Anda di halaman 1dari 27

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/272945694

Bugis dalam Peradaban Melayu

Book · November 2013

CITATIONS READS

0 5,520

3 authors, including:

Makmur Haji Harun Sitti Rachmawati Yahya


Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) National University Jakarta
34 PUBLICATIONS   5 CITATIONS    9 PUBLICATIONS   28 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Document Image Analysis View project

Bugis di Nusantara View project

All content following this page was uploaded by Makmur Haji Harun on 02 March 2015.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


DIASPORA BUGIS DI SUMATRA
Menyelusuri Seni dan Budaya Bugis di Provinsi Jambi

MAKMUR HAJI HARUN


BUCHARI KATUTU
SITTI RACHMAWATI YAHYA

Fakulti Bahasa dan Komunikasi,


UNIVERSITI PENDIDIKAN SULTAN IDRIS (UPSI)
35900, Tanjong Malim, Perak Darul Ridzuan

2013

0
DIASPORA BUGIS DI SUMATRA
Menyelusuri Seni dan Budaya Bugis di Provinsi Jambi

Makmur Haji Harun


Fakulti Bahasa dan Komunikasi, Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI)
35900, Tanjong Malim, Perak Darul Ridzuan, Malaysia.
Email : makmur@fbk.upsi.edu.my

Buchari Katutu
Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sulthan Thaha Syaifuddin (STS)
Jalan Arif Rahman Hakim, Telanaipura, Provinsi Jambi, Indonesia.
Email : buchari@gmil.com

Sitti Rachmawati Yahya


Fakulti Teknologi dan Sains Maklumat (FTSM), Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM)
43600, Bangi Selangor, Darul Ehsan, Malaysia.
Email : sitti.rachma@gmail.com

Abstrak
Suku Bugis yang mendiami provinsi Jambi merupakan salah satu suku
perantau berasal dari Sulawesi Selatan Indonesia. Kehidupan orang Bugis
lebih memilih pesisir pantai sebagai tempat aktivitas sehari-hari mereka dalam
memudahkan kehidupannya. Cara hidup suku ini memiliki budaya saling
berhubungan antar sesama, amalan hidup selalu mengikut adat istiadat, pemali
dan pantangan, tolak ansur, dan berasaskan persaudaraan. Orang Bugis
kebanyakan menganut agama Islam sebagai keyakinan hidup, terkenal dalam
bidang maritim, politik, pertanian, perkebunan, perikanan, ekonomi, dan
perdagangan. Tradisi mereka memegang prinsip siri, pesse dan ade’ yang
diwariskan turun-temurun sebagai prinsip hidup tak terbantahkan. Suku ini
memiliki aksara tersendiri untuk bertutur dan pandai berlagu dan berzanji.
Orang Bugis juga memiliki seni dan budaya tertentu yang mentradisi di tempat
mereka tinggal, dan menjadi pembuka terulung hutan belantara dalam
pertanian, perkebunan atau perkampungan. Melalui tulisan ini, penulis ingin
mengungkap suku Bugis sebagai satu suku bangsa Indonesia yang
mengembangkan kehidupan masyarakatnya yang khas dan unik sekaligus
dapat menentukan arah hidup mereka. Pembahasan ini diharapkan juga
mampu menjadi wacana ilmu untuk mengungkap diaspora Bugis di Sumatra
sebagai suku pewaris khazanah perantau bersama suku bangsa dan etnik
pribumi lainnya di provinsi Jambi.

Pendahuluan

Istilah Bugis menurut Kamus Dewan bermakna suku bangsa yang berasal dari Sulawesi Selatan,
Indonesia yang terkenal sebagai pelaut (Kamus Dewan, 2010: 212). Suku ini juga merupakan
bagian dari suku etnik lainnya di wilayah Sulawesi yaitu termasuk kelompok suku bangsa
Toraja, Mandar, dan Makassar. Orang Bugis kini dengan populasinya mencapai 4 (empat) juta
yang mendiami hampir kesemua kawasan Sulawesi Selatan di mana kebanyakan agama yang
dianut oleh mereka adalah agama Islam. Suku ini merupakan suku bangsa yang menyebar dan
merantau hampir ke seluruh kawasan pesisir pantai kepulauan nusantara Indonesia, asal nenek
moyang mereka dikatakan berasal dari Sulawesi Selatan.

1
Suku Bugis menurut Thomas Stamford Raffles dan menggelarkan tanah asal mereka
adalah Celebes (Sulawesi) mengatakan bahwa, Bugis adalah negara maritim dan pusat
perdagangan yang besar di kepulauan ini, sedangkan orangnya bersosok tubuh yang
perawakannya tidak terlalu tinggi dan mereka termasuk orang yang pemberani, paling petualang,
punya semangat usaha yang tinggi di antara bangsa-bangsa di timur dan terutama sekali mereka
amat gemarkan kehidupan menantang (A. Rahman Rahim, 2011: 4). Semenjak penaklukan
Belanda pada kurun abad ke-17 menyebabkan sebagian dari suku ini berpindah dan bercampur
dengan suku bangsa lainnya di berbagai wilayah seperti Sumatra, Kalimantan, Jawa, Maluku,
Papua, Semenanjung Malaysia, Sabah dan termasuk Sarawak.

Sejarah ini berlanjut sehingga menjadi catatan panjang penghijrahan orang Bugis ke
Sumatra termasuk Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatra Selatan sehingga ke Johor Malaysia.
Perantauan ini masih mengekalkan pengaruh kehidupan mereka dalam seni dan budaya, saling
berhubung dan berkomunikasi serta persaudaraan yang erat antara satu dengan lainnya. Amalan
cara hidup mereka masih diamalkan dengan berlandaskan hukum adat istiadat yang kental,
pemali dan pantangan. Orang Bugis kebanyakan menganut agama Islam sebagai keyakinan
hidup, di samping mereka tetap mewariskan prinsip hidup siri, pesse dan ade’ secara turun
temurun kepada keturunannya agar dapat menjalani kehidupan ini dengan baik, walau mesti
dihadapi denngan berbagai rintangan sehingga kapanpun.

Sudah menjadi pengetahuan umum bertulis yang dikawal oleh British, bahwasanya suku
Bugis cukup terkenal dalam bidang maritim dan bidang perdagangan dari Sulawesi ke merata
tempat. Mereka juga terkenal sebagai pahlawan yang gagah berani, lanun yang disegani (digelari
dengan teknik propaganda yang sukses oleh pesaingnya seperti Belanda dan Inggeris), dan juga
menjadi pedagang yang sukses. Pusat tumpuan utama bagi kebudayaan dan ekonomi suku Bugis
ini adalah Ujung Pandang atau dikenali sekarang sebagai Makassar. Mereka dikenal juga sebagai
pedagang rempah-rempah dan kemenyan dengan melintasi lautan dan benua ke berbagai wilayah
sehingga ke Australia dan Afrika.

Suku Bugis pada zaman dahulu merupakan pembuka terulung terhadap hutan-hutan
belantara dan perkampung bagi tujuan penanaman padi atau guna membangun perkampungan
baru untuk ditempati. Aktivitas pembukaan lahan baru ini , biasanya dilakukan dengan seluas
yang mereka mampu dengan tujuan untuk mendapatkan kediaman dan perkampungan di
samping akan menghasilkan tuaian tanaman padi dan perkebunan kelapa yang lebih banyak.
Bagi masyarakat suku Bugis barang siapa yang dapat menghasilkan tuaian padi atau hasil
perkebunan lebih banyak, maka dia merupakan seorang yang bisa dianggap kaya dan bahkan
bisa dipandang tinggi, pintar, rajin dan kaya raya. Justeru itu suku Bugis ini pernah dianggap
sebagai salah satu masyarakat terkenal dengan penanaman padi dan pekebun kelapa yang ulung
di Sumatra dan Kalimantan.

Melalui tulisan ini penulis cuba untuk mengetengahkan suku Bugis di Sumatra Indonesia
sebagai satu suku bangsa yang terdapat di Provinsi Jambi. Mereka mengembangkan seni dan
budaya masyarakatnya yang khas dan unik, dalam hal ini memiliki kriteria dan corak
kehidupannya tersendiri untuk menunjukkan arah tujuan hidup mereka. Pembahasan ini
diharapkan juga mampu menjadi salah satu langkah melihat diaspora Bugis di Sumatra yang
dapat menyatukan warisan khazanah penduduk setempat di Provinsi Jambi sehingga meluas ke
Nusantara. Di antara pembahasan penting yang perlu dikemukakan dalam perbincangan ini ialah
di awali dengan Pendahuluan, Sejarah Awal Kewujudan Suku Bugis, Sejarah Kedatangan Suku

2
Bugis Jambi, Dinamika dan Realitas Kehidupan Suku Bugis Jambi, Seni dan Budaya Suku Bugis
Jambi, Bahasa dan Tradisi Suku Bugis Jambi, Makanan dan Pakaian Suku Bugis Jambi,
Pemerintahan dan Kepemimpinan Suku Bugis Jambi, Temuan, Harapan, Saran dan Cadangan,
kemudian diakhiri dengan Kesimpulan.

Sejarah Awal Kewujudan Suku Bugis

Pada akhir abad ke-15, Luwuk bisa dianggap sebagai ketua bagi komunitas orang Bugis, hal ini
mendominasi kebanyakkan kawasan di Tana Ugi termasuklah tebing Danau Besar, sepanjang
sungai Welennae sebagai tanah pertanian di sebelah timur, sepanjang pesisir pantai yang
menghadap Teluk Bone, Semenanjung Bira, Pulau Selayar dan Tanjung Bataeng. Walau
bagaimanapun, kerajaan ini mulai menghadapi penentangan dari kerajaan-kerajaan lain di
sekitarnya. Maka pada awal abad ini Luwuk dapat menguasai Sungai Cenrana yang
menghubungi Danau Besar. Penempatan Luwuk pula terletak di muara sungai Cenrana,
sedangkan di hulu-hulu sungai pula terdapat beberapa kerajaan kecil.

Luwuk coba ingin mengekalkan pengaruhnya di bagian barat, di jalan perhubungan


antara Selat Makassar dan Sungai Cenrana melalui Tasik Besar, untuk mengawal perdagangan
sumber-sumber alam di sebelah barat, air minum dari pegunungan Toraja dan sumber pertanian
sepanjang Sungai Welennae. Walau bagaimanapun, Sidenreng yang terletak di bagian barat
Danau Besar telah memilih untuk berlindung di bawah Soppeng. Pada waktu yang sama,
Sawitto' Alitta, Suppa', Bacukiki' dan Rappang, juga terletak di sebelah barat telah membentuk
satu kesatuan konfederasi yang di namakan “Aja'tappareng” (tanah di sebelah barat danau), hal
ini sekaligus menyebabkan Luwuk semakin hilang pengaruhnya ke atas kawasan-kawasan
tersebut.

Malahan, sesetengah penempatan-penempatan Bugis mulai enggan berada dibawah


pemerintahan Luwuk. Di hulu Sungai Cenrana pula, kerajaan Wajo' sedang membangun dan
mulai menyebarkan pengaruhnya untuk mengawal kawasan sekitarnya. Manakala
pemerintah-pemerintah di kawasan sekeliling Wajo' pula di gelar “Arung Matoa” bermaksud
Ketua Pemerintah. Kemudian sekitar tahun 1490, salah seorang dari pemerintahan ini membuat
perjanjian dengan Wajo', dan sekaligus meletakkan Luwuk di bawah pengaruh Wajo'. Pada tahun
1498 pula, penduduk Wajo' melantik Arung Matoa Puang ri Ma'galatung, seorang pemerintah
yang disegani oleh orang Bugis, dan berhasil menjadikan Wajo' sebagai salah satu kerajaan
utama dalam kalangan orang Bugis.

Adapun di sebelah selatan Bone sedang diperintah di bawah pemerintahan Raja


Kerrampelua, sedang meluaskan perbatasannya di kawasan pertanian sekaligus membantu
pengembangan ekonomi Bone, menambahkan kekuatan kaum buruh dan tentara mereka.
Penempatan Bugis yang disebut di dalam La Galigo kini terletak di bawah pengaruh
kerajaan-kerajaan yang sedang membangun. Soppeng pula terkurung di antara kekuasaan
Sidenreng, Wajo', dan Bone, manakala penempatan di tanah tinggi coba keluar dari pengaruh
Luwuk dan pada masa yang sama, ingin mengelakkan pengaruh kerajaan-kerajaan yang sedang
membangun.

