S Bio 0706686 Chapter2
S Bio 0706686 Chapter2
Plantae
Division
Magnoliophyta
Classis
Liliopsida
Order
Arecales
Family
Arecaceae
Genus
Areca
Species
Areca catechu L.
lurus bergaris tengah 15 sampai 20 cm, tidak bercabang dengan bekas daun yang
lepas terlihat jelas. Pembentukan batang baru terjadi setelah 2 tahun dan berbuah
pada umur 5 hingga 8 tahun tergantung pada keadaan tanah, tanah dengan
kelembaban yang baik dan memiliki rentang pH 5 8 sangat mendukung untuk
pertumbuhan (Cronquist, 1981; Staples & Bevacqua, 2006). Daun memiliki
panjang sekitar 1,5 hingga 2 m, daunnya tunggal menyirip bertoreh sangat dalam
tumbuh berkumpul di ujung batang membentuk roset batang (Jaiswal et al., 2011).
Daunnya mempunyai panjang 85 cm, lebar 5 cm, dengan ujung sobek dan bergigi
(Taman Nasional Alas Purwo, 2010).
a. Pohon Pinang
b. Daun
(Cronquist, 1981; Staples & Bevacqua, 2006). Tongkol bunga dengan seludang
panjang yang mudah rontok, keluar dari bawah roset daun, panjang sekitar 75 cm,
dengan tangkai pendek bercabang rangkap. Ada satu bunga betina pada pangkal,
di atasnya banyak bunga jantan tersusun dalam dua baris yang tertancap dalam
alur (Sentra Informasi IPTEK, 2005; Taman Nasional Alas Purwo, 2010).
2
1
10
serta tiga buah sel ovarium yang menghubungkan kepala putik triangular dengan
tiga titik pada apeksnya (Cronquist, 1981; Staples & Bevacqua, 2006).
Buahnya buah buni, bulat telur sungsang memanjang, panjang 3,5 sampai
7 cm, dinding buah berserabut, bila masak warnanya kuning hingga merah oranye.
Buahnya berkecambah setelah 1,5 bulan dan 4 bulan kemudian mempunyai
jambul daun-daun kecil yang belum terbuka. Biji satu, bentuknya seperti kerucut
pendek dengan ujung membulat, pangkal agak datar dengan suatu lekukan
dangkal, panjang 15 hingga 30 mm, permukaan luar berwarna kecoklatan sampai
coklat kemerahan, agak berlekuk-lekuk menyerupai jala dengan warna yang lebih
muda. Pada bidang irisan biji tampak perisperm berwarna coklat tua dengan
lipatan tidak beraturan menembus endosperm yang berwarna agak keputihan
(Cronquist, 1981; Taman Nasional Alas Purwo, 2010).
a. Buah Pinang
11
12
fenolik, asam galat, getah, lignin, minyak menguap dan tidak menguap, serta
garam (Wang & Lee, 1996).
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lee & Choi (1999)
menyebutkan bahwa ekstrak etanolik buah pinang memperlihatkan aktivitas
antioksidan dengan IC50 sebesar 45,4 g/ml. Aktivitas antioksidan yang terdapat
dalam ekstrak etanolik pinang ini berkorelasi positif dengan pencegahan kanker
(Meiyanto et al., 2008), ekstrak etanolik tumbuhan ini tidak menginduksi
perubahan kromosom (Wang & Lee, 1996).
Arekolin (C8H13NO2) merupakan alkaloid utama yang terdapat dalam biji
pinang dan menjadi alkaloid terpenting dalam fisiologinya, selain arekolidin,
arekain, guvakolin, guvasin, dan isoguvasin (Awang, 1986; Jaiswal et al., 2011).
Biji segar mengandung kira-kira 50% lebih banyak alkaloid dibandingkan dengan
biji yang telah mengalami perlakuan, selain itu konsentrasi flavonoid dalam biji
pinang menurun seiring dengan bertambahnya kematangan buah (CSIR, 1985;
Taman Nasional Alas Purwo, 2010).
13
14
berpotensi
untuk
dikembangkan
sebagai
agen
sitotoksik
yang
dapat
15
16
paru hamster Cina (V79-4 cells), ekstrak metanolik pinang memiliki aktivitas
antioksidan yang lebih besar dibandingkan dengan resveratrol pada semua
percobaan (Lee et al., 2003).
Arekolin sebagai alkaloid utama dalam pinang telah digunakan untuk
mengobati depresi dan schizophrenia (Dar & Khatoon, 2000; Sulivan, 2000).
