Anda di halaman 1dari 27

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan ijin-Nya maka tugas pembuatan referat dengan judul
Gangguan Stres Pascatrauma dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Pembuatan referat ini merupakan salah satu tugas wajib yang harus
dikerjakan dalam rangka kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kesehatan Jiwa.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Irma Santy, Sp.KJ selaku Supervisor Pembimbing
2. dr. Wahyu Eka Putra Gani selaku Residen Pembimbing
3. Dokter-dokter spesialis kesehatan jiwa lainnya.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu kritik dan saran senantiasa penulis terima dengan tangan terbuka
untuk kesempurnaan referat ini. Penulis berharap semoga apa yang disajikan
dalam referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Makassar,

Oktober 2016

Pen
ulis

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................................

DAFTAR ISI ...................................................................................................

BAB I.

PENDAHULUAN .......................................................................

BAB II.

PEMBAHASAN..........................................................................

Definisi ......................................................................................

Epidemiologi .............................................................................

Etiologi ......................................................................................

Gambaran Klinis dan Diagnosa...............................................

11

Perjalanan Penyakit dan Prognosa ........................................

17

Diagnosis Banding ..................................................................

17

Penatalaksanaan ......................................................................

19

KESIMPULAN ...........................................................................

21

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................

26

BAB III.

BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan Stres Pascatraumatik merupakan gangguan mental pada


seseorang yang muncul setelah mengalami suatu pengalaman traumatik
dalam kehidupan atau suatu peristiwa yang mengancam keselamatan
jiwanya. Sebagai contoh peristiwa perang, perkosaan atau penyerangan
secara seksual, serangan yang melukai tubuh, penyiksaan, penganiayaan
anak, peristiwa bencana alam seperti : gempa bumi, tanah longsor, banjir
bandang, kecelakaan lalu lintas atau musibah pesawat jatuh. Orang yang
mengalami sebagai saksi hidup kemungkinan akan mengalami gangguan
stres.
Supaya pasien dapat diklasifikasikan sebagai penderita gangguan
stres pascatraumatik, mereka harus mengalami suatu stres emosional yang
besar yang akan traumatik bagi setiap orang.
Gangguan stres pascatraumatik terdiri dari :

Pengalaman kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang


membangunkan ( waking thought ).

Penghindaran yang yang persisten oleh penderita terhadap trauma


dan penumpukan responsVitas pada penderita tersebut.

Kesadaran berlebihan ( hyperararousal ) yang persisten.

Gejala penyerta yang sering dari gangguan stres pascatraumatik adalah


depresi, kecemasan dan kesulitan kognitif (sebagai contohnya, pemusatan
perhatian yang buruk). Di dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder edisi keempat (DSM V), lama gejala minimal untuk gangguan stres
pascatraumatik adalah satu bulan.

Trauma untuk pria biasanya akibat pengalaman peperangan dan


trauma untuk wanita paling sering adalah penyerangan atau pemerkosaan.
Gangguan sangat mungkin terjadi pada mereka yang sendirian, bercerai,
janda, mengalami gangguan ekonomi atau menarik diri secara sosial.
Gangguan Stres Pasca Trauma termasuk dalam gangguan cemas.
Gangguan cemas disebabkan oleh situasi atau obyek yang sebenarnya tidak
membahayakan yang mengakibatkan situasi atau obyek tersebut dihindari
secara khusus atau dihadapi dengan perasaan terancam. Perasaan tersebut
tidak berkurang walaupun mengetahui bahwa orang lain menganggap tidak
berbahaya atau mengancam.
Gejala

kecemasan

patologis

antara

lain

rasa

was-was

yang

berlebihan, ketakutan, penarikan diri dari masyarakat dan lingkungan,


kesukaran konsentrasi dan berfikir, gejala-gejala somatik seperti tremor,
panas dingin, berkeringat, sesak napas, jantung berdebar, serta dapat pula
ditemui gejala gangguan persepsi seperti depersonalisasi, derealisasi dan
mungkin terdapat gejala yang lain.

BAB II
PEMBAHASAN
Definisi
Gangguan Stress Pasca Trauma / Post Traumatic Stress Disorder
(PTSD) dapat didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan fisik dan
mental secara ekstrim yang timbul setelah seseorang melihat, mendengar,
atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang
mengancam kehidupannya. Keadaan ini ditandai dengan suasana perasaan
murung, sedih, kurangnya semangat dalam melakukan kegiatan sehari-hari
maupun kegiatan yang menimbulkan kesenangan, kadang-kadang disertai
dengan waham dan bila sudah berat dapat menimbulkan gangguan dalam
fungsi

peran

dan

kehidupan

sosial.