Adanya tempoh antara 1500 dan 1530 telah menyaksikan kerajaan Luwuk pengaruhnya
mulai merosot. Ketika itu, Luwuk diperintah oleh Dewaraja yaitu seorang pahlawan yang hebat.
Di dalam pertemuan di antara Dewaraja dan Arung Matoa Puang ri Ma'galatung pada tahun

3
1508, Dewaraja bersetuju untuk menyerahkan kawasan-kawasan di sepanjang Sungai Cenrana
kepada Wajo' sebagai pertukaran agar Wajo' hendak membantu Luwuk menguasai Sidenreng
dimana Sidenreng berhasil dikuasai oleh Luwuk, dan Sidenreng terpaksa menyerahkan kepada
Wajo' kawasan timur laut dan utara Danau Besar.

Pada tahun 1509 Luwuk berhasil menyerang Bone untuk menhalang kekuasaan Bone
tetapi ketika itu, Bone sudah pun menjadi sebuah kerajaan yang kuat dan tentera Luwuk
mengalami kekalahan. Bahkan Dewaraja, walaupun berhasil melarikan diri, tetapi hampir
dibunuh jika tidak karena amaran pemerintah Bone kepada tentaranya untuk tidak 'menyentuh'
ketua musuh Bone tersebut. Walau bagaimanapun, Payung Merah milik Luwuk yang menjadi
simbol kerajaan tertinggi berhasil dimiliki oleh Bone, sekaligus mengakhiri kekuasaan Luwuk di
negeri-negeri Bugis. Selain itu, kekuasaan Luwuk masih disanjung tinggi dan dihormati oleh
kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan. Apabila penggantinya Dewaraja mangkat, Wajo'
akhirnya menyerang Luwuk dan meluaskan pengaruhnya di daerah-daerah Luwuk. Ini
membolehkan Wajo' menguasai beberapa kawasan-kawasan yang strategik.

Pada masa yang sama, berlaku peristiwa-peristiwa penting di sebelah barat dan selatan
Sulawesi Selatan. Siang ketika itu masih lagi menjadi kukatan utama di pesisir barat Makassar
dan Bantaeng (ketika itu dibawah pengruh Luwuk) di sebelah selatan pula terdapat dua
penempatan Makassar iaitu Gowa dan Tallo yang mulai membangun dan meluaskan pengaruh
mereka. Mengikut sumber yang diragui kesahihannya, Gowa dan Tallo pada mulanya adalah
satu negeri. Pada sekitar abad ke-15 Raja Tunatangka'lopi membagikan kawasan itu kepada dua
orang puteranya menjadi Gowa dan Tallo.

Terdapat juga kisah yang lain dimana di bawah Raja Daeng Matanre' (1510-1547), suatu
pejanjian telah dibuat. Mengikut perjanjian tersebut Gowa dan Tallo akan menjadi kerajaan
kembar, di mana terdapat dua pemerintah tetapi satu kerakyatan. Sesiapa yang coba menentang
perjanjian ini maka akan dihukum oleh Tuhan. Peristiwa ini mengikut Bulbeck (History
Archeology, 117) berlaku selepas tahun 1535. Peta Sulawesi yang dilukis oleh Potugis pertama
kali pada tahun 1534 tidak menyentuh tentang Gowa, dan hanya memeta “Siom” (Siang), 'Tello'
(Tallo) dan 'Agacim' (Garassi'). Mengikut penulisan Antonio de Paiva, Gowa, (dimana dalam
penulisannya merujuk kepada Kota Besar) yang kemudiannya muncul di peta Portugis,
sebelumnya dianggap di bawah pengaruh Siang. Sebaliknya kerajaan Tallo yang dibawah
pengaruh Siang kemudiannya di bawah pengaruh Gowa. Gowa kemudiannya menguasai Garassi,
sebuah pelabuhan yang menghubungkan pulau Jwa, sekaligus membolehkan Gowa mengawal
perdagangan laut.

Permulaan sejarah Gowa dan Tallo berlaku pada akhir abad ke-15, tetapi laporan
mengenai peristiwa-peristiwa yang berlaku di kedua-dua kawasan itu masih tidak jelas.
Perjanjian perluasan kekuasaan mungkin bermula ketika zaman pemerintahan Raja Daeng
Matanre, Gowa dan ianya berterusan selama dua abad selepasnya. Antara daerah-daerah yang
dikuasainya ialah Bajeng, sekutu-sekutu Tallo, kawasan-kawasan di bawah pengaruh Bantaeng
dan Gantarang. Keberhasilan kerajaan kembar ini, lebih dikenali di kalangan pedagang asing
sebagai sebuah 'negara' yang dikenal dengan nama Makassar. Ia boleh dikatakan satu gabungan
yang bijaksana di mana pemerintah Gowa meneruskan penguasaan wilayah, manakala Makassar
pemerintah Tallo pula melihat potensi Makassar sebagai pelabuhan yang sukses, menumpukan
kepada bagian perdagangan. Ini kemudiannya menjadikan Makassar salah satu kuasa yang kuat
dan berpengaruh di Sulawesi Selatan.

4
Kemangkatan Dewaraja, pemerintah Luwuk telah menyebabkan berlakunya perbalahan
dinasti. Daeng Matanre membantu Bone menawan Luwuk di mana ketika itu pemerintahan
Luwuk dituntut oleh Sanggaria. Pada sekitar tahun 1535, Sanggaria kemudiannya mendapatkan
perlindungan di Wajo’. Kesempatan ini direbut oleh Bone dan Gowa di mana Luwuk
kemudiannya terpaksa menandatangani perjanjian mengakui kekalahannya dan akan menyertai
Gowa, Bone dan Soppeng menentang Wajo’ atas tindakan Wajo’ yang bersifat netral ketika
peperangan berlaku. Ini menyebabkan Wajo’ terpaksa menukar ikrar kesetiaannya dari Luwuk
kepada Gowa. Sanggaria kemudiannya dibenarkan menjadi raja Luwuk tanpa adanya kekuasaan.

Pendapat lain mengutarakan pula bahwa sejarah awal Bugis, menurut keturunan Raja
Haji sesuai dengan kitab Tuhfat al-Nafis, bahwa keturunan Bugis berasal dari perkataan
beribukan Ratu Balqis iaitu isteri kepada Nabi Sulaiman a.s. Kononnya, salah satu cicitnya
bernama Siti Melangkae telah mengetuai perdagangan purba di antara kerajaan Saba' (Yaman)
dengan bangsa TuToraja di tanah Sulawesi. Mereka mendapatkan bekalan logam/bijih besi.
Pelabuhan itu sehingga kini dipanggil Melangkae yang diambil dari nama permaisuri
sheba/kerajaan saba' tersebut. Maka selain berdagang, berlaku juga perkawinan campur sehingga
muncul berbagai suku kaum Bugis seperti Makassar, Wajo’, Bone, Andrika, Mandar dan Ugi
lainnya.

Permaisuri Sheba telah mengamanahkan payung merah sebagai pengakuan kerajaan


berdaulat agar dipelihara kerukunan berbagai suku kaum di sana dengan terbentuknya kerajaan
Luwuk sehinggalah diteruskan kerajaan Makassar (Gowa). Namun begitu, pemberontakkan suku
Bugis Bone melalui Arung Palakka (1696 M) dengan bantuan VOC Belanda yang telah
mengkhianati perjanjian ini, mengubah fakta sejarah dan menghilangkan sebagian besar buku-
buku sejarah penting bertulisan Makassar dan hanya meninggalkan sebagian dari buku La
Galigo untuk membenarkan tindakannya agar dapat menjatuhkan kerajaan Gowa pimpinan
Sultan Hassanuddin (1670 M).

Kesannya, menjadikan bangsa Malayo Polynesia yang ada tulisan tersendiri ini telah
kehilangan banyak kisah dan fakta sejarah. Kini yang tinggal hanya karya epik dongeng yang
panjang bertujuan untuk melemahkan bangsa ini oleh penjajah Belanda. Maka tidak heranlah
banyak pengaruh bahasa Arab Yaman terutama dalam bahasa dan tulisan Makassar (hampir
menyerupai tulisan lama di runtuhan empangan Ma'arib) yang terjalin ketika perdagangan jarak
jauh dan perhubungan dengan bangsa luar. Semua ini dapat dilihat dengan jelas sebagai contoh
pengaruh dari bahasa;

"Teyai bura’ne punna tena ammallaki badik"


Artinya: Bukan lelaki jika tak memiliki badik
Perhatikan perkataan "ammallaki" adalah bunyi asal perkataan "malik" perkataan
Arab Yaman, manakala budaya lelaki membawa senjata badik adalah juga budaya
bangsa Yaman dipanggil jambia.
berbeda dengan bahasa To Ugi;
Taniya ugi narekko de’na punnai kuawali
Artinya: Tidak disebut Ugi jika tak mempunyai Kuawali (juga menyerupai bentuk
badik).

Selanjutnya kisah lain sejarah pajang ini, adalah kesinambungan dari zaman logam
diteruskan di dalam bidang keagamaan. Bissu (dukun) kekal menjadi elemen penting di dalam
hal-hal keagamaan sebelum kedatangan Islam. Perubahan di dalam bidang keagamaan ialah

5
pembakaran mayat dan debu bagi orang-orang terpenting, dan di simpan dalam tempat
penyimpanan debu (berukuran seperti labu), manakala tempat pembakaran mayat disebut
Patunuang. Walau bagaimanapun, pembakaran mayat ini terbatas kepada tempat-tempat tertentu.
Menurut sumber Portugis, Makassar mengekalkan teknik penguburan mayat dan Toraja pula
tetap membiarkan mayat-mayat dibiarkan dengan hancur sendirinya di gua-gua.
Pemerintah-pemerintah awal pula tidak dikubur maupun dibakar dan mereka dikatakan 'hilang',
bermaksud kembali ke syurga. Menurut sumber mengatakan bahwa mayat-mayat pemerintah
awal dibiarkan bersandar di pohon-pohon dan hancur dengan sendirinya sehingga tinggal tulang
berulangnya. Mayat bayi pula ditenggelamkan di sungai ataupun di laut.

Setelah itu, peng-Islaman suku Bugis pada abad ke-16 mengalami suatu perubahan
besar. Dalam kurun masa tersebut, komunitas Bugis dan Makassar berhasil di-Islamkan oleh
Abdul Makmur, seorang ulama besar berketurunan Minangkabau. Manakala pertengahan abad
ke-16 Sulawesi Selatan dikuasai pula oleh Gowa dan Bone. Karena kedua-dua negeri ingin
meluaskan kekuasaan mereka, maka tercetuslah peperangan sesama sendiri yang akhirnya Bone
dikalahkan. Sebagai tindak membalas dendam, seorang putera Bone bernama Arung Palakka ia
bertindak bersekongkol dengan Belanda untuk menyerang Makassar. Pada tahun 1667-1777 M,
akhirnya Makassar jatuh ke tangan Belanda dan ini yang banyak menyebabkan migrasinya suku
bangsa Bugis secara besar-besaran ke berbagai tempat dan wilayah termasuk ke Kalimantan,
Sumatra, Jawa, Maluku, Papua, dan Tanah Melayu serta wilayah Sabah, bahkan ke Australia dan
Afrika. Berikut gambaran masyarakat suku Bugis;

Ilustrasi 1: Gambaran wajah-wajah masyarakat Bugis di zaman dahulu.

