A.
PENDAHULUAN
Hampir setiap tahun umat Islam disibukkan dengan masalah Kapan
puasa, kapan lebaran, dan kapan idul adha, mengapa hampir selalu
berbeda, tidak hanya berbeda dengan Arab saudi sebagai negara lain,
tetapi juga berbeda dengan sesama saudara muslim di dalam negeri,
Indonesia. Pada dasarnya perbedaan dalam berhari raya atau hari raya
kembar bukan hanya menjadi fenomena di Indonesia saja, namun juga
menjadi fenemonena kebanyakan negara di dunia.
Penentuan awal bulan terutama Ramadhan dan Syawwal sampai saat
ini memang masih banyak cara yang dianut, sehingga wajar jika sering
terjadi perbedaan. Kuantitas madzhab dalam wacana hisab dan rukyah di
Indonesia lebih banyak dibanding dengan kuantitas madzhab yang
berkembang di masa fuqoha (masa awal-awal Islam) terdahulu. Adanya
perbedaan ini dasar muaranya sama, yaitu perbedaan pemahaman
terhadap dalil-dalil tentang hisab dan rukyah. Salah satu yang menjadi
penyebabnya adalah karena adanya sentuhan Islam sebagai great
traditional dan budaya lokal atau little traditional yang sering
menimbulkan corak budaya tersendiri yang terkadang di luar dugaan.
Perbedaan dalam menentukan awal Ramadhan dan hari raya di
Indonesia sangatlah beragam. Sehingga ini berimbas pada tidak samanya
suatu golongan dengan golongan lain dalam menentukan awal Ramadhan
dan hari raya. Fenomena ini membuat banyak orang sibuk mendiskusikan
ide-ide untuk menyatukan umat Islam terutama dalam hal puasa
Ramadhan dan hari raya.
B.
PENGERTIAN HISAB-RUKYAH
Hisab secara harfiyah bermakana perhitungan. Di dunia Islam istilah
hisab
sering
digunakan
dalam
ilmu
falak
(astronomi)
untuk
namun jika tidak terlihat, maka malam itu dan keesokan harinya masih
merupakan bagian dari penanggalan bulan yang sedang berlangsung,
atau bulan itu genap berjumlah 30 hari.
Hisab dan rukyah pada dasarnya adalah dua sistem perhitungan
dalam Islam untuk menetapkan berbagai momentum. Keduanya berjalan
bersama, hampir tidak dapat dipisahkan, karena keduanya bersifat saling
membantu, saling melengkapi, saling menutupi kekurangan satu sama
lain, sehingga keduanya sama-sama dapat digunakan untuk penentuan
awal bulan karena hisab dan rukyah dapat saling membantu (simbiosis
mutualis). Umat Islam menggunakan hisab untuk menghitung kapan
terjadinya konjungsi dan kapan hilal dapat dilihat, kemudian mereka
melakukan rukyah untuk melihat bulan dan membuktikan, atau sebagai
koreksi apakah saat itu hilal telah benar-benar nampak, untuk kemudian
dapat disimpulkan kapan dimualainya bulan baru.
Hisab dan rukyah terkesan terjadi perbedaan dikarenakan perbedaan
sistem perhitungan hisab dan atau perbedaan kriteria visibilitas hilal
dapat terlihat. Hal ini mengesankan praktik keduanya terkadang tidak
sejalan atau tidak bertepatan satu sama lain dalam persoalan penentuan
awal bulan yang menyangkut ibadah.
C.
1.
kiranya dapat
sendiri.6[6]
Dalam khazanah intelektual Islam klasik, ilmu falak merupakan salah
satu ciri kemajuan peradaban Islam. Dr. Yahya Syami memetakkan sejarah
perkembangan ilmu falak menjadi dua fase. Yaitu fase pra Islam (Mesir
kuno, Mesopotamia, Cina, India, Perancis, dan Yunani) dan fase Islam.7[7]
Secara formal, wacana hisab-rukyah baru nampak ketika adanya
penetapan hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah sebagai pondasi dasar
kalender hijriyyah yang dilakukan oleh sahabat Umar bin Khattab
tepatnya pada tahun ke tujuh belas hijriyyah, dan Muharram sebagai
permulaan bulannya. Ilmu hisab-rukyah juga digunakan untuk penentuan
awal waktu shalat, penentuan awal bulan, gerhana dan penentuan arah
kiblat.
Perhatian dunia Islam terhadap ilmu falak atau astronomi pada
khususnya, serta ilmu pengetahuan pada umumnya sangat nampak
terutama
pada
masa
daulah
Abbasiyyah.
