Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Indonesia merupakan negara yang sering tekena bencana alam, karena letak
geografisnya yang diapit oleh dua lempeng. Begitu pula negara jepang atau kita sering
menyebutnya negeri sakura, sering terkena bencana alam. Masih hangat dari ingatan kita
jepang terkena gempa bumi sehingga menimbulakan tshunami yang sangat dahsyat
sekali dan mengakibatkan bocornya tenaga listrik nuklir. Banyak korban bencana alam
kala itu dan banyak profesi medis dan paramedis yang ikut serta dalam menolong para
korban bencana.
Peran paramedis khususnya perawat sangat penting sekali dalam menghadapi
KLB atau kejadian luar biasa seperti bencana alam, Dimana kita harus dengan cermat dan
cepat membantu para korban bencana dengan cepat dan cermat, karena pada saat terjadi
bencana alam banyak sekali korban-korban yang membutuhkan pertolongan dari
berbagai tingkatan kedaruratan, oleh karena itu kita harus bisa mengutamakan mana yang
harus kita prioritaskan dan disini sangat dibutuhkan sekali peran perawat dalam
penanggulangan bencana alam sebagai manajemen kesehatan. Negara atau daerah yang
telah terkena benca alam mereka membutuhkan

pemulihan dan penanggulangan

daerahnya agar dampak bencana tidak berkepanjangan, maka peran kita disini sebagai
perawat harus bisa membimbing mereka untuk melupakan kejadian yang membuat
mereka shok dan menjadikannya sebagai ujian bagi kita.
Kita juga sebagai perawat harus bisa memberikan masukan untuk menata kembali
lingkungan yang telah rusak dan biasanya daerah yang telah terkena bencana alam rentan
sekali terkena penyakit para penduduknya dan pelayanan kesehatan yang minim karena
berbagai fasilitas dan pelayanan kesehatan yang ikut serta hancur terkena bencana alam.
oleh karena itu kita harus memberikan masukan seperti lewat penyuluhan untuk
bagaimana cara hidup sehat serta kita juga sebagai tenaga paramedis harus mau ikut serta
membanguan daerah tersebut yang telah tertinggal pelayanan kesehatannya, seperti kita
pendirikan posko-posko kesehatan untuk memudahkan para korban memeriksakan
1

kesehatannya sehingga bisa meminimalisir terjadinya kematian akibat terlambatnya


penanganan penyakit dan terjadinya penyakit yang berkelanjutan sebagai akibat
lambannya penanganan suatu penyakit.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan judul serta latar belakang di atas, maka kami disisni mengambil
rumusan masalah bagai mana peran perawat dalam menanggulangi bencana alam sebagai
manajemen kesehatan.

C. Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini yaitu agar kita bisa mengetahi bagaimana peran
perawat dalam menangani bencana alam, serta cara memanajemen kesehatan di daerah
yang telah terkena bencana alam. daerah yang telah terkena bencana alam biasanya untuk
pelayanan kesehatannya juga sangat kurang sekali, jadi di dalam makalah ini juga
memberi tahu kepada para pembaca khususnya kami betapa pentinngnya memanajemn
kesehtan khususnya dalam melayani para korban bencana.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Peran Perawat
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap
seseorang sesuai kedudukannya dalam, suatu system. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial
baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang
diharapkan dari seesorang pada situasi sosial tertentu. (Kozier Barbara, 1995:21).
Peran perawat yang dimaksud adalah cara untuk menyatakan aktifitas perawat dalam
praktik, dimana telah menyelesaikan pendidikan formalnya yang diakui dan diberi
kewenangan oleh pemerintah untuk menjalankan tugas dan tanggung keperawatan secara
professional sesuai dengan kode etik professional. Dimana setiap peran yang dinyatakan
sebagai ciri terpisah demi untuk kejelasan.
B. Peran Perawat
1. Care Provider
Memberikan pelayanan keperawatan kepada kelompok khusus atau masyarakat
sesuai diagnosis masalah yang terjadi. Memperhatikan individu dalam konteks sesuai
dengan kehidupan kelompok khusus dalam hal ini perawat harus memperhatikan
kebutuhannya seperti pemenuhan kebutuhan dasarnya. Perawat menggunakan proses
keperawatan untuk mengidentifikasi diagnosis keperawatan mulai dari masalah fisik
sampai pada masalah psikologis
2. Educator
Tugas perawat adalah membantu kelompok khusus meningkatkan pengetahuan
dalam upaya meningkatkan kesehatan dan mencegah gejala penyakit sesuai kondisi dan
tindakan yang spesifik. Dasar pelaksanaan peran adalah intervensi dalam NCP
3. Conselor
Tugas utama adalah mengidentifikasi perubahan pola interaksi kelompok khusus
terhadap keadaan sehat sakit dalam kasus ini kelompok khusus dapat mengetahui etilogi
dan manisfestasi dari penyakit yang berhubungan dengan prilakunya. Adanya perubahan
pola interaksi ini merupakan dasar dalam merencanankan metoda untuk meningkatkan
kemampuan adaptasinya.
3

Konseling diberikan kepada kelompok dalam mengintergrasikan pengalaman


kesehatan dengan pengalaman yang lalu. Pemecahan masalah difokuskan pada masalah
keperawatan, mengubah perilaku hidup sehat (perubahan pola interaksi)
4. Manager
Perawat mempunyai peran dan tanggung jawab dalam mengelola pelayan, maupun
pendidikan keperawatan yang berada dibawah tanggung jawabnya sesuai dengan konsep
managemen keperawatan dalam kerangka paradigma keperawatan. Sebagai pengelola
perawat berperan dalam memantau dan menjamin kualitas asuhan keperawatan serta
organisasi dan mengendalikan system yankes.
5. Koordinator
Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi
pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemeberian pelayanan kesehatan dapat
terarah serta sesuai dengan kebutuhan klien
Tujuan Perawat sebagi coordinator adalah :
a. Untuk memenuhi asuhan kesehatan secara efektif, efisien dan menguntungkan klien.
b. Pengaturan waktu dan seluruh aktifitas atau penanganan pada klien.
c. Menggunakan keterampilan perawat untuk:
1) Merencanakan
2) Mengorganisasikan
3) Mengarahkan
4) mengontrol
6. Researcher
Sebagai peneliti dibidang keperawatan diharapkan mampu mengidentifikasi
masalah penelitian, menerapkan prinsip dan metode penelitian serta memanfaatkan hasil
penelitian untuk menigkatkan mutu asuhan / pelayanan dan pendidikan keperawatan.
Tujuan dilakukan researche :
a. Jawaban terhadap pertanyaan
b. Solusi menyelesaikan masalah baik melalui produk tekhnologi dan metode baru
c.
d.
e.
f.
g.

dalam keperawatan
Penemuan dan penafsiran fakta baru
Pengujian terhadap teori, kondisi, serta fakta baru
Perumusan teori baru
Mengembangkan IPTEK keperawatan
Pengembangan ruang lingkup praktek keperawatan

Langkah-langkah untuk mengembangkan kegiatan penelitian :


a. Memodifikasi askep sejalan hasil keperawatan
4

b. Memperluas kesempatan kepada perawat


c. Apresiasi terhadap metodologi dan prosedur penelitian
d. Meningkatkan pemanfaatan hasil penelitian
e. Selalu didukung untuk melakukan penelitian
7. Kolaborator
Peran ini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri dari
dokter, fisioterapi, ahli gizi dll dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan
yang diperlukan.
8. Client Advocate (Pembela Klien)
Bertanggung jawab membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan
informasi dari berbagai pemberi pelayanan dan dalam memberikan informasi lain yang
diperlukan untuk mengambil persetujuan (inform concern) atas tindakan keperawatan
yang diberikan kepadanya.
Mempertahankan dan melindungi hak-hak klien, harus dilakukan karena klien yang
sakit dan dirawat di rumah sakit akan berinteraksi dengan banyak petugas kesehatan.
Perawat adalah anggota tim kesehatan yang paling lama kontak dengan klien, sehingga
diharapkan perawat harus mampu membela hak-hak klien.
Seorang pembela klien adalah pembela dari hak-hak klien. Pembelaan termasuk
didalamnya peningkatan apa yang terbaik untuk klien, memastikan kebutuhan klien
terpenuhi dan melindungi hak-hak klien (Disparty, 1998 :140).