Gangguan Stress Pascatraumatik adalah gangguan cemas yang terdiri dari :


1. Pengalaman trauma yang muncul kembali dalam mimpi atau pikiranpikiran waktu terjaga.
2. Emosi yang tumpul dalam kehidupan atau hubungan interpersonal
3. Terdapat gejala-gejala otonom yang tidak stabil, depresi dan gangguan
kognitif (seperti kesukaran konsentrasi)
Gangguan tersebut timbul apabila mengalami stres emosional / trauma
psikologik yang besar yang berada di luar batas - batas pengalaman manusia
yang lazim.
Gangguan stres pascatraumatik dapat terjadi dengan segera, hal ini
dapat dilihat langsung pada bencana alam, pengalaman seseorang terhadap
reaksi dari trauma tersebut merespon kejadian yang baru dialaminya di luar
kontrol dirinya, menangis, hilang ingatan sesaat, menjerit-jerit, histeria dan
sebagainya. Gangguan stres pascatraumatik juga dapat disebabkan oleh

stres ringan yang pada awalnya, akan tetapi stres berlangsung secara
kontinu, stres tersebut berlangsung sampai berminggu-minggu, bulan dan
bahkan tahunan.

Epidemiologi
Prevalensi gangguan stres pascatraumatik pada masyarakat umum
diperkirakan dari 1 sampai 3 persen dimana 0,5 % untuk pria dan 1,2 % pada
wanita, anak-anak juga mengalami gangguan tersebut. Sebagai contoh
peristiwa perang, perkosaan atau penyerangan secara seksual, serangan
yang melukai tubuh, penyiksaan, penganiayaan anak, peristiwa bencana
alam seperti : gempa bumi, tanah longsor, banjir bandang, kecelakaan lalu
lintas atau musibah pesawat jatuh.
Walaupun gangguan stres pascatraumatik dapat tampak pada setiap
usia, gangguan ini paling menonjol pada dewasa muda, karena sifat situasi
yang mencetuskannya. Tetapi, anak-anak dapat mengalami gangguan stres
pascatraumatik.
Trauma untuk pria biasanya akibat pengalaman peperangan dan
trauma untuk wanita paling sering adalah penyerangan atau pemerkosaan.
Gangguan sangat mungkin terjadi pada mereka yang sendirian, bercerai,
janda, mengalami gangguan ekonomi atau menarik diri secara sosial.
Penelitian terhadap korban yang

selamat dalam kamp NAZI

menemukan bahwa 97% dari korban masih terganggu dengan kecemasan


sampai 20 tahun setelah ia dibebaskan dari kamp tersebut. Banyak dari
mereka yang membayangkan trauma hukuman mati di dalam mimpi mereka

dan merasa takut bahwa sesuatu dapat terjadi pada pasangan atau anakanak saat tidak terlihat (Krystal, 1968)
Suatu survei yang menyangkut veteran Vietnam disebutkan bahwa
15% dari veteran tersebut mengalami gangguan stres paca-traumatik sejak
kepulangan mereka (Centers Disease Control, 1988), sementara penelitian
lain menyebutkan bahwa reaksi stres terhadap horor perang juga ditemukan
pada Perang Dunia I yang disebut dengan shell shock sindrom dan combat
fatigue pada Perang Dunia II

Etiologi
Stresor adalah penyebab utama dalam perkembangan gangguan stres
pascatraumatik. Tetapi tidak semua orang akan mengalami gangguan stres
pascatraumatik setelah suatu peristiwa traumatik. Walaupun stressor
diperlukan, namun stressor tidak cukup untuk menyebabkan gangguan.
Faktor-faktor yang harus ikut dipertimbangkan adalah faktor biologis
indVidual, faktor psikososial sebelumnya dan peristiwa yang terjadi setelah
trauma.
Penelitian terakhir pada gangguan stres pascatraumatik sangat
menekankan pada respon subjektif seseorang terhadap trauma ketimbang
beratnya stresor itu sendiri. Walaupun gejala gangguan stres pascatraumatik
pernah dianggap secara langsung sebanding dengan beratnya stresor,
penelitian empiris telah membuktikan sebaliknya. Jika dihadapkan dengan
trauma yang berat, sebagian orang tidak akan mengalami gangguan stres
pascatraumatik. Sebaliknya peristiwa yang mungkin tampaknya biasa atau
kurang berbahaya bagi kebanyakan

