Anda di halaman 1dari 22

Problematika Hisab-Rukyah dalam Penetapan Awal Bulan

A.

PENDAHULUAN
Hampir setiap tahun umat Islam disibukkan dengan masalah Kapan
puasa, kapan lebaran, dan kapan idul adha, mengapa hampir selalu
berbeda, tidak hanya berbeda dengan Arab saudi sebagai negara lain,
tetapi juga berbeda dengan sesama saudara muslim di dalam negeri,
Indonesia. Pada dasarnya perbedaan dalam berhari raya atau hari raya
kembar bukan hanya menjadi fenomena di Indonesia saja, namun juga
menjadi fenemonena kebanyakan negara di dunia.
Penentuan awal bulan terutama Ramadhan dan Syawwal sampai saat
ini memang masih banyak cara yang dianut, sehingga wajar jika sering
terjadi perbedaan. Kuantitas madzhab dalam wacana hisab dan rukyah di
Indonesia lebih banyak dibanding dengan kuantitas madzhab yang
berkembang di masa fuqoha (masa awal-awal Islam) terdahulu. Adanya
perbedaan ini dasar muaranya sama, yaitu perbedaan pemahaman
terhadap dalil-dalil tentang hisab dan rukyah. Salah satu yang menjadi
penyebabnya adalah karena adanya sentuhan Islam sebagai great
traditional dan budaya lokal atau little traditional yang sering
menimbulkan corak budaya tersendiri yang terkadang di luar dugaan.
Perbedaan dalam menentukan awal Ramadhan dan hari raya di
Indonesia sangatlah beragam. Sehingga ini berimbas pada tidak samanya
suatu golongan dengan golongan lain dalam menentukan awal Ramadhan
dan hari raya. Fenomena ini membuat banyak orang sibuk mendiskusikan
ide-ide untuk menyatukan umat Islam terutama dalam hal puasa
Ramadhan dan hari raya.

Oleh karenanya, tinjauan fiqih dan ilmu pengetahuan, termasuk


dalam hal ini ilmu astronomi, perlu dimunculkan, dikaji, dan ditemukan
titik kesepakatan, yang tidak melenceng dari maqasidus syariah-nya
tentang pergantian bulan.

B.

PENGERTIAN HISAB-RUKYAH
Hisab secara harfiyah bermakana perhitungan. Di dunia Islam istilah
hisab

sering

digunakan

dalam

ilmu

falak

(astronomi)

untuk

memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Ilmu hisab


(falak) 1[1] adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari lintasan bendabenda langit seperti matahari, bulan, bintang, dan benda-benda langit
lainnya, dengan tujuan untuk mengetahui posisi dari benda-benda langit
itu serta kedudukannya dari benda-benda langit yang lain.
Sedangkan rukyah2[2] secara harfiah berarti melihat. Arti yang paling
umum adalah melihat dengan mata kepala. Yang dimaksud di sini adalah
ruyah al-hilal, yakni melihat atau mengamati hilal pada saat matahari
terbenam menjelang awal bulan qomariyyah dengan mata atau teleskop.
Dalam astronomi dikenal dengan observasi. Dengan demikian, rukyah
adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit
untuk pertama kalinya setelah ijtima (konjungsi), yaitu saat matahari,
bulan, dan bumi berada dalam posisi sebidang.
Aktivitas rukyah dilaksanakan pada saat menjelang terbenamnya
matahari pertama kali setelah ijtima3[3] atau tanggal 29 pada bulanbulan qomariyah. Jika hilal berhasil di ruyah (dilihat), maka pada petang
maghrib waktu setempat telah memasuki tanggal satu atau bulan baru,
1
2
3

namun jika tidak terlihat, maka malam itu dan keesokan harinya masih
merupakan bagian dari penanggalan bulan yang sedang berlangsung,
atau bulan itu genap berjumlah 30 hari.
Hisab dan rukyah pada dasarnya adalah dua sistem perhitungan
dalam Islam untuk menetapkan berbagai momentum. Keduanya berjalan
bersama, hampir tidak dapat dipisahkan, karena keduanya bersifat saling
membantu, saling melengkapi, saling menutupi kekurangan satu sama
lain, sehingga keduanya sama-sama dapat digunakan untuk penentuan
awal bulan karena hisab dan rukyah dapat saling membantu (simbiosis
mutualis). Umat Islam menggunakan hisab untuk menghitung kapan
terjadinya konjungsi dan kapan hilal dapat dilihat, kemudian mereka
melakukan rukyah untuk melihat bulan dan membuktikan, atau sebagai
koreksi apakah saat itu hilal telah benar-benar nampak, untuk kemudian
dapat disimpulkan kapan dimualainya bulan baru.
Hisab dan rukyah terkesan terjadi perbedaan dikarenakan perbedaan
sistem perhitungan hisab dan atau perbedaan kriteria visibilitas hilal
dapat terlihat. Hal ini mengesankan praktik keduanya terkadang tidak
sejalan atau tidak bertepatan satu sama lain dalam persoalan penentuan
awal bulan yang menyangkut ibadah.
C.
1.