Arekolin digunakan untuk mengobati pasien Alzheimer prehensile dementia,
namun hasilnya tidak sama efektif pada masing-masing pasien (Christie et al.,
1981). Tanin yang terdapat pada pinang digunakan sebagai obat terkena gigitan
ular, tanin yang terdapat pada pinang bereaksi dengan sistem enzim dari ular
(Okuda et al., 1991; Mahanta & Mukhaerjee, 2001).
hewan
tikus
yang
mengawinkan
tikus-tikus
mereka
untuk
mendapatkan warna rambut yang unik. Tikus hasil perkawinan ini kemudian
menjadi subjek penelitian ketertarikan terhadap warna rambut tikus. W.E Castle
memulai penelitian genetika tentang warna rambut tikus ini pada awal tahun 1900
dilanjutkan oleh Clarence Cook Little yang mengembangkan strain tikus-tikus ini
pada tahun 1909 (Schwiebert, 2007).
17
Mencit galur Swiss Webster merupakan hewan uji yang digunakan pada
penelitian. Pemilihan hewan uji tersebut dikarenakan mencit merupakan hewan
yang sering digunakan dalam penelitian, literaturnya banyak dipublikasikan,
mudah penanganannya, mudah beradaptasi, cepat berkembang biak karena
periode kehamilan yang pendek, perawatannya murah, dan biasa dijadikan sebagai
model penelitian untuk berbagai jenis penyakit pada manusia (UACC, 2009).
Klasifikasi ilmiah dari mencit menurut Schwiebert (2007) adalah:
Kingdom
Animalia
Phylum
Chordata
Classis
Mammalia
Order
Rodentia
Family
Muridae
Subfamily
Murinae
Genus
Mus
Species
Mus musculus L.
18
19
& Brown, 1974). Data biologis dan fisiologis mencit dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 2.1 Data Biologis dan Fisiologis Mencit
No.
Parameter
Deskripsi
Aktivitas
Nokturnal
Sifat perilaku
Penglihatan
Lemah
Pendengaran
Peka/sangat peka
Pembauan
Peka/sangat peka
37 C
Rata-rata pernapasan
95 165 napas/menit
5 ml
10
5 gram
11
4 5 hari
12
Durasi estrus
12 jam
13
6 12
14
Periode kehamilan
19 21 hari
15
16
Masa menyusui
21 28 hari
17
Kematangan seksual
18
Masa reproduksi
7 9 bulan
19
25 40 gram
20
20 40 gram
21
Masa hidup
1,5 3 tahun
20
21
Sistem reproduksi mencit jantan terdiri atas testis dan kantung skrotum,
epididimis dan vas deferens, sisa sistem ekskretori pada masa embrio yang
berfungsi untuk transport sperma, kelenjar asesoris, urethra, dan penis. Selain
urethra dan penis, semua struktur ini berpasangan (Rugh, 1967 dalam Suparni,
2009).
jantan
betina
Gambar 2.6 Determinasi Jenis Kelamin Jantan dan Betina pada (a) Mencit
Muda dan (b) Mencit Dewasa Berdasarkan Jarak antara Genital
Papila dan Anus (anogenital space)
(Sumber: The Assistant Laboratory Animal Technician Training Manual, oleh
Lawson dalam Schwiebert, 2007)
Penis berbentuk bulat panjang, bagian dalam penis terdiri dari tiga masa
silindris, dua masa silindris berada di sebelah dorsal yang disebut corpora
carvenosa penis dan satu masa terletak di sebelah ventral yang disebut corpus
spongiosum penis yang di tengahnya terdapat urethra, ketiga masa tersebut terdiri
dari sinus-sinus pembuluh darah dan diselimuti oleh tunica albuginea yang
merupakan jaringan fibrosa (Adyana, 2008).
22
Skrotum atau kantung gonad yang berisi testis merupakan suatu kantung
yang permukaan luarnya terdiri dari kulit yang ditumbuhi rambut serta
mengandung kelenjar minyak rambut, di bawah kulit tersebut terdapat fasia
superficialis. Skrotum berfungsi sebagai pengatur suhu lingkungan testis. Kedua
testis dipisahkan oleh sekat (septum) dari jaringan ikat dan otot polos yang disebut
otot dartos, otot dartos berfungsi untuk menggerakkan skrotum untuk mengerut
dan mengendur, di bawah lapisan otot dartos terdapat pula otot cremaster yang
berasal dari otot lurik dinding perut. Sekat ini terlihat berlekuk dari sebelah luar,
lekukannya disebut perineal raphe (Yatim, 1994; Adyana, 2008).