orang mungkin dapat menyebabkan

gangguan stres pascatraumatik pada beberapa orang karena arti subjektif


dari peristiwa tersebut.
Faktor kerentanan yang merupakan predisposisi tampaknya memainkan
peranan penting dalam menentukan apakah gangguan akan berkembang
yaitu :
1. Adanya trauma masa anak-anak
2. Sifat gangguan kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau antisosial
3. Sistem pendukung yang tidak adekuat
4. Kerentanan konstitusional genetika pada penyakit psikiatrik
5. Perubahan hidup penuh stres yang baru terjadi
6. Persepsi lokus kontrol eksternal
7. Penggunaan

alkohol,

walaupun

belum

sampai

pada

taraf

ketergantungan.
Penelitian psikodinamika terhadap orang yang dapat bertahan hidup dari
trauma

psikis

yang

parah

telah

menemukan

aleksitimia,

yaitu

ketidakmampuan untuk mengidentifikasi atau mengungkapakan keadaaan


perasaan sebagai ciri yang umum. Jika trauma psikis terjadi pada masa
anak- anak, biasanya dihasilkan perhentian perkembangan emosional. Jika
trauma terjadi pada masa dewasa, regresi emosional sering kali terjadi.
Mereka tidak mampu menenangkan dirinya jika dalam keadaan stres.

BAGAN STRES DAN STRES PASCA TRAUMA

Faktor Psikodinamika
Model kognitif dari gangguan stres pascatraumatik menyatakan bahwa
orang yang terkena stres pascatraumatik tidak mampu memproses atau
merasionalkan trauma yang mencetuskan gangguan.
Mereka terus mengalami stres dan berusaha untuk tidak mengalami
kembali stres dengan teknik menghindar. Sesuai dengan kemampuan parsial
mereka untuk mengatasi peristiwa secara kognitif, pasien mengalami periode
mengakui peristiwa dan menghambatnya secara berganti-ganti.
Model perilaku dari gangguan stres pascatraumatik menyatakan
bahwa gangguan memiliki dua fase dalam perkembangannya. Pertama,
trauma (stimulus yang tidak dibiasakan) adalah dipasangkan, melalui

pembiasaan klasik dengan stimulus yang dibiasakan (pengingat fisik atau


mental terhadap trauma). Kedua, melalui pelajaran instrumental, pasien
mengambangkan pola penghindaran terhadap stimulus yang dibiasakan
maupun stimulus yang tidak dibiasakan.
Model psikoanalitik dari gangguan menghipotesiskan bahwa trauma
telah mereaktVasi konflik psikologis yang sebelumnya diam dan belum
terpecahkan. Penghidupan kembali trauma masa anak-anak menyebabkan
regresi dan penggunaan mekanisme pertahanan represi, penyangkalan, dan
meruntuhkan (undoing). Ego hidup kembali dan dengan demikian berusaha
menguasai dan menurunkan kecemasan. Pasien juga mendapatkan tujuan
sekunder dari dunia luar, peningkatan perhatian atau simpati, dan pemuasan
kebutuhan ketergantungan. Tujuan tersebut mendorong gangguan dan
persistensinya.

Suatu

pandangan

kognitif

tentang

gangguan

stres

pascatraumatik adalah bahwa otak mencoba untuk memproses sejumlah


besar informasi yang dicetuskan oleh trauma dengan periode menerima dan
menghambat peristiwa secara berganti-ganti.
Faktor biologis
Teori

biologis

tentang

gangguan

stres

pascatraumatik

telah

dikembangkan dari penelitian praklinik dari model stres pada binatang dan
dari pengukuran variable biologis dari populasi klinis dengan gangguan stres
pascatraumatik. Banyak system neurotransmitter telah dilibatkan dalam
kumpulan

data

tersebut.

Model

praklinik

pada

binatang

tentang

ketidakberdayaan, pembangkitan, dan sensitisasi yang dipelajari telah


menimbulkan teori tentang norepinefrin, dopamine, opiat endogen, dan
reseptor benzodiazepine dan sumbu hipotalamus, hipofisis adrenal. Pada
populasi klinis, data telah mendukung hipotesis bahwa system noradrenergik
dan opiat endogen, dan juga sumbu hipotalamus-hipofisis adrenal, adalah

10

hiperaktif pada sekurangnya beberapa pasien dengan gangguan stres


pascatrauamtik.
Temuan biologis utama lainnya adalah peningkatan aktVitas dan
responsVitas system saraf otonom, seperti yang dibuktikan oleh peninggian
kecepatan denyut jantung dan pembacaan tekanan darah, dan arsitektur tidur
yang abnormal (sebagai contohnya, fragmentasi tidur dan peningkatan
latensi tidur).

Gambaran Klinis dan Diagnosis


Gambaran klinis utama dari gangguan stres pascatraumatik adalah
pengalaman ulang peristiwa yang menyakitkan, suatu pola menghindar dan
kekakuan emosional dan kesadaran yang berlebihan yang hampir tetap.
Gangguan mungkin tidak berkembang sampai berbulan-bulan atau bertahuntahun

setelah

peristiwa.