Historitas Hisab Ruyah


Dalam lintasan Sejarah Dunia
Penemu pertama ilmu hisab-rukyah atau astronomi adalah Nabi Idris. 4
[4] Nampak bahwa wacana persoalan hisab-rukyah sudah ada sejak itu
atau bahkan sebelum itu.5[5] Karena suatu temuan baru biasanya
merupakan suatu respon atau tanggapan dari suatu persoalan yang
muncul dari suatu masyarakat. Sehingga kemunculan fiqih hisab rukyah,
4
5

kiranya dapat

diyakini kalau muncul sebelum temuan ilmu falak itu

sendiri.6[6]
Dalam khazanah intelektual Islam klasik, ilmu falak merupakan salah
satu ciri kemajuan peradaban Islam. Dr. Yahya Syami memetakkan sejarah
perkembangan ilmu falak menjadi dua fase. Yaitu fase pra Islam (Mesir
kuno, Mesopotamia, Cina, India, Perancis, dan Yunani) dan fase Islam.7[7]
Secara formal, wacana hisab-rukyah baru nampak ketika adanya
penetapan hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah sebagai pondasi dasar
kalender hijriyyah yang dilakukan oleh sahabat Umar bin Khattab
tepatnya pada tahun ke tujuh belas hijriyyah, dan Muharram sebagai
permulaan bulannya. Ilmu hisab-rukyah juga digunakan untuk penentuan
awal waktu shalat, penentuan awal bulan, gerhana dan penentuan arah
kiblat.
Perhatian dunia Islam terhadap ilmu falak atau astronomi pada
khususnya, serta ilmu pengetahuan pada umumnya sangat nampak
terutama

pada

masa

daulah

Abbasiyyah.

Misalnya

adanya

upaya

penerjemahan karya-karya monumental dari bangsa luar ke dalam bahasa


arab.
Pada saat itu karya-karya tersebut tidak hanya diterjemahkan, tetapi
ditindak lanjuti melalui penelitian-penelitian berkelanjutan dan akhirnya
menghasilkan

teori-teori

baru.

Bukan

hanya

menghasilkan

karya,

ilmuwan-ilmuwan muslim juga menghasilkan teori yang kemudian teori itu


dipakai hingga kini. Seperti Al-Biruni yang mengkritik tajam terhadap teori
geosentris dengan asumsi tidak masuk akal karena langit yang begitu
besar dan luas dengan bintang-bintangnya dinyatakan mengelilingi bumi
sebagai pusat tata surya. Dari temuan ini dapat diambil kesimpulan
6
7

bahwa al-Biruni-lah peletak dasar teori heliosentris. Ada pula Abu Ali
Hasan al-Haytami dengan bukunya Kitab al-Manadzir yang diterjemahkan
dengan nama Optics yang merupakan temuan baru tentang refraksi (sinar
bias). Dan lain-lain.
2.

Dalam Lintasan Sejarah Indonesia


Sejarah mencatat bahwa sebelum kedatangan Islam di Indonesia
telah tumbuh perhitungan tahun yang ditempuh menurut kalender Jawa
Hindu atau tahun soko yang dimulai pada hari sabtu, 14 Maret 78 Masehi,
yakni tahun penobatan Prabu Syaliwohono (Aji soko). Namun sejak tahun
1043 H/1633 M/1555 soko, tahun soko diasimilasikan dengan hijriyyah.
Semula tahun soko berdasarkan peredaran matahari, oleh Sultan Agung
diubah menjadi tahun hijriyyah yang berdasarkan peredaran bulan,
sedangkan tahunnya tetap meneruskan tahun soko tersebut.8[8]
Setelah Indonesia merdeka, dan terbentuknya Departemen Agama
pada tanggal 3 januari 1946, persoalan-persoalan yang berkaitan dengan
hari libur (seperti penetapan 1 Muharram, 1 Ramadhan, 1 Shawwal, dan
10 Dzulhujjah dsb) diserahkan kepada Departemen agama berdasarkan
penetapan Pemerintah tahun 1946 No. 2/Um 7/Um 9/Um jo Keputusan
Presiden No 25 tahun 1967, No. 148 tahun 1968 dan No 10 tahun 1971. 9
[9]
Meskipun penetapan hari libur diserahkan kepada Departemen
Agama, namun pada wilayah etis-praktis sampai saat ini belum seragam,
terutama

dalam

menentukann

Ramadhan,

Syawwal,

dan

10

Dzulhijjah. Memperhatikan fenomena semacam itu akhirnya pemerintah


(dalam hal ini Departemen Agama) berusaha untuk mempertemukan pola
8
9

pikir yang berkembang dalam masyarakat melalui musyawarah dan


konperensi untuk membicarakan hal-hal yang dianggap menimbulkan
pertentangan

dalam

menetapkan

hari-hari

besar

Islam

terutama

penetapan awal Ramadhan, Idul fitri, dan Idul adha. Dalam musyawarah
ini perbedaan yang muncul dapat dinetralisir dan musyawarah mendesak
kepada Menteri Agama untuk membentuk lembaga Hisab dan Rukyat.
Kehadiran badan hisab dan rukyat sesungguhnya untuk menjaga
persatuan dan ukhuwah Islamiyyah khususnya dalam pelaksanaan
peribadatan. Namun dalam wilayah etis praktis belum bisa terwujud.
Perbedaan itu bukan hanya tarik menarik antara kalangan ahli hisab dan
rukyat, tetapi problem intern ahli hisab dan rukyat sangat mempengaruhi
pula munculnya perbedaan dalam penetapan awal bulan qomariyyah.
Karena selama ini kajian hisab lebih bercorak praktis (practikal guidance)
dan kian melupakan wilayah teoritis filosofis.
D.

Problematika Penetapan Awal Bulan Qomariyyah.


