Anda di halaman 1dari 16

TIMBULNYA GERAKAN REFORMASI 1998

DI INDONESIA
Copyright B. R. Pudya, Ganesha Study Club
http://pelitabaraapi.blogspot.com/
Abstrak
Reformasi

merupakan

suatu

gerakan

yang

menghendaki

adanya

perubahan

kehidupanbermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik secara


konstitusional.Artinya, adanya perubahan kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum,
sosial, danbudaya yang lebih baik, demokratis berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan,
dan persaudaraan.
Gerakan reformasi lahir sebagai jawaban atas krisis yang melanda berbagai
segikehidupan. Krisis politik, ekonomi, hukum, dan krisis sosial merupakan faktorfaktor
yangmendorong lahirnya gerakan reformasi. Bahkan, krisis kepercayaan telah menjadi salah
satuindikator yang menentukan. Reformasi dipandang sebagai gerakan yang tidak boleh
ditawar-tawar lagi dan karena itu, hampir seluruh rakyat Indonesia mendukung sepenuhnya
gerakanreformasi tersebut.
Dengan

semangat

reformasi,

rakyat

Indonesia

menghendaki

adanya

pergantiankepemimpinan nasional sebagai langkah awal menuju terwujudnya masyarakat yang


adil

danmakmur.

Pergantian

kepemimpinan

nasional

diharapkan

dapat

memperbaiki

kehidupanpolitik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya. Indoenesia harus dipimpin oleh orang
yangmemiliki kepedulian terhadap kesulitan dan penderitaan rakyat.
Latar belakang
Reformasi

merupakan

suatu

perubahan

tatatan

perikehidupan

lama

ketatananperikehidupan baru yang lebih baik. Gerakan reformasi yang terjadi di Indonesia
padatahun 1998 merupakan suatu gerakan yang bertujuan untuk melakukan perubahan
danpembaruan,

terutama

perbaikan

tatanan

perikehidupan

dalam

bidang

politik,

ekonomi,hukum, dan sosial. Dengan demikian, gerakan reformasi telah memiliki formulasi
ataugagasan tentang tatanan perikehidupan baru menuju terwujudnya Indonesia baru.
Persoalan pokok yang mendorong atau menyebabkan lahirnya gerakan reformasiadalah
kesulitan warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok. Harga-hargasembilan bahan

pokok (sembako), seperti beras, terigu, minyak goreng, minyak tanah,gula, susu, telur, ikan
kering, dan garam mengalami kenaikan yang tinggi. Bahkan, wargamasyarakat harus antri
untuk membeli sembako itu.
Sementara, situasi politik dan kondisi ekonomi Indonesia semakin tidak menentudan
tidak terkendali. Harapan masyarakat akan perbaikan politik dan ekonomi semakinjauh dari
kenyataan. Keadaan itu menyebabkan masyarakat Indonesia semakin kritis dantidak percaya
terhadap pemerintahan Orde Baru.
1
Pemerintahan Orde Baru dinilai tidak mampu menciptakan kehidupan masyarakatyang
adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan berdasarkan Pancasila danUUD 1945.
Oleh karena itu, tujuan lahirnya gerakan reformasi adalah untuk memperbaikitatanan
perikehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kesulitan

masyarakat

dalam

memenuhi

kebutuhan

pokok

merupakan

faktor

ataupenyebab utama lahirnya gerakan reformasi. Namun, persoalan itu tidak muncul
secaratiba-tiba. Banyak faktor yang mempengaruhinya, terutama ketidakadilan dalam
kehidupanpolitik, ekonomi, dan hukum.
Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Suharto selama 32 tahun, ternyatatidak
konsisten dan konsekuen dalam melaksanakan cita-cita Orde Baru. Pada awalkelahirannya
tahun 1966, Orde Baru bertekad untuk menata kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan
bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Namun

dalam

pelaksanaannya,

pemerintahan

Orde

Baru

banyak

melakukanpenyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang tertuang


dalamUUD 1945 yang sangat merugikan rakyat kecil. Bahkan, Pancasila dan UUD 1945
hanyadijadikan legitimasi untuk mempertahankan kekuasaan. Penyimpangan-penyimpangan
itumelahirkan krisis multidimensional yang menjadi penyebab umum lahirnya gerakanreformasi,
seperti berikut ini:
a. Krisis politik

Krisis politik yang terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak dari berbagaikebijakan
politik pemerintahan Orde Baru. Berbagai kebijakan politik yangdikeluarkan pemerintahan Orde
Baru selalu dengan alasan dalam kerangkapelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun yang
sebenarnya terjadi adalah dalamrangka mempertahankan kekuasaan Presiden Suharto dan
kroni-kroninya. Artinya,demokrasi yang dilaksanakan pemerintahan Orde Baru bukan demokrasi
yangsemestinya, melainkan demokrasi rekayasa.
Dengan demikian, yang terjadi bukan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untukrakyat,
melainkan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk penguasa. Pada masaOrde Baru,
kehidupan politik sangat represif, yaitu adanya tekanan yang kuat daripemerintah terhadap
pihak oposisi atau orang-orang yang berpikir kritis. Ciri-cirikehidupan politik yang represif, di
antaranya:
1)Setiap orang atau kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah dituduh
sebagai tindakan subversif (menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia).
2)Pelaksanaan Lima Paket UU Politik yang melahirkan demokrasi semu atau
demokrasi rekayasa.
3)Terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela dan masyarakat
tidak memiliki kebebasan untuk mengontrolnya.
2
4)Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI yang memasung kebebasan setiap warga negara
(sipil) untuk ikut berpartisipasi dalam pemerintahan.
5)Terciptanya masa kekuasaan presiden yang tak terbatas. Meskipun Suharto dipilihmenjadi presiden
melalui Sidang Umum MPR, tetapipemilihan itu merupakanhasil rekayasa dan tidak demokratis.
b. Krisis hukum
Rekayasa-rekayasa yang dibangun pemerintahan Orde Baru tidak terbatas padabidang
politik. Dalam bidang hukumpun, pemerintah melakukan intervensi. Artinya,kekuasaan
peradilan harus dilaksanakan untuk melayani kepentingan para penguasadan bukan untuk
melayani masyarakat dengan penuh keadilan.
Bahkan,

hukum

sering

dijadikan

alat

pembenaran

para

penguasa.