Pemeriksaaan

status

mental

seringkali

mengungkapkan rasa bersalah, penolakan dan penghinaan. Pasien mungkin


juga menggambarkan keadaan disosiatif dan serangan panik. Ilusi dan
halusinasi mungkin ditemukan. Tes kognitif mungkin mengungkapkan bahwa
pasien memiliki gangguan daya ingat dan perhatian.
Gejala penyerta dapat berupa agresi, kekerasan , pengendalian impuls
yang buruk dan depresi. Berbagai ciri anti sosial mungkin ditemukan
termasuk penyalahgunaan dan ketergantungan alkohol dan obat, perasaan
bersalah yang menonjol, insomnia, ilusi dan halusinasi, disosiasi, serangan
panik, agresi, kekerasan dan gangguan daya ingat serta gangguan
memusatkan perhatian (konsentrasi).
Kriteria diagnosis DSM-V untuk gangguan stres pascatraumatik ditulis
untuk memperjelas beberapa kriteria dalam DSM-III-R.

11

Pertama

DSM-III-R

menggambarkan

stresor

di

luar

rentang

pengalaman manusia pada umumnya. Karena kriteria adalah tidak jelas dan
tidak dapat dipercaya, DSM-V memperjelas artinya (Kriteria A).
Dalam DSM-V, kriteria B menyebutkan, seperti dalam DSM-III-R,
bahwa pasien secara menetap mengalami kembali peristiwa traumatik.
Kriteria C dan D pada DSM V tetap sama dengan DSM-III-R, mereka
menyebutkan

penghindaran

persisten

terhadap

situasi

tertentu

dan

peningkatan kesadaran pada pasien.


DSM-V

menyebutkan

bahwa

gejala

pengalaman

ulang

(reexperiencing), menghindar dan kesadaran yang berlebihan (hiperarousal)


harus berlangsung lebih dari 1 bulan. Bagi pasien yang gejalanya ditemukan
kurang dari satu bulan, diagnosis yang tepat mungkin adalah gangguan stres
akut. Kriteria diagnostik DSM-V untuk gangguan stres pascatraumatik yang
memungkinkan klinisi menentukan apakah gangguan adalah akut (jika
berlangsung kurang dari tiga bulan ) atau kronis (jika gejala berlangsung tiga
bulan atau lebih). DSM-V juga memungkinkan klinisi menentukan bahwa
gangguan adalah dengan onset lambat jika onset gejala adalah enam bulan
atau lebih setelah peristiwa stres.
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Stres Pascatraumatik :
A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua
dari berikut ini terdapat :
1. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan
suatu kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman
kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang
serius, atau ancaman kepada integritas fisik diri atau orang lain.
2. Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak
berdaya atau horor.

12

B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau


lebih) cara berikut :
1. Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengganggu
tentang kejadian, termasuk angan pikiran atau persepsi.
2. Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian.
3. Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik
terjadi kembali (termasuk perasaan penghidupan kembali
pengalaman kembali pengalaman, ilusi, halusinasi dan episode
kilas balik disosiatif, termasuk yang terjadi saat terbangun atau
saat terintoksikasi).
4. Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda
internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai
suatu aspek kejadian traumatik.
5. ReaktVitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau
eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek
kejadian traumatik.
C. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan
trauma dan kaku

karena responsVitas umum (tidak ditemukan

sebelum trauma), seperti yang ditunjukkan oleh tiga (atau lebih)


berikut ini :
1) Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau
percakapan yang berhubungan trauma
2) Usaha untuk menghindari aktVitas, tempat atau orang
yang menyadarkan rekoleksi dengan trauma.
3) Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari
trauma.
4) Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam
aktVitas yang bermakna

13

5) Rentang afek yang terbatas


6) Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek.
D. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan
sebelum trauma ) yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut :
1) Kesulitan untuk tidur atau tetap tidur
2) Iritabilitas atau ledakan kemarahan
3) Sulit berkonsentrasi
4) Kewaspadaan berlebihan
5) Respon kejut yang berlebihan
E. Lama gangguan (gejala dalam kriteria b, c, d) adalah lebih dari satu
bulan
F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis
atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau

fungsi penting

lain.
Sebutkan jika :
Akut

jika lama gejala adalah kurang dari 3 bulan

Kronis

jika lama gejala adalah 3 bulan atau lebih

Sebutkan jika :
Dengan onset lambat : onset gejala sekurangnya enam
bulan setelah stressor
Tabel dari DSM- V, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disoerder, ed 4. Hak cipta
American Psychiatric Association, Washington 1994.

