A.
Definisi
Gagal jantung akut adalah sebuah terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan
perubahan cepat daripada tanda dan gejala gagal jantung, kondisi gagal jantung akut
dapat mengancam nyawa, dan biasanya terjadi pada pasien dengan riwayat gagal
jantung sebelumnya maupun belum pernah ada riwayat sebelumnya dan dipicu oleh
beberapa faktor pencetus seperti table di bawah.
a.
Faktor Pencetus
Kondisi gagal jantung akut biasanya dicetuskan oleh beberapa faktor seperti pada
table di bawah ini.
B.
a.
Klasifikasi
Gejala acute heart failure disebabkan karena kongesti berat pada paru dan pembuluh
darah vena yang disebabkan oleh peningkatan tekanan pada proses pengisian
ventrikel kiri (dengan atau tanpa cardiac output rendah). Berdasarkan status
hemodinamiknya gagal jantung akut dibagi menjadi 4 profil.
gejala cardio-pulmonary pada pasien disebabkan hal lain selain daripada gagal
jantung. Sedangkan profil B dan C merupakan profil dengan gejala wet atau
terdapat edema paru, hanya dibedakan dari akral pasien apakah hangat atau dingin,
pada profil B EF masih bias memenuhi perfusi jaringan di perifer sehingga akral
masih teraba hangat, pada profil C pasien memiliki prognosis lebih buruk daripada B
karena pefusi tidak adekuat mencapai jaringan perifer karena adanya gejala kongesti
serta penurunan dairpada cardiac outputnya. Pasien dengan profil L biasanya
disebabkan karena otot jantung yang tidak adekuat untuk memompa darah karena
kekurangan volume cairan tubuh, serta timbul biasanya saat beraktivitas tanpa ada
tanda-tanda kelebihan cairan. Profil diatas dapat membantu untuk pemberian terapi
terhadap pasien sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
b.
Gejala Klinis
Gejala klinis AHF tersering adalah sesak napas, dilanjutkan dengan kelemahan,
kelelahan, takikardi/denyut ireguler, dapat batuk dan ditemukan wheezing, dapat juga
ditemukan nyeri dada jika terdapat iskemia myocardium. Tanda yang dapat dikenali
diantaranya edema paru akut, edema pada kedua atau salah satu ekstremitas,
hipotensi, takikardi/bradikardia, takipnea, aritmia jantung berupa atrial fibrilasi atau
ventricular takikardia.
proses iskemia miokard atau hipertropi remodeling otot jantung atau kerusakan katup
jantung yang dapat menyebabkan disfungsi ventrikel sehingga terjadi gangguan
preload maupun afterload sehingga menurunkan curah jantung. Bila curah jantung
menurun, maka tubuh akan mengeluarkan mekanisme neurohormonal untuk
mengkompensasi penurunan curah jantung. Mekanisme ini melibatkan sistem
adrenergik, renin angiotensin dan aldosteron sehingga terjadi peningkatan tekanan
darah akibat vasokonstriksi arteriol dan retensi natrium dan air.
Pada individu dengan remodeling pada jantungnya, mekanisme kompensasi akan
menempatkannya pada keadaan gagal jantung asimptomatik dimana jantungnya telah
mengalami disfungsi terutama ventrikel tetapi masih bisa dikompensasi agar tetap
dapat mempertahankan metabolisme dalam tubuh. Tetapi bila telah mencapai ambang
batas kompensasi, maka mekanisme ini akan terdekompensasi sehingga muncul
gejala klinis tergantung dari ventrikel yang terkena sehingga muncul ADHF.
Proses remodeling maupun iskemia miokard akan menyebabkan kontraksi miokard
menurun dan tidak efektif untuk memompa darah. Hal ini akan menimbulkan
penurunan stroke volume dan akhirnya terjadi penurunan curah jantung. Penurunan
kontraktilitas miokard pada ventrikel kiri (apabila terjadi infark di daerah ventrikel
kiri) akan menyebabkan peningkatan beban ventrikel kiri. Hal ini disebabkan karena
penurnan kontraktilitas miokard disertai dengan peningkatan venous return (aliran
balik vena). Hal ini tentunya akan meningkatkan bendungan darah di paru paru.