Hak-Hak Klien antara lain :


a.
b.
c.
d.
e.

Hak atas pelayanan yang sebaik-baiknya


Hak atas informasi tentang penyakitnya
Hak atas privacy
Hak untuk menentukan nasibnya sendiri
Hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian tindakan.

Hak-Hak Tenaga Kesehatan antara lain :


a. Hak atas informasi yang benar
b. Hak untuk bekerja sesuai standar
c. Hak untuk mengakhiri hubungan dengan klien
d. Hak untuk menolak tindakan yang kurang cocok
e. Hak atas rahasia pribadi
f. Hak atas balas jasa
C. Fungsi Perawat

Fungsi merupakan suatu pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan perannya. Fungsi
tersebut dapat berubah di sesuaikan dengan keadaan yang ada. Dalam menjalankan perannya,
perawat akan melaksanakan fungsi diantaranya :
1. Fungsi Independen
Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain dimana perawat
dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan keputusan sendiri dengan
kebutuhan dasar manusia seperti pemenuhan kebutuhan fisiologis. Pemenuhan kebutuhan
cinta mencintai, pemenuhan kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri.
2. Fungsi Dependen
Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya pesan atau intruksi
dari perawat lain. Sehingga sebagai tindakan pelimpahan tugas yang diberikan. Hal ini
biasanya di lakukan oleh perawat spesialis kepada perawat umum atau dari primer ke
perawat pelaksana.
3. Fungsi interdependen
Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat ketergantungan diantara tim
satu dnegan lainnya. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan
kerjasama tim dalam pemberian pelayanan seperti dalam memberikan asuhan
keperawatan pada penderita yang mempunyai penyakit kompleks. keadaan ini tidak dapat
diatasi dengan tim perawat saja melainkan juga dari dokter ataupun lainya, seperti dokter
dalam memberikan tanda pengobatan bekerjasama dengan perawat dalam pemantauan
reaksi obat yang telah di berikan.
D. Peran Perawat dalam Penanganan Bencana
Perkembangan era globalisasi menuntut sumber daya manusia yang kompetitif dalam
segala bidang. Keperawatan merupakan salah satu profesi di bidang kesehatan, perawat perlu
meningkatkan kemampuannya untuk dapat menjadi tenaga kerja yang profesional yang dapat
menjalankan tugas sebagai profesi serta dapat mandiri dan bersaing di bidangnya.
Dalam era yang berkembang ini pula kita harus menyadari dari berbagai perspektif, ilmu
pengetahuan yang selalu menuntut kemajuan jaman, tidak dapat di pungkiri pula bahwa di
profesi itu sendiri terjadi dinamisasi aktualisasi profesi. Yang menyebabkan beberapa banyak
kesimpulan ilmu itu tidak bersifat statis maupun dapat diaplikasikan dalam berbgai situasi.
Keperawatan merupakan suatu profesi yang sangat erat dalam aplikasi tindakan secara
6

realitasnya. Oleh karena nya diperlukan suatu terobosan dalam mensosialisasikan ilmu
perkembangan itu bagi seluruh penjuru baik dari sudut pandang praktisi keperawatan itu sendiri
yang meliputi perawat yang sudah masuk dalam ruang lingkup kerja lapangan, asosiasi profesi
yang sebagai pelindung kebijakan profesi yaitu Persatuan Perawat NAsional Indonesia (PPNI)
serta para calon praktisi keperawatan lainnya yang secara dominasi dipegang oleh mahasiswa.
Ditinjau dari penerapan akdemisi dalam menempuh profesi keperawatan sangat
diperlukan kecakapan hard skill dan soft skill, suatu hal yang jelas ketika hard skill pasti
terpenuhi dalam pelaksanaaan akademis, tetapi suatu hal yang perlu dipertanyakan ketika soft
skill itu bisa kah di peroleh dari akademis. Keduanya sangat penting dimiliki oleh calon perawat
maupun perawat yang professional, dan siap bersaing di medan kerja. Selain itu sebagai calon
perawat diharapkan dapat berperan dalam lingkungan masyarakat, baik secara langsung maupun
secara tidak terduga. Hal yang sangat vital dalam tingkatan profesi kapan aktualisasi itu
dibutuhkan. Kesiapsiagaan seorang perawat sangat dibutuhkan dalam berbagai situasi seperti
kegawatdaruratan, suatu skill yang sangat perlu dimiliki oleh seluruh elemen praktisi
keperawatan yang menjadi landasan moral sebagai pelayan masyarakat. Menyikapi akan hal itu
skill Penangan Pasien Gawat Darurat perlu untuk dipublikasikan serta bisa diterapkan dalam
kondisi medan kerja di lapangan. Oleh karena itu Himpunan Mahasiswa Progdi Keperawatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta mengadakan Kegiatan Pelatihan PPGD yang bertujuan
agar Mahasiswa Keperawatan khususnya mampu mengaplikasikannya secara langsung
dimasyarakat. PPGD merupakan serangkaian usaha-usaha pertama yang dapat dilakukan pada
kondisi gawat darurat dalam rangka menyelamatkan pasien dari kematian. Yang mana seluruh
tindakan yang dilakukan pada saat kondisi gawat darurat haruslah benar-benar efektif dan
efisien, karena pada kondisi tersebut pasien dapat kehilangan nyawa dalam hitungan menit saja.
Pertolongan Pertama Gawat Darurat ini ada bermacam-macam, misalnya korban digigit ular,
kebakaran, fraktur, korban bencana alam, yang secgera membutuhkan pertolongan pertama.
Selain itu banyaknya bencana yang melanda Indonesia beberapa tahun belakangan ini menuntut
kita untuk selalu siap dan siaga dalam menghadapi keadaan-keadaan tidak terduga tersebut,
terlebih lagi bagi mahasiswa keperawatan maupun perawat itu sendiri.
Menurut Barbara Santamaria dalam buku Community Health Nursing, ada 3 fase dalam
terjadinya suatu bencana, yaitu fase preimpact, fase impact, dan fase postimpact.
7

a) Fase preimpact merupakan fase WARNING, tahap awal dari bencana. Informasi didapat
dari badan satelit& meteorologi cuaca. Seharusnya pada fase inilah segala persiapan
dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga, dan warga. Namun pada kenyataannya negeri
kita masih sulit ya untuk mengerti kalimat ini.
b) Fase impact merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-saat dimana
manusia sekuat tenaga mencoba untuk survive. Fase impact ini terus berlanjut hingga
terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan darurat dilakukan.
c) Fase postimpact adalah saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase darurat,
juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi komunitas
normal.Secara umum dalam fase postimpact ini para korban akan mengalami tahap
penolakan hingga penerimaan.Tidak hanya fisik dan kejiwaan masyarakat yang
terganggu, keadaan fisik fasilitas umum yang membantu menunjang kehidupan juga
akan terganggu.
Kebijakan dan penanganan krisis pada kondisi Gawat Darurat dan Bencana, meliputi :
1. Reevaluasi dalam standarisasi model dan prosedur pelayanan Gawat Darurat & Bencana
dipelbagai strata fasilitas kesehatan secara berjenjang serta reaktivasi jejaring antar
fasilitas kesehatan satu dengan yang lain.
2. Perkuat kemampuan dan aksesibilitas pelayanan Gawat Darurat diseluruh fasilitas
kesehatan dengan prioritas awal di daerah rawan bencana dan daerah penyangganya.
3. Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan SDM di bidang Gawat Darurat dan
manajemen Bencana secara berjenjang.
4. Penanganan krisis menitik beratkan pada upaya sebelum terjadinya bencana.
5. Optimalisasi pengorganisasian penanganan krisis (gawat darurat dan bencana) baik di
tingkat pusat, propinsi, maupun kabupaten/kota dengan semangat desentralisasi/otonomi
daerah serta memperkuat koordinasi dan kemitraan.
6. Pemantapan jaringan lintas program dan lintas sektoral dalam penanganan krisis.
8