Kriteria diagnostik untuk Gangguan Stres Akut


A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua
dari berikut ini ditemukan :
1. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan
suatu kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman

14

kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang


serius, atau ancaman kepada integritas diri atau orang lain.
2. Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak
berdaya atau horor.
B. Salah satu selama mengalami atau setelah mengalami kejadian yang
menakutkan, indVidu tiga (atau lebih) gejala disosiatif berikut :
1. perasaan subyektif kaku, terlepas, atau tidak ada responsVitas
emosi
2. penurunan kesadaran terhadap sekelilingnya (misalnya, berada
dalam keadaan tidak sadar)
3. derelisasi
4. depersonalisasi
5. amnesia disosiatif (yaitu, ketidakmampuan untuk mengingat
aspek penting dari trauma)
C. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali sekurangnya satu
cara berikut : bayangan, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik yang
rekuren, atau suatu perasaan hidupnya kembali pengalaman atau
penderitaan saat terpapar dengan mengingat kejadian traumatik
D. Penghindaran jelas terhadap stimuli yang menyadarkan rekoleksi
trauma (misalnya, pikiran, perasaan, percakapan, aktVitas, tempat,
orang).
E. Gejala kecemasan yang nyata atau pengingat kesadaran (misalnya,
sulit tidur, iritabilias, konsentrasi buruk, kewaspadaan berlebihan,
respon kejut yang berlebihan, dan kegelisahan motorik).
F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis
atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau

fungsi penting

lain, menganggu kemampuan indVidu untuk mengerjakan tugas yang


diperlukan,

seperti

meminta

15

bantuan

yang

diperlukan

atau

menggerakan kemampuan pribadi dengan menceritakan kepada


anggota keluarga tentang pengalaman traumatic.
G. Gangguan berlangsung selama minimal 2 hari dan maksimal 4 minggu
dan terjadi dalam 4 minggu setelah traumatik
H. Tidak karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat
yang disalahgunakan, medikasi) atau kondisi medis umum, tidak lebih
baik diterangkan oleh gangguan psikotik singkat dan tidak sematamata suatu eksaserbasi gangguan Aksis I atau Aksis II dan telah ada
sebelumnya.
Kriteria diagnostik untuk Gangguan Stres Akut menurut PPDGJ III

Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun


waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang
berkisar antara beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan).

Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya


waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6
bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat
alternatif kategori gangguan lainnya.

Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayangbayang atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara
berulang-ulang kembali (flashback).

Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku


semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.

Suatu sequele menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar
biasa,

misalnya

saja

beberapa

puluh

tahun

setelah

trauma,

diklasifikasi dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang


berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).

16

Perjalanan penyakit dan Prognosis


Gangguan stres pascatraumatik biasanya berkembang pada suatu
waktu setelah trauma, dapat sependek satu minggu atau selama 30 tahun.
Gejala dapat berfluktuasi dengan berjalannya waktu dan mungkin paling kuat
selama periode stres. Kira-kira 30% pasien piulih secara lengkap, 40% terus
menderita gejala ringan, 20% terus menderita gejala sedang, dan 10% tetap
tidak berubah atau menjadi buruk.
Prognosis yang baik diramalkan oleh onset gejala yang cepat, durasi
gejala yang singkat (kurang dari enam bulan), fungsi pramorbid yang baik,
dukungan sosial yang kuat dan tidak adanya gangguan psikiatrik, atau
berhubungan dengan zat lainnya.
Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki
lebih banyak kesulitan dengan peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang
dalam usia pertengahan. Kecacatan psikiatrik yang ada sebelumnya, apakah
suatu gangguan kepribadian atau suatu kondisi yang lebih serius, juga
meningkatkan efek stresor tertentu.
Tersedinya dukungan sosial juga mempengaruhi perkembangan,
keparahan dan durasi gangguan stres pasca traumatik. Pada umumnya,
pasien yang mendapat dukungan sosial yang baik kemungkinan tidak
mengalami gangguan atau tidak mengalami gangguan dalam bentuk yang
parah.

Diagnosis Banding
Pertimbangan

utama

dalam

diagnosis

banding

gangguan

stress

pascatraumatik dengan kemungkinan bahwa pasien juga mengalami cedera


kepala selama trauma.

17

Pertimbangan organik lainnya yang dapat menyebabkan atau


mengeksaserbasi gejala adalah epilepsi, gangguan penggunaan alkohol dan
gangguan yang berhubungan dengan zat lainnya.
Intoksikasi akut atau putus dari suatu zat mungkin juga menunjukkan
gambaran klinis yang sulit dibedakan dari gangguan stres pascatraumatik
sampai efek zat hilang.
Gangguan stress pascatraumatik pada umumnya sering keliru
didiagnosis sebagai gangguan mental lain, yang menyebabkan pengobatan
yang

tidak

tepat.