Misalnya
adanya
upaya
teori-teori
baru.
Bukan
hanya
menghasilkan
karya,
bahwa al-Biruni-lah peletak dasar teori heliosentris. Ada pula Abu Ali
Hasan al-Haytami dengan bukunya Kitab al-Manadzir yang diterjemahkan
dengan nama Optics yang merupakan temuan baru tentang refraksi (sinar
bias). Dan lain-lain.
2.
dalam
menentukann
Ramadhan,
Syawwal,
dan
10
dalam
menetapkan
hari-hari
besar
Islam
terutama
penetapan awal Ramadhan, Idul fitri, dan Idul adha. Dalam musyawarah
ini perbedaan yang muncul dapat dinetralisir dan musyawarah mendesak
kepada Menteri Agama untuk membentuk lembaga Hisab dan Rukyat.
Kehadiran badan hisab dan rukyat sesungguhnya untuk menjaga
persatuan dan ukhuwah Islamiyyah khususnya dalam pelaksanaan
peribadatan. Namun dalam wilayah etis praktis belum bisa terwujud.
Perbedaan itu bukan hanya tarik menarik antara kalangan ahli hisab dan
rukyat, tetapi problem intern ahli hisab dan rukyat sangat mempengaruhi
pula munculnya perbedaan dalam penetapan awal bulan qomariyyah.
Karena selama ini kajian hisab lebih bercorak praktis (practikal guidance)
dan kian melupakan wilayah teoritis filosofis.
D.
kadarkanlah). Sehingga menurut madzhab ini term rukyah dalam hadishadis hisab rukyah adalah bersifat taabudi ghair maqul al-mana. Artinya
tidak dapat dirasionalkan pengertiannya. Dengan demikian rukyah hanya
diartikan sebatas melihat.
Sedangkan dalam madzhab Hisab, term hisab rukyah yang ada dalam
hadis-hadis hisab rukyah berdasarkan perhitungan falaki dan dinilai
bersifat taaqquli maqul al-mana yakni dapat dirasionalkan, diperluas,
dan dikembangkan. Begitu pula ketika dalam keadaan hilal tidak dapat
dirukyah karena mendung atau gangguan cuaca lainnya, fokus hadis
dalam
kata
diterjemahkan
faqdaruhu
sebagai
lahu
fa
(maka
udduhu
bil
kadarkanlah),
hisab
menurut
(hitunglah
hisab
bulan
itu
madzhab
sempurna
hisab
naupun
kebenarannya,
madzhab
masing-masing
rukyah)
sama-sama
memiliki
kelebihan
tidak
dan
yang
melakukan
penilaian terhadap
hilal adalah
mata
perukyah sendiri.
Sedangkan penyebab terjadinya perbedaan dikalangaan madzhab
hisab antara lain karena adanya cara perhitungan yang bermacammacam, antara metode yang digunakan, dan sistem hisab yang dianut.
Hal tersebut dapat menghasilkan hasil yang berbeda.
Pola pemikiran hisab dan rukyah telah sedemikian
kokoh
dengan
dukungan dalil-dalil fiqih yang memperkuatnya. Penganut metode rukyah sulit untuk
menerima hisab sebagai penggantinya. Sebaliknya, penganut metode hisab juga sulit
menerima rukyah sebagai penentu karena hisab dianggap telah mencukupi dan lebih praktis.
Dan ternyata dalam tataran realitisnya, masing-masing organisasi kemasyarakatan di
Indonesia saling mengeluarkan keputusan tersendiri.13[13]
Terlepas dari itu semua, penyebab utama perbedaan itu adalah
adanya perbedaan kriteria tentang hilal dapat di rukyah. Yakni 2, 6, 8
bahkan 12 atau lebih. Ormas NU maupun ormas yang beraliran madzhab
rukyah sebenarnya memiliki kriteria di atas 4, dan Muhammadiyah yang
lebih dikenal dengan aliran hisab lebih cenderung menggunakan wujudul
hilal, yakni hilal telah wujud. 14[14] Maksudnya tempat-tempat yang
mengalami terbenamnya matahari dan bulan secara bersamaan, jika
tempat-tempat tersebut dihubungkan, maka akan terbentuk sebuah garis
yang disebut wujud al-hilal. Dengan demikian maka kriteria itu bisa jadi
kurang dari 2. Hal itu menyebabkan hilal tidak dapat dirukyat.
Dengan demikian, perbedaan antara hisab dan rukyat
merupakan
satu-satunya
penyebab.
