Anda di halaman 1dari 3

Berharap Kepada Islam Liberal

Denny JA
Setahun belakangan ini, muncul komunitas yang menamakan diri Islam Liberal di
tanah air. Mereka adalah anak-anak muda, yang aktif di Paramadina, NU, aktivis
jurnalis, dan IAIN Ciputat. Di lapisan keduanya, banyak pula terlibat aktivis
kelompok studi tahun 1980-an, yang sekolah sampai S3 di AS, ataupun yang
menjadi wartawan dan peneliti lembaga studi. Kelompok ini semakin mengkristal,
mulai mempunyai homepage serta diskusi internet sendiri, dan membuat jaringan
dengan sejumlah koran dan radio.

Yang istimewa dari komunitas ini adalah pandangan Islamnya. Mereka mewakili pandangan
liberal. Konsep mereka baik tentang syariat Islam, Alquran, negara sekuler, Piagam Jakarta,
sebagaimana terbaca dalam diskusi internet, sangat berbeda dengan yang selama ini berkembang
dalam Islam yang mainstream.
Dari kepentingan politik demokrasi, komunitas Islam Liberal ini memberi harapan baru.
Komunitas ini seolah menjadi sintesa antara prinsip demokrasi dan agama Islam. Mereka
menginterpretasikan sejarah dan doktrin Islam sehingga dapat paralel dengan prinsip demokrasi
dan pluralisme kebudayaan modern.
Jika komunitas Islam Liberal ini terus berkembang berikut dengan platform Islam Liberalnya,
niscaya mereka dapat merubah apa yang sudah menjadi streotype dalam studi mengenai Islam
dan demokrasi. Islam selama ini dianggap halangan bagi demokrasi.
Tak ada contoh berdirinya negara demokrasi yang terkonsolidasi di negara yang mayoritasnya
muslim. Namun komunitas Islam liberal ini dapat menjadi embrio yang menyimpang dari apa
yang sudah menjadi stereotype.
Mengeksplorasi hubungan demokrasi dan agama secara umum, ada studi tentang empat agama :
Protestan, Katolik, Kong Hu Chu dan Islam, seperti yang dikerjakan Hungtington. Yang ingin ia
ungkapkan adalah kontribusi agama itu bagi demokrasi.
Hungtington cukup positif kepada agama. Sungguhpun dalam penggalan sejarah terbukti adanya
interprestasi agama yang menghalangi demokratisasi, namun ia membuka kemungkinan lahirnya
interprestasi baru dari kalangan agama.
Menurut Huntington, Protestan mewarnai gelombang demokrasi yang pertama, sejak tahun
1820-an sampai 1920-an. Negara yang menjadi demokratis masa itu umumnya didominasi oleh
pemeluk agama Protestan, mulai dari Amerika Utara sampai Eropa.
Ajaran protestan atas kesadaran dan otonomi individu, seperti akses individu untuk langsung
kontak dengan Sang pencipta bersifat compatible dengan paham kedaultaan individu dalam
sistem demokrasi. Gereja Protestanpun terstruktur secara demokratis dengan menekankan

partisipasi yang luas (supremacy of the congregation). Disamping itu, seperti yang ditulis Weber,
etika Protestan telah mendorong tumbuhnya kapitalisme dan kesejahteraan ekonomi.
Katolik mewarnai gelombang demokrasi ketiga, sejak tahun 1970-an sampai kini. Negara yang
menjadi demokratis di periode ini, mulai dari Portugal, Spanyol, Amerika Selatan dan Tengah,
Filipina, Polandia dan Hungaria, didominasi oleh para pemeluk Katolik.

Hubungan ajaran Katolik dan demokrasi sangatlah khusus. Sebelum tahun 1960-an, Katolik
dianggap anti demokrasi, terlebih lagi jika dibandingkan dengan Protestan. Namun terjadi
perubahan interpretasi agama yang mendasar sejak Pope John XXIII yang dikenal dengan
Konsili Vatican kedua, 1962-1965.
Vatican II ini menekankan perlunya para pendeta dan penganut terlibat secara sosial untuk
membantu kaum miskin. Termasuk pula para pendeta mengakui hak-hak individual dan menarik
legitimasi atas pemerintahan yang tak adil dan otoritarian. Interprestasi baru ini memberi
landasan kultural bagi demokratisasi secara sangat berart
Kong Hu Chu memiliki problem khusus dengan demokrasi. Berbagai negara makmur baru di
Asia seperti Korea Selatan, Taiwan, Tailand, Singapore dan China, yang didominasi oleh
penganut Kong Hu Chu, belum mengarah kepada demokrasi.
Ada beberapa elemen dari interprestasi Kong Hu Chu yang menjadi penyebab. Ia lebih
menekankan kepentingan kelompok ketimbang kedaulatan individu, otoritas ketimbang
kebebasan, dan kewajiban ketimbang hak.
Sedangkan Islam, secara konseptual, banyak mengajarkan prinsip yang begitu progresif baik
bagi demokrasi, keadilan ataupun kemajuan ekonomi. Prinsip seperti egalitarian, kedaulatan
individu, kesalehan, kerja keras dan semangat mencari ilmu, bertaburan di Kitab Sucinya.
Problem terjadi agaknya di tataran praktis. Lahirlah jarak yang lebar antara doktrin Islam dan
peradabannya. Akibatnya, di negara yang didominasi penganut Islam, mulai dari Timur Tengah
sampai Asia Tenggara dan Timur belum mencoba pengalaman berdemokrasi yang panjang dan
stabil.
Tapi selalu terbuka kemungkinan, para pembaharu agama Islam merespon interpretasi yang
selama ini memundurkan penganutnya, dan menggantikannya dengan interpretasi yang
compatible dengan demokrasi.
Hal ini tidaklah susah mengingat elemen dasar dari prinsip demokrasi seperti musyawarah,
saling kontrol dan paham konsultasi memang menjadi ajaran intinya. Komunitas Islam Liberal
diharap menjadi pioneer dari dukungan kultural kepada demokrasi yang diberikan melalui ajaran
Islam yang diinterpretaskan kembali.

Yang pertama-tama mesti dilakukan komunitas Islam Liberal adalah membuat blue print, yang
siap didakwahkan ke tengah masyarakat. Dalam blue print ini, dijelaskan bagaimana prinsip
demokrasi dan negara yang netral agama, mendapat dukungan bukan saja dari sejarah Islam,
namun juga dari doktrin Islam itu sendiri.
Komunitas Islam liberal ini dengan sendirinya mesti memiliki think-thank-nya sendiri yang kuat
dan berkomitmen. Sejarah nanti yang akan membuktikan, apakah komunitas Islam Liberal ini
akan membesar, atau mati di tengah jalan.

Anda mungkin juga menyukai