Gonad yang disebut testis jumlahnya sepasang dan terletak di dalam
skrotum yaitu suatu kantung yang berada di luar rongga tubuh, pada awal
perkembangannya testis berada di dalam rongga tubuh (abdomen) kemudian turun
ke skrotum, pada proses turunnya testis ikut terbawa lapisan rongga tubuh
(peritoneum) bersama otot dinding abdomen (Yatim, 1994). Untuk memproduksi
sperma yang normal diperlukan temperatur 33C dimana suhu tersebut lebih
rendah 3 C dari suhu tubuh, mungkin untuk keperluan suhu inilah testes berada di
luar rongga tubuh (Adyana, 2008).
Setiap testis ditutupi oleh jaringan ikat fibrosa yang disebut tunica
albuginea, bagian tipisnya atau septa akan memasuki organ untuk membelah
menjadi kurang lebih 250 rongga yang disebut lobulus yang mengandung satu
hingga empat saluran yang menggulung disebut tubulus seminiferus. Tubulus
seminiferus akan menjadi tubulus lurus kembali yang disebut rete testes (Adyana,
2008). Bagian tunika memasuki testis dan bagian arteri testicular yang masuk
23
disebut sebagai hilus. Arteri memberi nutrisi setiap bagian testis kemudian akan
bersentuhan dengan vena testiskular yang meninggalkan hilus (Rugh, 1967 dalam
Suparni, 2009).
Vesikula seminalis
Prostat
Kandung kemih
Penis
24
kaya akan darah dan cairan limfe. Sel Leydig atau disebut juga interstitial
endokrinosit memiliki fungsi utama memproduksi hormon testosteron (Adyana,
2008). Sel interstisial testis mempunyai inti bulat yang besar dan mengandung
granul yang kasar, sitoplasmanya bersifat eosinofilik dan jaringan interstisial ini
diketahui menguraikan hormon jantan testosteron. Epitel seminiferus tidak
mengandung sel spermatogenik secara eksklusif, tetapi mempunyai nutrisi yang
menjaga sel sertoli yang tidak dijumpai di tubuh lain (Rugh, 1967 dalam Suparni,
2009).
Sel sertoli ialah sel-sel yang berada di antara sel-sel spermatosit,
bersentuhan dengan dasarnya ke membran basalis dan menuju lumen tubulus
seminiferus. Di dalam inti sel sertoli terdapat nukleolus yang banyak, satu bagian
terdiri atas badan yang bersifat asidofilik di sentral dan sisanya badan yang
bersifat basidofilik di perifer. Sel sertoli diperkirakan mempunyai banyak bentuk
tergantung aktivitasnya. Sel sertoli berfungsi memberi nutrien kepada sel-sel yang
berada dalam proses spermatogenesis yaitu spermatosit, spermatid, spermatozoa
(Adyana, 2008), membentuk blood-testes barier yang dapat menghalangi antibodi
spesifik terhadap sperma dari darah menuju ke sperma, karena ternyata
spermatozoa dapat menghasilkan antigen permukaan. Sel sertoli juga bekerja
sebagai pembersih dengan memagocytosis zat-zat sisa selama spermatogenesis,
memproduksi androgen-binding-protein yang dapat mengikat testosteron, karena
testosteron ternyata sangat dibutuhkan dalam proses spermatogenesis, selain itu
sel sertoli memproduksi suatu hormon protein yaitu inhibin yang memiliki sifat
feedback negative terhadap FSH. Hormon FSH bertindak merangsang
25
26
umum
spermatogenesis
terdiri
dari
tiga
tahap
yaitu
27
Suatu hal yang istimewa pada proses meiosis di tubulus seminiferus ini
adalah sitokinesis (pembelahan sitoplasma) tidaklah sempurna, selalu terdapat
jembatan sitoplasma pada tiap tahapan meiosis (kecuali pada tahapan akhir yaitu
spermatozoa sudah tidak memiliki jembatan sitoplasma dengan spermatozoa lain).
28
29
30
lamanya dari metafase spermatogonia menjadi profase meiosis sekitar tiga sampai
sembilan hari. Menuju metafase kedua selama empat hari atau kurang, dan
menuju spermatozoa imatur selama tujuh hari atau lebih. Maka, waktu dari
metafase spermatogonia menjadi spermatozoa imatur paling sedikit 10 hari. Tanda
pertama bahwa spermatogonia B akan berkembang menjadi spermatosit primer
adalah ukuran menjadi lebih besar serta bergerak menjauhi membran dasar.