Penetapan bulan qomariyyah merupakan salah satu lahan ilmu hisabruyah yang kerap diperdebatkan dibanding dengan lahan-lahan lain
seperti penentuan arah kiblat atau penentuan awal waktu shalat dan
gerhana. Persoalan penetapan awal bulan qomariyyah ini merupakan
persoalan klasik yang senantiasa aktual. Klasik, karena persoalan ini
semenjak awal-awal Islam sudah mendapat perhatian dan pemikiran yang
serius dari para fuqaha dan melahirkan beberapa pendapat. Dikatakan
aktual karena persoalan ini selalu mengundang polemik berkaitan dengan
pengaplikasian pendapat-pendapat tersebut.
Sebenarnya, sumber pijakan dalam menentukan awal bulan adalah
nash-nash al-Quran dan hadis hisab rukyah. Di mana dari dzahir hadis-

hadis tersebut, para ulama berbeda pendapat dalam memahaminya


sehingga melahirkan perbedaan pendapat. Sehingga akar dari lahirnya
aliran dan madzhab dalam penetapan awal bulan qomariyyah adalah
perbedaan pemahaman terhadap hadis-hadis hisab rukyat.
Berawal dari perbedaan itu, secara garis besar lahir dua madzhab
besar.10[10] Yakni madzhab hisab dan madzhab ruyah. Dalam madzhab
ruyah, penentuan awal dan ahir bulan ramadhan ditetapkan berdasarkan
rukyah atau melihat hilal yang dilakukan pada hari ke 29. Apabila rukyah
tidak berhasil dilihat, baik karena hilal belum bisa dilihat atau karena
mendung (adanya gangguan cuaca),

maka penetapan awal bulan

berdasarkan istikmal (penyempurnaan bilangan bulan menjadi 30 hari),


hal itu berdasarkan pada hadis dalam kata

faqduru lahu (maka

kadarkanlah). Sehingga menurut madzhab ini term rukyah dalam hadishadis hisab rukyah adalah bersifat taabudi ghair maqul al-mana. Artinya
tidak dapat dirasionalkan pengertiannya. Dengan demikian rukyah hanya
diartikan sebatas melihat.
Sedangkan dalam madzhab Hisab, term hisab rukyah yang ada dalam
hadis-hadis hisab rukyah berdasarkan perhitungan falaki dan dinilai
bersifat taaqquli maqul al-mana yakni dapat dirasionalkan, diperluas,
dan dikembangkan. Begitu pula ketika dalam keadaan hilal tidak dapat
dirukyah karena mendung atau gangguan cuaca lainnya, fokus hadis
dalam

kata

diterjemahkan

faqdaruhu
sebagai

lahu
fa

(maka

udduhu

bil

kadarkanlah),
hisab

menurut

(hitunglah

hisab

bulan

itu

berdasarkan hisab).11[11] Sehingga dalam madzhab ini bulan baru


10
11

diartikan atau diketahui sekalipun bersifat dzanni (dugaan) tentang


adanya hilal. Kendatipun hilal berdasarkan hisab falaki tidak mungkin
terlihat.
Berakar dari dua mazhab besar tersebut lahir perbedaan dalam
penetapan awal dan akhir bulan qomariyyah. Hal ini karena keduanya
(baik

madzhab

sempurna

hisab

naupun

kebenarannya,

madzhab

masing-masing

rukyah)

sama-sama

memiliki

kelebihan

tidak
dan

kekurangan. Sehingga --menurut mantan Mentri Agama RI, Mukti Alijika


rukyahnya tepat dan hisabnya betul, pasti akan ditemukan sasarannya
secara jelas, yakni hilal.
Perbedaan hasil penentuan awal bulan qomariyyah bukan hanya
antara madzhab hisab dan madzhab rukyah saja. Sesama praktisi yang
menggunakan cara rukyah pun mendapatkan hasil yang berbeda-beda,
demikian pula dalam perhitungan falak (madzhab hisab), hal itu karena
metode yang digunakan berbeda-beda, penyebab lainnya adalah dari cara
maupun tolak ukur penilaian terhadap keabsahan hasilnya. Sehingga
terjadinya perbedaan secara intern tidak dapat dielakkan.
Perbedaan intern madzhab rukyah antara lain disebabkan persoalan
mathla12[12] maupun persoalan rukyah bil fili dengan menggunakan alat
(nazhzharah). Misalnya tentang cara rukyah dengan mata telanjang atau
menggunakan alat bantu optik seperti teleskop, pemantulan melalui
permukaan kaca atau air, dan sebagainya. Para ulama berbeda pendapat
mengenai boleh-tidaknya rukyah menggunakan alat bantu optik. Saat ini,
sebagian kecil berpendapat rukyah tidak dapat menggunakan alat bantu
optik, dan kebanyakan ulama menegaskan bahwa penggunaan alat bantu
12

optik dapat digunakan, karena alat bantu tersebut merupakan penolong,


sedangkan

yang

melakukan

penilaian terhadap

hilal adalah

mata

perukyah sendiri.
Sedangkan penyebab terjadinya perbedaan dikalangaan madzhab
hisab antara lain karena adanya cara perhitungan yang bermacammacam, antara metode yang digunakan, dan sistem hisab yang dianut.
Hal tersebut dapat menghasilkan hasil yang berbeda.
Pola pemikiran hisab dan rukyah telah sedemikian