Klinisi

harus

mempertimbangkan

gangguan

stres

pascatraumatik pada pasien yang menderita gangguan nyeri (pain disorder),


penyalahgunaan zat, gangguan kecemasan lain, dan gangguan mood.
Pada umumnya, gangguan stres pascatraumatik dapat dibedakan dari
gangguan mental organik dengan mewawancarai pasien tentang peristiwa
traumatik sebelumnya dan melalui sifat gejala sekarang ini.
Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguan
buatan atau berpura-pura juga harus dipertimbangkan.
Gangguan

kepribadian

ambang

mungkin

sulit

dibedakan

dari

gangguan stress pascatraumatik. Dua gangguan tersebut dapat terjadi


bersama-sama atau bahkan saling berhubungan sebab akibat.
Gangguan

disosiatif

biasanya

tidak

memiliki

derajat

perilaku

menghindar, kesadaran berlebih otonomik, atau riwayat trauma yang


dilaporkan oleh pasien gangguan stres pascatraumatik.
Sebagian karena publisitas yang telah diterima gangguan stres
pascatraumatik dalam berita populer, klinisi harus juga mempertimbangkan
kemungkinan suatu gangguan buatan dan berpura pura.

18

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan

Gangguan

Kecemasan

khususnya

Gangguan

Stres

Pascatrauma
Terdapat tiga pendekatan terapetik untuk mengatasi gejala berhubungan
dengan kecemasan yaitu :
1. Manajemen krisis
2. Psikoterapi
3. Farmakoterapi
Tujuan utama dari Manajemen Krisis adalah :
1. Peredaan gejala
2. pencegahan konsekuensi yang merugikan dari krisis tersebut untuk
jangka pendek
3. Suportif (dukungan)

Psikoterapi
Psikoterapi harus dilakukan secara indVidual, karena beberapa pasien
ketakutan akan pengalaman ulang trauma. Rekosntruksi peristiwa traumatik
dengan abreaksi dan katarsis yang menyertai mungkin bersifat terapeutik.
Intervensi psikodinamika untuk gangguan stres pascatraumatik adalah
terapi perilaku, terapi kognitif dan hipnosis. Banyak klinisi menganjurkan
psikoterapi

singkat

untuk

korban

trauma.

Terapi

tersebut

biasanya

menggunakan pendekatan kognitif dan juga memberikan dukungan dan


jaminan. Sifat jangka pendek dari psikoterapi menekan risiko ketergantungan
dan kronisitas. Masalah kecurigaan, paranoia, dan kepercayaan seringkali
merugikan kepatuhan. Ahli terapi harus mengatasi penyangkalan pasien
tentang

peristiwa

traumatik,

mendorong

19

mereka

untuk

santai,

dan

mengeluarkan mereka dari sumber stress. Pasien harus didorong untuk tidur,
menggunakan medikasi jika dilakukan. Dukungan dari lingkungan (seperti
teman-teman dan sanak saudara) harus disediakan. Pasien harus didorong
untuk mengingat dan melepaskan perasaan emosional yang berhubungan
dengan peristiwa traumatik dan merencanakan pemulihan di masa depan.
Psikoterapi setelah peristiwa traumatik harus mengikuti suatu model
intervensi

krisis

dengan

dukungan,

pendidikan,

dan

perkembangan

mekanisme mengatasi dan penerimaan peristiwa. Jika gangguan stress


pascatraumatik telah berkembang, dua pendekatan psikoterapetik utama
dapat diambil. Pertama adalah pemaparan dengan peristiwa traumatik
melalui teknik pembayangan (imaginal technique) atau pemaparan in vVo.
Pemaparan dapat kuat, seperti pada terapi implosif, atau bertahap. Seperti
pada desensitisasi sitematik. Pendekatan kedua adalah mengajarkan pasien
metoda penatalaksanaan kognitif untuk mengatasi stres, termasuk teknik
relaksasi dan pendekatan kognitif. Beberapa data awal menyatakan bahwa,
walaupun

teknik

penatalaksanaan

stress

adalah

efektif

lebih

cepat

dibandingkan teknik pemaparan, hasil dari teknik pemaparan adalah lebih


lama.
Disamping teknik terapi indVidual, terapi kelompok dan terapi keluarga
telah dilaporkan efektif pada kasus gangguan stres pascatraumatik.
Keuntungan terapi kelompok adalah berbagi berbagai pengalaman traumatik
dan mendapatkan dukungan dari anggota kelompok lain. Terapi kelompok
telah berhasil pada veteran Vietnam. Terapi keluarga seringkali membantu
mempertahankan suatu perkawinan melalui periode gejala yang mengalami
eksaserbasi. Perawatan di rumah sakit mungkin diperlukan jika gejala adalah
cukup parah atau jika terdapat risiko bunuh diri atau kekerasan lainnya.