Bendungan ini akan menimbulkan transudasi cairan ke jaringan dan alveolus paru
sehingga terjadilah oedema paru. Oedema ini tentunya akan menimbulkan gangguan
pertukaran gas di paru paru.
Sedangkan apabila curah jantung menurun, maka secara fisiologis tubuh akan
melakukan kompensasi melalui perangsangan sistem adrenergik dan RAA (Renin
Angiotensin Aldosteron) untuk mempertahankan curah jantung ke arah normal.
Sedangkan apabila tubuh tidak mampu lagi melakukan kompensasi, maka penurunan
curah jantung akan memicu penurunan aliran darah ke jaringan berlanjut. Apabila
terjadi penurunan aliran darah ke ginjal, akan memicu retensi garam dan air oleh
sistem renin angiotensin aldosteron. Retensi ini akan menjadi lebih progresif karena
tidak diimbangi dengan peningkatan tekanan atrium kanan akibat proses
dekompensasi, sehingga terjadi kelebihan volume cairan yang berujung pada oedema
perifer
D. Diagnosis
Diagnosis gagal jantung akut ditegakan berdasarkan gejala, penilaian klinis, serta
pemeriksaan penunjang, seperti pemriksaan EKG, foto thoraks, laboratorium, dan
ekokardiografi Doppler.
Kriteria Mayor
Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND)
Distensi vena leher
Ronkhi paru
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop S3
Peninggian tekanan vena jugularis
Refluks hepatojuguler
Edema pulmonal, kongesti visceral
Kriteria Minor
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dyspneu deffort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari
normal
Takikardia (>120/menit)
Dikutip dari:Panggabean MM. Gagal Jantung. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th Ed. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen IImu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2006.p. 1513.
Berdasarkan gejala dan penemuan klinis, diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan
bila pada pasien didapatkan paling sedikit 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor dari
Kriteria Framingham.
E. Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiogram (EKG)
Rekaman EKG harus dilakukan pada setiap pasien yang dicurigai dengan
gagal jantung. Perubahan EKG biasanya dijumpai pada pasien yang diduga
mengalami gagal jantung. Abnormalitas dari EKG memiliki nilai prediksi yang kecil
akan adanya gagal jantung.
Foto thoraks
Foto thoraks merupakan komponen penting dalam diagnostik gagal jantung.
Pada foto thoraks kita dapat menilai kongesti pulmonal serta dapat menunjukkan
penyebab sesak nafas oleh karena paru atau thoraks.
Digunakan untuk mmengurangi sesak napas dan kongesti. Yang harus dikontrol
secara berkala pada pemakaian obat ini adalah gejala, urin, fungsi ginjal dan
elektrolit.
2.
Di rekomendasikan pada pasien dengan saturasi perifer < 90% atau PaO2 < 60 mmHg
dengan tujuan memperbaiki hipoksemia
3.
Profilaksis tromboemboli
Diberikan untuk menurunkan risiko deep vein thrombosis dan emboli paru. Dan
diberikan pada pasien yang belum mendapatkan antikoagulan dan tidak memiliki
kontraindikasi.
4.
Indikasi untuk pasien dengan edema paru dan pernapasan >20x/menit untuk
mengurangi sesak napas dan asidosis. Karena dapat menurunkan tekanan darah maka
tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik sampai kurang dari 85
mmHg
5.
Opium (IV)
Jika terdapat keluahan gelisan, cemas atau distress. Opium ini juga dapat mengurangi
sesak napas. Pengawasan terhadap kesadaran dan usaha napas harus tetap dilakukan
karena obat ini dapat menghambat pernapasan.