7. Membangun jejaring sistem informasi yang terintegrasi dan online agar diperoleh data
yang valid dan real time serta mampu memberikan pelbagai informasi tentang situasi
terkini pada saat terjadi bencana.
8. Setiap korban akibat krisis diupayakan semaksimal mungkin untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan cepat, tepat dan ditangani secara profesional.
9. Memberdayakan kemampuan masyarakat (Community Empowerement) khususnya para
stakeholder yang peduli dengan masalah krisis di bidang kesehatan dengan melakukan
sosialisasi terhadap pengorganisasian, prosedur, sistem pelaporan serta dilibatkan secara
aktif dalam proses perencanaan, monitoring dan evaluasi.
10. Pemantapan regionalisasi penanganan krisis untuk mempercepat reaksi tanggap darurat.
Guna mencapai SPDGT dan Penanggulangan Krisis akibat bencana, dilakukan upaya-upaya
sebagai berikut :
1. Reevaluasi terhadap kemampuan dan sumber daya yang ada, serta sejauhmana sistem
tersebut masih berjalan saat ini yang harus ditindaklanjuti dengan perencanaan dan
prioritas dalam penganggarannya.
2. Revisi dan penyempurnaan terhadap peraturan pelaksanaan/pedoman, standar, SPO,
pengorganisasian dan modul pelatihan untuk disesuaikan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi dan kondisi lingkungan saat ini yang terkait dengan keterpaduan
dalam penanganan gawat darurat dan manajemen bencana.
3. Meningkatkan upaya pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan penanganan krisis dan
masalah kesehatan lain.
4. Mendorong terbentuknya unit kerja untuk penanganan masalah krisis kesehatan lain di
daerah.
5. Mengembangkan sistem manajemen penanganan masalah krisis dan masalah kesehatan
lain hingga ke tingkat Desa. Setiap Provinsi dan Kabupaten/Kota berkewajiban
9

membentuk satuan tugas kesehatan yang memiliki kemampuan dalam penanganan krisis
dan masalah kesehatan di wilayahnya secara terpadu berkoordinasi.
6. Menyiapkan sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung pelayanan kesehatan
bagi korban akibat krisis dan masalah kesehatan lain dengan memobilisasi semua potensi.
7. meningkatkan pemberdataan dan kemandirian masyarakat dalam mengenal, mencegah
dan mengatasi krisis dan masalah kesehatan lain di wilayahnya.
8. Mengembangkan sistem regionalisasi penanganan krisis dan masalah kesehatan lain
melalui pembentukan pusat-pusat penanganan regional.
9. Monitoring evaluasi secara berkesinambungan dan ditindak lanjuti dengan pelatihan dan
simulasi untuk selalu meningkatkan profesional dan kesiap siagaan. Itu sebabnya
diperlukan upaya untuk selalu meningkatkan kualitas dan kuantitas petugas melalui
pendidikan dan latihan.
10. Pengembangan sistem e-health, secara bertahap disesuai dengan prioritas kebutuhan
khususnya sistem informasi dan komunikasi.
11. Memperkuat jejaring informasi dan komunikasi melalui peningkatan intensitas pertemuan
koordinasi dan kemitraan lintas program/lintas sektor, organisasi non Pemerintah,
masyarakat dan mitra kerja Internasional secara berkala. Dengan berjalannya SPGDT
tersebut, diharapkan terwujudlah Safe Community yaitu suatu kondisi/keadaan yang
diharapkan dapat menjamin rasa aman dan sehat masyarakat dengan melibatkan peran
aktif seluruh masyarakat khususnya dalam penanggulangan gawat darurat sehari-hari
maupun saat bencana.
Dalam penanganan bencana setidaknya ada empat tahapan, yaitu :
prevention / pencegahan
preparednes/ kesiapsiagaan

10

reaction / tanggap darurat


recovery / pemulihan
Saat ini sepertinya masyarakat kita masih berfokus pada fase reaction atau tanggap darurat,
dimana fokus penanganan bencana masih seputar pertolongan di saat terjadi bencana. Kondisi ini
sudah cukup bagus.
Recovery lokasi bencana juga sudah banyak dilakukan terutama oleh pemerintah dan
keterlibatan LSM baik dalam dan luar negeri.
Fase penanganan bencana yang belum populer dan belum banyak disentuh adalah pada fase
prevention dan preparedness. Hal ini mungkin karena keadaan bencana yang belum terjadi
sehingga kita lengah. Padahal potensi bahaya / bencana sudah ada di depan mata, tetapi karena
selama ini tidak terjadi apa-apa sehingga kita tidak sempat terpikir untuk pencegahan dan
persiapan bila bencana itu terjadi.
Pencegahan dan persiapan bencana memerlukan keterlibatan banyak sektor. Pada fase ini
termasuk diantaranya pelatihan penanggulangan bencana, mitigasi bencana, pembuatan
kontigensi plan, persiapan team bencana, dan sebagainya.
Peran perawat dalam kesiapsiagaan bencana juga sangat berperan diantaranya persiapan
team, pelatihan sampai ke simulasi penanganan bencana baik yang bersekala bencana kecil
maupun bencana sesungguhnya yang berskala besar.
Bahwa bencana itu bisa murni sebagai kejadian alam ( gempa bumi, topan, volcano, badai,
banjir) bisa juga karena perbuatan dan kelalaian manusia seperti kebakaran, perang, kecelakaan
transportasi. Agen primer termasuk angin, air, lumpur, asap, dan panas. Sedangkan agen
sekunder termasuk bakteri dan virus yang menkontaminasi/ menginfeksi akibat yang ditimbulkan
oleh agen primer tersebut.
Faktor-faktor host (manusia) juga mempengaruhi efek dari bencana tersebut, sebut saja
usia, status kesehatan, status imunisasi, tingkat mobilisasi, dan kondisi psikologis.Secara

11

langsung maupun tidak langsung bencana ikut dipengaruhi oleh agen-agen lingkungan yang
sifatnya fisik, kimia, biologi maupun sosial.
Secara fisik bencana dipengaruhi oleh kondisi cuaca, ketersediaan makanan dan air. Secara
kimia termasuk kebocoran zat kimia ke dalam air, udara, dan ke dalam suplai makanan.
Secara biologi termasuk kontaminasi pada makanan dan air, pembuangan akhir dan
pengelolaan sampah yang tidak layak, dan penyimpanan makanan yang tidak sesuai.
Faktor sosial termasuklah perbedaan pendapat tentang keyakinan, fanatisme, strata sosial dan
lainnya.
Beberapa peran perawat dalam manajemen kejadian bencana adalah
1. Peran Perawat dalam Pencrgahan Primer
Ada 2 hal yang dapat dilakukan perawat dalam masa pra bencana ini, antara lain:
a) Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam
penanggulangan ancaman bencana untuk tiap fasenya (preimpact, impact,
postimpact). Para perawat ini, khususnya perawat komunitas mendapat pelatihan
tentang berbagai tindakan dalam penanggulan ancaman dan dampak bencana.
Misalnya mengenali instruksi ancaman bahaya; mengidentifikasi kebutuhankebutuhan saat fase emergency (makanan, air, obat-obatan, pakaian dan selimut,
serta tenda); dan mengikuti pelatihan penanganan pertama korban bencana.
b) Perawat ikut terlibat bersama berbagai dinas pemerintahan, organisasi lingkungan,
palang merah nasional maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam
memberikan penyuluhan dan simulasi persiapan menghadapi ancaman bencana
kepada masyarakat.