20

Farmakoterapi
Obat-obat anti anxietas sebaiknya digunakan untuk waktu yang singkat
karena ditakutkan akan terjadi ketergantungan, meskipun banyak obat yang
efektif untuk meredakan anxietas.
1. Trycyclic and monoamine oxidase inhibitors (MAOIs)
Bahwa reversible MAOIs, moclobimide juga dapat berguna dalam
perawatan gangguan stress pascatrauma.
2. SelectVe Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)
Perubahan

terutama

terlihat

untuk

reexperiencing

dan

gejala

hyperarousal daripada penolakan. Yang juga menarik adalah penurunan


rasa bersalah dari yang selamat. Fluvoxamine tampaknya lebih efektif.
Digunakan pula paroxetine sampai 60 mg untuk 12 minggu. Disamping itu
dapat pula dicoba dengan Trazodone, dosis sampai 400 mg/hari.
3. Benzodiazepin
Benzodiazepin telah merupakan obat terpilih untuk gangguan kecemasan
umum. Pada gangguan benzodiazepin dapat diresepkan atas dasar jika
diperlukan, sehingga pasien menggunakan benzodiazepin kerja cepat jika
mereka merasakan kecemasan tertentu. Pendekatan alternatif adalah
dengan meresepkan benzodiazepin untuk suatu periode terbatas, selama
mana pendekatan terapetik psikososial diterapkan.
Beberapa

masalah

adalah

berhubungan

dengan

pemakaian

benzodiazepin dalam gangguan kecemasan umum. Kira-kira 25 sampai


30 persen dari semua pasien tidak berespon, dan dpat terjadi toleransi
dan ketergantungan. Beberapa pasien juga mengalami gangguan
kesadaran saat menggunakan obat dan dengan demikian, adalah berada

21

dalam risiko untuk mengalami kecelakaan kendaraan bermotor atau


mesin.
4.

Obat-obat lainnya
Propanolol dan Clonidin, keduanya secara efektif menekan aktVitas
noradrenergik, telah digambarkan berguna dalam beberapa serial kasus
terbuka.
Selain itu juga terdapat laporan kasus yang menunjukkan keberhasilan
dari alfa-agonis Guanfacine pada wanita muda.
Serotonergik dibandingkan antidepresan lainnya juga berguna untuk
kasus gangguan stress pascatrauma, sebagai contoh Buspirone.
Dosis 60 mg/hari atau lebih dapat efketif, trauma untuk gejala
hyperarousal.
Sebagai tambahan, Cyproheptadine (sampai 12 minggu saat tidur)
dilaporkan berguna untuk melepaskan mimpi buruk pada pasien dengan
gangguan stress pascatrauma.
Dopamine blocker juga dilaporkan berguna untuk beberapa kasus
gangguan stress pascatrauma. Ada pula yang melaporkan kegunaan
Risperidone gangguan stress pascatrauma ditunjukkan melalui kilas balik
yang jelas dan mimpi-mimpi buruk.
Naltrexone (50 mg/hari) dilaporkan efektif dalam mengurangi kilas balik
pada pasien dengan gangguan stress pascatrauma. Tetapi tidak terdapat
controlled

studies

dengan

opiat

agenda

pada

gangguan

stress

pascatrauma.
Ada

beberapa

laporan

mengenai

kegunaan

Thymoleptics-lithium

Carbamazepine dan Valproat dalam gangguan stress pascatrauma.

22

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Gangguan Stres Pasca traumatik adalah gangguan cemas yang terdiri dari :
1. Pengalaman tentang trauma melalui mimpi dan pikiran yang datang
runtun beruntun
2. penghindaran terhadap trauma dan
3. kesadaran berlebihan yang persisten sifatnya
Prevalensi gangguan stres pascatraumatik pada masyarakat umum
yaitu 0,5% untuk pria dan 1,2% untuk wanita. Anak-anak dapat mengalami
gangguan tersebut.
Etiologi dari gangguan stres pascatraumatik antara lain :
1. Stresor
2. Faktor psikodinamik
3. Faktor biologis
4. Stresor merupakan penyebab utama dalam perkembangan gangguan
stress pascatrauma.
DSM-V menyebutkan bahwa gejala pengalaman ulang, menghindar,
dan kesadaran yang berlebihan harus berlangsung lebih dari satu bulan.
Bagi pasien yang gejalanya ditemukan kurang dari satu bulan,
diagnosis yang tepat adalah gangguan stress akut.
Kriteria diagnostik DSM-V untuk gangguan stress pascatraumatik
memungkinkan klinisi menentukan apakah gangguan adalah akut (jika gejala
berlangsung kurang dari tiga bulan) atau kronis (lebih dari tiga bulan).