Sejarah Kedatangan Suku Bugis Jambi

Ada beberapa hal yang perlu dihuraikan dalam perbincangan ini, agar dapat menjadi gambaran
suku Bugis dalam sejarah dan peradabannya di mulai dari provinsi Sulawesi Selatan sehingga ke
provinsi Jambi. Sejarah ini bisa dikatakan bermula dari Malaysia dan Riau. Kisah Sawerigading
cukup terkenal di kalangan keturunan Bugis dan Makassar di Malaysia. Ia dibawa sendiri oleh
orang Bugis yang bermigrasi ke sana. Terdapat juga unsur Melayu dan Arab diserapkan bersama.
Ketika abad ke-15, Melaka di bawah pemerintahan Sultan Mansur Syah diserang oleh 'Keraing
Semerluki' dari Makassar. Semerluki yang disebut ini berkemungkinan adalah Karaeng Tunilabu
ri Suriwa, putera pertama kerajaan Tallo, dimana nama sebenarnya ialah Sumange'rukka' dan
beliau berniat untuk menyerang Melaka, Banda, dan Manggarai.

Keadaan ini telah memperlihatkan perhubungan yang jelas muncul selepas abad ke-15.
Pada tahun 1667, Belanda telah memaksa pemerintah Gowa untuk mengaku kalah dengan
menandatangani Perjanjian Bungaya. Dalam perjuangan ini, Gowa dibantu oleh Arung Matoa
dari Wajo'. Pada tahun berikutnya, kubu Tosora dimusnahkan oleh belanda dan sekutunya La
Tenritta’ Arung Palakka dari Bone. Ini menyebabkan ramai orang Bugis dan Makassar terdesak
dan terpaksa bermigrasi ke tempat lain. Contohnya, serombongan Bugis sampai dan bermigrasi

6
di Selangor dibawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681 pula sebanyak 150 orang Bugis
telah menetap di Kedah. Manakala sekitar abad ke-18, Daeng Matokko' dari Peneki ia
merupakan sebuah daerah di Wajo' telah menetap di Johor. Kemudian sekitar tahun 1714 dan
tahun 1716, adik beliau La Ma'dukelleng juga datang ke Johor. La Ma'dukelleng juga digelar
sebagai ketua lanun oleh Belanda.

Pada abad ke-19 sebuah teks Melayu iaitu Tuhfat al-Nafis mengandungi cerita-cerita
seperti didalam La Galigo. Tidak seperti bagian Asia Tenggara yang lain, Bugis tidak banyak
menerima pengaruh India di dalam kebudayaan mereka. Satu-satunya pengaruh India yang jelas
ialah tulisan Lontara yang berdasarkan skrip Brahmi, dimana ia dibawa melalui perdagangan.
Kekurangan pengaruh India, tidak seperti di Jawa dan Sumatra, mungkin disebabkan oleh
komunitas awal ketika itu kuat menentang asimilasi budaya luar tetapi terdapat kemungkinan
penempatan awal orang Bugis tersebar di seluruh pedalaman tana Ugi, malahan jauh ketengah
hutan dimana tidak dapat dihubungi melalui pengangkutan air. Mengikut mitos, terdapat migrasi
yang ingin mencari tanah baru untuk didiami. Implikasi penempatan ditengah-tengah hutan ini
ialah perubahan keadaan hutan, dimana hutan-hutan ditebang dan proses diteruskan sehingga
abad ke-20.

Penebangan hutan ini mungkin seiring dengan pembuatan besi untuk membuat alat-alat
tertentu seperti kapak. Malahan, pemerintah pertama (mengikut sejarah) kerajaan Bone memakai
gelaran 'Panre Bessi' atau 'Tukang Besi'. Selain itu, terdapat juga hubungan yang cukup rapat
diantara pemerintah Sidenreng dengan penduduk kampung Massepe, tempat penumpuan
pembuatan alatan besi oleh orang Bugis dan tempat suci dimana 'Panre Baka' ('Tukang Besi
Pertama') turun dari Syurga/Langit. Walau bagaimanapun, sesetengah orang mengatakan 'Panre
Baka' berasal dari Toraja.

Sementara kebutuhan hidup semakin meningkat, maka bidang ekonomi, penanaman padi
sawah, pembuatan besi dan penggunaan kuda turut diperkenalkan. Dari segi ini, satu lagi inovasi
yang diperkenalkan ialah penggunaan kuda. Walaupun tidak disebut di dalam teks La Galigo,
menurut sumber Portugis pada abad ke-6, terdapat banyak penggunaan kuda di kawasan gunung.
Maka, inovasi ini mungkin diperkenalkan antara abad ke-13 dan abad ke-16. Maksud kuda di
dalam bahasa Bugis, ialah 'anyarang' (Makassar: jarang), cukup berbeda dengan bahasa Melayu,
malahan ia diambil dari Jawa (jaran). Perkataan ini mungkin digunakan pada abad ke-14, ketika
Jawa diperintah oleh Majapahit.

Pertambahan penduduk memberi kesan kepada teknik penanaman padi. Teknik potong
dan bakar digantikan dengan teknik penanaman padi sawah. Perubahan di dalam bidang
ekonomi berhubung kait dengan pertambahan penduduk di tengah-tengah benua dan pulau. Pada
mulanya, sumber ekonomi mayoritas populasi Bugis ialah penanaman padi, manakala golongan
elit mengawal sumber-sumber alam dari hutan, pertambangan dan sumber-sumber dari laut.
Sumber-sumber alam ini mendapat permintaan dari luar Sulawesi dan ini membolehkan
golongan elit memperdagangkan sumber-sumber ini dan membolehkan mereka membeli
barang-barang mewah dari luar seperti keramik Cina, sutera India, cermin dan lain sebagainya.
Walau bagaimanapun, pengawalan pertanian oleh golongan elit masih memainkan peranan
penting ketika itu.

Pada tahun 1799, Belanda telah menguasai seluruh Sulawesi Selatan. Dalam tempoh
pemerintahan Belanda, berbagai unsur-unsur baru diperkenalkan seperti sistem cukai dan buruh

7
paksa. Berlanjut penjajahan Jepang, dimana pendudukannya pada tahun 1942 mengubah
pemikiran rakyat Sulawesi Selatan terhadap Belanda. Pada tahun 1945 selepas pengunduran
penjajah Jepang, Presiden pertama RI Sukarno telah mengumumkan kemerdekaan Republik
Indonesia tanpa pengakuan dari Belanda. Ini mencetuskan pertumpahan darah dimana-mana di
Indonesia. Belanda kemudiannya terpaksa berundur dari Negara ini selepas komunitas dunia
mengakui kemerdekaan Indonesia. Walau bagaimanapun, pada abad ke-15 telah berlakunya
perubahan di dalam sosio-politik, ekonomi dan agama yang menyebabkan berlakunya
migrasinya penduduk dari persisiran pantai sehingga ke tengah hutan belantara membuka
penempatan baru di berbagai daerah dan wilayah hampir kesemua pesisir pantai Indonesia.

Terjadinya migrasi ini juga mempengaruhi penghijrahan orang-orang Bugis ke berbagai


tempat pesisir pantai hampir di seluruh wilayah Indonesia termasuk Sumatra. Adapun
kedatangan orang Bugis ke Jambi bermula dari Kepulauan Riau, tidak terkecuali daerah Kuala
Enok (Riau) dan Johoro (Johor). Hal ini sedikit sebanyaknya dipengaruhi adanya keturunan Opu
Tenriburong yang memainkan peranan penting dimana mereka membuat penempatan di Kuala
Selangor dan Klang dimana keturunan ini juga turut dimahkotakan sebagai Sultan Selangor dan
Sultan Johor. Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan penting dalam
sejarah peradaban Bugis di kawasan ini. Daeng Marewah pula menjadi Yang Dipertuan Riau,
Deang Parani berkawin dengan puteri Johor, Kedah dan Selangor dan juga ayahanda kepada Opu
Daeng Kamboja (Yang Dipertuan Riau ke-tiga), Opu Daeng Menambun (menjadi Sultan
Mempawah dan Matan), Opu Daeng Cella' (berkawin pula dengan Sultan Sambas dan
keturunannya menjadi raja di sana).

Keturunan inilah yang memperluaskan pengaruhnya di Alam Melayu sehingga ke


Sumatra. Adanya asimilasi ini, banyak mengakibatkan penyatuan soio-politik masyarakat
setempat. Selain itu, akibat penyatuan sosio masyarakat tersebut yang datang melalui berbagai
tempat dan akhirnya memilih Provinsi Jambi sebagai tempat akhir mereka pilih untuk menetap
karena tempatnya cukup strategis, dan lokasinya sangat menjanjikan karena provinsi ini
berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan dan Laut Pasifik, dan mempunyai luas wilayah
keseluruhan 53.435, 72 km2. Luas ini terdiri atas luas daratan 51.000 km2 dan luas lautan 425, 5
km2 dengan panjang garis pantai 185 km (Giyarto, 2008: 2).

Selain itu, provinsi Jambi mempunyai batasan-batasan seperti sebelah utara adalah
Provinsi Riau dan Kepulauan Riau, sebelah timur berbatasan dengan Laut Cina Selatan, sebelah
selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatra Selatan dan sebelah barat pula berbatasan dengan
Provinsi Sumatra Barat. Secara administratif, provinsi Jambi terbagi atas sembilan kabupaten
dan dua kota. Dahulunya provinsi ini terbagi atas lima kabupaten dan satu kotamadya. Dengan
berjalannya waktu dan untuk kepentingan pembangunan, daerah administrasi ini mengalami
pemekaran. Ada dua kabupaten yang menjadi pusat tumpuan dan tempat berkembangnya
masyarakat suku Bugis di Jambi iaitu Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Tanjung
Jabung Timur.

Ada juga persi lain yang menyatakan bahwa, sejarah Bugis di Tanah Melayu memainkan
peranan sangat penting dalam sejarah dan juga mempengaruhi penempatan orang-orang Bugis di
berbagai wilayah di sekitarnya termasuk Provinsi Riau, Kepulauan Riau dan Jambi. Mereka
terlibat secara langsung atau tidak langsung di dalam politik dan pembentukan negeri-negeri
Melayu ketika itu, terutama sekali Negeri Johor. Ia bermula apabila Daeng Loklok ingin
memerintah Johor, tetapi tidak dipersetujui oleh pemerintah negeri Johor-Riau-Lingga ketika itu,

8
iaitu Raja Kechil. Ini menyebabkan Daeng Loklok atau Bendahara Husain meminta bantuan
Raja-Raja Bugis untuk menumpaskan Raja Kechil. Bermula dari sinilah campur tangan suku
Bugis semakin kuat di Tanah Melayu. Malah, Raja Ali anak Daeng Chelak, Raja Lumu berhasil
dinobatkan sebagai Sultan Selangor pertama ketika itu.

Jika sejarah membuktikan peranan dan pengaruh Bugis begitu kuat dalam masyarakat
Melayu sehingga sebagian mereka ada yang mempunyai darah keturunan Bugis. Namun pada
masa sekarang ini kewujudan orang Bugis asli masih kekal di wilayah asalnya yaitu Sulawesi
Selatan walaupun kewujudan identitas dan budayanya tidak seperti suku Bugis yang wujud
dalam sejarah Tanah Melayu ratusan tahun dahulu. Komunitas mereka sekarang wujud sebagai
rakyat Indonesia yang teguh mengamalkan prinsip Pancasila, namun tetap kekal sebagai suku
Bugis yang masih mengamalkan adat-istiadat Bugis asli dan bertutur dalam bahasanya tersendiri
bicara ugi walaupun sudah dipisahkan nama mengikut daerah masing-masing di sana seperti
Bone, Pangkep, Barru, Sinjai, Wajo’, Soppeng, Pinrang, Pare-pare, Bulukumba, Enrekang,
Maros, Rappang, dan lain sebagainya (Iswanto, 2008: 31).

Sementara orang Bugis di Sabah dan Sarawak pula, merupakan rakyat Indonesia yang
berketurunan Bugis menjadi warga pekerja utama di Malaysia. Jika dihitung dari statistik terkini,
suku Bugis dari negara Indonesia menduduki jumlah terbesar dalam perkiraan jumlah pekerja
asing Malaysia khususnya di negeri Sabah dan Sarawak. Mereka adalah tulang belakang kepada
ekonomi negeri Sabah dan Sarawak pada masa sekarang. Tidak dinafikan negeri Sabah dan
Sarawak sangat memerlukan sumbangan dan tenaga pekerja Indonesia bersuku Bugis ini.
Ketergantungan ini diperkirakan akan terus kekal sehingga beberapa puluh tahun akan datang
dan mungkin ianya tidak akan berubah sama sekali sehingga kapanpun. Berikut beberapa
gambaran alam persekitaran tempat tinggal masyarakat suku Bugis di beberapa wilayah dan
daerah;

Ilustrasi 2: Biasanya dengan kesuburan tanah bumi Nusantara, menjadi sumber


daya alam yang dapat menjadi sumber mata pencarian sehari-hari bagi
masyarakat Bugis dimanapun mereka tinggal.