kokoh

dengan

dukungan dalil-dalil fiqih yang memperkuatnya. Penganut metode rukyah sulit untuk
menerima hisab sebagai penggantinya. Sebaliknya, penganut metode hisab juga sulit
menerima rukyah sebagai penentu karena hisab dianggap telah mencukupi dan lebih praktis.
Dan ternyata dalam tataran realitisnya, masing-masing organisasi kemasyarakatan di
Indonesia saling mengeluarkan keputusan tersendiri.13[13]
Terlepas dari itu semua, penyebab utama perbedaan itu adalah
adanya perbedaan kriteria tentang hilal dapat di rukyah. Yakni 2, 6, 8
bahkan 12 atau lebih. Ormas NU maupun ormas yang beraliran madzhab
rukyah sebenarnya memiliki kriteria di atas 4, dan Muhammadiyah yang
lebih dikenal dengan aliran hisab lebih cenderung menggunakan wujudul
hilal, yakni hilal telah wujud. 14[14] Maksudnya tempat-tempat yang
mengalami terbenamnya matahari dan bulan secara bersamaan, jika
tempat-tempat tersebut dihubungkan, maka akan terbentuk sebuah garis
yang disebut wujud al-hilal. Dengan demikian maka kriteria itu bisa jadi
kurang dari 2. Hal itu menyebabkan hilal tidak dapat dirukyat.
Dengan demikian, perbedaan antara hisab dan rukyat
merupakan

satu-satunya

penyebab.

Karena

dalam

banyak

tidak
kasus

perbedaan terjadi karena laporan rukyat dari seluruh wilayah Indonesia


13
14

termasuk

Banda

Aceh,

daerah

yang

mempunyai

ketinggian

hilal

maksimum menyatakan hilal tidak dapat terlihat.15[15]


Maka dari itu, dengan tujuan sebagai jalan tengah, dibentuk
imkanurukyah MABIMS. Yakni adanya batas imkanurrukyah 2 derajat yang
lebih awal diputuskan oleh komite Penyelarasan Rukyah dan Taqwim Islam
MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura)
fenomena yang unik Mazhab Imkanurrukyah ini merupakan mazhab
tawaran Pemerintah dalam rangka menyatukan perbedaan pemikiran
dalam hisab rukyah di Indonesia (dalam hal ini penetapan awal bulan
Ramadan, Syawal, dan Dulhijjah). Di mana dengan tawaran kekuasaan
isbat diserahkan penuh kepada Pemerintah atas dasar Hukmul al-hakim
ilzamun wa yarfa al-khilaf

(keputusan hakim /pemerintah itu mengikat

dan menyelesaikan perbedaan pendapat),16[16] dengan harapan dapat


tercapai kesatuan beribadah. Namun dalam dataran realitasnya terdapat
fenomena yang menarik bahwa walau sudah disepakati adanya batasan
minimal imkanur rukyah, namun ternyata belum disepakati tentang boleh
dan tidaknya penetapan awal bulan dengan berdasarkan pada imkanur
rukyah.17[17] Untuk itulah, meskipun banyak ormas yang manut dan
menyesuaikan kreteria mereka, namun masih ada sebagian ormas yang
E.
1.
a.

masih menggunakan kriteria ormasnya.


Penentuan Awal Bulan.
Beberapa Kriteria Acuan Penentuan Awal Bulan.
Ruyatul Hilal (Bil Fili)
Kriteria dari rukyatul hilal ini berbeda-beda, Namun menurut kriteria
danjon jarak sudut bulan matahari (busur cahaya) sebesar 7 derajat

15
16
17

merupakan batas bawah hilal dapat teramati oleh mata tanpa alat
bantu.18[18] Yang berpegangan rukyatul hilal ini berdasarkan Hadits
Rasulullah SAW yang menyatakan "Berpuasalah kamu karena melihat
hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka
genapkanlah (istikmal)".19[19]
b. Wujudul Hilal (Ijtima Qabla Ghurub).
Adalah terjadinya konjungsi (ijtimak)

sebelum

tenggelamnya

matahari. Kriteria wujudul hilal adalah jika pada tanggal 29 dalam


penanggalan

hijriyah

atau

hari

terjadinya

ijtima/konjungsi

telah

memenuhi dua kondisi, yaitu (1) konjungsi telah terjadi sebelum matahari
terbenam, (2) Bulan tenggelam setelah matahari, maka keesokan harinya
telah dinyatakan sebagai awal bulan hijriyah.20[20]
c. Imkanur Ruyah MABIMS.
Taqwim Standard Empat Negara Asean, yang ditetapkan berdasarkan
Musyawarah

Menteri-menteri

Agama

Brunei

Darussalam, Indonesia,

Malaysia, dan Singapura (MABIMS) merumuskan kriteria yang disebut


"imkanur rukyah" dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan
Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah yang menyatakan : "Hilal
dianggap terlihat dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah
berikutnya apabila memenuhi salah satu syarat-syarat berikut: (1) Ketika
matahari terbenam, ketinggian bulan di atas horison tidak kurang
daripada 2 dan jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak
kurang daripada 3. Atau (2) Ketika bulan terbenam, umur bulan tidak
kurang daripada 8 jam selepas ijtimak/konjungsi berlaku. Kriteria yang
diharapkan sebagai pemersatu terhadap perbedaan kriteria yang ada
18
19
20

nampaknya belum memenuhi harapan sebab beberapa ormas memang


menerima, namun ormas yang lain menolak dengan alasan prinsip.
d. Rukyat Global (Matla al-Badar)
Kriteria ini dipakai oleh sebagian muslim di Indonesia melalui
organisasi-organisasi tertentu yang mengambil jalan pintas merujuk
kepada negara Arab Saudi atau terlihatnya hilal di negara lain dalam
penentuan awal bulan Hijriyah. Penganut kriteria ini berdasarkan pada
hadits yang menyatakan, jika satu penduduk negeri melihat bulan,
hendaklah mereka semua berpuasa meski yang lain mungkin belum
melihatnya.21[21]
2.
1)

Sistem Hisab yang digunakan dalam Penetapan Awal Bulan.