7.
9.
Kardioversi elektrik
Diindikasikan pada pasien dengan aritmia ventrikular atau atrial dianggap penyebab
ketidakstabilan hemodinamik, untuk mengembalikan irama sinus dan memperbaiki
kondisi klinis dari pasien.
2.
Indikasi: hipotensi (sistolik <85 mmHg) dan atau hipoperfusi untuk meningkatkan
curah jantung, tek. Darah dan perfusi perifer. Monitor secara rutin EKG untuk
mencegah terjadinya aritmia dan iskemia miokardium.
3.
Hanya jika pemberian inotropik tidak mendapatkan hasil maksimal misalnya pasien
masih dalam keadaan hpoperfusi.
4.
Hanya jika hipoperfusi disebabkan oleh penyekat beta. Monitor secara rutin tekanan
darah dan EKG untuk mencegah terjadinya aritmia dan iskemia miokardium.
5.
Vasopresor
Untuk pasien yang mengalami operburukan kondisi dengan cepat sebelum evaluasi
klinis dan diagnosi lengkap dapat ditegakkan.
2.
Trombolitik (IV)
Antogonis mineralokortikoid
Diindikasikan pada pasien dengan ejeksi fraksi <40%, Untuk menurunkan risiko
terjadinya kematian dan perawatan karena masalah cardiovaskular.
5.
Diindikasikan pada pasien dengan ejeksi fraksi <40%, setelah kondisi stabil, dengan
tujuan mengurangi risiko kematian, infark miokard berulang dan perawatan oleh
karena gagal jantung.
6.
Opiate (IV)
Dapat mengurangi nyeri iskemik yang hebat dan dapat memperbaiki sesak napas.
Harus diawasi untuk mencegak terjadinya depresi pernapasan.
Antikoagulan
Harus diberikan selama tidak ada kontraindikasi, segera diberikan setelah dideteksi
irama AF, untuk mengurangi risiko terbentuknya tromboemboli.
2.
Kardioversi elektrik
Diindikasikan untuk pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil dan iramanya
diharapkan kembali dalam keadaan sinus dan untuk memperbaiki keadaan klinis.
3.
Dipertimbangakan pada pasien yang diharapkan kembali ke irama sinus dan pasien
baru mengalami AF dengan durasi dibawah 48 jam atau tidak didapatkan thrombus di
apendiks atrium kiri pada ekokardiografi tranesofagus.
4.
Antiaritmia kelas I
Pasien dengan Bradikardi berat atau blok jantung, pacu jantung direkomendasikan
dengan hemodinamik yang tidak stabil oleh karena bradikardia berat atau terdapat
blok jantung sehingga memperbaiki kondisi klinis pada pasien.
A.
Pada pasien dengan AHF direkomendasikan untuk diberikan diuretic I.V. baik bolus
maupun infus. Dan diberikan vasodilator bila pasien sudah mendapat diuretic secara
I.V. baik bolus maupun infus tetapi tekanan darah masih tinggi, agar lebih cepat
mencapai status cairan yang baik. Pemberian ACEi atau ARB sebaiknya dilakukan
pada saat pasien masih mengalami hipervolumia. Adapun penilaian status volum yang
dapat dilakukan adalah pengukuran JVP, perabaan hepar, penilaian edema tungkai,
ronki halus (bukan merupakan penanda utama status status hipervolumia terutama
pada pasien gagal jantung tingkat lanjut. MRA bias diberikan lebih awal untuk
meningkatkan diuresis dan memperbaiki angka mortalitas maupun morbiditas.
Daftar Pustaka:
1. American Heart Association. AHA Guideline for the Management of Heart
Failure. 2013.
2. Zannad F, Sopko G, Klein L. Acute Heart Failure Syndromes. Circulation.
2005;112:3958-3968.
3. Perhimpunan
Dokter
Spesialis
Kardiovaskular
Indonesia.
Pedoman