Dinamika dan Realitas Kehidupan Suku Bugis Jambi

Kehidupan suku Bugis memiliki budaya persaudaraan yang tinggi untuk mereka jadikan sebagai
wasilah berhubungan dan berkomunikasi antara satu sama lainnya. Amalan cara hidup
diamalkan berlandaskan hukum adat istiadat, pemali dan pantang-larang, bertolak-ansur, dan
berlandaskan kekeluargaan yang erat. Suku Bugis kebanyakan menganut agama Islam sebagai
keyakinan hidup, suku ini sangat terkenal dalam bidang maritim, pertanian, perkebunan, nelayan,
ekonomi bahkan banyak menjadi pedagang yang sukses di Indonesia termasuk di kepulauan
Melayu, dan tersebar hampir di semua pesisir kepulauan Nusantara.

9
Suku Bugis di provinsi ini, pada awal memasuki kawasan pesisir pantai dimulai dengan
menebang dan membuka hutan belantara atau membuka perkampungan baru untuk ditempati
bagi tujuan penanaman padi, kelapa, dan lain-lainnya. Aktivitas pembukaan kawasan baru ini
dilakukan dengan seluas yang termampu sehingga pembukaan perkampungan semakin banyak
dan semakin luas. Seperti beberapa wilayah berikut telah menjadi tempat tinggal kebanyakan
masyarakat Bugis yaitu Pangkal Duri, Mendahara, Dendang, Lambur Luar, Lambur Dalam, Kota
Kandis, Kampung Laut, Simbur Naik, Teluk Kijing, Pemusiran, Sungai Raya, Nipah Panjang,
Sungai Itik, Sungai Lokan, Sadu, Air Hitam Laut, Seponjen, Tangkit dan tidak ketinggalan
ibukota kabupaten Tanjung Jabung Timur yakni Muara Sabak dan kabupaten Tanjung Jabung
Barat yaitu Kuala Tungkal.

Kemahiran orang Bugis dalam bertani dan berkebun dapat memanfaatkan kekayaan alam
Provinsi Jambi yang dataran rendahnya terbentang dari sisi timur sampai bagian tengah provinsi
ini. Keadaan alam ini mendominasi gambaran wajah daratan Jambi. Dikatakan hampir 65%
wilayah Jambi berupa daratan rendah. Dataran rendah dengan ketinggian 0-100 m terbentang di
bagian timur Jambi. Umumnya berupa daerah pasang surut dan rawa-rawa (Giyarto, 2008: 9).
Keadaan inilah yang dijadikan lahan potensial bagi orang Bugis untuk dikembangkan menjadi
pertanian dan perkebunan kelapa, sehingga menjadi petani dan pekebun handal yang bisa
standing dan bahkan bisa mengalahkan suku-suku lainnya asli dari provinsi ini seperti suku
orang Rimba, suku Kerinci, suku Batin, suku Melayu Jambi dan lain sebagainya.

Selain itu, wilayah daratan Jambi ada yang berbentuk tanjung dan teluk. Kedua keadaan
ini menampakkan alam yang hanya terdapat di pantai timur Jambi dimana kebanyakannya di
tempati oleh orang-orang Bugis. Tanjung merupakan wilayah daratan yang menjorok ke laut,
sedangkan teluk kebalikannya yaitu wilayah laut yang menjorok ke daratan. Tanjung dan teluk
terbentuk karena garis pantai yang berkelok-kelok, dan kelokan inilah yang menyebabkan ada
daratan menjorok ke laut dan lautan yang menjorok ke daratan. Ada beberapa tanjung di Jambi
seperti Tanjung Labu, Tungkalabu, Kubung, Jabung dan Demak. Sementara teluk sebagian
besarnya belum diberikan nama.

Tanjung dan teluk biasanya kebanyakan dimanfaatkan oleh orang-orang Bugis nelayan
untuk berlabuh dan menjual hasil tangkapan ikannya. Selain itu, ada juga yang dimanfaatkan
sebagai kawasan konservasi alam. Contohnya Tanjung Labu di Kabupatrn Tanjung Jabung Barat
dan hutan lindung Seblat di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Adapun kawasan perairan
Tanjung Labu ditetapkan sebagai suaka perikanan untuk jenis kerang darat (kerang anadora) dan
udang ketak (udang mantis), penetapan ini dimaksudkan untuk menjaga kelestarian kedua spesis
ini, dan selain itu untuk melindungi mata pencarian suku laut atau nelayan Bugis yang sangat
bergantung kepada hasil tangkapan kedua spesis ini.

Hutan lindung Seblat pula, menjadi tempat persinggahan burung-burung berbagai jenis
dari benua lain setiap satu tahun sekali. Hutan ini menjadi tempat habitat binatang-binatang yang
dilindungi oleh pemerintah, seperti harimau Sumatra, gajah, buaya, monyet, dan lain sebagainya.
Kawasan ini terdiri dari hutan belantara yang masih perawan, banyak ditemui kayu dan
tumbuhan yang spesisnya masih langkah bahkan dilindungi oleh pemerintah. Di pesisir kawasan
inilah juga banyak didiami oleh masyarakat suku Bugis Jambi untuk dijadikan sebagai tempat
tinggal dan tempat mata pencarian hidup mereka sehingga sekarang.

10
Keadaan dan dimanika hidup ini juga banyak menempah karakter dan ketabahan hidup
orang Bugis Jambi ini menjadi pejuang pantang menyerah di pesisiran pantai yang berhadapan
langsung dengan Laut Cina Selatan yang mempunyai wilayah laut seluas 425,5 km2. Keadaan ini
juga dijadikan sebagai pencarian sumber daya alam laut yang sangat kaya dengan berbagai jenis
ikan dan hasil laut lainnya seperti ikan pelagis (tongkol, tenggiri, bawal, senangi, pari, semilang,
cumi-cumi, dan lain-lainnya), dan ikan demersal (udang putih, udang ketak, dan lain-lainnya),
serta jenis-jenis ikan dasar lainnya. Tidak terlupakan juga potensi terumbu karang yang belum
banyak digarap secara optimal oleh masyarakat suku Bugis Jambi. Walaupun mereka disibukkan
dengan pencarian rezki sehari-hari, akan tetapi masyarakatnya masih lagi tidak meninggalkan
adat dan istiadat kedaerahan di beberapa wilayah mereka tempati, seperti dalam gambaran
berikut;

Ilustrasi 3: Sudah menjadi tradisi masyarakat Bugis dimanapun mereka berada,


akan tetap senantiasa menjunjung tinggi adat istiadat mereka, dan
terus berpegang erat kepadanya untuk menjaga kelestarikannya
sehingga ke anak cucu.

Seni dan Budaya Suku Bugis Jambi

Suku Bugis Jambi juga memiliki seni dan budaya tersendiri yang dibawa langsung dari kampung
asal nenek moyang mereka, dan tetap kekal sehingga kini dan menjadi warisan turun temurun
dari generasi ke generasi. Antara yang menarik dibicarakan ialah suku Bugis Jambi memiliki
jenis tarian tradisional sebagaimana orang Bugis di Sulawesi Selatan yang dijadikan sebagai seni
dan budaya mereka, hanya sedikit perubahan mengikut budaya masyarakat setempat. Di antara
seni tersebut ialah Tarian Pajaga Andi merupakan tarian yang ditarikan oleh dua belas putri.
Para penari mengenakan pakaian sarung dan baju bodo.

Tarian ini mirip seperti tarian Pakarena dari Makassar di mana gerakan-gerakannya
cendrung lembut dan penari diiringi tabuhan gendrang yang iramanya menghentak. Gendrang
bulo merupakan pula kesenian rakyat yang ditarikan oleh sekumpulan penari dengan memegang
dua buah tongkat bambu kecil, tarian ini mengikuti irama yang dihasilkan dari ketukan kedua
bambu tersebut. Ada juga Sila Padduppa yaitu silat yang selalunya dipersembahkan pihak
keluarga pengantin perembuan ketika menyambut kedatangan pengantin laki-laki ke rumahnya.
Selain tradisi ini, terdapat juga beberapa jenis alat muzik tradisional yang di miliki oleh suku
Bugis ini iaitu Mappadendang, Jajjakang, Rebana dan Orkes Tauriolo.

Selain kesenian tersebut, falsafah hidup suku Bugis di Provinsi Jambi juga telah
mewarisi prinsip siri, pesse dan ade’ secara turun temurun kepada keturunannya walaupun
sudah jauh diperantauan, agar mereka dapat menjalani kehidupan ini dengan beradat dan
bermartabat sehingga kapanpun. Ade’ menjadi tradisi ritual adat suku Bugis pada waktu-waktu
tertentu. Upacara adat suku Bugis atau juga biasa disebut ade’ dapat dikategorikan menjadi dua
bagian, iaitu upacara adat yang pertama seperti ritual ketika kehamilan, kelahiran, dan upacara
kematian. Upacara kedua seperti ritual menentukan hari permulaan menanam padi dan masa

11
panen yang dilakukan secara bersama-sama dan selalunya dikerjakan secara begotong royong.
Banyak lagi upacara-upacara adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Bugis Jambi sebagai
amalan yang dapat mengekalkan budaya, adat dan tradisi turun temurun sekaligus menjadi
warisan budaya sebagian besar masyarakatnya.

Prinsip Ade’ suku Bugis menurut Mattulada dicatat dalam lontara’-lontara’ Makassar
dan Bugis dinyatakan secara asas, bahwa hidup politik adalah hidup moral itu sendiri, dengan
seluruh adat sebagai sistem adalah pada dasarnya ajaran moral, suatu moralitas yang meliputi
segala segi kehidupan manusia selaku individu dan antara warga dan negaranya (Mattulada,
2011: 188). Begitulah juga dengan orang Bugis Jambi yang memiliki budaya khas dan unik
dengan menggabungkan budaya Melayu Jambi sebagai latar belakangnya yang kebanyakannya
menganut agama Islam. Oleh sebab itu, pengaruh budaya Islam sangat terlihat pada kebudayaan
orang Bugis di Jambi. Walaupun tidak dapat dinapikan, bahwa ada juga pengaruh agama-agama
lain seperti Hindu dan Buddha yang berasimilasi dengan adat dan tradisi suku-suku bangsa lain
di Jambi seperti pemberian sesaji, membakar kemenyan, bentuk stupa candi, dan berbagai bentuk
upacara adat yang mempercayai adanya dewa adalah bukti pengaruh budaya tersebut.

Adapun bentuk arsitektur tradisional rumah orang Bugis Jambi pula didapati mempunyai
bentuk mengikut bentuk rumah tradisional asal nenek moyang mereka dengan menggabungkan
bentuk tradisi masyarakat setempat. Bahkan tiap-tiap suku di Jambi mempunyai bentuk rumah
tradisional yang berbeda-beda. Namun, ada satu kesamaan dari rumah-rumah tersebut, yaitu
kesemua berbentuk panggung di atas tiang. Hal ini disesuaikan dengan kondisi daerah Jambi
yang banyak berawa dan mudah digenangi air, di samping kebanyakan daerah dan wilayahnya
dilalui oleh sungai-sungai termasuk sungai Batanghari sebagai sungai yang terpanjang di
Sumatra. Maka dengan rumah bertiang akan terhindar dari genangan air terutama saat-saat
musim penghujan yang hampir setiap tahun sekali akan terjadi.