Program promosi kesehatan untuk meningkatkan kesiapan masyarakat dalam menghadapai


bencana seharusnya merupakan bagian dari perencanaan perawat komunitas.
Penyuluhan atau usaha edukasi publik harus meliputi:
a) usaha pertolongan diri sendiri (pada masyarakat tersebut),
12

b) pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong anggota keluarga


dengan kecurigaan fraktur tulang , perdarahan, dan pertolongan pertama luka bakar.
Pelatihan ini akan lebih baik jika keluarga juga diberikan informasi mengenai
perlengkapan kesehatan (first aid kit) yang seharusnya ada di rumah seperti obat-obat
penurun panas (parasetamol), tablet antasida, obat antidiare, alkohol antiseptik,
laksatif, pencuci mata, termometer, perban, plester, bidai, dan sarung tangan.
c) pembekalan informasi tentang bagaimana menyimpan dan membawa persediaan
makanan, penggunaan air yang aman.
d) Perawat juga dapat memberikan beberapa alamat dan nomor telepon darurat seperti
dinas kebakaran, RS dan ambulans.
e) Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa (misal pakaian
seperlunya, portable radio, senter, baterai).
f) Memberikan informasi tempat-tempat alternatif penampungan atau posko-posko
bencana.
2. Peran Perawat dalam Keadaan Darurat (Impact Phase)
Biasanya pertolongan pertama pada korban bencana dilakukan tepat setelah keadaan
stabil. Setelah bencana mulai stabil, masing-masing bidang tim survey mulai melakukan
pengkajian cepat terhadap kerusakan-kerusakan, begitu juga perawat sebagai bagian dari
tim kesehatan. Perawat harus melakukan pengkajian secara cepat untuk memutuskan
tindakan pertolongan pertama. Ada saat dimana seleksi pasien untuk penanganan
segera (emergency) akan lebih efektif. Seleksi itu sering dikenal dengan Triase, yaitu
seleksi pasien berdasar kondisi tubuh, fisiologisnya, dan probabilitas keselamatan. Triase
yang berasal dari bahasa Prancis Triage yang berarti kategorisasi ini menggunakan
sistem warna dalam seleksi pasien.
TRIASE
a. Merah --- paling penting, prioritas utama.
Biasanya merah adalah keadaan yang mengancam kehidupan sebagian besar pasien
mengalami hipoksia, syok, trauma dada, perdarahan internal, trauma kepala dengan
kehilangan kesadaran, luka bakar derajat I-II
b. Kuning --- penting, prioritas kedua
13

Prioritas kedua meliputi injury dengan efek sistemik namun belum jatuh ke keadaan syok
karena dalam keadaan ini sebenarnya pasien masih dapat bertahan selama 30-60 menit.
Injury tersebut antara lain fraktur tulang multipel, fraktur terbuka, cedera medulla
spinalis, laserasi, luka bakar derajat II
c. Hijau --- prioritas ketiga
Yang termasuk kategori ini adalah fraktur tertutup, luka bakar minor, minor laserasi,
kontusio, abrasio, dan dislokasi
d. Hitam --- meninggal
Ini adalah korban bencana yang tidak dapat selamat dari bencana, ditemukan sudah
dalam keadaan meninggal.
Pertolongan pertama
Sesaat setelah fase impact terjadi dan keadaan mulai stabil maka saat itu juga para tenaga
kesehatan diharapkan langsung melakukan tugasnya.
Prioritas utama penyelesaian masalah kesehatan dalam keadaan tersebut antara lain:
1. Masalah sistem respirasi
Termasuk dalam masalah ini adalah hipoksia dan asfiksia misalnya akibat dari Cedera
Otak Berat (COB), cedera servikal, dan luka bakar terutama luka bakar pada leher dan
wajah.
2. Masalah sirkulasi
a) Termasuk syok yang disebabkan oleh perdarahan dan luka bakar
b) Angina hingga cardiac arrest
c) Trauma dada
d) Trauma abdomen
3. Masalah sistem musculoskeletal
a) Fraktur basis crania
b) Fraktur tulang multiple
c) Dislokasi
4. Masalah sistem persyarafan
a) Cedera servikal
b) Cedera medulla spinalis
14

5. Masalah kejiwaan
a) Distres dan Depresi
b) Panik hingga gaduh gelisah
Penanganan dan terapi utama mencakup kebutuhan dan pengawasan pada:
1. Assesment pada Tanda-tanda vital (TTV)
2. Airway. Bebaskan jalan napas jika dicurigai terhalang. Airway dapat dilakukan dengan
cara chin lift, head tilt, dan jaw thrust.
3. Breathing, berikan suplai oksigen sesuai kebutuhan klien
4. Circulation, meliputi tindakan:
a) RJPO / Resusitasi Jantung Paru
b) Terapi cairan (alternatif infus dengan NaCl, Ringer Laktat, Manitol 20% atau glukosa
40% jika terdapat udema dan ada kecurigaan mengalami peningkatan Tek. Intra
Kranial)
c) Lakukan pembebatan pada bagian yang terdapat laserasi dan perdarahan untuk
mengurangi perdarahan dan risiko syok
5. Drugs
Termasuk antibiotik, analgesik, morphin, antianginaobat cardiovaskuler, antikejang,
antidepresan, dan penenang
6. Letak atau posisi korban, terutama pada korban-korban dengan fraktur.
a) Luruskan posisi korban dan posisi anggota gerak yang mengalami fraktur maupun
dislokasi
b. Sebelum dipindahkan lakukanlah pembidaian. Pembidaian mencakup sendi
proksimal dan distal daerah fraktur
b) Pada trauma sekitar sendi, pembidaian harus mencakup tulang di bagian proksimal dan
distal
c) Beri bantalan dan penopang pada anggota gerak yang dibidai
d) Bila dicurigai ada trauma tulang belakang maka lakukanlah Neutral in Line Position
f. Jika terjadi kesulitan dalam meluruskan, maka pembidaian dilakukan apa adanya
g. Pasang Collar Brace maupun sejenisnya yang dapat digunakan untuk menopang
leher jika dicurigai terjadi trauma servikal.