Kenyataan

itubertentangan dengan ketentuan pasa 24 UUD 1945 yanf menyatakanbahwakehakiman


memiliki kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaanpemerintah (eksekutif).
c. Krisis ekonomi

Krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara sejak Juli 1996mempengaruhi
perkembangan

perekonomian

Indonesia.

Ternyata,

ekonomi

Indonesiatidak

mampu

menghadapi krisis global yang melanda dunia. Krisis ekonomi Indonesiadiawali dengan
melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Padatanggal 1 Agustus 1997,
nilai tukar rupiah turun dari Rp 2,575.00 menjadi Rp 2,603.00per dollar Amerika Serikat.
Pada bulan Desember 1997, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikatturun
menjadi Rp 5,000.00 per dollar. Bahkan, pada bulan Maret 1998, nilai tukarrupiah terus
melemah dan mencapai titik terendah, yaitu Rp 16,000.00 per dollar Krisisekonomi yang
melanda Indonesia tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi, seperti:1)Hutang luar
negeri Indonesia yang sangat besar menjadi penyebab terjadinya
krisis ekonomi. Meskipun, hutang itu bukan sepenuhnya hutang negara, tetapi
sangat besar pengaruhnya terhadap upaya-upaya untuk mengatasi krisis ekonomi.
2)Industrialisasi, pemerintah Orde Baru ingin menjadikan negara RI sebagai negaraindustri.
Keinginan itu tidak sesuai dengan kondisi nyata masyarakat Indonesia.Masyarakat Indonesia
merupakan sebuah masyarakat agraris dengan tingkatpendidikan yang sangat rendah (ratarata).
3)Pemerintahan Sentralistik, pemerintahan Orde Baru sangat sentralistik sifatnyasehingga semua
kebijakan ditentukan dari Jakarta. Oleh karena itu, perananpemerintah pusat sangat
menentukan dan pemerintah daerah hanya sebagaikepanjangan tangan pemerintah pusat.
d. Krisis social

Negara Hukum Dan Hak Asasi Manusia


Reformasi tanpa Konsekwensi 1
Zumrotin K.S. 2 dan Roichatul Aswidah 3
I. Pendahuluan

Proses reformasi di Indonesia telah berlangsung selama sepuluh tahun terhitung sejak mundurnya
Soeharto pada 21 Mei 1998 lalu. Butir-butir tuntutan reformasi yang dikumandangkan mahasiswa

sepuluh tahun yang lalu adalah: 1). pencabutan mandat Soeharto sebagai presiden; 2). adili Soeharto
dan kroni-kroninya; 3). penghapusan dwifungsi TNI/ABRI; 4). Pemilu ulang yang luber, jurdil, dan
demokratis; 5). TAP pemberantasan KKN; 6). TAP pengusutan pelanggaran HAM; 7). Amendemen
konstitusi; 8). Cabut asas tunggal; 9). otonomi seluas-luasnya; 10). penurunan 4 harga kebutuhan pokok;
11). jaminan ketersediaan lapangan kerja yang layak. Beberapa tuntutan tersebut telah terlaksana antara
lain adanya amendemen konstutusi, pelaksanaan pemilu atau pun adanya otonomi.
Butir-butir tuntutan tersebut nampaknya merupakan upaya untuk menegakkan kembali cita-cita
kenegaraan berdirinya negara Indonesia. Cita-cita kenegaraan itu dapat dilacak pada Pembukaan UUD
1945 yang dapat mencerminkan pokok-pokok cita-cita kenegaraan yang melandasi berdirinya Indonesia.
Dua hal sangat penting yang harus disebut adalah bahwa pembukaan UUD 1945 menyatakan
terbentuknya Negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. 5 Dinyatakan bahwa untuk itu, UUD 1945 harus mengandung ketentuan yang mewajibkan
Pemerintah dan penyelenggara Negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan
memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. UUD 1945 selanjutnya menegaskan bahwa Negara
Indonesia berdasar atas hukum (rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat). 6
Dari hal-hal penting di atas, dapat ditegaskan bahwa berdirinya Indonesia adalah: pertama, untuk
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan kedua, untuk mewujudkan
keadilan sosial bagi sleuruh rakyat Indonesia. Untuk itu maka pendiri Negara kita menyatakan bahwa
Pemerintah dan para penyelenggara Negara harus berbudi pekerti yang luhur dan Negara Indonesia
sendiri haruslah merupakan Negara hukum (rechstaat). Di sini terlihat bahwa tujuan yang dinyatakan di
depan mempersyatkan atau menjadikan yanag ada di belang alat untuk mewujudkan cita-cita
kenegaraan.
Pertanyaan dasar yang kemudian muncul adalah, sejauh mana sepuluh tahun reformasi yang terjadi
telah mewujudkan tuntutan reformasi di atas. Lebih jauh sejauh mana reformasi mengembalikan kita
pada perwujudan cita-cita kenegaraan berdirinya Indonesia. Yang kemudian harus dicari jawabnya
adalah: pertama, sejauh mana reformasi telah mengupayakan perwujudan negara hukum; kedua, sejauh
mana pula negara hukum yang --apabila telah terjadi-- mengupayakan cita-cita kenegaraan yang
dinyatakan oleh pembukaan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia serta mewujudkan keadilan
social bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam hal ini, cita-cita Negara Indonesia ini saya maknai sebagai
perwujudan hak asasi manusia, karena memang demikian pula pada kenyataannya hak asasi manusia
mewujud dalam arti sebenarnya. Yaitu apabila segenap bangsa terlindungi dan apabila keadilan social
terlaksana bagi seluruh rakyat Indonesia.

II. Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia


a. Apa itu Negara Hukum?
Indonesia adalah Negara hukum (rechstaat) dan bukan negara kekuasaan (machstaat). Hal ini tertulis
dalam Konstitusi Indonesia. UU 1945 dan tertuang dalam Pasal 1 (3) UUD 1945. Pertanyaannya adalah
apa sebenarnya negara hukum? Konsep Negara hukum sangat dekat dengan konsep rule of law. Dalam
arti sederhana rule of Law diartikan oleh Thomas Paine sebagai tidak ada satu pun yang berada di atas
hukum dan hukumlah yang berkuasa.
Dalam konsep modern, apa yang dikatakan oleh Thomas Paine kemudian didefinisikan secara lebih
menyeluruh. Dunia modern kemudian mendefiniskan rule of law sebagai konsep yang melibatkan prinsip
dan aturan yang memberi pedoman pada mekanisme tertib hukum (legal order). Ditegaskan dalam hal
ini bahwa rule of law menuntut adanya regulasi dengan kualitas tertentu: 7

Definisi rule of law di atas kemudian dirinci yang memudahakan penilaian. Salah satu definisi yang rinci
tedapat dalam laporan Sekretaris Jenderal PBB, sebagai berikut:
The "rule of law" is a concept at the very heart of the Organization.s mission.
It refers to a principle of governance in which all persons, institutions and entities,
public and private, including the State itself, are accountable to laws that are
publicly promulgated, equally enforced and independently adjudicated, and which
are consistent with international human rights norms and standards. It requires, as
well, measures to ensure adherence to the principles of supremacy of law, equality
before the law, accountability to the law, fairness in the application of the law,
separation of powers, participation in decision-making, legal certainty, avoidance of
arbitrariness and procedural and legal transparency. 8
Definisi yang rinci di atas memperlihatkan bahwa rule of law mengandung beberapa elemen penting
yaitu: a). ditatinya prinsip berkuasanya hukum (supremacy of law), persamaan di depan hukum (equality
before the law), pertanggungjawaban hukum (accountability to the law), keadilan dalam penerapan
hukum (fairness in the application of the law), adanya pemisahan kekuasaan (separation of power),
adanya partisipasi dalam pembuatan keputusan (participation in the decision making) kepastian hukum
(legal certainty), dihindarinya kesewang-wenangan (avoidance of arbitrariness) dan adanya keterbukaan
prosedur dan hukum (procedural and legal transparency). Keseluruhan elemen ini harus dilihat untuk
dapat mengukur sejauh mana rule of law telah dijalankan.
Ukuran pertama yaitu prinsip supremasi hukum berarti bahwa hukum harus menjadi dasar aturan
pelaksaan kekuasaan publik. Masyarakat juga haruslah diatur berdasarkan hukum, bukan berdasarkan
moralitas, keuntungan politik atau ideologi. 9 Prinsip ini juga mengimplikasikan bahwa badan-badan
politik terikat tidak saja pada konstitusi naisonal tetapi juga pada kewajiban hukum hak asasi manusia
internasional. 10 Hal ini mengimplikasikan bahwa legislasi yang valid harus diterapkan oleh otoritas dan
pengadilan dan bahwa intervensi negara pada kehidupana rakyat haruslah memenuhi standard umum
yaitu prinsip legalitas. Dengan demikian rule of law menjadi tameng pelindung rakyat dari adanya
penyalahgunaan kekuasaan Ditegaskan bahwa dalam hal ini korupsi jelas tidak sejalan dengan rule of
law. 11
Sementara itu, prinsip persamaan di depan hukum memuat dua komponen utama yaitu bahwa aturan
hukum diterapkan tanpa diskriminasi dan mensyaratkan perlakuan yang setara untuk kasus yang
serupa. 12 Adanya pertanggungjawaban hukum (accountability to the law) harus dimaknai bahwa
otoritas Negara tidak boleh di luar atau di atas hukum dan harus tunduk pada hukum (subject to the law)
seperti halnya warga negara. 13 Pinsip kepastian hukum mengimplikasikan bahwa aturan tidak
menyediakan ruang yang banyak untuk adanya diskresi. 14 Prinsp ini tentunya juga berkaitan dengan
prinsip keterbukaan dalam hukum dan prosedur.
Dari paparan mengenai elemen penting rule of law dan uraian masing-masing elemen terlihat bahwa rule
of law pada dasarnya berfokus pada hukum dan pengembangan kelembagaan. Namun demikian, dalam
hal ini harus diingat bahwa Sekretaris Jenderal PBB menyatakan elemen politik adalah penting untuk
menjamin dijalankannya rule of law. 15

b. Kaitan Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia


Dapat dipastikan sebagian besar orang akan menyatakan bahwa negara hukum atau rule of law terkait
erat dengan hak asasi manusia dalam artian positif. Yaitu bahwa tegaknya rule of law akan berdampak
positif pada pelaksanaan hak asasi manusia. Benarkan demikian? Marilah kita perjelas bagaimana kaitan
antara negara hukum atau rule of law dengan hak asasi manusia.