Sedangkan rumah adat suku Batin dinamakan kajang lako. Satu hal yang khas dari
rumah ini yaitu berbentuk bubungan rumah seperti perahu. Bentuk ini diperoleh dengan
melengkungkan ke atas kedua ujung bubungan atas, dan ke bawah berlipat dua sehingga
membentuk segitiga. Oleh masyarakat setempat rumah ini juga disebut rumah lamo. Pada
masyarakat suku Kerinci pula rumah adat mereka dikenal dengan rumah larik. Disebut larik
karena bangunan rumah terdiri atas beberapa rumah petak yang saling menyambung antara satu
dengan lainnya. Rumah suku Melayu Jambi pula dimana rumah mereka dikenal dengan sebutan
rumah Melayu atau rumah betiang. Dinamakan betiang karena rumah ini didirikan di atas tanah
bertiang kayu sehingga berbentuk panggung. Semua bagian-bagian rumah terbuat dari kayu atau
bagian dari pohon seperti kulit dan daun (Giyarto, 2008: 40).

Sementara rumah adat orang Bugis Jambi dipanggil bola tanre atau bola aju disebut
bola aju karena kebanyakan rumah terbuat dari kayu dan berkaki tinggi. Hal ini, biasanya tiang
rumah ini menggunakan tiang batang pohon kelapa, atau batang nibung yang dibenamkan
sedalam mungkin terutama yang dibangun di atas pinggir-pinggir sungai atau laut. Dinding
rumah terbuat dari bahan-bahan yang tidak terlalu berat seperti papan, daun nipah yang dirajut
rapat-rapat atau kulit pohon terap. Atap rumah juga biasanya menggunakan bahan dari seng,
daun nipah, daun ilalang, atau ijuk. Bentuk rumah adat Bugis Jambi ini mengikut rumah asal
nenek moyang mereka atau dipadukan dengan rumah adat tradisi Melayu Jambi, yang akhirnya
diperkenalkan untuk mewakili rumah adat Provinsi Jambi. Rumah adat ini dikenal dengan nama
Rumah Adat Sepucuk Jambi Sembilan Lurah.

12
Menurut Giyarto dalam bukunya Selayang Pandang Jambi, bahwa rumah adat betiang
ini terdiri atas beberapa bagian yang mempunyai fungsi berbeda-beda dan memiliki kegunaan
masing-masing, yaitu Pertama, bagian depan meliputi anak tangga, jagon (tempat
sandal/sepatu), pelancon (ruang depan), dan serambi gedang (serambi muka). Kedua, bagian
dalam meliputi serambi dalam (ruang utama), amben melintang (ruang pelamin) serta ruang
bujang dan gadis. Ketiga, bagian belakang meliputi serambi belakang, laren, garang, dan dapur
ssebagai tempat memasak. Keempat, kolong rumah digunakan untuk berbagai keperluan, seperti
tempat menyimpan alat pertanian, kandang atau reban ternakan, dan tempat bermain anak-anak
atau bisa juga berguna sebagai tempat bersantai. Kelima, pelengkap rumah adat ini adalah blubur
yang dibangun terpisah di bagian belakang rumah. Fungsinya untuk menyimpan hasil pertanian
(padi, kopi dan lain-lain) dan alat-alat pertanian (Giyarto, 2008: 41). Berikut adalah gambaran
beberapa sisi rumah tradisional masyarakat suku Bugis di berbagai wilayah dan daerah di
Indonesia;

Ilustrasi 4: Rumah adat tradisional orang Bugis, bentuk arsitekturnya cantik dan
menarik, dan penuh dengan makna falsafah mendalam yang dapat
mencerminkan kehidupan mereka.

Bahasa dan Tradisi Suku Bugis Jambi

Suku Bugis memiliki pelbagai logat, bahasa dan tradisi yang tetap dipertahankan sehingga
sekarang dan menjadi adat istiadat yang diturunkan secara turun temurun dari generasi ke
generasi. Antara yang menarik dibincangkan ialah sistem tulisan dan bahasa yang dipakai oleh
suku Bugis, yakni menggunakan bahasa dikenali bahasa Bugis (juga disebut sebagai bicara Ugi)
(Wikipedia, 2012). Bahasa Bugis terdiri dari berbagai dialek seperti Bone, Soppeng, Luwu,
Wajo’, Bulukumba, Sedenreng, Pare-pare dan lain-lain. Sementara sebagian sastra lisan karya
orang Bugis, berupa cerita rakyat yang bermacam-macam bentuknya wujud seperti fable, mitos,
legenda dan dongeng (Iswanto, 2008: 32).

Konsonan di dalam sure’ ugi pula di kenali dengan Lontara yang berdasarkan tulisan
Brahmi. Karya sastra berbentuk pantun, syair dan puisi antara Sure’ Baweng dan Kalinda’da.
Sure’ Baweng merupakan syair dari suku Bugis yang ditulis oleh Arung Pancana Toa. Naskah
ini ditulis dengan aksara lontara dan sekarang masih tersimpan rapi di Perpustakaan Nasional
Indonesia. Sementara Sure’ La Galigo belum bias diterima sebagai teks sejarah karena ia penuh
dengan mitos dan peristiwa-peristiwa luar biasa. Walau bagaimanapun, ia tetap memberi
gambaran kepada sejarawan mengenai kebudayaan suku Bugis sebelum abad ke-14 dan menjadi
naskah terpenting dalam perkembangan kesusastraan suku Bugis-Makassar.

Benjamin Frederik Matthes, seorang pakar bahasa berkebangsaan Belanda telah lama
meneliti perkembangan kesusastraan Bugis-Makassar, dimana beliau telah berhasil
mengumpulkan 12 jilid naskah Sure’ La Galigo, dan manuskrip ini masih tersimpan di

13
perpustakaan Universiti Leiden (Belanda) dengan 6.000 halaman dan terdiri dari 360.000 bait.
Kononnya naskah ini baru sepertiga dari keseluruhan naskah aslinya. Padahal, naskah Mahabrata
dari India hanya 160.000 bait dan sajak Homerus terdiri dari 120.000 bait. Oleh karena itu, karya
sastera Sure’ La Galigo ini bisa dianggap sebagai satu naskah berbentuk epik terpanjang di
dunia, ia wujud sebelum epik Mahabrata (Iswanto, 2008: 49).

Epik ini penceritaannya dimulai dengan penciptaan dunia. Sawerigading digambarkan


sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan antara tempat dilawati beliau ialah Taranate
(Ternate di Maluku), Gima (Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau' dan Jawa Ritengnga
(kemungkinan Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau' dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda
Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Beliau juga dikisahkan melawat syurga dan alam ghaib.
Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-saudaranya dari berbagai rantau, dan
rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tetamu yang aneh seperti orang bunian, orang
berkulit hitam dan orang berambut di dada. Sawerigading adalah ayahanda I La Galigo (gelaran
Datunna Kelling). I La Galigo juga seperti ayahandanya, seorang kapten kapal, seorang
perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada tolak bandingnya. Beliau mempunyai empat
orang isteri yang berasal dari pelbagai negeri, seperti ayanhandanya, I La Galigo tidak pernah
menjadi raja. Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta' adalah yang terakhir di dalam epik itu
untuk dimahkotakan di Luwuk.

Kitaran epik ini merujuk kepada waktu dimana penempatan Bugis berada di pesisir
pantai Sulawesi. Ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Penempatan awal
ketika itu berpusat di muara sungai, dimana kapal-kapal besar boleh berlabuh dan pusat
pemerintah pula terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahan mengandungi istana dan
rumah-rumah orang atasan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Adat (Baruga) berfungsi
untuk tempat rapat dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang-
pedagang asing sangatlah diharapkan di kerajaan Bugis ketika itu. Selepas membayar cukai,
barulah pedagang-pedagang asing itu bisa berdagang. Selalunya, pemerintah berhak berdagang
dengan meraka yang menggunakan sistem barter, diikiuti golongan atasan atau bangsawan dan
kemudiannya orang-orang biasa. Perhubungan antara kerajaan adalah memalui jalan laut dan
golongan muda bangsawan selalunya diarah untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum
memikul sebarang tanggungjawab dan Sawerigading selalu dijadikan sebagai model dan contoh
bagi mereka.

Selain karya sastera Sure’ La Galigo ini, ada juga tulisan suku Bugis yakni tulisan yang
disusun indah berdasarkan bentuk alam persekitaran tropika seperti bentuk gunung, bukit sungai
dalam bentuk mudah dan ringkas, karena kaedah penulisan (materi penulisan) baik
menggunakan lidi/kayu atau menggunakan badik/kuawali di atas daun lontar atau digores (bukan
diukiran atau dipahat). Selain itu, terus ditulis di atas tanah dan batu untuk tujuan komunikasi
disekitar hutan tropika yang mempunyai persamaan ketara dengan berbagai tulisan yang ada di
Asia Tenggara seperti tulisan rencong dan Lampung dan lain sebagainya. Corak tulisan ringkas
ini sangat penting sebagai alat komunikasi dalam lingkungan mereka. Gambaran Lontara
sebagai aksara orang Bugis yang dijadikan sebagai asas penulisan dalam berbagai bahasa, sastra
dan budaya Bugis adalah seperti berikut:

14
Ilustrasi 5: Bentuk aksara Lontara suku Bugis dimana sistem ejaannya sama seperti
sistem ejaan tulisan-tulisan yang wujud di Asia Tenggara lainnya, dan
tidak sama dengan persi tulisan di bawah pengaruh Brahmi atau
Palava/Kawi yang lainnya (Sumber: Wikipedia, 2013).

Selain bahasa, ada juga tradisi dan prinsip kekeluargaan suku Bugis yang mengakar terus
dikekalkan dan diterapkan kemanapun mereka tinggal. Hal tersebut dapat dilihat dalam dua jalur.
Pertama, kekeluargaan karena melalui hubungan darah yang disebut dengan sejing. Kedua,
hubungan kekeluargaan karena adanya hubungan perkawinan yang disebut dengan
siteppa-teppa. Hubungan kekeluargaan sejing sangat besar peranannya dalam kehidupan
sehari-hari bagi orang Bugis. Orang-orang yang berhubungan sejing akan saling membantu
dalam menguruskan segala hal yang diperlukan, termasuk masalah perkawinan dan acara
kekeluargaan lainnya. Mereka juga berkewajiban dalam menegakkan dan membela serta
mempertahankan “siri” yaitu martabat dan harga diri keluarga. Keluarga sejing tersebut juga
bertanggungjawab menyelenggarakan berbagai upacara adat dan tradisi yang senantiasa
diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat seperti kelahiran, perkawinan, kematian dan lain
sebagainya (Iswanto, 2008: 32).

Upacara tradisional atau upacara adat merupakan upacara diselenggarakan menurut adat
istiadat setempat. Dalam hal ini, adat istiadat yang diamalkan orang Bugis Jambi tidak bisa
dipisahkan dengan agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya. Adat dan tradisi
orang Bugis dibedakan dalam dua, yaitu upacara yang berhubungan dengan lingkaran hidup dan
upacara yang berhubungan dengan aktivitas hidup masyarakat dan lingkungan alam. Pertama,
upacara lingkaran hidup manusia ini dimulai dari kelahiran sampai dengan masa kematian. Tiap
tahapan hidup ini diadakan upacara adat dan tradisi yang berbeda. Secara umum
penyelenggaraan upacara adat ini terbagi atas upacara masa kehamilan, kelahiran, dewasa,
perkawinan dan masa kematian.

Pada masa kehamilan tujuh bulan, adat orang Bugis Jambi biasanya melaksanakan satu
upacara syukuran dan kenduri sebagai bentuk pemberitahuan resmi kepada keluarga dan
tetangga agar semua pihak siap menolong dan siap memberikan bantuan ketika kelahiran
nantinya. Setelah kelahiran pada hari ketujuh diadakan upacara aqiqah atau masyarakat Bugis
mengenalnya dengan nama mappenre tojang, pada upacara ini bayi dimandikan, dicukur
jambulnya, diberikan nama. Biasanya upacara ini bagi anak laki-laki akan dipotongkan dua ekor
kambing dan kalau perempuan akan dipotongkan seekor kambing sebagai tanda syukur, dan
akan dihadiri oleh ahli keluarga, alim ulama, cerdik pandai atau panrita, tua-tua tengganai dan
lain sebagainya. Ketika sudah menginjak umur kanak-kanak pula, bagi anak laki-laki berumur 5-
10 tahun akan diadakan upacara massunna’. Upacara yang juga disebut berkhitan, sebelum
berkhitan anak-anak dimandikan dan dukun atau mantri menggunakan sebilah sembilu dan obat
dari ramuan alami, walaupun amalan ini sedikit demi sedikit sudah terhakis dengan perobatan
modern yang ditangani oleh seorang dokter atau seorang yang pakar dibidangnya.