Hisab Urfi.22[22]
Hisab urfi adalah hisab yang melandasi perhitungannya dengan
kaidah-kaidah

sederhana.

Atau

sistem

perhitungan

kalender

yang

didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan


ditetapkan secara konvensional. Pada sistem hisab ini perhitungan bulan
qomariyyah ditentukan berdasarkan umur bulan sehingga dalam setahun
qomariyah umur dibuat bervariasi antara 29 dan 30 hari.
Sebagian kalangan menyatakan bahwa Hisab urfi sama dengan hisab
istilahi, kalangan ini menyatakan bahwa hisab urfi lebih identik dengan
penanggalan jawa yang memiliki siklus 8 tahun-an, sedangkan hisab
istilahi lebih identik dengan penanggalan hijriyyah kuno yang memiliki
siklus 30 tahun-an. Namun sebagian kalangan yang lain menyatakan
bahwa hisab urfi tidak-lah sama dengan hisab istilahi, kalangan ini
berpendapat bahwa perhitungan dengan sistem sederhana seperti ini
dinamakan hisab urfi.
21
22

Sistem hisab ini dimulai sejak ditetapkan oleh khalifah Umar bin
Khattab ra (17 M). Sistem hisab ini tak ubahnya seperti kalender
syamsiyyah, bilangan hari pada tiap-tiap bulan berjumlah tetap kecuali
bulan tertentu pada tahun-tahun tertentu jumlahnya lebih panjang satu
hari.
Bulan bernomor ganjil, berjumlah 30 hari. Adapun bulan bernomor
genap berumur 29 hari. Tetapi khusus pada bulan Dzulhijjah pada tahun
kabisat qomariyyah berumur 30 hari, sedangkan pada tahun bashitah
qomariyyah berumur 29 hari.
Dalam metode hisab Urfi, tahun qomariyyah memiliki siklus 30 tahun.
Di mana di dalamnya terdapat 11 tahun yang dinamakan tahun kabisat
(panjang), ia memiliki 355 hari. Dan memiliki 19 tahun yang dinamakan
tahun bashitah (pendek), ia memiliki 354 hari. Tahun kabisat terdapat
pada tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, dan 29 dari keseluruhan
siklus tahun kabisat selama 30 tahun.
Dengan demikian, kalau diambil rata-rata maka periode umur bulan
menurut hisab urfi adalah (1 x 355) + (19 x 359) : (12 X 30) = 29 hari 12
jam 44 menit. Sedangkan periode umur bulan menurrut perhitungan
astronommis adalah 29 hari 12 jam 44 menit 2,88 detik. Dengan demikian
perhitungan menggunakan hisab urfi dapat dikatakan sudah cukup teliti.
Yang menjadi persoalan adalah aturan 29 dan 30 serta aturan
perhitunggan ini tidak menunjukkan posisi bulan yang sebenarnya,
melainkan hanya pendekatan. Oleh karenanya, hisab ini tidak dapat
dijadikan acuan untuk penentuan awal bulan yang berkaitan dengan
ibadah. Misalnya Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah. Karena menurut
sistem ini umur bulan syaban dan ramadhan adalah tetap. Yaitu 29 hari
untuk bulan syabah, dan 30 hari untuk bulan ramadhan.

Hisab urfi tidak hanya di pakai di Indonesia, tetapi juga di seluruh


dunia Islam pada masa yang sangat panjang. Dengan berkembangnya
ilmu pengetahuan terbukti bahwa sistem ini kurang akurat digunakan
untuk

keperluan

ibadah.23[23]

Penyebabnya

karena

perata-rataan

peredaran bulan tidaklah tepat sesuai dengan penampilan bulan (new


moon) pada awal bulan.
2)

Hisab Haqiqi.
Adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi
sebenarnya.24[24] Menurut sistem ini umur bulan tipa bulan tidaklah
konstan dan tidak beraturan, melainkan tergantung posisi hilal setiap awal
bulan. Dengan demikian bisa jadi dalam dua bulan berturut-turut umurnya
29 hari, atau 30 hari, atau kadang-kadang bergantian seperti dalam hisab
urfi. Sistem ini mempergunakan data-data astronomis dan gerakan bulanbumi serta menggunakan kaidah-kaidah ilmu ukur segi tiga bola
(spherical Trigonometri).
Hisab haqiqi dianggap lebih sesuai dengan yang dimaksud oleh
syara, karena hisab ini memperhitungkan kapan hilal akan muncul atau
wujud, sehingga hisab inilah yang dipakai untuk menentukan awal bulan
yang berkaitan dengan pelaksanaa ibadah.
Ada beberapa metode untuk menentukan ijtima (konjungsi) dan
posisi hilal pada awal bulan. Serta terdapat beberapa aliran ijtima 25[25]
dalam menetapkan awal bulan. Beberapa metode itu adalah sebagai
berikut:26[26]

1)

Metode Hisab haqiqi taqribi

23
24
25
26

Hisab

ini

dilakukan

dengan

cara

penambahan,

pengurangan,

parkalian, dan pembagian tanpa menggunakan ilmu ukur segitiga bola


(spherical trigonometry).27[27]
2)

Metode Hisab Haqiqi Tahqiqi.