23

Manfaat

Imipramin

dan Amitriptilin,

dua

obat Trisiklik,

dalam

pengobatan gangguan stress pascatraumatik didukung oleh sejumlah uji


coba klinisi terkontrol baik.

Obat lain yang mungkin berguna dalam pengobatan gangguan stress


pascatraumatik adalah Serotonin-Specific Reuptake Inhibitors (SSRI), MonoAmine Oxidase Inhibitors (MAOI), dan anti konvulsan (carbamazepin).
Clonidin dan Propanol dianjurkan.
Intervensi psikodinamika untuk gangguan stress pascatraumatik
adalah terapi perilaku, terapi kognitif, dan hypnosis. Banyak klinisi
menganjurkan psikoterapi singkat untuk korban trauma. Terapi tersebut
biasanya menggunakan pendekatan kognitif dan juga memberikan dukungan
dan jaminan.
Psikoterapi harus dilakukan secara indVidual, karena beberapa pasien
ketakutan akan pengalaman ulang trauma.
Psikoterapi setelah peristiwa traumatic harus mengikuti suatu model
intervensi

krisis

dengan

dukungan

pendidikan,

dan

perkembangan

mekanisme mengatasi dan penerimaan peristiwa.


Jika

gangguan

stress

pascatraumatik

telah

berkembang,

dua

pendekatan psikoterapi utama dapat diambil.


Pertama adalah pemaparan engan peristiwa traumatic melalui teknik
pembayangan (imaginal technique) atau pemaparan invVo. Pemaparan dapat
menjadi kuat, seperti pada terapi implosif, atau bertahap, seperti pada
desentisasi sistemik.

24

Pendekatan kedua adalah dengan cara mengajarkan kepada pasien


metode pelaksanaan stress, termasuk teknik relaksasi dan pendekatan
kognitif untuk mengatasi stress.
Penutup
Keadaan stres, konflik-konflik yang kompleks menjadikan pencetus
stres bagi indVidu maupun masyarakat sendiri. Secara subyektif kecemasan
itu bagi kebanyakan orang adalah perasaan yang tidak enak, yang perlu
secepat-cepatnya dihalaukan.
Secara objektif kecemasan itu merupakan suatu pola psikobiologik
dengan fungsi pemberitahu (alarm) adanya bahaya, dengan mengakibatkan
suatu perencanaan tindakan yang efektif, ialah suatu usaha penyesuaian diri
terhadap trauma psikis, krisis dan konflik. Apabila perencanaan dalam
penyesuaian diri ini berjalan dengan baik maka kecemasan akan berkurang,
tetapi apabila perencanaan ini berlangsung tidak baik kecemasan bahkan
akan bertambah hebat.
Untuk itu dalam menghadapi kecemasan orang dapat mengadakan
reaksi sebagai berikut : secara sadar menghadapinya dan berusaha
meniadakan atau memperkecil kekuatannya dengan jalan rasionalisasi.
Secara tidak sadar orang dapat menghadapinya dan berusaha meniadakan
atau memperkecil kekuatannya dengan jalan rasionalisasi
Secara tidak sadar orang dapat menempuh 2 jalan :
a. Dengan menggunakan mekanisme pembelaan, yang kita lihat pada reaksi
fobik dan reaksi obsesi.
b. Dengan menggunakan mekanisme konversi.

25

DAFTAR PUSTAKA
1. Gabbard GO : Anxiety Disorders : The DSM V Edition, American
Psychiatric Press, Washington, 1994
2. Kaplan, Sadock : Synopsis of Psychiatry, 7 th Edition, William & Wilkins,
Baltimore, 1993
3. Ibrahim A. S : Panik, Neurosis dan Gangguan Cemas, PT. Dian
Ariesta,Jakarta, 2003
4.

Andreasen. N.C and Black. D.W, 2001, Introductory Textbook of


Psychiatry. 3rd ed, British Libarry, USA: 335-342.

5. http:

//

med

linux.blogspot.com/2007/08/gangguan

Stres

Pasca

Stres

Pasca

Trauma.html
6. http://psiko-indonesia.blogspot.com/2007/01/
Trauma.html
7. http:// www.pulih.or.id/?lang=&page=self

26

gangguan

27

Anda mungkin juga menyukai