15

3. Peran

perawat

di

dalam

posko

pengungsian

dan

posko

bencana

Selain tindakan emergency perawat juga memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat
korban bencana yang mengungsi. Tugas dan tanggung jawab tersebut yaitu:
a. Memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan cek kesehatan sehari-hari
b. Tetap menyusun rencana prioritas asuhan keperawatan harian
b. Merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang memerlukan penanganan
kesehatan di RS
c. Mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian
d. Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan khusus bayi,
peralatan kesehatan
e. Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit menular maupun
kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan diri dan lingkungannya
f. Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban (ansietas, depresi
yang ditunjukkan dengan seringnya menangis dan mengisolasi diri) maupun
reaksi psikosomatik (hilang nafsu makan, insomnia, fatigue, mual muntah, dan
kelemahan otot.
g. Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak, dapat dilakukan dengan
memodifikasi lingkungan misal dengan terapi bermain.
h. Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh para psikolog dan
psikiater.
i. Konsultasikan bersama supervisi setempat mengenai pemeriksaan kesehatan dan
kebutuhan masyarakat yang tidak mengungsi.
4. Peran perawat dalam fase postimpact
Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, sosial, dan psikologis
korban. Selama masa perbaikan perawat membantu masyarakat untuk kembali pada kehidupan
normal. Beberapa penyakit dan kondisi fisik mungkin memerlukan jangka waktu yang lama
untuk normal kembali bahkan terdapat keadaan dimana kecacatan terjadi. Kebutuhan psikologis
bisa menjadi masalah utama dalam fase ini.
Stres psikologis yang terjadi seperti yang disebutkan pada point g di atas dapat terus
berkembang hingga terjadi Posttraumatic Stres Disorder (PTSD) Syndrom yang memiliki 3
kriteria utama. Yaitu, Pertama, gejala trauma pasti dapat dikenali. Kedua, individu tersebut
16

mengalami gejala ulang traumanya melalui flashback, mimpi, ataupun peristiwa-peristiwa yang
memacunya. Ketiga, individu akan menunjukkan gangguan fisik. Selain itu individu dengan
PTSD dapat mengalami penurunan konsentrasi, perasaan bersalah,dan gangguan memori.
Dalam hal ini perawat, psikiater, maupun psikolog harus menyadari tanda dan gejala dari
sindrom PTSD ini karena sindrom ini bisa saja terjadi berselang waktu yang lama dari kejadian
bencana tersebut.
Alternatif pelayanan yang dapat diberikan pada pasien dengan stres kejiwaan ini adalah:
a. Jaminan perlindungan dari pemerintah
b. Penyediaan tempat oleh pemerintah maupun lembaga untuk pelayanan emergency
pada kondisi tersebut
c. Informasi alamat dan kontak dengan RS, yang dapat diinformasikan pada
keluarga
d. Penyediaan layanan Home Visit
E. Konsep Dasar Kegawat daruratan
1. Prinsip Keperawatan Gawat Darurat
Prinsip pada penanganan penderita gawat darurat harus cepat dan tepat serta harus
dilakukan segera oleh setiap orang yang pertama menemukan/mengetahui (orang awam,
perawat, para medis, dokter), baik didalam maupun diluar rumah sakit karena kejadian ini
dapat terjadi setiap saat dan menimpa siapa saja.
Kondisi gawat darurat dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Kumpulan materi
mata kuliah Gadar:2005):
a. Gawat darurat
Suatu kondisi dimana dapat mengancam nyawa apabila tidak mendapatkan
pertolongan secepatnya. Contoh : gawat nafas, gawat jantung, kejang, koma, trauma
kepala dengan penurunan kesadaran
b. Gawat tidak darurat

17

Suatu keadaan dimana pasien berada dalam kondisi gawat tetapi tidak
memerlukan tindakan yang darurat contohnya : kanker stadium lanjut
c. Darurat tidak gawat
Pasien akibat musibah yang datang tiba-tiba tetapi tidak mengancam nyawa
atau anggota badannya contohnya : fraktur tulang tertutup.
d. Tidak gawat tidak darurat
Pasien poliklinik yang datang ke UGD
2. Triage Dalam Gawat Darurat
Triage adalah suatu sistem seleksi pasien yang menjamin supaya tidak ada pasien
yang tidak mendapatkan perawatan medis. Tujuan triage ini adalah agar pasien
mendapatkan prioritas pelayanan sesuai dengan tingkat kegawatannya.
Pemberian label dalam triage meliputi :
a. Merah
Untuk kasus-kasus gawat darurat
b. Kuning
Untuk kasus gawat tidak darurat atau darurat tidak gawat
c. Hijau
Untuk kasus-kasus tidak gawat tidak darurat/ringan
d. Hitam
Untuk kasus DOA (datang dalam keadaan sudah meninggal).

18

3. Tindakan Keperawatan Gawat Darurat Sesuai Aspek Legal


Perawat yang membantu korban dalam situasi emergensi harus menyadari
konsekuensi hukum yang dapat terjadi sebagai akibat dari tindakan yang mereka berikan.
Banyak negara-negara yang telah memberlakukan undang-undang untuk melindungi
personal kesehatan yang menolong korban-korban kecelakaan. Undang-undang ini
bervariasi diberbagai negara, salah satu diantaranya memberlakukan undang-undang
Good Samaritan yang berfungsi untuk mengidentifikasikan bahasa/ istilah hukum
orang-orang atau situasi yang memberikan kekebalan tanggung jawab tertentu, banyak
diantaranya ditimbulkan oleh adanya undang-undang yang umum.
Perawatan yang dapat dipertanggungjawabkan diberikan oleh perawat pada
tempat kecelakaan biasanya dinilai sebagai perawatan yang diberikan oleh perawatan
serupa lainnya dalam kondisi-kondisi umum yang berlaku. Maka perawatan yang
diberikan tidaklah dianggap sama dengan perawatan yang diberikan diruangan emergensi.
Perawat-perawat yang bekerja di emergensi suatu rumah sakit harus menyadari
implikasi hukum dari perawatan yang diberikan seperti memberikan persetujuan dan
tindakan-tindakan yang mungkin dilakukan dalam membantu kondisi mencari buktibukti.
4. Fungsi Perawat Dalam Pelayanan Gawat Darurat
a. Melaksanakan asuhan keperawatan gawat darurat
b. Kolaborasi dalam pertolongan gawat darurat
c. Pengelolaan pelayanan perawatan di daerah bencana dan ruang gawat darurat
5. Tindakan tindakan yang Berhubungan dengan bantuan hidup dasar dan bantuan hidup
lanjut.

19

Pengetahuan medis teknis yang harus diketahui adalah mengenal ancaman


kematian yang disebabkan oleh adanya gangguan jalan nafas, gangguan fungsi
pernafasan/ventilasi dan gangguan sirkulais darah dalam tubuh kita.
Dalam usaha untuk mengatasi ketiga gangguan tersebut harus dilakukan upaya
pertolongan pertama yang termasuk dalambantuan hidup dasar yang meliputi :
a. Pengelolaan jalan nafas (airway)
b. Pengelolaan fungsi pernafasan/ventilasi (breathing management)
c. Pengelolaan gangguan fungsi sirkulasi (circulation management)
Setelah bantuan hidup dasar terpenuhi dilanjutkan pertolongan lanjutan
ataubantuan hidup lanjut yang meliputi :
A. Penggunaan obat-obatan (drugs)
B. Dilakukan pemeriksaan irama/gelombang jantung (EKG)
C. Penanganan dalam kasus fibrilasi jantung (fibrilasi)
Khusus untuk kasus-kasus kelainan jantung pengetahuan tentang ACLS
(Advanced Cardiac Life Sipport) setelah tindakan ABC dilakukan tindakan D (differential
diagnosis), untuk kasus-kasus ATLS (Advanced Trauma Life Support) setelah ABC
dilanjutkan dengan D (disability) serta E (exposure).
F. Pertolongan Pertama pada Gawat Darurat (PPGD)
Latar Belakang B-GELS atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Pertolongan
Pertama Pada Gawat Darurat (PPGD) adalah serangkaian usaha-usaha pertama yang dapat
dilakukan pada kondisi gawat darurat dalam rangka menyelamatkan pasien dari kematian.
Di luar negeri, PPGD ini sebenarnya sudah banyak diajarkan pada orang-orang awam atau
orang-orang awam khusus, namun sepertinya hal ini masih sangat jarang diketahui oleh
masyarakat Indonesia.
20

Prinsip Utama Prinsip Utama PPGD adalah menyelamatkan pasien dari kematian
pada kondisi gawat darurat. Kemudian filosofi dalam PPGD adalah Time Saving is Life
Saving, dalam artian bahwa seluruh tindakan yang dilakukan pada saat kondisi gawat
darurat haruslah benar- benar efektif dan efisien, karena pada kondisi tersebut pasien dapat
kehilangan nyawa dalam hitungan menit saja ( henti nafas selama 2-3 menit dapat
mengakibatkan kematian).
Langkah-langkah Dasar Langkah-langkah dasar dalam PPGD dikenal dengan
singkatan A-B-C-D ( Airway Breathing Circulation Disability ). Keempat poin tersebut
adalah poin-poin yang harus sangat diperhatikan dalam penanggulangan pasien dalam
kondisi gawat darurat
Algortima Dasar PPGD
1.
2.
3.
4.