Inti dari sistem ini adalah menghitung atau menentukan posisi
matahari, bulan, dan titik simpul orbit bulan dengan matahari dengan
sistem koordinator ekliptika. Artinya sistem ini menggunakan tabel-tabel
yang sudah dikoreksi dan perhitungan yang relatif lebih rumit dari pada
kelompok hisab haqiqi taqribi serta memakai ilmu ukur segitiga bola.

3)

Metode Hisab Haqiqi Kontemporer.


Metode ini menggunakan hasil penelitian terakhir dan menggunakan
matematika yang telah dikembangkan. Metode ini sistem koreksinya lebih
teliti dan kompleks sesuai dengan kemajuan sains dan tegnologi, rumus-

1)

rumus lebih disederhanakan, sehingga untuk menghitungnya

dapat

menggunakan kalkulator ataupun komputer.


Sedangkan beberapa aliran dalam

bulan

menetapkan

awal

qomariyyah dengan menggunakan hisab haqiqi, ada 2 aliran, yaitu:


Aliran Ijtima Semata
Aliran ini menetapkan awal bulan qomariyyah mulai masuk ketika
terjadi ijtima (konjungsi). Aliran ini mengemukakan adagium Ijtimau anNayyiraini asbatu bayna asy-Syahraini maksudnya bertemunya dua
benda yang bersinar (matahari dan bulan) merupakan pemisah diantara
dua

bulan.

Kriteria

awal

bulan

yang

ditentukan

aliran

ini

tidak

mempermasalahkan hilal dapat dilihat atau tidak, sehingga aliran ini tidak
harus memperhatikan rukyat. Jadi menurut aliran ini, ijtima merupakan
pemisah antara dua bulan qomariyyah yang berurutan. Waktu yang
berlangsung sebelum terjadinya ijtima termasuk bulan sebelumnya, dan
27

waktu yang berlangsung sesudah ijtima termasuk bulan baru. Aliran


ijtima semata ini terbagi dalam sub-sub aliran yang lebih kecil lagi.
Pertama, Ijtima Qabla al-ghurub, kedua, Ijtima qabla fajr, ketiga, ijtima
dan terbit matahari, keempat, ijtima dan tengah hari, kelima, ijtima dan
tengah malam.
2)

Ijtima dan Posisi Hilal di Atas Ufuk


Penganut aliran ini mengatakan bahwa awal bulan qomariyyah
dimulai sejak saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima dan hilal pada
saat itu sudah berada diatas ufuk. 28[28] Dalam aliran ini, kriteria yang
dijadikan dasar dalam menetapkan awal bulan adalah: Pertama, awal
bulan dimulai sejak saat terbenam matahari hingga terjadi ijtima. Kedua,
hilal sudah berada di atas ufuk pada saat terjadi ijtima. Pada dasarnya
aliran ini hampir sama dengan aliran ijtima qabla ghurub. Perbedaannya
adalah, dalam aliran ini memperhatikan kedudukan hilal di atas ufuk pada
saat terbenamnya matahari, sedangkan aliran ijtima qabla ghurub tidak.
Aliran ini terbagi menjadi empat cabang.29[29] Masing-masing
memberikan interprestasi yang berbeda terhadap kriteria posisi hilal di
atas ufuk.30[30] Empat cabang aliran ini adalah: Pertama, Golongan yang
berpedoman pada posisi hilal di atas ufuk hakiki. Menurut golongan ini
untuk masuknya awal bulan, posisi hilal harus sudah berada di atas ufuk
hakiki. Kedua, Golongan yang berpedoman pada posisi hilal berada di atas
ufuk Hissi. Golongan ini berpendapat, jika pada saat matahari terbenam
setelah terjadi ijtima, hilal sudah berada di atas ufuk hissi, maka malam
itu sudah masuk bulan baru. Ketiga, Golongan yang berpedoman pada
28
29
30

posisi hilal di atas ufuk mari. Sistem ini memperhitungkan posisi hilal
pada saat matahari terbenam setelah terjadi ijtima. Setelah diperoleh
nilai ketinggian hilal dari ufuk hakiki, kemudian ditambahkan koreksikoreksi

terhadap

nilai

ketinggian

itu.

Keempat,

golongan

yang

berpedoman pada posisi hilal yang memungkinkan untuk dirukyat.


Golongan ini mengemukakan bahwa pada saat matahari terbenam seteah
terjadi ijtima hilal harus mempunyai posisi sedemikian rupa, sehingga
memungkinkan untuk dapat dirukyat. Sehingga awal bulan dihitung sesuai
dengan penampakan hilal sebenarnya (actual sighting) dan yang menjadi
acuan adalah kriteria visibilitas hilal untuk dapat dirukyat. 31[31] Metode
inilah yang relatif lebih mudah untuk dijadikan pedoman penyusunan
kalender islam, dan paling banyak dipakai dalam menentukan awal bulan.
F.