Dalam hal ini saya akan mengambil beberapa kesimpulan penting dari Randall P. Peerenboom yang
melakukan penelitian kaitan antara rule of law dengan hak asasi manusia. 16 Pertama adalah bahwa
kaitan antara rule of law dengan hak asasi manusia adalah kompleks. Peerenboom menyatakan bahwa
yang menjadi persoalan bukanlah prinsip-prinsip rule of law, tetapi adalah kegagalan untuk menaati
prinsip-prinsip tersebut. Akan tetapi yang jelas menurutnya adalah bahwa rule of law bukanlah obat
mujarab yang dapat mengobati semua masalah. Bahwa rule of law saja tidak dapat menyelesaikan
masalah. Peerenboom menyatakan bahwa rule of law hanyalah satu komponen untuk sebuah
masyarakat yang adil. Nilai-nilai yang ada dalam rule of law dibutuhkan untuk jalan pada nilai-nilai penting
lainnya. Dengan demikian rule of law adalah jalan tetapi bukan tujuan itu sendiri.
Berkaitan dengan hak asasi manusia sendiri, terutama hak ekonomi, sosial dan budaya, adalah menarik
bahwa Peerenboom menyatakan rule of law sangat dekat dengan pembangunan ekonomi. Selanjutnya
dia menyatakan bahwa memperhitungkan pentingnya pembangunan ekonomi bagi hak asasi manusia
maka dia menyatakan agar gerakan hak asasi manusia memajukan pembangunan. Di sini sangat penting
untuk diingat bahwa menurut Peerenboom sampai sekarang kita gagal untuk memperlakukan kemiskinan
sebagai pelanggaran atas martabat manusia dan dengan demikian hak ekonomi, sosial dan budaya tidak
diperlakukan sama dalam penegakan hukumnya seperti hak sipil dan politik. Dalam pemenuhan hak
ekonomi, social dan budaya, menurutnya rule of law saja tidak akan cukup untuk dapat menjamin
pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya tanpa adanya perubahan tata ekonomi global baru dan
adanya distribusi sumber alam global yang lebih adil dan seimbang. Oleh karena itu menurutnya
pemenuhan hak ekonomil, sosial dan budaya juga memerlukan perubahan yang mendasar pada tata
ekonomi dunia.
Terakhir yang harus dicatat adalah peringatan Peerenboom tentang bahaya demokratisasi yang
prematur. Menurutnya kemajuan hak asasi manusia yang signifikan hanya dapat tercapai dalam
demokrasi yang consolidated, sementara demokrasi yang prematur mengandung bahaya yang justru
melemahkan rule of law dan hak asasi manusia terutama pada negara yang kemudian terjadi kekacauan
sosial (social chaos) atau pun perang sipil (civil war).
Hal lain yag penting dikemukakan oleh Peerenboom adalah bahwa rule of law membutuhkan stabilitas
politik, dan negara yang mempunyai kemampuan untuk membentuk dan menjalankan sistem hukum
yang fungsional. Stabilitas politik saja tidak cukup. Dalam hal ini dibutuhkan hakim yang kompeten dan
peradilan yang bebas dari korupsi.
Pada intinya Peerenboom menyatakan bahwa walaupun rule of law bukanlah obat mujarab bagi
terpenuhinya hak asasi manusia, namun demikian, adalah benar pelaksanaan rule of law akan
menyebakan kemajuan kulitas hidup dan pada akhirnya terpenuhinya hak asasi manusia.

III. 10 Tahun Reformasi dan Pembentukan Negara Hukum


a. Capaian Reformasi
Pertanyaan yang harus dijawab adalah: Apakah yang telah dicapai oleh reformasi selama 10 tahun
dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum atau rule of law? Seperti dinyatakan di atas fokus
dari rule of law adalah pertama pada pembangunan hukum dan kelembagaan. Tidak dapat disangkal
bahwa reformasi telah mencapai beberapa hal dalam bidang pengembangan kerangka hukum dan
kelembagaan (instituonal and legal frameworks).
Dari sisi kerangka hukum (legal framework) dan pembangunan kelembagaan, harus diakui bahwa
reformasi telah menghasilkan beberapa kemajuan dalam bidang ini. Hal ini disebutkan dan diakui oleh
beberapa pelapor khusus PBB yang datang ke Indonesia. Dua yang harus disebut adalah pelapor khusus
Manfred Nowak dan utusan khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk pembela HAM, Hina Jilani. Berkaitan

dengan pembangunan kerangka hukum dan kelembagan mereka berdua menyebutkan beberapa hal
penting. 17
Pertama telah dilakukan perubahan terhadap konstitusi Indonesia. Konstitusi Indonesia menjadi kerangka
hukum sekaligus meletakkan dasar pembangunan kelembagaan untuk mendorong berfungsinya sistem
hukum dan kemudian diharapkan dapat menjamin jalannya rule of law. Konstitusi Indonesia saat ini
memuat ketentuan yang melindungi serangkaian hak asasi manusia yang meliputi baik hak sipil politik
maupun hak ekonomi, sosial dan budaya. Konstitusi Indonesia memuat pula ketentuan mengenai hak
yang tidak dapat dicabut (non-derogable rights):
"Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yan tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun."
Berkaitan dengan pembangunan kelembagaan, Konstitusi Indonesia memuat ketentuan baru mengenai
pembentukan Mahkamah Konstitusi. 18 Dalam ketentuan tersebut ditekankan bahwa Mahkamah
konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undangundang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik,
dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 19 Dengan demikian, ada satu mekanisme
baru untuk memastikan bahwa seluruh peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan Konstitusi
dan dimana putusannya bersifat final.
Selain itu kontitusi Indonesia juga mengatur pembentukan Komisi Yudisial yang ditegaskan oleh
Konstitusi sebagai bersifat mandiri. Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim.20 Rumusan terakhir, saya kira penting untuk digarisbawahi sebagai dan
memaknainya sebagai upaya untuk menjamin kemandirian pengadilan serta menjamin berjalannya
sistem hukum secara mandiri.
Beberapa undang-undang baru yang harus pula disebut setelah reformasi adalah UU 39/1999 tentang
Hak Asasi Manusia yang mengatur pula pendirian Komnas HAM. Dengan demikian, dapat disebut dahwa
Undang-undang ini merupakan bagian dari kerangka hukum dan juga sekaligus pembangunan
kelembagaan. Selain itu, dalam hal ini harus disebutkan pula UU No. 26/2000 nengenai Pengadilan Hak
Asasi Manusia yang mengatur pendirian Pengadilan HAM. Pengadilan ini berwenang untuk memeriksa
perkara pelanggaran HAM yang berat yang dalam hukum internasional disebut sebagai kehatan
internasional. Dua kejahatan yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan ini adalah kejahatan terjhadap
kemanusiaan dan genosida. Selain itu harus disebutkan bahwa beberapa Undang-undang penting seperti
UU No. 32/2004 tentang Otonomi Daerah, UU yang menyebutkan pula kewajiban pemerintah daerah
untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia, dan UU No. 13/2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban.
Selain menetapkan instrumen hukum HAM nasional, sejak reformasi Indonesia telah mengesahkan
beberapa instrumen hukum HAM internasional untuk memperkuat hukum HAM nasional yang telah ada.
Begitu Soeharto jatuh, Pemerintahan Indonesia meratifikasi instrumen penting hak asasi manusia yaitu
Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan melalui UU No. 5 Tahun 1998 dan satu tahun sesudahnya
Konvensi Internasional Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Rasial diratifikasi melalui UU No. 29
Tahun 1999. Pada November 2005 Indonesia meratifikasi dua instrumen pokok hak asasi manusia yaitu
Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social
and Culture Rights (ICESCR)) dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) melalui Undang-Undang No. 11/2005 dan UndangUndang No. 12/2005. Peratifikasian ini melengkapi dua instrumen internasional yang telah diratifikasi
sebelumnya yaitu Konvensi Internasional tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan melalui UU No. 7 Tahun 1984, dan Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Anak melalui