Ada pasien tidak sadar


Pastikan kondisi tempat pertolongan aman bagi pasien dan penolong
Beritahukan kepada lingkungan kalau anda akan berusaha menolong
Cek kesadaran pasien

Lakukan dengan metode AVPU


a. A > Alert : Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V
b. V > Verbal : Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara keras di telinga
korban ( pada tahap ini jangan sertakan dengan menggoyang atau menyentuh pasien ),
jika tidak merespon lanjut ke P
c. P > Pain : Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling mudah adalah
menekan bagian putih dari kuku tangan (di pangkal kuku), selain itu dapat juga dengan
menekan bagian tengah tulang dada (sternum) dan juga areal diatas mata (supra
orbital)
d. U > Unresponsive : Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih tidak bereaksi
maka pasien berada dalam keadaan unresponsive
5. Call for Help, mintalah bantuan kepada masyarakat di sekitar untuk menelpon ambulans
(118) dengan memberitahukan :
a. Jumlah korban
b. Kesadaran korban (sadar atau tidak sadar)
c. Perkiraan usia dan jenis kelamin ( ex: lelaki muda atau ibu tua)
d. Tempat terjadi kegawatan ( alamat yang lengkap)
21

e. Bebaskan lah korban dari pakaian di daerah dada ( buka kancing baju bagian atas agar
dada terlihat
f. Posisikan diri di sebelah korban, usahakan posisi kaki yang mendekati kepala sejajar
dengan bahu pasien
g. Cek apakah ada tanda-tanda berikut :
1) Luka-luka dari bagian bawah bahu ke atas (supra clavicula)
2) Pasien mengalami tumbukan di berbagai tempat (misal : terjatuh dari sepeda motor)
3) Berdasarkan saksi pasien mengalami cedera di tulang belakang bagian leher
4) Tanda-tanda tersebut adalah tanda-tanda kemungkinan terjadinya cedera pada
tulang belakang bagian leher (cervical), cedera pada bagian ini sangat berbahaya
karena disini tedapat syaraf-syaraf yg mengatur fungsi vital manusia (bernapas,
denyut jantung)
5) Jika tidak ada tanda-tanda tersebut maka lakukanlah Head Tilt and Chin Lift. Chin
lift dilakukan dengan cara menggunakan dua jari lalu mengangkat tulang dagu
(bagian dagu yang keras) ke atas. Ini disertai dengan melakukan Head tilt yaitu
menahan kepala dan mempertahankan posisi seperti figure berikut. Ini dilakukan
untuk membebaskan jalan napas korban.
6) Jika ada tanda-tanda tersebut, maka beralihlah ke bagian atas pasien, jepit kepala
pasien dengan paha, usahakan agar kepalanya tidak bergerak-gerak lagi
(imobilisasi) dan lakukanlah Jaw Thrust Gerakan ini dilakukan untuk menghindari
adanya cedera lebih lanjut pada tulang belakang bagian leher pasien.
7) Sambil melakukan a atau b di atas, lakukan lah pemeriksaan kondisi Airway (jalan
napas) dan Breathing (Pernapasan) pasien.
Metode pengecekan menggunakan metode Look, Listen, and Feel
Look : Lihat apakah ada gerakan dada (gerakan bernapas), apakah gerakan tersebut
simetris ? Listen : Dengarkan apakah ada suara nafas normal, dan apakah ada suara
nafas tambahan yang abnormal (bisa timbul karena ada hambatan sebagian). Jenisjenis suara nafas tambahan karena hambatan sebagian jalan nafas : Snoring : suara
seperti ngorok, kondisi ini menandakan adanya kebuntuan jalan napas bagian atas
oleh benda padat, jika terdengar suara ini maka lakukanlah pengecekan langsung
dengan cara cross-finger untuk membuka mulut (menggunakan 2 jari, yaitu ibu jari
dan jari telunjuk tangan yang digunakan untuk chin lift tadi, ibu jari mendorong
rahang atas ke atas, telunjuk menekan rahang bawah ke bawah). Lihatlah apakah
ada benda yang menyangkut di tenggorokan korban (eg: gigi palsu dll). Pindahkan
benda tersebut
22

8) Gargling : suara seperti berkumur, kondisi ini terjadi karena ada kebuntuan yang
disebabkan oleh cairan (eg: darah), maka lakukanlah cross-finger(seperti di atas),
lalu lakukanlah finger-sweep (sesuai namanya, menggunakan 2 jari yang sudah
dibalut dengan kain untuk menyapu rongga mulut dari cairan-cairan).
9) Crowing : suara dengan nada tinggi, biasanya disebakan karena pembengkakan
(edema) pada trakea, untuk pertolongan pertama tetap lakukan maneuver head tilt
and chin lift atau jaw thrust saja
Jika suara napas tidak terdengar karena ada hambatan total pada jalan napas, maka
dapat dilakukan :
a) Back Blow sebanyak 5 kali, yaitu dengan memukul menggunakan telapak
tangan daerah diantara tulang scapula di punggung
b) Heimlich Maneuver, dengan cara memposisikan diri seperti gambar, lalu
menarik tangan ke arah belakang atas.
c) Chest Thrust, dilakukan pada ibu hamil, bayi atau obesitas dengan cara
memposisikan diri seperti gambar lalu mendorong tangan kearah dalam atas.
Feel : Rasakan dengan pipi pemeriksa apakah ada hawa napas dari korban ?
a) Jika ternyata pasien masih bernafas, maka hitunglah berapa frekuensi
pernapasan pasien itu dalam 1 menit (Pernapasan normal adalah 12 -20 kali
permenit)
b) Jika frekuensi nafas normal, pantau terus kondisi pasien dengan tetap
melakukan Look Listen and Feel
c) Jika frekuensi nafas 100 kali per menit. Telapak tangan basah dingin dan
pucat. Capilarry Refill Time > 2 detik ( CRT dapat diperiksa dengan cara
menekan ujung kuku pasien dg kuku pemeriksa selama 5 detik, lalu lepaskan,
cek berapa lama waktu yg dibutuhkan agar warna ujung kuku merah lagi)
d) Jika pasien shock, lakukan Shock Position pada pasien, yaitu dengan
mengangkat kaki pasien setinggi 45 derajat dengan harapan sirkulasi darah
akan lebih banyak ke jantung
e) Pertahankan posisi shock sampai bantuan datang atau tanda-tanda shock
menghilang