TAWARAN PENYATUAN DALAM PENETAPAN AWAL BULAN


Pada dasarnya hisab dan rukyah yang dijadikan proses dalam menentukan awal bulan
itu, merupakan dua hal yang saling menguatkan satu sama lain, keduanya dapat saling
membantu (simbiosis mutualisme), dan selama ini lebih banyak persamaannya dari pada
perbedaannya. Namun jika terjadi perbedaan, maka akan mudah membuat umat menjadi
bingung, bahkan timbul keresahan dan pertentangan yang mengancam ukhuah islamiyyah.
Karenanya, menurut penulis, perlu diadakan penyatuan, setidaknya dengan dua tahap.
pertama, penyatuan teoritistis, dan kedua, penyatuan dalam teknis penetapan awal bulan.
Pertama, penyatuan teoristis. Sebaiknya dibentuk sebuah wadah yang menghimpun
para ahli, baik ahli hisab, rukyah, fiqih, astronomi, dan ahli-ahli terkait lainnya bersama
dengan ormas-ormas yang ada di Indonesia yang secara terus menerus melakukan koordinasi
dan peningkatan kualitas, sehingga pada akhirnya terjadi keseragaman sistem dan paham
yang dapat menyatukan umat dalam menetapkan awal bulan. Minimal awal bulan Ramadhan,

31

Syawwal, dan Dzulhijjah. dan akan lebih baik jika dapat menyentuh penyatuan dalam
pembuatan kalender hijriyyah secara lebih global.
Pada dasarnya, penyebab utama perbedaan dalam penetapan awal
bulan adalah adanya perbedaan kriteria tentang hilal dapat di rukyah.
Yakni 2, 6, 8 bahkan 12 atau lebih. Ormas NU maupun ormas yang
beraliran madzhab rukyah sebenarnya memiliki kriteria di atas 4, dan
Muhammadiyah yang lebih dikenal dengan aliran hisab saat ini lebih
cenderung

menggunakan

wujudul

hilal.

Sistem

wujudul

hilal

ini

menjadikan kriteria itu bisa jadi kurang dari 2, padahal kriteria kurang
dari 2 menyebabkan hilal tidak dapat dirukyah meskipun dengan
menggunakan alat bantu optik sekalipun. Praktis hal ini membuat aliran
ini tidak pernah bertemu paham dengan aliran rukyah yang mensyaratkan
masuknya bulan adalah hilal dapat dirukyah.
Namun, kenyataan bahwa Muhammadiyah dan Persis sebagai madzhab hisab bergantiganti kriteria, menunjukkan bahwa ijtihad terus berjalan untuk memaknai hilal. Sementara itu
NU pun telah berijtihad dalam memaknai hilal yang sesungguhnya dengan mengizinkan
hisab mengontrol hasil rukyah yang mungkin terkecoh oleh objek terang bukan hilal. Hal ini
membuka peluang lebar untuk saling berdiskusi dalam menyatukan persepsi dalam
menentukan awal bulan, sehingga tidak ada lagi fenomena hari raya kembar dan sejenisnya,
dan persatuan penetapan awal bulan dapat terealisasi.
Secara
astronomis
pengertian
rukyatul
ain,
kriteria

bil

ilmi,

atau

visibilitas

hilal.

bi
Kriteria

qalbi,

sama

bersama

hilal
saja,

antara

hisab

bil

yaitu
dan

fiili,
merujuk
rukyat

bil
pada
tersebut

dapat ditentukan dari analisis semua data rukyatul hilal dan dikaji dengan data hisab. 32[32]
Dari analisis itu dapat diketahui syarat-syarat rukyatul hilal, berupa kriteria hisab-rukyat.
Kriteria itu dapat dijadikan sebagai pedoman bagi para perukyat bil fili/bil ain (secara fisik
32

dengan

mata)

untuk

menolak

kesaksian yang mungkin terkecoh oleh objek terang bukan

hilal. Kriteria itu

juga dapat dijadikan sebagai pedoman bagi para ahli hisab yang melakukan rukyat bil ilmi/bi
qalbi

(dengan

ilmu

atau

dengan

hati)

untuk

menentukan

masuknya awal bulan. Hal itu dikerenakan iptek harus sesuai syariat.
Untuk itulah menurut penulis, diadakan semacam --meminjam istilah jual beli-- khiyar
atau negosiasi, yaitu Muhammadiyyah dan ormas lain sebagai madzhab hisab menaikkan
kriteria, yang semula wujudul hilal atau dengan ketinggian hilal kurang dari 2 derajat,
dinaikkan menjadi 2, atau wujudul hilal plus. Sedangkan NU dan ormas lain sebagai
madzhab ruyah menurunkan kriteria derajatnya menjadi 2. Karena dengan visibilitas hilal
2, maka hilal telah dapat diruyah walaupun dengan alat bantu, sedangkan jika visibilitas
hilal kurang dari 2, sangat mustahil hilal dapat diruyah.
Kemudian jika dalam hisab hilal telah mencapai 2, tetapi di lapangan terjadi mendung,
yang mengakibatkan hilal tidak dapat diruyah, maka solusinya dengan menggunakan
mathla negara tetangga, seperti malaysia atau langsung dipastikan awal bulan sesuai hasil
hisab 2. Hal itu dengan tujuan agar kita tidak merasa kecolongan yang memungkinkan kita
terlambat dalam memasuki awal bulan.33[33]
Kedua, penyatuan dalam teknis penetapan awal bulan. Setelah ditemukan kesepakatan
tentang metode, kriteria visibilitas hilal, sehingga dapat ditetapkan masuknya awal bulan,
maka secara teknis penetapan awal bulan, terutama bulan Ramadhan dan Syawwal serta Idul
Adha dilakukan oleh pemerintah dengan tegas.
Sebenarnya selama ini pemerintah RI cq Kementrian Agama telah berusaha untuk
menyatukan perbedaan penetapan awal bulan dengan mengakomodir semua prinsip yang ada,
diantaranya dengan selalu mengajak ormas-ormas, para ahli hisab, astronomi, dari berbagai
lembaga dan instansi untuk memusyawarahkan adanya kesatuan penentuan awal bulan
khususnya Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah dengan mengajak sidang isbat bersama