Keppres No. 36 Tahun 1990.


Harus disebutkan pula bahwa Indonesia juga telah membentuk beberapa state auxiliries selain Komnas
HAM antara lain Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi
Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Ombudsman , Komisi Hukum Naisonal dan juga
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

b. Telah Membentuk Negara Hukum? Bagaimana Kondisi HAM setelah reformasi?


Dapat dinyatakan bahwa dari sisi kerangka hukum dan pembangunan kelembagaan, ada kemajuan yang
dicapai oleh Indonesia setelah refomasi. Pertanyananya adalah sejauh mana kerangka hukum dan
pembangunan kelembagaan itu mewujudkan rule of law. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lembaga
Kajian Demokras dan Hak Asasi Manusia (DEMOS) yang meminta penilaian para aktor demokrasi
tentang demokrasi setelah 10 tahu reformasi, menghasilkan salah satu kesimpulan bahwa upaya untuk
meningkatkan kinerja rule of law terutama kontrol terhadap korupsi mengalami perbaikan. Selain itu
disimpulkan adanya perbaikan yang mencolok pada kepatuhan pejabat pemerintah dan pejabat publik
terhadap hukum (rule of law), kesetaraan dan kesamaan di hadapan hukum, transparansi dan
akuntabilitas pemerintah hasil pemilihan dan birokrasi pada semua tingkatan, independensi pemerintah
dari kelompok kepentingan yang kuat dan adanya kapasitas untuk menghapuskan korupsi serta
penyalahgunaan kekuasaan, serta kapasitas pemerintah untuk memberantas kelompok-kelompok
paramiliter, preman, dan kejahatan yang terorganisir. Memang benar, bahwa perbaikan-perbaikan itu
berasal dan beranjak dari tingkat yang sangat rendah, namun cukup bisa diperhitungkan. 21 Terlihat di
sini, bila dikatkan dengan beberapa unsur dari rule of law seperti disebuta dalam bagian muka tulisan ini,
rule of law mengalami kemajuan.
Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana pembangunan rule of law itu menyumbang pada
perwujudan tuntutan reformasi atau lebih jauh cita-cita kenegaraan Indonesia? Sejauh mana capaian
yang ada berdampak pada perwjudan hak asasi manusia?
Jajak pendapat yang dilakukan oleh Kompas 22 menyimpulkan sebagian besar responden menyatakan
bahwa reformasi di bidang politik telah sesuai dengan harapan. Hal itu terwujud dalam kebebasan
berpolitik, kebebasan berekspresi bahkan berunjuk rasa. Namun demikian, menurut Kompas, responden
terbelah saat diminta menilai reformasi di bidang hukum. Lebih dari lima puluh persen bahkan
menyatakan bahwa kinerja bidang ini bertambah buruk. Berkaitan dengan bidang hukum, sebagian besar
responden (85 persen) menyatakan tuntutan untuk mengadli Soeharto dan kroni-kroninya belum
terpenuhi. Sebagian besar responden (86,7 persen) juga menyatakan belum terpenuhinya tuntutan
pengsusutan kasus pelanggaran HAM terutama kasus Mei 1998. Responden juga menganggap belum
terwujudnya secara penuh penghapusan Dwi Fungsi ABRI/TNI serta amendemen konstitusi. Sebagian
besar responden (88,2 persen) menyatakan bahwa kinerja di bidang ekonomi memburuk. Tuntutan
penurunan harga kebutuhan pokok tidak terpenuhi. Reformasi di bidang ekonomi belum berjalan sesuai
dengan harapan. Dalam analisisnya Kompas menyatakan bahwa kondisi ini dipengaruhi oleh krisis
pangan dunia serta harga minyak mentah dunia yang tidak terbendung.
Hal ini senada dengan penilaian yang dilakukan oleh dua pelapor khusus PBB Nowak maupun Jilani.
Pelapor-pelapor tersebut menyatakan ada kesenjangan antara pembangunan kerangka hukum dengan
kenyataan terutama berkaitan dengan hak asasi manusia. Dua pelapor khusus tersebut tentu berbicara
dalam kapasitas masing-masing sebgaia Pelapor Khusus penyiksaan dan Utusan Khusus Sekretaris
Jenderal PBB mengenai pembela HAM. Dua pelaporr khusus ini juga menyatakan belum jaminan bagi
penuntutan para pelanggar hak asasi manusia bahkan menyatakan masih adanya impunity bagi para
pelanggar hak asasi manusia. 23
Nampak bahwa kita masih baru dalam tahap peletakan kerangka hukum atau notrmatif dan
kelembagaan namun semua itu belum berjalan secara memadai memadai untuk menjamin jalannya rule
of law. Kita ingat, seperti disebutkan di atas faktor politik penting untuk menjamin jalannya rule of law.
Peerenboom, seperti disebutkan di atas malah menyatakan bahwa rule of law dalam demokrasi yang