Karena
dalam
banyak
tidak
kasus
termasuk
Banda
Aceh,
daerah
yang
mempunyai
ketinggian
hilal
15
16
17
merupakan batas bawah hilal dapat teramati oleh mata tanpa alat
bantu.18[18] Yang berpegangan rukyatul hilal ini berdasarkan Hadits
Rasulullah SAW yang menyatakan "Berpuasalah kamu karena melihat
hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka
genapkanlah (istikmal)".19[19]
b. Wujudul Hilal (Ijtima Qabla Ghurub).
Adalah terjadinya konjungsi (ijtimak)
sebelum
tenggelamnya
hijriyah
atau
hari
terjadinya
ijtima/konjungsi
telah
memenuhi dua kondisi, yaitu (1) konjungsi telah terjadi sebelum matahari
terbenam, (2) Bulan tenggelam setelah matahari, maka keesokan harinya
telah dinyatakan sebagai awal bulan hijriyah.20[20]
c. Imkanur Ruyah MABIMS.
Taqwim Standard Empat Negara Asean, yang ditetapkan berdasarkan
Musyawarah
Menteri-menteri
Agama
Brunei
Darussalam, Indonesia,
sederhana.
Atau
sistem
perhitungan
kalender
yang
Sistem hisab ini dimulai sejak ditetapkan oleh khalifah Umar bin
Khattab ra (17 M). Sistem hisab ini tak ubahnya seperti kalender
syamsiyyah, bilangan hari pada tiap-tiap bulan berjumlah tetap kecuali
bulan tertentu pada tahun-tahun tertentu jumlahnya lebih panjang satu
hari.
Bulan bernomor ganjil, berjumlah 30 hari. Adapun bulan bernomor
genap berumur 29 hari. Tetapi khusus pada bulan Dzulhijjah pada tahun
kabisat qomariyyah berumur 30 hari, sedangkan pada tahun bashitah
qomariyyah berumur 29 hari.
Dalam metode hisab Urfi, tahun qomariyyah memiliki siklus 30 tahun.
Di mana di dalamnya terdapat 11 tahun yang dinamakan tahun kabisat
(panjang), ia memiliki 355 hari. Dan memiliki 19 tahun yang dinamakan
tahun bashitah (pendek), ia memiliki 354 hari. Tahun kabisat terdapat
pada tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, dan 29 dari keseluruhan
siklus tahun kabisat selama 30 tahun.
Dengan demikian, kalau diambil rata-rata maka periode umur bulan
menurut hisab urfi adalah (1 x 355) + (19 x 359) : (12 X 30) = 29 hari 12
jam 44 menit. Sedangkan periode umur bulan menurrut perhitungan
astronommis adalah 29 hari 12 jam 44 menit 2,88 detik. Dengan demikian
perhitungan menggunakan hisab urfi dapat dikatakan sudah cukup teliti.
Yang menjadi persoalan adalah aturan 29 dan 30 serta aturan
perhitunggan ini tidak menunjukkan posisi bulan yang sebenarnya,
melainkan hanya pendekatan. Oleh karenanya, hisab ini tidak dapat
dijadikan acuan untuk penentuan awal bulan yang berkaitan dengan
ibadah. Misalnya Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah. Karena menurut
sistem ini umur bulan syaban dan ramadhan adalah tetap. Yaitu 29 hari
untuk bulan syabah, dan 30 hari untuk bulan ramadhan.
keperluan
ibadah.23[23]
Penyebabnya
karena
perata-rataan
Hisab Haqiqi.
Adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi
sebenarnya.24[24] Menurut sistem ini umur bulan tipa bulan tidaklah
konstan dan tidak beraturan, melainkan tergantung posisi hilal setiap awal
bulan. Dengan demikian bisa jadi dalam dua bulan berturut-turut umurnya
29 hari, atau 30 hari, atau kadang-kadang bergantian seperti dalam hisab
urfi. Sistem ini mempergunakan data-data astronomis dan gerakan bulanbumi serta menggunakan kaidah-kaidah ilmu ukur segi tiga bola
(spherical Trigonometri).
Hisab haqiqi dianggap lebih sesuai dengan yang dimaksud oleh
syara, karena hisab ini memperhitungkan kapan hilal akan muncul atau
wujud, sehingga hisab inilah yang dipakai untuk menentukan awal bulan
yang berkaitan dengan pelaksanaa ibadah.
Ada beberapa metode untuk menentukan ijtima (konjungsi) dan
posisi hilal pada awal bulan. Serta terdapat beberapa aliran ijtima 25[25]
dalam menetapkan awal bulan. Beberapa metode itu adalah sebagai
berikut:26[26]
1)
23
24
25
26
Hisab
ini
dilakukan
dengan
cara
penambahan,
pengurangan,
3)
1)
dapat
bulan
menetapkan
awal
bulan.