15
Massunna’ ini merupakan tanda kedewaasaan dan pengi-Islaman anak-anak mereka.
Pada usia yang sama, seorang wanita pula melakukan upacara yang disebut matteddo atau
disebut juga bertindik yaitu upacara melubangi daun telinga untuk dipasangkan anting-anting
dikemudian hari. Tradisi ini bagi masyarakat Bugis Jambi juga biasanya dibarengi dengan acara
khatam al-Qur’an baik secara individu maupun secara beramai-ramai. Upacara selanjutnya
ketika menginjak dewasa adalah masa untuk berkawin yang dibarengi dengan rangkaian upacara
adat tertentu bermula dari proses massuro atau masa merisik sehingga berlangsungnya acara
ade’ massandeng sehingga proses kehidupan berumah tangga yang dijalani sesuai dengan adat
dan tradisi yang sudah digariskan oleh ahli keluarganya. Satu tradisi yang masih dipertahankan
bagi masyarakat Bugis Jambi sehingga sekarang adalah mencari pasangan hidup selalunya tetap
melibatkan ahli keluarga dan akan memilih pasangan hidup dari kalangan orang Bugis juga, dan
prinsipnya selagi masih ada orang Bugis, maka selagi itu juga tetap berusaha tidak mengambil
suku dan bangsa lain untuk dijadikan pasangan hidup mereka.

Proses terakhir adalah kematian, bagi masyarakat Bugis Jambi, kematian adalah akhir
dari segalanya. Oleh itu, kematian ini mesti dihantarkan dengan sebaik dan semaksimal mungkin
dari pihak keluarga dan masyarakatnya. Biasanya kalau ada kematian dalam masyarakat Bugis,
khabar ini cepat disebar luaskan sehingga kesemua masyarakat mengetahuinya. Semua aktivitas
keseharian ditunda, dan semua akan berkumpul di rumah yang menghadapi kematian dengan
membawa barangan pokok seperti gula, beras, uang dan lain-lain guna disumbangkan untuk
meringankan beban keluarga yang berduka. Kemudian prosesi upacara kematian akan
dilaksanakan sesuai dengan syariat Islam yang bermula dengan dimandikan, dikafankan,
dishalatkan dan kemudian dikuburkan. Disamping itu, bagi ahli keluarga akan mengundang
semua masyarakat untuk menghatamkan al-Qur’an bagi si mayit selama tiga malam, atau tujuh
malam selagi ahli keluarga membutuhkannya, amalan ini masih kekal dalam masyarakat Bugis
Jambi sehingga sekarang.

Kedua, upacara yang berhubungan dengan aktivitas hidup masyarakat dan lingkungan
alam orang Bugis Jambi sangat banyak. Namun satu tradisi yang masih kekal dan mentradisi
sehingga sekarang adalah mattaneng atau biasa juga disebut merase ini merupakan upacara yang
berhubungan dengan aktivitas pertanian. Upacara ini dilaksanakan setahun sekali saat memulai
kegiatan bersawah, rangakaian dimulai ketika musim hujan tiba, meluputi proses mabbolakara
(membuka lahan), mattugala (menabur benih), mappattaneng (menanam padi), maddongi
(menjaga hama padi termasuk burung dan tikus atau pemusnah tanaman lainnya), mappasangki
atau dulu lebih dikenal dengan istilah minggala (menuai padi), inilah proses akhir sehingga dapat
dikecapi hasil pertanian yang telah mereka usahakan dalam setahun sekali. Selain upacara dan
tradisi tersebut di atas, ada lagi beberapa adat tradisional lain masyarakat suku Bugis di beberapa
wilayah di Indonesia;

Ilustrasi 6: Banyak upacara dan tradisi masyarakat Bugis yang masih terlihat
sehingga sekarang, karena mereka tetap melestarikannya dengan tetap
mengikut nenek moyang mereka di Sulawesi Selatan, seperti tari
pajjoge dan kemahiran bermain takraw.

16
Selain itu, ada satu lagi tradisi mandi safar yang masih diamalkan oleh masyarakat
Bugis Jambi, tepatnya di Desa Air Hitam Laut yang berada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Upacara ini merupakan acara ritual yang berkembang hanya di desa ini, dan bertujuan agar
warga desa terhindar dari segala macam musibah atau kesialan. Ada tiga prosesi dalam upacara
adat ini, yaitu menulis atau menghafal tujuh ayat al-Qur’an yang diawali dengan kata “salamun”,
berniat mandi, dan kemudian mandi. Upacara ini hanya dilaksanakan setahun sekali yaitu setiap
malam Rabu pada minggu terakhir bulan Shafar (Giyarto, 2008: 41).

Kerajinan dan Senjata Suku Bugis Jambi

Ada kerajinan masyarakat suku Bugis yang dianggap jarang di miliki oleh suku bangsa lain,
termasuk masyarakat Jambi lainnya iaitu pengrajin tenunan kain sutera atau disebut lipa’ sabbe
(lipa’ sengkang) yang dihasilkan secara tradisional dengan ditenun menggunakan tangan dan
peralatan sangat sederhana. Selain kain sutera, suku Toraja juga menghasilkan kerajinan tenun
dari bahan bukan sutera yaitu dihasilkan dengan menggunakan benang kapas. Benang tersebut
dihasilkan dari pemintalan secara tradisional sehingga menghasilkan sarung khas Toraja, baju
dan lain sebagainya. Kerajinan inilah juga yang dibawa dan dikembangkan oleh orang Bugis ke
Jambi di tempat perantauan mereka masing-masing dengan memodipikasi kerajinan setempat
seperti kain batik Jambi.

Selain itu, masyarakat Bugis Jambi juga memiliki berbagai macam senjata berupa
kuawali (badik), bangkung, bangkung lampe, tomba’, kapa’, pisau, semua peralatan ini dibuat
secara tradisional dan digunakan untuk keperluan masing-masing. Senjata-senjata tradisional ini
dipergunakan dalam berbagai keperluan seperti berburu, bertani, berkebun, berlayar, dan
berperang. Kuawali adalah salah satu senjata tradisional penting bagi masyarakat Bugis,
dimanapun mereka berada termasuk Bugis Jambi. Lambang perjuangan seorang laki-laki Bugis
juga disimbolkan dengan kuawali ini. Kuawali biasanya terbuat dari besi, nikel, tembaga, logam,
baja, dan ada yang selaputi dengan emas guna menambah lagi ketajaman dan kesakralannya.
Hulu kuawali biasanya terbuat dari gading gajah, tanduk hewan, dan kayu yang diukir kemudian
dilengkapi dengan sarung kuawali sebagai tempat penyimpanannya. Kuawali ini dahulunya
berfungsi sebagai senjata perang. Namun, seiring dengan perkembangan zaman fungsinya
berubah. Saat ini kuawali hanya digunakan sebagai pelengkap dalam berbagai ritual adat atau
cendera mata. Selain itu, ada juga yang dijadikan sebagai pusaka turun temurun dari generasi ke
generasi. Berikut beberapa contoh senjata tradisional masyarakat suku Bugis tersebut yang dapat
lestari sehingga sekarang;

Ilustrasi 7: Berbagai bentuk senjata tradisional orang Bugis, termasuk bentuk kuawali
yang menjadi simbol dan senjata pembela diri, hal ini sarat dengan
lambang keberanian dan keperkasaan bagi anak laki-laki mereka.

17
Ada lagi keistimewaan lain orang Bugis, yaitu kemahirannya membuat perahu pinisi.
Pinisi merupakan perahu tradisional yang digunakan oleh pelaut suku Bugis untuk berlayar
mengharungi lautan dan samudera, pinisi inilah yang pernah digunakan pelaut Bugis berlayar
sehingga ke Australia dan Madagaskar, Afrika Selatan. Pinisi merupakan jenis perahu dagang
yang boleh memuatkan dalam 20-100 ton, paling besar jika dibandingkan dengan jenis perahu
tradisional lainnya. Jenis perahu ini mampu mengharungi lautan besar mahupun samudera luas
tanpa batas. Perahu ini memiliki dua tiang tinggi yang masing-masing dilengkapi layar besar
sebagai layar utama dan ditambah dengan layar kecil pada pucuk tiangnya, kemudian perahu
dilengkapi dengan mesin di bagian tengah dan dua kemudi yang terletak di bagian belakang.

Suku Bugis sangat mahir membuat perahu pinisi ini, dimana kebiasaannya seorang
tukang kekerja tanpa gambar, semua bentuk seperti sudah tergambar dalam otaknya
masing-masing. Pembuatan perahu ini biasanya memiliki kemahiran yang sudah diwarisi turun
temurun dari nenek moyangnya. Meskipun dibuat secara tradisional dari papan atau balok, akan
tetapi ketangguhan perahu ini sudah terbukti dan mendapat pengakuan secara nasional dan
internasional. Mereka mampu membuat perahu dengan berbagai ukuran dari paling kecil
sehinggalah yang paling besar.

Selain itu, dikembangkan lagi menjadi kapal-kapal kecil sehingga kapal-kapal besar
untuk dijadikan sebagai kendaraan, perhubungan, dan pengangkutan laut yang dapat
menghubungkan satu kawasan dengan berbagai kawasan dan destinasi lainnya. Proses
pembuatan perahu pinisi ini masih diwarnai dengan serangkaian upacara ritual. Seperti proses
pembuatan mesti ditetapkan hari baik untuk mencari kayu, upacara untuk mengusir roh penghuni
kayu, pemasangan papan pengapit lunas, dan upacara peluncuran perahu yang sudah selesai
dibuat. Selain jenis pinisi ini, ada juga jenis perahu lain yang sering dibuat oleh pengrajin perahu
Bugis ini, yaitu Lambo Palari, Lambo Calabai, Jarangka, Jongkong, Lopi, Somppe dan Pajjala.
Berikut beberapa contoh perahu pinisi milik masyarakat suku Bugis yang masih dapat dilihat
sehingga sekarang dengan berbagai fungsi dan kegunaan;

Ilustrasi 8: Inilah berbagai bentuk perahu tradisional orang Bugis yang biasa
dipanggil dengan lopi pinisi, perahu pinisilah yang menjadi ujung tombak
orang Bugis untuk mengembara dan merentasi lautan dan benua.

Makanan dan Pakaian Suku Bugis Jambi

Seperti halnya dengan suku lain, masyarakat Bugis Jambi juga memiliki makanan dan minuman
tradisional yang tetap mewarisi dari makanan asal mereka. Walaupun bahan baku pembuatannya
berasal dari sumber daya alam persekitarannya. Oleh sebab itu, bentuk dan cita rasanya tetap
terjaga seperti makanan asalnya. Ada begitu banyak makanan dan minuman tradisional yang
dimiliki oleh orang Bugis Jambi, di antaranya ialah langka’, burasa’, gambang, onde-onde,
berongko, coto Makassar, konro’, palopo’ dan lain sebagainya. Langka’ dan burasa’ merupakan

18
makanan yang paling khas bagi masyarakat Bugis dimanapun mereka berada, demikian juga
masyarakat Bugis Jambi tetap mengekalkan makanan ini sebagai makanan tradisional yang terus
dilestarikan sehingga kapanpun.