23

f) Jika ada pendarahan pada pasien, coba lah hentikan perdarahan dengan cara
menekan atau membebat luka (membebat jangan terlalu erat karena dapat
mengakibatkan jaringan yg dibebat mati)
g) Setelah kondisi pasien stabil, tetap monitor selalu kondisi pasien dengan Look
Listen and Feel, karena pasien sewaktu-waktu dapat memburuk secara tibatiba.
Nafas Bantuan Nafas Bantuan adalah nafas yang diberikan kepada pasien untuk
menormalkan frekuensi nafas pasien yang di bawah normal. Misal frekuensi napas : 6 kali
per menit, maka harus diberi nafas bantuan di sela setiap nafas spontan dia sehingga total
nafas permenitnya menjadi normal (12 kali). Prosedurnya :
1. Posisikan diri di samping pasien
2. Jangan lakukan pernapasan mouth to mouth langsung, tapi gunakan lah kain sebagai
pembatas antara mulut anda dan pasien untuk mencegah penularan penyakit2
3. Sambil tetap melakukan chin lift, gunakan tangan yg tadi digunakan untuk head tilt untuk
menutup hidung pasien (agar udara yg diberikan tidak terbuang lewat hidung).
4. Mata memperhatikan dada pasien
5. Tutupilah seluruh mulut korban dengan mulut penolong
6. Hembuskanlah nafas satu kali ( tanda jika nafas yg diberikan masuk adalah dada pasien
mengembang)
7. Lepaskan penutup hidung dan jauhkan mulut sesaat untuk membiarkan pasien
menghembuskan nafas keluar (ekspirasi)
8. Lakukan lagi pemberian nafas sesuai dengan perhitungan agar nafas kembali normal
Nafas Buatan Cara melakukan nafas buatan sama dengan nafas bantuan, bedanya
nafas buatan diberikan pada pasien yang mengalami henti napas. Diberikan 2 kali efektif
(dada mengembang )
Pijat Jantung Pijat jantung adalah usaha untuk memaksa jantung memompakan
darah ke seluruh tubuh, pijat jantung dilakukan pada korban dengan nadi karotis yang tidak
teraba. Pijat jantung biasanya dipasangkan dengan nafas buatan (seperti dijelaskan pada
algortima di atas)
Prosedur pijat jantung :
1. Posisikan diri di samping pasien
24

2.
3.
4.
5.
6.

Posisikan tangan seperti gambar di center of the chest ( tepat ditengah-tengah dada)
Posisikan tangan tegak lurus korban seperti gambar
Tekanlah dada korban menggunakan tenaga yang diperoleh dari sendi panggul (hip joint)
Tekanlah dada kira-kira sedalam 4-5 cm (seperti gambar kiri bawah)
Setelah menekan, tarik sedikit tangan ke atas agar posisi dada kembali normal (seperti

gambar kanan atas)


7. Satu set pijat jantung dilakukan sejumlah 30 kali tekanan, untuk memudahkan
menghitung dapat dihitung dengan cara menghitung sebagai berikut :
Satu Dua Tiga EmpatSATU Satu Dua Tiga Empat DUA Satu Dua Tiga Empat TIGA Satu
Dua Tiga Empat EMPAT Satu Dua Tiga Empat LIMA Satu Dua Tiga Empat ENAM
8. Prinsip pijat jantung adalah :
a. Push deep
b. Push hard
c. Push fast
d. Maximum recoil (berikan waktu jantung relaksasi)
e. Minimum interruption (pada saat melakukan prosedur ini penolong tidak boleh
diinterupsi)
Perlindungan Diri Penolong Dalam melakukan pertolongan pada kondisi gawat
darurat, penolong tetap harus senantiasa memastikan keselamatan dirinya sendiri, baik dari
bahaya yang disebabkan karena lingkungan, maupun karena bahaya yang disebabkan karena
pemberian pertolongan.
Poin-poin penting dalam perlindungan diri penolong :
1. Pastikan kondisi tempat memberi pertolongan tidak akan membahayakan penolong dan
pasien
2. Minimasi kontak langsung dengan pasien, itulah mengapa dalam memberikan napas
bantuan sedapat mungkin digunakan sapu tangan atau kain lainnya untuk melindungi
penolong dari penyakit yang mungkin dapat ditularkan oleh korban
3. Selalu perhatikan kesehatan diri penolong, sebab pemberian pertolongan pertama adalah
tindakan yang sangat memakan energi. Jika dilakukan dengan kondisi tidak fit, justru
akan membahayakan penolong sendiri.

25

BAB III
PEMBAHASAN

A. Kasus 1
Indonesia merupakan negara dengan keadaan geografi cenderung sering terjadi bencana
alam. Demikian pula Jawa Barat yang mempunyai banyak gunung berapi yang masih aktif.
Maka menjadi pertanyaan sudahkah Rumah Sakit Umum Daerah di wilayah Cirebon siap
menghadapi bencana ? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesiapan Rumah Sakit Umum
Daerah di Wilayah Cirebon dalam menghadapi bencana, dilakukan studi deskriptif dengan
rancangan komparasi atas standar Baku terhadap keadaan 7 Rumah Sakit Umum daerah, melalui
pendekatan kuantitatif data sekunder dan kualitatif. Informan dalam penelitian ini seluruh
Direktur RUD dan seluruh Kepala Instalasi Instalasi Rawat Darurat se-Wilayah Cirebon.
Digunakan analisa univariat dari data kuesioner kemudian dilakukan pembobotan sehingga
dihasilkan skor kesiapan IRD, selanjutnya dilakukan analisa kesenjangan melalui wawancara
mendalam dengan memperhatikan apa, siapa, mengapa, dimana, kapan dan bagaimana
ketidaksiapan IRD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh Rumah Sakit Umum Daerah di
Wilayah Cirebon tidak siap menghadapi kegawat daruratan bencana/sehari-hari. Setelah
dilakukan analisa kesenjangan maka yang menjadi alasan ketidaksiapan adalah; Pertama:
kurangnya dukungan para Direktur Rumah Sakit Umum Daerah terhadap Sistem
penanggulangan Gawat Darurat Terpadu Bencana/Sehari-hari (SPGDT-B/S) yang disebabkan
antara lain adalah kurangnya pemahaman akan SPGDT-B/S, kurangnya sosialisasi tentang
standar klasifikasi IRD di Indonesia, standar kendaraan pelayanan medik dan yang penting juga
adalah keterbatasan RSUD termasuk Pemerintah Kota dan Kabupaten. Kedua: kurangnya
kepedulian Kepala IRD selaku manajer penanggulangan kegawat daruratan terpadu bencana
dalam mengelola sumber daya akibat kurangnya dukungan manajemen. Ketiga: kurangnya
sosialisasi SPGDT-BIS serta dukungan akan kelengkapan sumber daya IRD dari Departemen
Kesehatan Khususnya Direktorat Jenderal Pelayanan Medik --- Indonesia adalah negara yang
secara geografis cenderung menghadapi bencana alam. Jadi pertanyaannya adalah, apakah rumah
sakit umum siap menghadapi bencana? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesiapan
26