Kriteria
awal
bulan
yang
ditentukan
aliran
ini
tidak
mempermasalahkan hilal dapat dilihat atau tidak, sehingga aliran ini tidak
harus memperhatikan rukyat. Jadi menurut aliran ini, ijtima merupakan
pemisah antara dua bulan qomariyyah yang berurutan. Waktu yang
berlangsung sebelum terjadinya ijtima termasuk bulan sebelumnya, dan
27
posisi hilal di atas ufuk mari. Sistem ini memperhitungkan posisi hilal
pada saat matahari terbenam setelah terjadi ijtima. Setelah diperoleh
nilai ketinggian hilal dari ufuk hakiki, kemudian ditambahkan koreksikoreksi
terhadap
nilai
ketinggian
itu.
Keempat,
golongan
yang
31
Syawwal, dan Dzulhijjah. dan akan lebih baik jika dapat menyentuh penyatuan dalam
pembuatan kalender hijriyyah secara lebih global.
Pada dasarnya, penyebab utama perbedaan dalam penetapan awal
bulan adalah adanya perbedaan kriteria tentang hilal dapat di rukyah.
Yakni 2, 6, 8 bahkan 12 atau lebih. Ormas NU maupun ormas yang
beraliran madzhab rukyah sebenarnya memiliki kriteria di atas 4, dan
Muhammadiyah yang lebih dikenal dengan aliran hisab saat ini lebih
cenderung
menggunakan
wujudul
hilal.
Sistem
wujudul
hilal
ini
menjadikan kriteria itu bisa jadi kurang dari 2, padahal kriteria kurang
dari 2 menyebabkan hilal tidak dapat dirukyah meskipun dengan
menggunakan alat bantu optik sekalipun. Praktis hal ini membuat aliran
ini tidak pernah bertemu paham dengan aliran rukyah yang mensyaratkan
masuknya bulan adalah hilal dapat dirukyah.
Namun, kenyataan bahwa Muhammadiyah dan Persis sebagai madzhab hisab bergantiganti kriteria, menunjukkan bahwa ijtihad terus berjalan untuk memaknai hilal. Sementara itu
NU pun telah berijtihad dalam memaknai hilal yang sesungguhnya dengan mengizinkan
hisab mengontrol hasil rukyah yang mungkin terkecoh oleh objek terang bukan hilal. Hal ini
membuka peluang lebar untuk saling berdiskusi dalam menyatukan persepsi dalam
menentukan awal bulan, sehingga tidak ada lagi fenomena hari raya kembar dan sejenisnya,
dan persatuan penetapan awal bulan dapat terealisasi.
Secara
astronomis
pengertian
rukyatul
ain,
kriteria
bil
ilmi,
atau
visibilitas
hilal.
bi
Kriteria
qalbi,
sama
bersama
hilal
saja,
antara
hisab
bil
yaitu
dan
fiili,
merujuk
rukyat
bil
pada
tersebut
dapat ditentukan dari analisis semua data rukyatul hilal dan dikaji dengan data hisab. 32[32]
Dari analisis itu dapat diketahui syarat-syarat rukyatul hilal, berupa kriteria hisab-rukyat.
Kriteria itu dapat dijadikan sebagai pedoman bagi para perukyat bil fili/bil ain (secara fisik
32
dengan
mata)
untuk
menolak
juga dapat dijadikan sebagai pedoman bagi para ahli hisab yang melakukan rukyat bil ilmi/bi
qalbi
(dengan
ilmu
atau
dengan
hati)
untuk
menentukan
masuknya awal bulan. Hal itu dikerenakan iptek harus sesuai syariat.
Untuk itulah menurut penulis, diadakan semacam --meminjam istilah jual beli-- khiyar
atau negosiasi, yaitu Muhammadiyyah dan ormas lain sebagai madzhab hisab menaikkan
kriteria, yang semula wujudul hilal atau dengan ketinggian hilal kurang dari 2 derajat,
dinaikkan menjadi 2, atau wujudul hilal plus. Sedangkan NU dan ormas lain sebagai
madzhab ruyah menurunkan kriteria derajatnya menjadi 2. Karena dengan visibilitas hilal
2, maka hilal telah dapat diruyah walaupun dengan alat bantu, sedangkan jika visibilitas
hilal kurang dari 2, sangat mustahil hilal dapat diruyah.