prematur berbahaya bagi hak asasi manusia karena mengandung kemunginan adanya kekacauan sosial
atau pun civil war. Di sini kita memang juga harus mengaitkan jalannya rule of law dengan kondisi
demokrasi di Indonesia. Pertanyaanya, bagaimana kondisi demokrasi Indonesia setelah 10 tahun
reformasi?
Saya ingin mengutip hasil penelitian DEMOS yang menyatakan bahwa meski banyak kebebasan
diperluas, institusi demokrasi dan kapasitas rakyat tetaplah lemah. Namun menurut penelitian ini banyak
dari infrastruktur yang diperlukan bagi demokrasi telah terbentuk. DEMOS menyatakan bahwa institusi
tersebut mempunyai banyak kelemahan dan berlaku bias, namun cukup solid untuk mengakomodasi
aktor-aktor berpengaruh dan sedikit bagi aktor-aktor alternatif. Dari sinilah Indonesia disebut sebagai
demokrasi yang sedang berkembang. Yang dinyatakan dalam laporan penelitian sebagai mulai
menyerupai India. 24 Dari sini kita bisa melihat adanya harapan untuk demokratisasi di Indonesia.
Lebih jauh dinyatakan bahwa kelemahan demokrasi Indionesia menurut penilaian DEMOS adalah pada
representasi yang lemah. Menurut penelitian ini kelemahan representasi ini tidak hanya buruk bagi
demokrasi namun juga akan menghancurkan kesempatan orang-orang pada umumnya untuk
menyalurkan pandangan dan kepentingan mereka. Kelemahan representasi juga akan menutup
kemungkinan-kemungkinan untuk menggantikan pembagian kekuasaan yang tidak adil yang, menurut
DEMOS, pada gilirannya menghambat terjadinya pembangunan yang bertanggung jawab secara sosial
dan pada kelestarian lingkungan. 25 Terlihat sekarang mengapa capaian pada kerangka hukum dan
kelembagaan belum secara maksimal menyumbang pada perwujudan hak asasi manusia, terutama hak
ekonomi, sosial dan budaya. Bertitik tolak dari penelitian ini dapat diperkirakan bahwa karena lemahnya
representasi, maka para pemegang kekuasan dan pengambil keputusan tidak mencerminkan atau pun
tidak menjadi penyalur kepentingan mewakili masyarakat umum dalam bidang pembangunan ekonomi
yang berkeadilan sosial. Maka bila berada dalam posisi sulit, seperti terjebak dalam krisis pangan dan
harga minyak mentah dunia, maka, pengambil keputusan akan mengambil jalan yang bukan mewakili
kepentingan umum, seperti halnya kebijakan kenaikan BBM tedrakhir. Oleh karena itu, saya kira dalam
bidang pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya, kita harus mengaitkannya pula dengan perlunya
tata konomi dunia yang lebih adil dan pembagian sumber alam global yang lebih seimbang, seperti telah
saya sebutkan di atas.
Harus diingat bahwa menurut DEMOS yang berbahaya adalah bahwa monopolisasi representasi akan
menimbulkan ketidakpercayaan terhadap demokrasi. Menurut kesimpulan penelitian ini, yang paling
mengkhawatirkan adalah kelompok masyarakat kelas menengah dan atas yang tidak berhasil
memenangkan pemilihan umum akan menggunakan ketidakpuasan akan demokrasi elit ini untuk
memperoleh dukungan atas usaha mereka menciptakan alternatif atas demokrasi dan
mengkampanyekan prakondisi yang lebih baik lewat politik keteraturan. Menurut DEMOS hal ini terlihat
dari pernyataan wakil presiden Jusuf Kalla tentang Poso dan beberapa daerah lain yang sedang
berkonflik dimana DEMOS menyimpulkan baha Kalla berpesan pemilihan umum demokratik yang terlalu
dini diselenggarakan di daerah tersebut menjadi penyebab konflik tersebut. 26 Pesan Kalla ini
sebenarnya hampir senada dengan apa yang dikatakan Peerenboom di atas. Namun, ternyata hal ini
dapat pula dimanfaatkan oleh politisi untuk menggaungkan ketidakpercayaan pada demokrasi. Saya
sependapat dengan DEMOS bahwa hal ini sangat berbahaya karena menutup tumbuhnya demokrasi
yang consolidated yang dibutuhkan untuk jalannya rule of law.

IV. Kesimpulan
Dapat dinyatakan bahwa selama 10 tahun reformasi, kerangka hukum dan kelembagaan telah terbangun.
Namun demikian hal ini belum dapat melakanakan rule of law dengan sepenuhnya. Kerangka hukum dan
kelembagaan yang ada belum menjamin untuk jalannya sistem hukum fungsinal, karena yang terakhir
menuntut adanya hakim yang kapabel dan independen. Selain itu, faktor politik dimana demokrasi yang
ada, walaupun telah pula memungkinkan berdirinya institusi dan kerangka demokrasi, namun belum
cukup untuk menjamin berjalannya rule of law. Dapat dinyatakan bahwa 10 tahun reformasi belum
mencapai terpenuhinya kapasitas untuk menjalankan sistrem hukum yang fungsional dan demokrasi

yang consolidated. Akhirnya, saya ingin menutup tulisan ini dengan mengingatkan bahwa rule of law
memang tetap haruslah dilengkapi dengan kewajiban Pemerintah dan penyelenggara Negara untuk
memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur,
seperti amanah UUD 1945.