Spermatosit primer membelah menjadi dua spermatosit sekunder yang lebih kecil,
kemudian kedua spermatosit sekunder membelah kembali menghasilkan empat
spermatid. Masing-masing spermatid ini kemudian berkembang lebih lanjut
menjadi spermatozoa (Rugh, 1967 dalam Suparni 2009).
Spermatozoa yang telah matang terdiri dari kepala, leher, bagian tengah,
dan ekor. Bagian kepala terdiri dari inti sel yang mengandung kromatin dan
akrosom yang terletak di sebelah depan inti. Akrosom merupakan suatu kantung
lysosom yang mengandung berbagai enzim antara lain hyaluronidase dan akrosin.
Kedua enzim ini memungkinkan sperma mencernakan bagian membran ovum
sehingga memudahkan penetrasi sperma ke dalam ovum (Adyana, 2008).
Bagian leher terdiri dari sepasang sentriol tempat melekatnya flagela.
Bagian tengah terdiri dari mitokondria yang berbentuk spiral yang mengelilingi
flagela, di dalam mitokondria inilah terjadi proses metabolisme yang
menghasilkan ATP yang diperlukan untuk pergerakkan flagela. Bagian ekor
sperma mencit berupa flagela dapat bergerak seperti gelombang, memungkinkan
sperma melaju ke segala arah. Flagela terdiri dari sembilan pasang mikrotubuli
yang melingkari dua mikrotubuli pusat. Pada mikrotubuli terdapat protein
31
dewasa
hypofisis
bagian
anterior
(adenohypophyse)
32
Hypothalamus
Hypofisis
anterior
Feedback
negative
LH merangsang sel
Leydig untuk
meproduksi
testosterone, sekaligus
merangsang produksi
sperma
Karakteristik seks
primer dan sekunder
Sel Sertoli
Testis
Spermatogenesis
Pusat hormonal pada testis. Gonadotropin releasing hormone (GnRH) dari hypothalamus
merangsang pengeluaran hormon gonadotropic oleh hypofisis anterior dengan efek yang
berbeda pada testis. Luteinizing hormone (LH) dan Follicle stimulating hormone (FSH).
FSH bekerja pada sel Sertoli sebagai sumber nutrisi pada saat pembentukan sperma. LH
bekerja pada sel Leydig yang menghasilkan hormon androgen (testosteron). Feedback
negative dari testosteron di hypothalamus dan hypofisis anterior mengatur interaksi utama
dari kadar LH, FSH, dan GnRH dalam darah.
33
feedback positive, GnRF akan disekresikan maka kadar LH akan meningkat dan
pada akhirnya kadar testosteron akan meningkat (Norris, 1980; Adyana, 2008).
sekunder.
Abnormalitas
spermatozoa
primer
merupakan
abnormalitas yang berasal dari gangguan pada testis seperti ukuran kepala sperma
yang kecil atau besar, miring, memiliki kepala dua, dan berekor dua, sedangkan
abnormalitas sekunder merupakan kerusakan spermatozoa yang berasal dari
kesalahan perlakuan setelah semen dikeluarkan dari testis misalnya akibat
goncangan yang terlalu keras, dikeringkan terlalu cepat, pemanasan saat
pengeringan terlalu tinggi, atau kesalahan dalam membuat preparat. Penampakan
34
sperma pada abnormalitas sekunder dapat berupa patah ekor, patah kepala, ekor
kusut, dan kepala terpisah dari ekor (Partodihardjo, 1980).
Kualitas sperma yang baik akan mendukung daya keberhasilan sel-sel
spermatozoa untuk membuahi sel telur ketika proses pembuahan. Kualitas sperma
yang diamati terdiri dari konsentrasi sperma, motilitas sperma, dan abnormalitas
sperma, kualitas sperma yang baik ditentukan oleh ketiga hal tersebut.
Adil (1987) membagi spermatozoa ke dalam empat kriteria dilihat dari
konsentrasi dan motilitasnya, yaitu: high fertile jika terdapat lebih dari 185 juta
spermatozoa yang bergerak aktif (motil)/volume ejakulat, relative fertile jika
terdapat antara 80 185 juta spermatozoa motil/volume ejakulat, sub fertile jika
terdapat kurang dari 80 juta spermatozoa motil/volume ejakulat, dan sterile jika
tidak terdapat sama sekali spermatozoa motil dalam semen, sedangkan menurut
Yatim (1994) konsentrasi atau jumlah spermatozoa/ml semen dapat dibedakan
atas empat golongan fertilitas, yaitu: polyzoospermia (> 250 juta/ml),
normozoospermia (40 200 juta/ml), oligozoospermia (< 40 juta/ml), dan
azoospermia (0 juta/ml).