Kemudian jika dalam hisab hilal telah mencapai 2, tetapi di lapangan terjadi mendung,
yang mengakibatkan hilal tidak dapat diruyah, maka solusinya dengan menggunakan
mathla negara tetangga, seperti malaysia atau langsung dipastikan awal bulan sesuai hasil
hisab 2. Hal itu dengan tujuan agar kita tidak merasa kecolongan yang memungkinkan kita
terlambat dalam memasuki awal bulan.33[33]
Kedua, penyatuan dalam teknis penetapan awal bulan. Setelah ditemukan kesepakatan
tentang metode, kriteria visibilitas hilal, sehingga dapat ditetapkan masuknya awal bulan,
maka secara teknis penetapan awal bulan, terutama bulan Ramadhan dan Syawwal serta Idul
Adha dilakukan oleh pemerintah dengan tegas.
Sebenarnya selama ini pemerintah RI cq Kementrian Agama telah berusaha untuk
menyatukan perbedaan penetapan awal bulan dengan mengakomodir semua prinsip yang ada,
diantaranya dengan selalu mengajak ormas-ormas, para ahli hisab, astronomi, dari berbagai
lembaga dan instansi untuk memusyawarahkan adanya kesatuan penentuan awal bulan
khususnya Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah dengan mengajak sidang isbat bersama
33
dalam menetapkan awal bulan. Upaya penyatuan pemerintah dengan prinsip Imkanurrukyah
dengan format hak isbat hanya ada pada pemerintah merupakan upaya yang akomodatif.
Konsep yang demikian bagus ini sebaiknya terus dilanjutkan dengan selalu
mengadakan evaluasi. Kemudiaan, ada baiknya jika setelah sidang isbat dan pemerintah telah
menetapkan awal bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah maka keputusan itu mengikat
dan harus dipatuhi serta menyelesaikan perbedaan pendapat. Sehingga seluruh komponen
masyarakat dan ormas harus mematuhinya, tanpa terkecuali.
Jika tidak mematuhi dan berbeda dalam menyikapi awal bulan yang mengakibatkan
tidak samanya dalam berhari raya, maka ia tidak boleh melakukan shalat ied dan merayakan
hari raya secara terang-terangan. Karena hari raya hanya satu, tidak kembar, yakni hari raya
yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Karena kemungkinan upaya penyatuan nampaknya dapat dilakukan apabila semua
pihak (terutama ormas-ormas) ada kemauan untuk membangun ketaatan kepada ulil amri
(pemerintah). Mengingat kalau masing-masing ormas masih bersikukuh dengan pendapatnya
dan menyatakan sing penting aku bedo, maka tidak akan mungkin tercapai sebuah kesatuan.
Apalagi perbedaan itu sering kali muncul karena dijembatani oleh ormas. Sehingga kesadaran
untuk ukhuah islamiyyah dan kemaslahatan harus dimiliki oleh masing-masing ormas.
Apalagi hisab-rukyah sebenarnya merupakan ilmu tajribiyyah yang terkait dengan
perhitungan posisi benda langit.
Dengan konsep yang demikian, diharapkan kaidah yang menyatakan Hukmul hakim
ilzamun wa yarfaul khilaf (keputusan hakim atau pemerintah itu mengikat dan
menyelesaikan pendapat) dapat benar-benar terealisasi karena seluruh komponen masyarakat
dan ormas mematuhinya. Sehingga kemaslahatan umum, keseragaman, dan bersatunya umat
G.
1.
terbukti
memiliki
hasil
temuan
yang
sama
apabila
mutualisme).
Persoalan penentuan awal bulan qomariyyah sering kali berbeda karena
perbedaan paham dan kriteria penentuannya. Hal itu sering diwarnai
dengan ketetapan beberapa organisasi kemasyarakatan seperti NU dan
Muhammadiyyah yang sering berbeda dan mengakibatkan perbedaan
3.
4.
5.
dalam teoritistis, dan kedua, penyatuan dalam teknis penetapan awal bulan.
Prinsip dari penyatuan awal bulan pada dasarnya adalah toleransi dan sikap legawa. Mau
menerima sesuatu yang baru dengan berusaha mewujudkan iptek yang harus sesuai dengan
H.
disarankan pula
bagi
ormas
yang
tidak
mematuhi
keputusan
ormas. Karena secara logika tidak mungkin sebuah ormas tidak melakukan kegiatan selama 2
bulan berturut-turut. Karena hal itu berarti ormas tersebut vakum dan secara tidak langsung
diragukan kredibilatsnya. Namun tidak melakukan kegiatan selama 2 bulan berturut-turut
tidak dapat membubarkan, merusak, ataupun mengobrak-abrik dan merusak citra dari sebuah
ormas.
http://faiz-farihah.blogspot.co.id/2012/07/problematika-hisab-rukyah-dalam.html