Cara pembuatan langka’ bagi orang Bugis sudah biasa walaupun harus melalui proses
agak panjang. Proses ini bermula dengan memilih beras pulut putih atau hitam lalu dicuci
sehingga bersih, pulut tersebut kemudian ditanak secara berasingan sehingga masak. Setelah
pulut tersebut betul-betul masak dan boleh dicampur dengan kacang kedelai untuk lebih
melezatkan lagi rasanya, kemudian dicetak dengan cetakan sesuai dengan selera pembuatnya.
Hasil cetakan pulut tersebut disusun dan dibalut dengan daun pisang, lalu diikat dengan kuat
menggunakan tali rajutan dari daun pandan yang sudah dikeringkan, agar tidak terlepas dari
ikatannya. Setelah proses pembalutan selesai, langka’ tersebut kembali dimasak kali kedua untuk
lebih mematangkan lagi rasa pulutnya selain untuk menjaga ketahanannya. Biasanya masa untuk
memasak langka’ kali kedua ini memerlukan waktu sekitar dua sehingga tiga jam bahkan lebih
tanpa henti. Setelah langka’ ini masak, lalu disejukan dan sudah siap untuk disajikan bersama
dengan lauk yang sesuai dengan kehendak. Ada kalanya langka’ ini dimakan bersama dengan
gambang atau berongko atau ia juga bisa dimakan dengan coto Makassar atau dimakan dengan
lauk sesuai dengan selera masing-masing.

Adapun burasa’ juga merupakan makanan yang lebih khas bagi masyarakat Bugis,
Proses pembuatannya hampir sama dengan langka’ yaitu bermula dengan memilih beras bukan
pulut lalu dicuci sehingga bersih, beras tersebut kemudian ditanak setengah masak. Setelah beras
tersebut sudah setengah masak, lalu diangkat dan diaduk bersama dengan santan kelapa asli,
kemudian dibungkus dan dibalut dengan daun pisang, lalu diikat dengan kuat menggunakan tali
rajutan dari daun pandan yang sudah dikeringkan, agar tidak mudah lepas dari ikatannya. Setelah
proses pembalutan dan pembungkusan selesai, burasa’ tersebut kembali dimasak kali kedua
sama dengan proses pembuatan langka’ untuk lebih mematangkan lagi rasa berasnya yang sudah
diaduk bersama santan. Biasanya masa untuk memasak burasa’ hampir sama dengan langka’
juga memerlukan waktu sekitar dua sehingga tiga jam atau lebih. Setelah burasa’ ini masak, lalu
disejukan dan sudah siap untuk disajikan bersama dengan lauk yang diingikan. Ada kalanya
burasa’ ini dimakan bersama dengan coto Makassar atau dimakan bersama galetto’ atau dengan
lauk sesuai selera masing-masing. Berikut beberapa contoh makanan khas Bugis tersebut;

Ilustrasi 9: Inilah burasa’ dan berongko yang menjadi makanan tradisional khas
orang Bugis, makanan khas ini menjadi ciri khas mereka dimanapun
tempat mereka tinggal, dan menjadi hidangan tradisi ketika lebaran dan
bepergian.

Selain itu, masyarakat Bugis Jambi juga memiliki makanan khas berupa rambutan
goreng, selai nanas dan selai nanas goreng, makanan ini dihasilkan oleh kebanyakan
masyarakat Bugis yang berdomisili di Desa Tangkit Baru, Kabupaten Muaro Jambi. Makanan ini
sudah menjadi makanan cemilan khas Jambi yang diakui kelezatannya walaupun proses

19
pembuatannya juga memerlukan waktu yang agak lama. Proses pembuatannya bermula dari
nanas dikupas, dicuci, lalu dilumatkan. Hasilnya dimasak dengan gula selama 4-5 jam, lalu
dijemur sampai kering. Selai ini dipotong kecil-kecil dan dimasukkan dalam adonan tepung, lalu
digoreng. Akhirnya jadilah selai nanas goreng yang siap untuk disantap selain untuk tempahan
atau dijual di tokoh-tokoh dan pasar, setelah dibungkus dengan anyaman khas dari daun pandan
dalam berbagai warna dan corak. Untuk rambutan goreng pula pembuatannya hampir sama
dengan selai nanas goreng. Hanya untuk rambutan goreng pembuatannya diolah tanpa
membuang bijinya. Hasilnya mirip sekali dengan kurma.

Selain makanan, masyarakat Bugis Jambi juga memiliki pakaian adat yang tetap terus
dilestarikan sehingga sekarang. Pakaian tradisional merupakan pakaian yang lazim dikenakan
oleh suatu suku bangsa atau penduduk suatu wilayah. Pakaian ini menjadi ciri khas dari suku
tersebut. Secara umum pakaian tradisional dibedakan menjadi dua, yaitu pakaian sehari-hari dan
pakaian adat. Pakaian adat biasanya digunakan pada saat ritual-ritual adat seperti upacara
kelahiran, perkawinan, penyambutan tamu, kematian dan upacara adat lainnya.

Adapun pakaian sehari-hari, bagi masyarakat Bugis Jambi yang pria biasanya memakai
kain pelekat dan baju berlengan panjang dan berkopiah untuk menutup kepala, tetapi mereka
akan memakai sorban bagi yang sudah berstatus haji. Selain itu, kaum pria juga biasa
menggunakan pakaian di bagian atas baju dan celana panjang di bagian bawah. Bahan baku
pakaian sarung dan baju terbuat dari kain tenunan atau kain sutera. Pakaian wanita pula, terdiri
atas baju lengan panjang dan kain atau batik, serta selendang digunakan sebagai penutup kepala
dan bercongko’ bagi yang sudah menunaikan ibadah haji. Itulah beberapa pakaian sehari-hari
masyarakat Bugis Jambi yang juga sudah banyak berasimilasi dengan pakaian masyarakat
setempat tanpa mengurangi pakaian adat mereka dimana berasal.

Sementara pakaian adat bagi masyarakat Bugis Jambi juga masih mengekalkan pakaian
adat dari asal nenek moyang mereka di Sulawesi Selatan. Pakaian adat bagi pria mengenakan
baju berlengan panjang, kain sarung lipa sabbe, dan penutup kepala berupa songko’ recca’. Bagi
wanita pula menggunakan baju boddo berlengan pendek dan berwarna warni, kain sarung lipa
sabbe, tutup dada, hiasan kepala (mahkota) sebagai hiasan tambahan. Adapun perlengkapan
pakaian pengantin wanita meliputi anting-anting, kalung, cincin, gelang tangan, gelang kaki,
sabuk, selendang, sandal. Sebagian besar bahan pakaian tersebut terbuat dari kain sutera hasil
tenunan mereka sendiri, sedangkan bahan perhiasan terbuat dari logam dan emas. Berikut contoh
gambaran pakaian tradisional masyarakat suku Bugis yang dapat dilihat sehingga sekarang
ketika acara resmi mereka;

Ilustrasi 10: Bentuk pakaian tradisional orang Bugis yang biasa dipanggil dengan baju
boddo dan lipa sabbe, pakaian ini menjadi pelengkap pakaian adat
tradisional mereka dalam upacara seperti menyambut tamu, kelahiran,
perkawinan, dan lain sebagainya.

20
Pemerintahan dan Kepemimpinan Suku Bugis Jambi

Setelah dikeluarkannya Undang-undang Nomor 61 tahun 1958 tanggal 25 Juni 1985. Maka
Undang-undang inilah yang menyatakan secara resmi pembentukan Provinsi Jambi bersamaan
dengan pembentukan Provinsi Sumatra Barat dan Riau. Dalam rang undang-undang ini
disebutkan bahwa wilayah provinsi Jambi meliputi Swatantra Tingkat II Batanghari, Merangin,
dan Kotapraja Jambi serta kecamatan-kecamatan Kerinci Hulu, Tengah, dan Hilir. Selanjutnya,
wilayah administrasi Provinsi Jambi kembali mengalami perubahan sebelum tahun 1999 dimana
provinsi ini mempunyai enam daerah tingkat (dati) II, yaitu Dati II Kabupaten Batanghari,
Bungo Tebo, Kerinci, Sarolangun Bangko, Tanjung Jabung, dan Kota Madya Jambi.

Setelah bergulirnya otonomi daerah di Indonesia, maka wilayah Provinsi Jambi juga
mengalami beberapa pemekaran wilayah. Hasilnya dengan dikeluarkannya Undang-undang
Nomor 54 tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Sarolangun (sebelumnya Sarolangun
Bangko), Tebo (sebelumnya Bungo Tebo), Muaro Jambi (sebelumnya Batanghari), dan Tanjung
Jabung Timur (sebelumnya Tanjung Jabung). Kemudian pada tahun 2008 dibentuk Kota Sungai
Penuh berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 2008 yang merupakan pemekaran
Kabupaten Kerinci. Maka dengan bertambahnya empat kabupaten dan satu kota baru hasil dari
pemekaran ini, wilayah administrasi Jambi sekarang terdiri atas sembilan kabupaten dan dua
kota. Saat ini provinsi ini dipimpin oleh Gubernur Drs. H. Hasan Basri Agus M.M, dan wakilnya
Drs. H. Fachrori Umar M.Hum, periode 2010-2015. Pasangan ini menggantikan kepemimpinan
sebelumnya selama dua periode, yaitu Drs. H. Zulkifli Nurdi, M.B.A, dan wakilnya Drs. H.
Antony Zeidia Abidin, untuk periode 1999-2005 dan 2005-2010.

Adanya kesinambungan kepemimpinan dan pemerintahan inilah yang banyak


membentuk karakter pribadi masyarkatnya dari masa ke masa. Penduduk Jambi yang merupakan
salah satu modal dasar pembangunan telah ikut menguatkan lagi proses kemajuan daerah dan
wilayah provinsi ini dari hasil pemerintahan yang baik. Selain itu, jumlah penduduk yang besar
akan dapat mempercepatkan lagi pembangunan berjalan dengan lancar dan berkesinambungan.
Sebaliknya, dengan jumlah penduduk yang sedikit memungkinkan pula terhambatnya beberapa
pembangunan sehingga diperlukan tambahan tenaga kerja dari daerah lain. Penduduk provinsi
Jambi pada tahun 2005 berjumlah 2.671.420 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 1,76%.
Laju pertumbuhan ini dihitung dari data 5 tahun terakhir. Jumlah ini terdiri atas 1.358.897 jiwa
penduduk laki-laki dan 1.312.523 jiwa penduduk perempuan (Giyarto, 2008: 33).

Kepadatan penduduk inilah yang dapat mempengaruhi maju dan berkembangnya sesuatu
wilayah. Besar dan kecilnya jumlah penduduk Jambi menunjukkan suku bangsa yang ada di
provinsi ini terdiri atas banyaknya suku bangsa. Suku bangsa tersebut meliputi suku bangsa asli
dan ada pula yang pendatang. Suku bangsa asli, berarti memang sudah ada dan menetap di
provinsi ini sejak zaman dahulu, seperti suku bangsa Orang Rimba, Kerinci, Batin, Melayu
Jambi, dan Orang Laut. Adapun suku bangsa pendatang berasal dari berbagai wilayah
disekitarnya maupun yang jauh, seperti suku bangsa Minangkabau, Palembang, Banjar, Bugis,
dan Jawa. Ada pula pendatang dari suku bangsa asing seperti Cina, Arab dan India. Berbagai
suku bangsa ini ada yang hidup secara berkelompok dan ada juga yang hidup berbaur. Mereka
semua hidup dalam suasana damai dan saling menghormati serta saling menghargai dimana
mereka berdomisili.

21
Demikian pula halnya dengan suku Bugis, walaupun masyarakat Bugis Jambi ini hidup
membaur dengan masyarkat setempat yang berlainan suku dan bangsanya, akan tetapi sifat
kerukunan dan perdamaian tetap senantiasa dijaga. Selain itu, masyarakat Bugis memiliki sifat
kepemimpinan yang selalu menonjol untuk diketengahkan bersama masyarakat setempat. Tidak
sedikit orang-orang Bugis menjadi tokoh, ulama, politikus, pemimpin yang dipilih oleh
masyarakat setempat untuk memegang tampuk pemerintahan dalam masa yang telah ditetapkan
oleh mereka sendiri seperti Gubernur, Bupati, Camat, Lurah, Kepala Desa, Kepala Dusun,
Kepala RT/RW, dan sampai kepada Kepala Parit. Kepercayaan ini sekaligus telah mengikis
prinsip perbedaan antara penduduk setempat dengan pendatang yang datang ke bumi mereka.