Tuntutan Reformasi, Bebas KKN Apa Masih


Relevan
OPINI | 03 May 2010 | 16:25 845

Nihil

Gerakan mahasiswa dan masyarakat yang menuntut reformasi 13 tahun yang lalu menuntut dua hal
utama: Suharto lengser dan Bebaskan Negara dari KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).
Setelah Presiden Suharto turun dari jabatan presiden, mulailah ganti-berganti Presiden dan DPR
yang ganti berganti pula sebagai hasil Pemilu dan atau Pilpres. Agenda tiap pergantian presiden dan
pergantian anggota DPR selalu dengan acuan reformasi.
Akan tetapi, apakah setelah 13 tahun reformasi, tuntutan awal tersebut diatas telah tercapai?
Pada awalnya setiap berganti, presiden baru selalu mengatakan bahwa semua kesulitan adalah
warisan jaman Suharto, akibat kesalahan Orde Baru. Sekarang dengan APBN yang naik hampir 10
x lipat dalam tahun tahun reformasi, apakah kalau salah urus masih dianggap kesalahan Orde
Baru?
Mari kita lihat tuntutan utama Bebas KKN.
Pertama, Korupsi. Ternyata saat ini jauh lebih luas dan besar dibandingkan dengan jaman Orde
Baru. Buktinya, semua Institusi Demokrasi yaitu Eksekutif, Legislatif dan Judikatif tak ada yang
bersih dari pejabat yang korup. Semua Institusi Penegak Hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan
Kehakiman juga tidak bersih dari pejabat yang korup. Semua seakan berlomba-lomba mencari
kekayaan untuk diri masing-masing, bahkan terkuak pula kerjasama antar mereka untuk korupsi
bersama-sama.
Kedua, Kolusi. Yaitu kerjasama hengki pengki antara sesama pejabat, antara pimpinan dan
bawahan, antara pejabat dengan pengusaha, hakim, polisi, jaksa, dan pengacara. Semua, seakan
kekayaan Negara telah menjadi santapan piranha yang rakus. Bagaimana Negara akan maju dan
makmur.

Seorang Komasianer hari ini menulis tentang kurangnya peralatan militer kita sehingga kita menjadi
bahan olok-olok negara tetangga. Tapi kita tentu berdalih, anggaran tidak mencukupi apabila kita
pakai demikian besar untuk keperluan militer.
Saya punya idea, anggaran militer selau ditambah dengan hasil korupsi yang dapat diselamatkan
baik oleh KPK, Keposisian, Kejaksaan, Denda-denda pengadilan, Rampasan dari penyeludup yang
masuk kawasan RI tanpa ijin dan semua hal yang selama ini tidak jelas kemana saja disetor
(katanya ke Keuangan Negara, tapi maaf tidak tercantum dalam APBN, tidak akuntabel). Dari pajak
saja ada yang memperkirakan Negara dirugikan 50-60 % pajak yang diterima. Jadi jumlah uang
yang dapat terhimpun dari fakror-faktor tersebut akan sangat besar mungkin mendekati separuh
APBN.
Nah dengan anggaran sebesar itu, dalam waktu yang tidak begitu lama militer kita akan mampu
mengadakan peraalatan canggih untuk menyaingi negara tetangga, paling tidak kita tidak lagi jadi
olok-olok mereka di Ambalat atau Natuna.
Mungkin dengan melibatkan intelijen TNI, kasus-kasus korupsi, penyelundupan, penggelapan pajak
dan lain-lain akan lebih terkuak, dan hasilnya untuk kemajuan TNI.
Syaratnya, bila ada lagi yang mengkorup hasil itu, langsung dihukum mati tak lebih dari 1 bulan
setelah Keputusan Pengadilan Tinggi (Tak boleh kasasi untuk jenis korupsi ini).
Kita tidak ingin negara kita dilecehkan karena lemah. Kita boleh berkaca pada ucapan seorang
Presiden Pakistan dulu: Biar rakyat Pakistan makan remah, asal Negara memiliki bom nuklir.
Ucapan ini keluar akibat India telah memiliki bom nuklir, dan seakan melecehklan Pakistan. Dan
setelah keduanya sama-sama memiliki bom nuklir, tidak perlu perang, sebab kedua Negara sudah
saling menghargai.
Ketiga dan terakhir, Nepotisme. Wah ini paling sulit diberantas. Lihat saja, masing-masing pemimpin
telah menyiapkan anaknya sebagai penerus kekuasaan. Dengan dalih kalau punya kemampuan
kenapa tidak? Ya kalau pisang mentah diperam pakai karbid, ya matang juga tapi apa rasanya
cukup manis? Begitu pula anak-anak nepotis ini kalau jadi pemimpin apa akan punya rasa
pengabdian kepada rakyat, apa punya sensitivitas terhadap masalah bangsa. Sangat diragukan.
Bahkan dalam rangka KKN ini, bukan hanya anak kandung yang dipersiapkan. Bisa anak tiri, adik,
kakak, kakak ipar, adik ipar dsb. Karena akan buruknya hasil pemimpin yang direkrut
secara Nepotisme, itulah yang perlu dihindari menurut pejuang reformasi. Namun kita lihat
sekarang, bahkan seorang pejuang bahkan pemimpin reformasi tidak terlepas dari Nepotisme.
Ternyata tidak satupun tuntutan reformasi yang berhasil dilaksanakan pemerintahan oasca Orde
Baru. Bagaimana pendapat anda?