Rumah Sakit Umum di Cirebon Kawasan dalam menghadapi bencana. Penelitian ini adalah
penelitian deskriptif dengan menggunakan desain komparatif berdasarkan standar untuk kondisi
7 General Hospital melalui pendekatan data kualitatif dan kuantitatif. Para informan dalam
penelitian ini adalah seluruh Direksi Rumah Sakit Umum dan semua Kepala Unit Gawat Darurat
di wilayah Cirebon. Sebuah analisis uni-varian yang digunakan dihasilkan dari data kuesioner
maka skor untuk membuat tingkat kesiapan unit darurat. Kemudian analisis kesenjangan
dilakukan melalui wawancara mendalam dengan mempertimbangkan apa, siapa, mengapa,
dimana dan kapan, dan bagaimana kesiapan un-unit darurat. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa semua rumah sakit umum di daerah Cirebon tidak siap menghadapi dengan darurat harian
/ bencana. Setelah dianalisis, alasan ketidaksiapan adalah karena: Pertama: kurangnya dukungan
dari semua direktur rumah sakit dengan Sistem Terpadu Harian Darurat / Bencana Manajemen
(SPGDT-BIS) yang disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap SPGDT-BIS, kurangnya
sosialisasi klasifikasi standar Unit Gawat Darurat di Indonesia, standar kendaraan pelayanan
medis, dan yang paling penting adalah kurangnya anggaran rumah sakit umum termasuk
Kecamatan dan Pemerintah Kota. Kedua: kurangnya perhatian utama l-Unit Gawat Darurat
sebagai manajer pengelolaan darurat terpadu dalam mengelola sumber daya karena kurangnya
dukungan dari manajemen. Ketiga: kurangnya sosialisasi SPGDT-BIS dan mendukung
kelengkapan sumber daya dari unit darurat dari Departemen Kesehatan terutama dari Direktorat
Pelayanan Medis.
Pembahasan:
Dalam kasus diatas bahwa mencerminkan bahwa masih ada Rumah Sakit yang belum mampu
memberikan pelayanan kesehatan dalam kesiapan menghadapi korban bencana. Didalam
Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010 2014 tertera masalah pelayanan kesehatan
lain yang perlu mendapat perhatian adalah antisipasi kebutuhan pelayanan kesehatan bagi
penduduk di daerah rawan bencana dan didaerah rawan terjadinya rawan sosial. Letak geografis
Indonesia yang terletak di antara dua lempeng bumi, rawan dengan terjadinya bencana alam.
Tantangan ke depan adalah meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat
melalui sarana dan fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai untuk merespons dinamika
karakteristik penduduk dan kondisi geografis, namun hal ini belum dapat diterapkan oleh RS
27

Daerah di wilayah Cirebon. Padahal Sejak tahun 2000 Kementerian Kesehatan RI telah
mengembangkan konsep Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) memadukan
penanganan gawat darurat mulai dari tingkat pra rumah sakit sampai tingkat rumah sakit dan
rujukan

antara

rumah

sakit

dengan

pendekatan

lintas

program

dan

multisektoral.

Penanggulangan gawat darurat menekankan respon cepat dan tepat dengan prinsip Time Saving
is Life and Limb Saving. Public Safety Care (PSC) sebagai ujung tombak safe community adalah
sarana publik/masyarakat yang merupakan perpaduan dari unsur pelayanan ambulans gawat
darurat, unsure pengamanan (kepolisian) dan unsur penyelamatan. PSC merupakan penanganan
pertama kegawatdaruratan yang membantu memperbaiki pelayanan pra RS untuk menjamin
respons cepat dan tepat untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan, sebelum dirujuk
ke Rumah Sakit yang dituju.
B. Kasus 2
7 otober 2006
NURSE in DISASTERS
Sejak bencana Tsunami yang melanda Asia Tenggara, khususnya Aceh dan P.Nias pada
2004 lalu sepertinya Indonesia sampai hari ini menjadi langganan bencana. Mulai dari banjir
bandang di Jember, gempa Jogja plus ancaman merapinya, banjir lagi di Banjarmasin, lalu tak
lama berselang terjadi lagi gempa dan Tsunami di Pangandaran, Jabar, gempa Maluku walaupun
berskala kecil, kebakaran hutan di Sumatera &Kalimantan, runtuhnya timbunan sampah di
Bekasi yang memakan korban sampailah bencana teranyar plus terlama Lumpur panas PT.
Lapindo Brantas di Porong, Sidoarjo yang berhasil pecahkan rekor lebih dari 115 hari.
Melihat fenomena itu tentu banyak yang jadi korban baik nyawa, materi, dan masa depan.
Sayangnya seperti yg slalu kita tau bahwa kita semua selalu menyiapkan penanggulangan
emergency saat bahaya sudah datang. Sepertinya baik pemerintah dan warga masih sulit
belajar dari pengalaman masa lalu.
Pembahasan:
Dalam kasus diatas diperlukan kematangan dan kesiapan dari semua pihak yang terkait dalam
hal menghadapi kesiapan pelayanan kesehatan pada daerah rawan bencana. Seorang perawat,
khususnya perawat komunitas memiliki tanggung jawab peran dalam membantu mengatasi
ancaman bencana baik selama tahap preimpact, impact/emergency, dan postimpact.Dalam
28

melakukan tugasnya tentu perawat tidak bisa berjalan sendiri. Koordinasi dan persiapan yang
baik

mulai

dari

pemerintah

atas

hingga

ke

cabang-cabang

di

bawahnya

mutlak

diperlukan,sehingga perlu kerjasama antar semua pihak yang terkait.

29

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap
seseorang sesuai kedudukannya dalam, suatu system. Peran perawat yang dimaksud adalah
cara untuk menyatakan aktifitas perawat dalam praktik, dimana telah menyelesaikan
pendidikan formalnya yang diakui dan diberi kewenangan oleh pemerintah untuk
menjalankan tugas dan tanggung keperawatan secara professional sesuai dengan kode etik
professional.
Dimana setiap peran yang dinyatakan sebagai ciri terpisah demi untuk kejelasan.
Perawat banyak sekali memiliki peran diantaranya :
1.
2.
3.
4.
5.

Care Provider
Educator
Conselor
Manager
Koordinator
6. Researcher
7. Kolaborator
8. Client Advocate (Pembela Klien)
Dalam menjalankan peran-perannya tersebut perawat diharapka mampu bekerja
secara professional dan sesuai perannya agar tidak terjadi hal hal yang tidak diinginkan.
Peran perawat sangat komplek serta menjadi ujung tombak dalam pemberian
pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Tidak hanya dalam pelayanan di rumah sakit, tetapi
perawat memiliki peran yang signifikan dalam penanganan kegawatdaruratan bail itu dalam
KLB maupun dalam bencana alam. Mampu bertindak tepat dan cepat akan menyelamatkan
banyak nyawa, utuk itu perawat diharapkan memiliki kemampuan dalam mengklasifikasikan
pasien mana yang membutuhkan penanganan segera dan mendapatkan prioritas dari yang
lainnya guna menyelamatkan kehidupannya.
Dalam penanganan Kegawatdaruratan perawat dibekali ilmu dalam menilai
kegawatan yang disebut dengan Triage Dalam Gawat Darurat yaitu Merah untuk kasus-kasus gawat

30

darurat, Kuning untuk kasus gawat tidak darurat atau darurat tidak gawat, Hijau untuk kasus-kasus
tidak gawat tidak darurat/ringan, Hitam untuk kasus DOA (datang dalam keadaan sudah meninggal).

B. Saran
Sebagai seorang perawat, kita diharapkan mampu dalam memberikana suhan
keperawatan yang professional kepada klien sekaligus melakukan peran-peran perawat
dengan baik. Dalam menjalankan tugasnya yaitu memberikan tindakan kepada pasien,
seorang perawat diharapkan untuk mampu dalam bekerja sama dengan tim medis dan
paramedic lain agar pasien mendapatkan pelayanan yang lebih optimal.

DAFTAR PUSTAKA
Dwidiyanti, Meidiana SKp, Msc. 2008. Keperawatan Dasar. Semarang : Hasani
31

Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan Vol. 1. Jakarta : EGC


RUU Keperawatan
Undang-undang RI No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
http://buk.depkes.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=134:kebijakankemenkes-dalam-sistem-penanggulangan-gawat-darurat-terpadu-spgdt-danbencana&catid=37:berita diakses tanggal 9 juni jam 08.00
http://thewhitepublisher.blogspot.com/2006/10/nurse-in-disasters-sejak-bencana.html

diakses

tanggal 8 juni 2011 jam 13.00

32

Anda mungkin juga menyukai