tanah
sesuai yang diatur dalam UU PA dan Perpu No.56 tahun 1960 malah tergusur tanpa ada
alokasi yang jelas.
Berbagai upaya perbaikan dan peningkatan dalam bidang agraria, yaitu tercapainya
keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat Indonesia, terutama petani, masih jauh dari anganangan kesejahteraan. Dari tahun ke tahun penguasaan tanah oleh petani semakin menurun. Di
sisi lain penguasaan sumber-sumber agraria meningkat oleh beberapa orang saja atau pihak
dan para pemilik modal, karena didukung oleh berbagai undang-undang sektoral baik pada
bidang perkebunan, kehutanan, pertambangan, kelautan, dan sebagainya. Dan di sisi lain,
konflik agraria terus terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
Saat ini Program Reforma Agraria kurang berhasil mengatasi kemiskinan, terutama
untuk petani. Dan selama ini pemerintah belum menjalankan Program Reforma Agraria
(landreform) dengan sebagaimana semestinya yang telah menjadi mandat TAP MPR No. 9
Tahun 2001. Undang-undang Pokok Agraria yang sebagai hukum agraria nasional masih
hanya sebatas kebijakan di atas kertas. Belum ada usaha secara konsisten dan signifikan
untuk mengimplementasikan isi dari undang-undang tersebut. Sehingga masih banyak
persoalan agraria yang masih terkatung-katung tidak ada penjelasan secara hukum yang
terutamanya kaum tani di pedesaan atas pemilikan dan penguasaan tanah yang adil dan
mensejahterakan kehidupan mereka.
Secara rasional Program Reforma Agraria akan memberikan pengaruh terhadap laju
tingkat kesejahteraan masyarakat yang mendapatkannya. Reforma Agraria merupakan agenda
bangsa yang diharapkan dapat memberikan titik terang untuk terwujudnya keadilan sosial dan
tercapainya kesejahteraan masyarakat serta diharapkan dapat membantu masyarakat miskin

18

(sebagian besar petani) beranjak dari keterpurukan ekonomi menuju kehidupan yang layak
dan lebih sejahtera.

BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan yang ada di dalam makalah ini, dapat disimpulkan bahwa
reforma agraria atau sering kita sebut dengan pembaruan agraria (landreform)
yang ada di Indonesia saat ini belum berjalan dengan baik dalam
perkembangannya. Terutamanya reforma agraria terhadap kesejahteraan para
petani yang ada di Indonesia. Dan dalam pembahasan Reforma Agraria ini yang
dimaksudkan reforma disini adalah pembaharuan, dimana pembaharuan ini bisa
menjadi alih fungsi pada lahan pertanian dan tanah. Seperti yang telah kita
ketahui agraria adalah restrukturisasi penggunaan, pemanfaatan, penguasaan, dan
pemilikan sumber-sumber agraria, terutama tanah yang mampu menjalin
19

keadilan dan keberlanjutan peningkatan kesejahteraan rakyat. Reforma agraria


memiliki tujuan-tujuan yang mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan
kerja, memperbaiki akses masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama
tanah, menata ulang ketimpangan penguasaan pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah dan sumber-sumber agraria.
Tetapi disini yang masih terlihat jelas banyak masyarakat Indonesia
(terutama petani pedesaan) belum jelas pemilikan dan penguasaan atas tanah
mereka. Dan hal itu dikarenakan

pemerintah sampai saat ini masih belum

mengimplementasikan Program Reforma Agraria dengan sebagaimana mestinya.


Sehingga masih banyak konflik-konflik agraria yang terjadi di Indonesia di
kalangan masyarakat yang masih terkatung-katung belum ada penjelasannya.
Dari study kasus yang telah kami ambil yang terjadi di desa Genteng Kecamatan
Sukasari Kabupaten Sumedang, konflik yang terjadi diakibatkan oleh perbedaan kepentingan
lahan antara petani Desa Genteng dengan Perhutani. Sengketa tanah yang terjadi di Desa
Genteng antara petani dan Perhutani terjadi karena pendudukan lahan yang dilakukan oleh
petani di lahan Perhutani. Masyarakat yang membutuhkan tanah memanfaatkan lahan dari
Perhutani. Sementara Perhutani ingin melakukan konservasi hutan agar sumber airnya tidak
kekeringan. Musyawarah yang dilakukan belum menemukan solusi sehingga
permasalahannya telah sampai pada pemerintah Kabupaten Sumedang. Bagi masyarakat
petani Desa Genteng jaminan atas tanah tertuang dalam UU Pokok Agraria. Undang-undang
ini dibuat untuk memberikan tanah kepada masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Di lain
pihak UU Kehutanan merupakan salah satu bentuk jaminan bagi Perhutani untuk melakukan
konservasi hutan. Hal ini membuat banyak petani Desa Genteng tergusur dari tanah yang
sedang dia kelola untuk menyambung hidup. Di dalam study kasus ini tegambarkan bahwa
adanya reforma atau alih fungsi tanah yang seharusnya digunakan untuk lahan hutan
dijadikan untuk lahan petani yang dapat merusak lahan perhutanan demi mencukupi
kehidupan ekonomi.
Di organisasi mereka dapatkan cara-cara untuk melakukan aksi, menulis dan
bermusyawarah. Coser mengatakan konflik akan membuat solidaritas kelompok akan
semakin meningkat. Pada kenyataannya para petani brsatu melawan pemerintah karena hak
mereka sebagai warga negara tidak diberikan. Petani seharunya mendapatkan tanah sesuai

20

yang diatur dalam UUPA dan Perpu No.56 tahun 1960 malah tergusur tanpa ada alokasi yang
jelas.

DAFTAR PUSTAKA
-Bachriadi, Dianto dan Lucas, Anton, 2001. Merampas Tanah Rakyat, Kasus Tapos dan
Cimacan. Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta.
Muhammad Ilham Alisaputra, Reforma Agraria Untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan,
Jurnal Hukum (Online), No. 1 Vol. 10, (http://download.portalgaruda.org/article.php?
21

article=433556&val=7697&title=Reforma%20Agraria%20Untuk%20Mewujudkan
%20Kedaulatan%20Pangan, diakses 7 November 2016)
Kementrian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional, Laman Online,
(http://www.bpn.go.id/Program/Reforma-Agraria diakses pada 7 November 2016)
http://amatarpigo.blogspot.co.id/2013/11/makalah-reforma-agraria.html - web dari teori
http://stnprmsumedang.blogspot.co.id/2013/04/konflik-petani-dengan-perhutani-studi.html
https://tifiacerdikia.wordpress.com/lecture/lecture-2/hukum/hukum-agraria/pengertianlandreform/
http://amatarpigo.blogspot.co.id/2013/11/makalah-reforma-agraria.html?m=1

22

Anda mungkin juga menyukai