33

dalam menetapkan awal bulan. Upaya penyatuan pemerintah dengan prinsip Imkanurrukyah
dengan format hak isbat hanya ada pada pemerintah merupakan upaya yang akomodatif.
Konsep yang demikian bagus ini sebaiknya terus dilanjutkan dengan selalu
mengadakan evaluasi. Kemudiaan, ada baiknya jika setelah sidang isbat dan pemerintah telah
menetapkan awal bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah maka keputusan itu mengikat
dan harus dipatuhi serta menyelesaikan perbedaan pendapat. Sehingga seluruh komponen
masyarakat dan ormas harus mematuhinya, tanpa terkecuali.
Jika tidak mematuhi dan berbeda dalam menyikapi awal bulan yang mengakibatkan
tidak samanya dalam berhari raya, maka ia tidak boleh melakukan shalat ied dan merayakan
hari raya secara terang-terangan. Karena hari raya hanya satu, tidak kembar, yakni hari raya
yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Karena kemungkinan upaya penyatuan nampaknya dapat dilakukan apabila semua
pihak (terutama ormas-ormas) ada kemauan untuk membangun ketaatan kepada ulil amri
(pemerintah). Mengingat kalau masing-masing ormas masih bersikukuh dengan pendapatnya
dan menyatakan sing penting aku bedo, maka tidak akan mungkin tercapai sebuah kesatuan.
Apalagi perbedaan itu sering kali muncul karena dijembatani oleh ormas. Sehingga kesadaran
untuk ukhuah islamiyyah dan kemaslahatan harus dimiliki oleh masing-masing ormas.
Apalagi hisab-rukyah sebenarnya merupakan ilmu tajribiyyah yang terkait dengan
perhitungan posisi benda langit.
Dengan konsep yang demikian, diharapkan kaidah yang menyatakan Hukmul hakim
ilzamun wa yarfaul khilaf (keputusan hakim atau pemerintah itu mengikat dan
menyelesaikan pendapat) dapat benar-benar terealisasi karena seluruh komponen masyarakat
dan ormas mematuhinya. Sehingga kemaslahatan umum, keseragaman, dan bersatunya umat
G.
1.

ada di depan mata.


SIMPULAN.
Dari paparan di atas, dapat di simpulkan sebagai berikut:
Hisab dan rukyah dapat digunakan untuk penetapan awal bulan.
Keduanya

terbukti

memiliki

hasil

temuan

yang

sama

apabila

menggunakan visibilitas dan kriteria yang sama. Sehingga kedua metode

tersebut dapat saling membantu, kait-mengait dan melengkapi (simbolis


2.

mutualisme).
Persoalan penentuan awal bulan qomariyyah sering kali berbeda karena
perbedaan paham dan kriteria penentuannya. Hal itu sering diwarnai
dengan ketetapan beberapa organisasi kemasyarakatan seperti NU dan
Muhammadiyyah yang sering berbeda dan mengakibatkan perbedaan

3.

dalam menetapkan awal bulan dan berhari raya.


Adanya penyatuan dalam berhari raya kiranya lebih memberikan
kemaslahatan dari pada dibiarkan terjadinya perbedaan. Apalagi umat
Islam di Indonesia dalam hal ibadah masih sulit menerima perbedaan

4.

yang dapat mengancam ukhuah Islamiyyah.


Untuk penyatuan dan keseregaman, penulis menawarkan dua tahap
dalam rangka penyatuan penetapan awal bulan. Yakni pertama, penyatuan

5.

dalam teoritistis, dan kedua, penyatuan dalam teknis penetapan awal bulan.
Prinsip dari penyatuan awal bulan pada dasarnya adalah toleransi dan sikap legawa. Mau
menerima sesuatu yang baru dengan berusaha mewujudkan iptek yang harus sesuai dengan

H.

syariah, bukan syariah yang sesuai dengan iptek.


SARAN.
Penyatuan awal bulan qamariyyah diakui atau tidak merupakan hal yang
penting. Telah banyak upaya dan usaha agar awal bulan terutama yang
menyangkut Ramadhan, Idul fitri dan Idul adha dapat seragam dikalangan
kaum muslim. Namun upaya tersebut belum sepenuhnya berhasil. Untuk
itu

disarankan pula

bagi

ormas

yang

tidak

mematuhi

keputusan

pemeintah dalam menetapkannya agar diberikan sanksi yang tidak terlalu


memberatkan tetapi sebenarnya prinsip bagi subuah ormas. Misalnya ormas tersebut dilarang
mengadakan acara atau kegiatan selama 2 bulan berturut-turut. Pilihan sanksi berupa larangan
mengadakan kegiatan selama 2 bulan berturut-turut, diharapkan dapat membuat jera, malu,
dan mau mengikuti penetapan pemerintah tetapi tidak mengobrak-abrik kelembagaan sebuah

ormas. Karena secara logika tidak mungkin sebuah ormas tidak melakukan kegiatan selama 2
bulan berturut-turut. Karena hal itu berarti ormas tersebut vakum dan secara tidak langsung
diragukan kredibilatsnya. Namun tidak melakukan kegiatan selama 2 bulan berturut-turut
tidak dapat membubarkan, merusak, ataupun mengobrak-abrik dan merusak citra dari sebuah
ormas.
http://faiz-farihah.blogspot.co.id/2012/07/problematika-hisab-rukyah-dalam.html

Anda mungkin juga menyukai