TUGAS DAN KEWENANGAN KOMISI PEMILIHAN UMUM


Dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dan Pasal 2 Keputusan Presiden
Nomor 16 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemilihan Umum dan Penetapan Organisasi dan Tata Kerja
Sekretariat Umum Komisi Pemilihan Umum, dijelaskan bahwa untuk melaksanakan Pemilihan Umum, KPU
mempunyai tugas kewenangan sebagai berikut :
a. merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum;
b. menerima, meneliti dan menetapkan Partai-partai Politik yang berhak sebagai peserta Pemilihan Umum;
c. membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan
Umum mulai dari tingkat pusat sampai di Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS;
d. menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II untuk setiap daerah pemilihan;
e. menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum di semua daerah pemilihan untuk DPR, DPRD I dan DPRD II;
f. mengumpulkan dan mensistemasikan bahan-bahan serta data hasil Pemilihan Umum;
g. memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum.
Dalam Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 terdapat tambahan huruf:
h. tugas dan kewenangan lainnya yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan
Umum.
Secara institusional, KPU yang ada sekarang merupakan KPU ketiga yang dibentuk setelah Pemilu demokratis sejak
reformasi 1998. KPU pertama (1999-2001) dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun 1999 yang berisikan 53 orang
anggota yang berasal dari unsur pemerintah dan Partai Politik dan dilantik oleh Presiden BJ Habibie. KPU kedua
(2001-2007) dibentuk dengan Keppres No 10 Tahun 2001 yang berisikan 11 orang anggota yang berasal dari unsur
akademis dan LSM dan dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11 April 2001. KPU
ketiga (2007-2012) dibentuk berdasarkan Keppres No 101/P/2007 yang berisikan 7 orang anggota yang berasal dari
anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti dan birokrat dilantik tanggal 23 Oktober 2007 minus Syamsulbahri yang
urung dilantik Presiden karena masalah hukum.
Untuk menghadapi pelaksanaan Pemilihan Umum 2009, image KPU harus diubah sehingga KPU dapat berfungsi
secara efektif dan mampu memfasilitasi pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Terlaksananya Pemilu yang jujur
dan adil tersebut merupakan faktor penting bagi terpilihnya wakil rakyat yang lebih berkualitas, dan mampu
menyuarakan aspirasi rakyat. Sebagai anggota KPU, integritas moral sebagai pelaksana pemilu sangat penting,
selain menjadi motor penggerak KPU juga membuat KPU lebih kredibel di mata masyarakat karena didukung oleh
personal yang jujur dan adil.
Tepat 3 (tiga) tahun setelah berakhirnya penyelenggaraan Pemilu 2004, muncul pemikiran di kalangan pemerintah
dan DPR untuk meningkatkan kualitas pemilihan umum, salah satunya kualitas penyelenggara Pemilu. Sebagai
penyelenggara pemilu, KPU dituntut independen dan non-partisan.
Untuk itu atas usul insiatif DPR-RI menyusun dan bersama pemerintah mensyahkan Undang-undang Nomor 22
Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu. Sebelumnya keberadaan penyelenggara Pemilu terdapat dalam Pasal
22-E Undang-undang Dasar Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan
DPRD, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai penyelenggara
Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan
mandiri. Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai penyelenggara
Pemilihan Umum mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU
sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu.
Sifat mandiri menegaskan KPU dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum bebas dari pengaruh pihak mana pun.
Perubahan penting dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, meliputi
pengaturan mengenai lembaga penyelenggara Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; serta
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang sebelumnya diatur dalam beberapa peraturan
perundang-undangan kemudian disempurnakan dalam 1 (satu) undang-undang secara lebih komprehensif.
Dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai KPU, KPU Provinsi,
dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum yang permanen dan Bawaslu sebagai
lembaga pengawas Pemilu. KPU dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab sesuai dengan peraturan
perundang-undangan serta dalam hal penyelenggaraan seluruh tahapan pemilihan umum dan tugas lainnya. KPU
memberikan laporan Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu juga mengatur kedudukan panitia pemilihan
yang meliputi PPK, PPS, KPPS dan PPLN serta KPPSLN yang merupakan penyelenggara Pemilihan Umum yang
bersifat ad hoc. Panitia tersebut mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan semua tahapan penyelenggaraan
Pemilihan Umum dalam rangka mengawal terwujudnya Pemilihan Umum secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil.
Dalam rangka mewujudkan KPU dan Bawaslu yang memiliki integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara
Pemilu, disusun dan ditetapkan Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Agar Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat
diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, dibentuk Dewan Kehormatan KPU, KPU Provinsi, dan
Bawaslu.
Di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, jumlah anggota KPU
adalah 11 orang. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu,
jumlah anggota KPU berkurang menjadi 7 orang. Pengurangan jumlah anggota KPU dari 11 orang menjadi 7 orang
tidak mengubah secara mendasar pembagian tugas, fungsi, wewenang dan kewajiban KPU dalam merencanakan dan
melaksanakan tahap-tahap, jadwal dan mekanisme Pemilu DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden/Wakil Presiden dan
Pemilu Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.
Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, komposisi keanggotaan KPU harus
memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Masa keanggotaan KPU 5
(lima) tahun terhitung sejak pengucapan sumpah/janji.
Penyelenggara Pemilu berpedoman kepada asas : mandiri; jujur; adil; kepastian hukum; tertib penyelenggara
Pemilu; kepentingan umum; keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas; efisiensi dan efektivitas.
Cara pemilihan calon anggota KPU-menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara
Pemilu-adalah Presiden membentuk Panitia Tim Seleksi calon anggota KPU tanggal 25 Mei 2007 yang terdiri dari
lima orang yang membantu Presiden menetapkan calon anggota KPU yang kemudian diajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat untuk mengikuti fit and proper test. Sesuai dengan bunyi Pasal 13 ayat (3) Undang-undang N0
22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, Tim Seleksi Calon Anggota KPU pada tanggal 9 Juli 2007 telah
menerima 545 orang pendaftar yang berminat menjadi calon anggota KPU. Dari 545 orang pendaftar, 270 orang
lolos seleksi administratif untuk mengikuti tes tertulis. Dari 270 orang calon yang lolos tes administratif, 45 orang
bakal calon anggota KPU lolos tes tertulis dan rekam jejak yang diumumkan tanggal 31 Juli 2007.

Anda mungkin juga menyukai