Implikasi lain ialah adanya penyebaran suku Bugis di keseluruh wilayah pesisir Provinsi
ini, selain telah menunjukkan adanya perubahan di dalam sosial-politik, dan pengaruh kekuasan-
kekuasaan kecil yang muncul di penempatan-penempatan baru mereka di berbagai wilayah dan
kawasan. Bagi orang Bugis apabila suatu wilayah diperintah oleh orang berketurunan Bugis,
maka seorang tersebut akan digelari 'matoa' atau 'arung' atau 'pengulu' tetapi tetap menggunakan
simbol sebutan atau jabatan yang diberikan kepadanya seperti Pak Bupati, Pak Camat, Pak
Kades, Pak Dusun, dan lain sebagainya. Biasanya sesetengah penempatan atau kampung yang
kebanyakan didominasi penghuninya oleh masyarkat Bugis, maka akan menyebabkan
sesetengah masyarakatnya juga akan memberikan tanggungjawab kepemimpinan tesebut dari
kalangan mereka juga.

Situasi ini mengakibatkan semakin lama maka semakin meluaslah pengaruh dan
ketokohan orang-orang Bugis di Provinsi ini dari tahun ke tahun, terutama di kawasan Tanjung
Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat yang hampir kesemua masyarakatnya adalah orang
Bugis. Selain itu, ditambah lagi adanya peranan tokoh-tokoh masyarakat, agama, pendidik, dan
politik yang sangat dekat dihati mereka dan sangat mengetahui kehendaknya, maka besarlah
harapan ia akan tetap terus kekal memimpin selagi masih dibutuhkan oleh masyarakatnya. Apa
lagi kepemimpinan dan ketokohan tersebut sangat diterima oleh semua kalangan, maka
berkemungkinan tetap akan terus dipertahankan oleh penduduk tersebut karena keteladannya.
Demikian juga sebaliknya, kalau masyrakatnya sudah tidak menginginkannya lagi untuk
memimpin, maka iapun akan disingkirkan dengan secepatnya.

Oleh itu, pengaruh dan ketokohan seseorang akan dinilai sesuai baiknya atau buruknya
selama kepemimpinannya dalam masyarakat, ia akan dirasai oleh semua lapisan tanpa ada
batasannya. Berikut beberapa contoh keterlibatan orang-orang Bugis yang dipilih oleh
masyarakatnya untuk menjadi pemimpin mereka. Dalam hal ini, melihat contoh keterlibatan
mereka di Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebagai salah satu daerah yang didominasi oleh
masyarakat Bugis. Luas wilayah ini 5.443 km² dengan populasi 204.912 jiwa. Ibu kotanya ialah
Muara Sabak dan kabupaten ini terbagi menjadi 11 kecamatan dan terbagi lagi menjadi 60 desa.
Kabupaten ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Tanjung Jabung. Kepala daerah wilayah ini
bermula dari kepemimpinan Drs. H. Abdullah Hich dan wakilnya Drs. H. Muhd Kasim Setering,
periode 2001-2006, berlanjut kepemimpinan periode berikut Drs. H. Abdullah Hich dan
wakilnya Drs. H. Zubair, periode 2006-2011, kemudian Bupati sekarang ialah Zumi Zola
Zulkifli, STP, M.A dan wakilnya Ambo Tang, A.Md, periode 2011-2016.

Inilah gambaran kepemimpinan daerah tersebut yang selalu diwakili oleh orang dari
kalangan masyarakat Bugis. Hal ini juga semakin menguatkan indikasi diterimanya
kepemimpinan mereka di wilayah mereka datangi sebagai tokoh dan pemimpin masyarakat.

22
Selain itu, keluasan wilayah kabupaten ini yang terbagi menjadi 1 kabupaten, 11 kecamatan, dan
menjadi 60 desa, dapat menunjukkan semakin meluaskan lagi keterlibatan, kepemimpinan dan
ketokohan orang-orang Bugis di daerah tersebut. Sebagai contoh, dari 60 desa yang ada di
kabupaten ini, hampir kesemua wilayah tersebut dipimpin oleh orang Bugis karena menjadi
pilihan masyarakatnya yang didiami oleh kebanyakan orang-orang Bugis, dari pimpinan inilah
mereka juga dapat berharap untuk menentukan arah tujuan dan masa depan mereka
masing-masing. Demikianlah peranan dan keterlibatan masyarakat Bugis dimana mereka tinggal,
maka situasi ini wajarlah kalau berlaku bagi mereka bahwa“dimana bumi dipijak disitu langit
dijunjung.” Untuk melengkapkan huraian ini, berikut contoh gambaran upacara tradisional
masyarakat suku Bugis dalam menghormati pimpinan mereka;

Ilustrasi 11: Beginilah bentuk orang Bugis mappakaraja atau menghormati


pimpinan dan tokoh mereka, pakaian dan kelengkapan tradisional
lainnya menjadi pelengkap adat yang sudah mentradisi dalam
masyarakat untuk menyambut tetamu, pemimpin, tokoh, kedua
pengantin dan lain sebagainya.

Temuan, Harapan, Saran, dan Cadangan

Melalui paparan dan pembahasan di atas dapat kita lihat bahwa ternyata masih banyak lagi
perkara-perkara penting lainnya yang perlu dicari secara ilmiyah untuk mempelihatkan
karekteristik suku bangsa Bugis dari Sulawesi Selatan dengan Bugis Sumatra, di samping suku
bangsa setempat di Provinsi Jambi. Namun, penulis hanya membataskan perkara-perkara yang
telah dibicarakan dalam pembahasan terdahulu, semoga peneliti-peneliti lainnya dapat
meneruskan kerja dan usaha lebih maksimal lagi dari kajian ini, agar dapat memartabatkan
khazanah dan warisan seni dan budaya sesuatu bangsa di Sumatra khasnya dan di Indonesia
Umumnya.

Melalui paparan dan pembahasan ini, penulis juga ingin mengajukan beberapa temuan,
harapan, saran dan cadangan untuk memantapkan lagi kerja dan usaha pelestarian adat, istiadat,
seni, budaya, dan warisan suku Bugis ini di Provinsi Jambi khususnya dan di Sumatra umumnya.
Selain itu;

1. Perlu adanya satu persatuan bersama di peringkat kabupaten atau provinsi, bagi meneliti
dan mengkaji lebih mendalam yang mengarah kepada pelestarian seni, budaya dan
peradaban suku Bugis sebagai suku kaum di Jambi khususnya dan di Sumatra umumnya.
2. Penting diwujudkan kegiatan-kegiatan bersama sesama suku bangsa setempat, untuk
mencari titik kesamaan dan perbezaan adat, seni dan budaya dalam memartabatkan
budaya bangsa masing-masing di Provinsi Jambi.
3. Perlu adanya peranan pemerintah bersama masyarakat, untuk menyokong atau
mendukung dalam melestarikan dan memajukan seni, budaya dan peradaban masyarakat

23
suku Bugis dan suku kaum lainnya secara bersama-sama dalam peringkat Nasional
maupun Internasional.
4. Perlu selalu diadakan kegiatan-kegiatan bersama dalam seni dan budaya di antara suku
Bugis dengan suku bangsa lainnya, agar dapat terlihat lagi kelebihan dan keunggulan
seni dan budaya mereka masing-masing.
5. Perlu ditubuhkannya satu pusat perdagangnan yang dapat memasarkan berbagai hasil
kerajinan dan keterampilan, bahkan harus terus berusaha meningkatkan lagi produksi
hasil seni, budaya dan makanan orang Bugis di Provinsi Jambi khususnya dan di
Sumatra umumnya.
6. Perlu ditubuhkannya satu institusi atau lembaga yang dapat memberikan ispirasi,
kretivitas, atau memajukan dan bahkan terus berusaha meningkatkan lagi kelestarian
seni dan budaya Bugis di Provinsi Jambi khususnya dan di Sumatra umumnya sehingga
kapanpun.

Kesimpulan

Suku Bugis merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia berasal dari Sulawesi Selatan yang
memiliki seni budaya diwarisi secara turun temurun dari generasi ke generasi. Suku bangsa ini
bergerak dan berusaha menerapkan kehidupan mereka secara bersama dengan berdasarkan
institusi kekeluargaan, kemasyarakatan, kenegaraan. Selain itu, masyarakat Bugis walaupun
hidup jauh di perantauan, tetapi mereka tetap terus berusaha mengembangkan potensi diri dan
daerah mereka tempati ke arah kebaikan dan bermanfa’at. Mereka memiliki etos kerja tinggi,
memiliki keberanian tangguh, perantau pemberani, pekerja segala bidang, pemimpin tegar, dan
senantiasa memperhatikan keperluan individu mahupun kumpulan secara bersama.

Suku Bugis memiliki kelebihan dan kekurangan yang perlu saling melengkapi dengan
suku bangsa lainnya, terutama suku bangsa setempat dimana mereka tinggal. Mereka perlu
pandai dan bijaksana dalam mengembangkan potensi diri, wilayah dan lingkungannya agar tetap
terus bertahan. Masyarakat dan komunitasnya mesti tetap terikat dengan adat dan prinsip-prinsip
hidup dari warisan nenek moyang. Potensi diri tetap terus dipertahankan untuk bekerja dan
berusaha dalam memartabatkan seni dan budaya masing-masing. Selalu teguh dalam
mengekalkan peradaban bersama suku bangsa lainnya di merata tempat di Sumatra khususnya
dan di Nusantara umumnya.

Prinsip dan falsafah hidup suku Bugis dapat menjadi senjata ampuh dalam mengharungi
kehidupan apapun rintangan dan tantangannya. Gambaran tersebut dapat dipertahankan sehingga
sekarang karena adanya dukungan dan prinsip kental seperti “sekali dayung dikayu, dua tiga
pulau terlampaui” atau mungkin kegigihan dan ketangguhan masyarakat Bugis dimana mereka
berada, tetap terus eksis karena memiliki prinsip teguh yang tidak pernah lekang karena panas
dan tidak akan lapuk karena hujan, yaitu “sekali layar terkembang, kemudi telah terpasang,
mesin telah dinyalakan, maka pantang mundur ke belakang walau badai menantang di
hadapan.”

24
Rujukan

Anonim. Tt. Jambi traveller’s guide. Garuda Indonesia.


Anonim. 2006. Profil pendataan keluarga provinsi Jambi tahun 2006. Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional Provinsi Jambi.
Giyarto. 2008. Selayang pandang Jambi. Klaten: Intan Pariwara.
Harmoko, et al. 1995. Indonesia indah. buku ke-2: bangsa Indonesia II. Jakarta: Yayasan
Harapan Kita/BP3 TMII.
Hars, Nasruddin. 1992. Profil provinsi Republik Indonesia: Jambi. Jakarta: Intermasa.
Iswanto. 2008. Selayang pandang Sulawesi Selatan. Klaten: Intan Pariwara.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1988. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia.
Kamus Dewan edisi keempat. 2010. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Mattulada. 2011. Menyusuri jejak kehadiran Makassar dalam sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Mushaputra, Ade dan Maulana, H. Tt. Atlas tematik: provinsi Jambi. Jakarta: Listafariska Putra.
Nugroho, Tjahyadi. 1984. Mengenal budaya bangsa 27 provinsi. Semarang: Yayasan Telapak.
Rahim, A. Rahman. 2011. Nilai-nilai utama kebudayaan Bugis. Yogyakarta: Ombak.
Thohir, Mudjahirin. 2007. Memahami kebudayaan; Teori, metodologi, dan aplikasi. Semarang:
Fasindo Press.

http://www.balarpalembang.go.id
http://www.bupatikabupatentanjungjabungtimur.com
http://www.google.com
http://www.infokom.tanjabtim.go.id
http://www.jambi.net
http://www.kompas.com
http://www.pempropjambi.go.id
http://www.wakilbupatikabupatentanjungjabungtimur.com
http://www.wikipedia.com

KOMPAS. Bapak Bupati, Sebutan Baru untuk aktor Zumi Zola Zulkifli. 13 April 2011
Perpres No. 10 Tahun 2013. 2013-02-04. Diakses 2013-02-15.
Prosiding: Bugis Sabah 2007. Sabah: Penerbit UMS.

25

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai