Anda di halaman 1dari 9

M. Natsir: Indonesia Bukan Negara Kafir!

11 Desember 2014 pukul 7:00


Muhammad Natsir, pria murah senyumbergelar Datuk Sinaro Panjang ini
lebih dikenal orang sebagai seorang pemimpindan politisi kawakan yang
jujur dan lurus. Lahir di sebuah kota kecil berhawasejuk, Alahanpanjang,
Solok, Sumatera Barat tanggal 17 Juli 1908. Karirnyasebagai politisi dicatat
dengan tinta emas dalam sejarah. Ketika tahun 1950,dalam usia yang relatif
muda (42 tahun) menjabat perdana menteri Indonesia MosiIntegral-nya yang
terkenal itu berhasil mengembalikan Republik IndonesiaSerikat menjadi
Negara Kesatuan Republik Indonesia sekaligus mengantarkanyaduduk di
kursi perdana menteri. Kala itu, bentuk negara serikat rentan diobokobok oleh Belanda yang kelihatanmasih sangat ingin menguasai Indonesia.
Banyak negara bagian yang dihasut olehBelanda untuk melakukan
pembangkangan.
Dengan
Mosi
Integral,
akhirnya
Natsirberhasil
mengeliminasi
kembalinya
pihak
asing
mengkooptasi
kedaulatanpemerintahan Republik Indonesia.
Setelah menjadi perdana menteri, karirpolitiknya banyak dihambat oleh
Sukarno karena selalu berseberangan pahamsampai akhirnya tahun 1960,
kurang dari satu tahun setelah pembacaan DekritPresiden tahun 1959, partai
yang pernah dipimpinnya, Masyumi, dipaksa membubarkandiri oleh Sukarno.
Sejak saat itu, Natsir bersama politisi-politisi masyumilain lebih banyak
bergerak di belakang layar. Terlebih setelah Suharto naik,Natsir dan kawankawan yang dicap sebagai ekstrim kanan benar-benardisingkirkan dari
panggung perpolitikan Indonesia dengan berbagai cara. Natsirpun akhirnya
lebih memilih menekuni bidang dakwah dengan mendirikan DewanDakwah
Islamiyah Indonesia yang mengantarkannya menjadi Wakil Presiden
RabithahAlam Islami yang bermarkas di Karachi sampai akhir hayatnya
tahun 1993.
Bila melihatsecara ringkas karir politik Natsir di atas, tentu Natsir bukan
hanya sosokpolitisi biasa. Ia adalah seorang politisi-ideolog yang saat ini
jarang ditemuidi negeri ini. Sebagai politisi-idoelog, Natsir pasti tidak
berpolitik karenakepentingan pribadinya semata untuk mendapatkan
keuntungan
duiawi.
Iaberpolitik
karena
suatu
keyakinan
yang
membentuknya, yaitu Islam. Darikeyakinan ini pula, ia bertindak di dunia
politik berdasarkan apa yangdiyakininya sebagai bagian dari ajaran Islam
yang dipegangnya. Pemikiran dantindakan politiknya inilah yang menjadi
bukti otentik tentang bagaimana sikapnya terhadap politik. Tulisanini tidak
berpretensi menjelaskan secara panjang lebar pemikiran politikNatsir,
melainkan hanya akan mengulas sepintas mengenai tata negara Islam
yangdianggap oleh Natsir sebagai bagian dari ajaran dan pemikiran Islam.

***
Mengenai sikap politik Natsir yangsangat berpihak pada Islam sudah tidak
perlu dijelaskan panjang lebar. Natsirboleh dikatakan sebagai wujud hidup
politisi Muslim yang berpijak pada ideologisecara kokoh. Natsir tidak pernah
mau menggadaikan ideologi dan keberpihakannyapada Islam dengan
apapun, termasuk jabatan atau harta benda. Ia lebih relamasuk penjara
daripada
menggadaikan
idealisme
dan
kepercayaannya.
Itulah
yangdihadapinya ketika harus berhadapan dengan Sukarno setelah
pembubaran Masyumitahun 1960. Sukarno tidak menoleransi siapa saja
yang tidak setuju dengangagasannya yang ingin menggabungkan kelompok
nasionalis, agama, dan komunis(Nasakom). Natsir berpendirian tegas sejak
awal bahwa menggabungkan agamadengan komunisme adalah hal yang
mustahil. Oleh sebab itu, ia memilih untukdipenjara karena menolak gagasan
Natsir dan bahkan ikut memprotesnya melaluigerakan PRRI (Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia).
Akan tetapi kekukuhan Natsir dalammemegang Islam sebagai ideologi
politiknya tidak membuatnya bersikap hitamputih terhadap politik. Hitam
putih di sini artinya bahwa yang disebut politikIslam adalah politik yang
ada dalam satu Negara Islam, Daulah Islam, atauKhilafah Islam.
Mereka yang mengartikan politik berlandas ideologi Islamseperti itu tidak
mengerjakan hal lain selain berniat untuk mendirikannya. Padasaat yang
sama sistem dan konstelasi politik yang ada dianggap sebagai politikkafir
atau
minimal
politik
yang
mencampuradukkan
antara
yang haq denganyang bthil yang harus dijauhi dan tidak bisa dijadikan alat
politikuntuk mendirikan negara Islam impian mereka. Satu-satunya jalan,
bagi kelompokini, untuk mendirikan negara Islam adalah melalui dakwah dan
jihad. Dakwahbertujuan menyadarkan umat untuk menerima negara Islam
atau Khilafah Islam,sementara jihad adalah gerakan militer (perang) untuk
merebut danmengambil-alih kekuasaan. Ada lagi yang menghindari jihad,
melainkan berusahameyakinkan kekuatan politik yang ada untuk mengubah
negara dan kekuasaannyamenjadi Islam.
Walaupun cara-cara di atas bisa sajadilakukan untuk mewujudkan negara
Islam, namun Natsir bukan tipikalpolitisi-Islam seperti itu, terutama dalam
konteks Indonesia. Terlebih dahuluNatsir meletakkan Indonesia ini sebagai
negara yang telah diperjuangkankelahirannya agar bebas dari kekuatan
Penjajah Belanda. Perjuangan Natsir danpejuang kemerdekaan lainnya bukan
perjuangan dari titik nol. Ini adalahperjuangan yang telah berlangsung lebih
dari satu abad sebelumnya ketikaBelanda berhasil menjadikan wilayahwilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam,baik di Jawa maupun di pulau
lainnya menjadi bagian dari pemerintahan HindiaBelanda. Sejarah mencatat

nama-nama yang patut mendapat sanjungan sejarahkarena kebernaian


mereka
menentang
kezhaliman
Belanda
seperti
Imam
Bonjol,
PangeranDiponegoro, Sultan Ageng Tirtayasa, Pangeran Antasari, Teuku
Umar, Cut NyakDien, dan ribuan nama lainnya.
Kalau dilihat dari genealogi perjuanganmelawan Belanda, yang mula-mula
mewariskan perjuangan ini adalah para pejuangdari bekas-bekas kerajaan
Islam. Mereka memperjuangkan satu negeri yangsebelumnya telah
diperintah atas nama Islam. Menjelang Belanda datang dankemudian
menguasai wilayah ini, tidak satu pun wilayah di kepulauan ini yangtidak
dikuasai atas nama satu kerajaan Islam. Kalau dipersentase, mungkinkurang
dari lima persen saja wilayah yang dikuasasi raja-raja tradisional.Barangkali
yang paling masyhur hanya kerajaan Batak di Sumatera Utara
yangdiperintah oleh raja-raja Sisingamangaraja. Itupun tidak mungkin
Kerajaan Batakmempunyai kekuatan besar tanpa membangun koalisi dengan
Kerajaan AcehDarussalam yang tersohor amat kuat hingga tidak mudah
ditaklukkan Belanda. Olehsebab itu, yang diperjuangkan oleh para pejuang
kemerdekaan adalahmengembalikan kerajaan-kerajaan Islam yang sempat
hilang. MemerdekakanIndonesia bukan membuat Indonesia baru yang
ahistoris dari para pewarisnya. Indonesiayang dimerdekakan kemudian
adalah tanah yang sebelumnya dimilikikejaraan-kerajaan Aceh, Deli, Melayu,
Indragiri, Palembang, Banten, Cirebon,Mataram, Banjar, Kutai, Gowa, hingga
raja-raja kecil Muslim di Jazirah Maluku.
Oleh karena tanah ini adalah tanahwarisan kerajaan-kerajaan Islam, maka
sudah pada tempatnya bila kemudian parapejuang Islam mendesak dalam
rapat-rapat BPUPKI menjelang Kemerdekaan agarsyariat Islam diakomodasi
secara khusus dan istimewa di dalam sistemketatanegaraan negara baru ini.
Itulah kemudian yang disepakati saatditandatangani Piagam Jakarta 22 Juni
1945. Ketika terjadi manipulasi politikdengan digagalkannya Piagam Jakarta
melalui kesepakatan semu 18 Agutus 1945, parapejuang Kemerdekaan dari
kalangan Islam tidak patah arang sampi di situ.Perjuangan untuk memelihara
warisan raja-raja Islam terus dilanjutkan. Kopromipolitik tercapai dengan
tetap mempertahankan negara ini tidak menjadi sekuler,walaupun dipimpin
oleh Sukarno yang sangat pro terhadap gerakan Musthafa Kemaldi Turki yang
melakukan sekularisasi Turki seutuhnya. Sila Pertama Pancasilamenjadi
monumen tetap bertahannya Indonesia dalam kendali agama. Setelah
itu,kompensasi politik berupa dibentuknya departeman agama tidak bisa
ditolak olehsemua pihak. Dalam rumus negara sekuler manapun tidak
mungkin agama masukmenjadi bagian dari urusan publik. Ia tetap
merupakan urusan privat yang tidakperlu secara langsung diurusi oleh
negara. Ketika ada kesempatan untuk merancangkembali konstitusi antara
tahun 1956-1959, para pejuang Kemerdekaan darikalangan Islam ini kembali

mengusulkan sekuat tenaga agar Islam menjadi dasarnegara bagi negara


baru ini. Walaupun akhirnya mereka gagal karena DekritPresiden 5 Juli 1959,
namun apa yang mereka perjuangkan memperlihatkankesadaran penuh
bahwa mereka tengah memperjuangkan apa yang menjadi hak
merekasebagai pewaris raja-raja Muslim di seluruh tanah air, bukan sebagai
pewarisBelanda yang kafir dan menularkan penyakit sekularisme ke dalam
tubuh rakyatIndonesia.
Kesadaran seperti inilah yang terlebihdahulu dipegang oleh Natsir ketika
meletakkan negara baru bernama Indonesia adapada posisi apa. Bagi Natsir,
negara ini sama sekali bukan negara kafir. Negaraini adalah pewaris
kerajaan-kerajaan Islam yang secara de facto menjadibagian dari wilayah
geografis negara Indonesia yang secara nekatdiproklamasikan 17 Agustus
1945. Oleh sebab itu, negara ini adalah negara Islamatau setidaknya negara
milik umat Islam. Pancasila yang akhirnya menjadi dasarnegara pun bukan
cerminan kekafiran atau hanya sekadar kesekuleran. JustruPancasila
memperlihatkan bahwa Islam masih sangat bercokol dalam ideologibangsa
ini. Disepakatinya Pancasila menjadi bukti paling otentik bahwa negaraini
masih berada dalam pangkuan Islam. Tidak mengherankan bila dengan
sangatmeyakinkan Natsir menulis artikel berjudul Pancasila Akan Layu
ApabilaDiserahkan
Kepada
PKI.
Artikel
ini
ditulisnya
saat
ia
melihatkesewenang-wenangan Sukarno ingin memasukkan PKI dan ideologi
komunisme yanganti-agama menjadi bagian dari negara ini melalui
jargonNasionalisme-Agama-Komunisme
(Nasakom)
yang
digembargemborkannya selepasDekrit 5 Juli 1959. Sebetulnya hal yang sama juga
diyakini Natsir, yaituapabila Pancasila diserahkan kepada orang-orang
sekuler yang anti-agama atauapatis terhadap agama.
Natsir amat sadar bahwa saat negara inimerdeka, ada tantangan ideologi
baru yang mengancam negara, yaitu sekularismedan komunisme. Kedua
ideologi ini hendak mengancam Pancasila yang jelas-jelaspro-agama.
Sementara sekularisme dan komunisme adalah gerakan anti-agama.
Sebagianpengusung kedua idoelogi asing dan kafir ini ada juga yang berhasil
masuk kedalam kekuasaan; bahkan menduduki jabatan-jabatan tinggi dan
strategis dinegara baru ini. Akan tetapi, walaupun orang-orang sekuler ini
berada dalamkekuasaan dan berusaha sekuat tenaga untuk mengubah
wajah negara ini sesuaidengan ideologi mereka, namun tidak serta merta
membuat status negara inimenjadi negara kafir. Negara ini tetap warisan
kerajaan-kerajaan Islam,walaupun kini dihadapkan pada ancaman akan
disekulerkan atau dikomuniskan. Inilahyang dihadapi para pejuang Islam
selepas kemerdekaan: tetap mempertahankanIslam di negara warisan rajaraja Muslim ini.

Oleh sebab negara ini sejak semulamerupakan negara Islam yang dihuni
oleh mayoritas Muslim, maka Natsir beradapada pihak yang tidak setuju
ketika Kartosuwiryo memproklamasikan Negara IslamIndonesia (NII) atau
Darul Islam (DI) tahun 1949 di Garut. Ia menilai bahwa apayang dilakukan
Kartoterlepas dari haknya untuk melakukan ijtihad dan gerakanpolitik
tidak produktif untuk perjuangan Islam. Konon NII ini didirikan
karenakekecewaan pada perjanjian Renville yang menyerahkan sebagian
besar wilayah RIini kepada Belanda, termasuk Priangan Timur yang akhirnya
diklaim olehKartosuwiryo untuk NII-nya itu. Natsir melalui juru rundingnya
dari Masyumi,Mohammad Roem, membuktikan bahwa kekhawatiran itu
berlebihan. Bahkan, Natsir melaluiMosi Integral-nya di Parlemen saat ia
menjabat Ketua Umum Partai Masyumiberhasil mempersatukan wilayah yang
tercerai-berai melalui RIS (RepublikIndonesia Serikat) menjadi Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun1950. Atas pembuktian ini,
seharusnya Karto mau berkompromi dengan Natsir danMasyumi dan kembali
sama-sama mempertahankan negara baru ini agar tetap adadalam
pangkuan Islam. Sayang sekali, Karto tidak bersedia untuk bernegosiasidan
memilih untuk melanjutkan perjuangannya mendirikan NII. Perang pun
tidakdapat dihindari. Dua belas tahun sejak 1950 hingga 1962, Karto yang
membangunTentara Islam Indonesia (TII) harus berhadap-hadapan dengan
saudara sendiridari Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Musim politik sudah berganti bagiNatsir. Kini ia pun harus menjadi seteru
politik Sukarno yang berada di kubusekuler, sekalipun Sukarno tidak pernah
mengakui posisi sekulernya itu. Natsirharus mengakui kepiawaian Sukarno
berpolitik. Tahun 1960, partai Masyumidibubarkan. Para aktivisnya, termasuk
Natsir tidak boleh lagi berpolitik.Sebagian besar dipenjarakan karena
dianggap kontra-Revolusi. Bahkan ketikaSukarno tumbang di tangan
Suharto pun, kebebasan berpolitik Natsir dankawan-kawan masih belum bisa
pulih. Akhirnya, Natsir menempuh jalan lain untukmenuju kepada politik,
yaitu melalui dakwah. Dulu kita berdakwah melalui politik;sekarang kita
berpolitik melalui dakwah, begitu kira-kira pesan Natsir ketika
menderikanDewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) tahun 1967. Dalam
posisi itupun, seikapNatsir terhadap negara ini tidak berubah. Ia tetap
menganggap negara inisebagai warisan para raja Muslim; negara ini bukan
negara kafir. Oleh sebabitu, ia sama sekali tidak berniat untuk mendirikan
negara baru ataumenggantikan negara ini dengan nomenklatur yang lain.
Tidak juga terbersitdalam pikirannya untuk mendirikan Negara Islam (Daulah
Islam) di Indonesia ini.Ia tetap menganggap negara ini sebagai bukan negara
kafir! Walaupun kali ini,ia harus mengakui kekalahannya dalam politik
praktis. Akan tetapi, ia masihsangat leluasa mempersiapkan generasigenerasi berikutnya untuk melanjutkanestafeta perjuangannya dalam

memelihara negara ini tetap ada dalam pangkuanIslam; agama induk dari
negara ini.
***
Berdasarkan pengakuan bawa Indonesiasebagai bukan negara kafir inilah
Natsir memiliki pijakan kokoh untuk mendorongterlaksananya prinsip-prinsip
ketatanegaraan Islam di bumi Indonesia warisanpara Wali ini. Lalu
bagaimana pemikirannya tentang ketatanegaraan Islam yangdiinginkannya
bagi Indonesia? Inilah pertanyaan berikut yang akan coba kitatelusuri
jawabannya dari beberapa tulisan dan kejadian sejarah yang dialamiNatsir.
Pemikiran Natsir tentang ketatanegaraanlebih banyak dipraktikkan daripada
dituliskan, karena dalam hal ini ia adalahseorang praktisi yang terjun
langsung mewujudkan sistem ketatanegaraanIndonesia semenjak ia duduk
menjadi anggota KNIP (Komite Nasional IndonesiaPusat) atau semacam DPR
sekarang, tiga kali menjadi menteri penerangan, menjadiperdana menteri,
hingga ikut dalam perdebatan-perdebatan Konstituante(1956-1959) sebagai
wakil dari Masyumi. Walaupun begitu, apa yang dilakukanNatsir selama ia
aktif di parlemen dan pemerintahan Republik Indonesia secarapemikiran
memiliki pijakan yang kuat dari tradisi pemikiran Islam tentangpolitik dan
pemerintahan. Pemikiran pokoknya tentang sistem kenegaraan dalamIslam
tertuang dalam salah satu artikelnya berjudul Mungkinkan AlQuranMengatur Negara. Artikel ini kemudian diterbitkan ulang oleh Endang
SaefudinAnshari dalam satu kumpulan tulisannya khusus tentang politik
berjudul Agamadan Negara dalam Perspektif Islam (2001).
Dalam tulisannya ini, Natsirberkesimpulan bahwa mengenai masalah politik,
Islam tidak mengatur sampaikepada masalah-masalah yang detail dalam
sistem ketatanegaraan. Islam hanyamengatur masalah-masalah pokok
dalam politik yang tidak boleh berubah sepanjangmasa. Di antara masalahmasalah pokok tersebut adalah pertama,kriteriapemimpin. Di dalam AlQuran maupun hadis banyak sekali dijelaskan tentangcriteria yang harus
dimiliki oleh seorang pemimpin yang hendak memikul amanahumat. Seorang
pemimpin haruslah orang yang beriman, jauh dari maksiat,berakhlak baik,
dan memiliki kecakapan memadai untuk menjalankantugas-tugasnya.
Kriteria umum ini ditetapkan dalam Al-Quran dan hadis untukmenjadi
pegangan sepanjang masa bagi manusia. Kriteria teknisnya dapat
dirumuskansendiri oleh manusia. Hanya saja, kriteria umum di atas tidak
boleh berubahuntuk menjamin kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
Pokok ajaran Islam yang kedua dalamhal politik adalah keharusan
pengambilan keputusan melalui musyawarah. Perintahini termaktub dalam
Al-Quran, hadis Nabi, dan praktik kekuasaanKhulafaur-rasyidun. Musyawarah
digunakan untuk mengambil keputusan yang belumsecara tegas diatur di

dalam Al-Quran maupun sunnah. Musyawarah dilakukanbersama dengan


ahli-ahlinya. Adapun bagaimana teknis musyawarah itu dilakukandiserahkan
sepenuhnya kepada kreativitas kaum Muslim.
Ketiga, di dalam Islamditetapkan hak dan kewajiban apa yang dipikul oleh
pemimpin dan yangdipimpinnya sekaligus secara garis besar. Misalnya,
pemimpin wajib menjalankan amanahsedangkan yang dipimpin wajib taat
pada pemimpin selama memerintahkan hal yangtidak bertentangan dengan
syariat.
Pemimpin
berhak
mendapatkan
fasilitas
untukmemenuhi
kebutuhannya selama bekerja atau keluarganya, sementara yang
dipimpinberhak meluruskan pemimpin apabila berada di jalur yang salah
sebagai bagiandari amar maruf dan nahyi munkar. Berbagai hak dan
kewajibanlain yang sifatnya mendasar ditetapkan dalam Al-Quran dan hadis.
Keempat, Islam jugamengharuskan kekuatan politik Islam untuk menetapkan
hukum dasar dalambermasyarakat sesuai dengan yang ditetapkan Al-Quran
dan sunnah. Dalam perkarahukum dan perundangan ini, Islam mengatur
hukum yang tidak berubah mengikutiperubahan zaman seperti hukum yang
berkaitan dengan kriminalitas antara lain:pembunuhan, perzinaan, dan
pencurian.
Terhadap
masalah-masalah
seperti
initerdapat
aturan
yang qothi di dalam Islam yang tidak boleh diubah-ubah padazaman
manapun sehingga negara harus pula menjadikannya sebagai hukum dasar.
Aturan-aturanbermasayarakat lain yang juga qothi seperti zakat, wakaf,
nikah, talak,cerai, rujuk, waris, wasiat, larangan riba, etika jual-beli, dan
semisalnya yangtegas-tegas diatur dalam Al-Quran dan Sunnah juga harus
diakomodasi oleh negaraIslam.
Itulah aturan-aturan pokok dalampenyelenggaraan negara menurut
Islam.Sisanya yang tidak diatur dalam Al-Qurandan Sunnah secara tegas
diserahkan kepada manusia untuk menentukannya. Manusiadipersilakan
untuk memusyawarahkannya berdasarkan prinsip kemaslahatan umat.
Dalamkonteks ini pula Natsir menyetujui istilah demokrasi. Ia sama sekali
tidaksetuju demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi sekuler yang boleh
membuataturan-aturan baru yang bertentangan dengan Al-Quran.
Demokrasi hanya bolehmembicarakan masalah-masalah yang tidak
secara qothi diatur di dalamAl-Quran dan Sunnah. Ini berarti Natsir menolak
filsafat dasar demokrasi yangmeletakkan manusia (suara rakyat) sebagai
penentu utama kekuasaan politik. Demokrasisemacam ini dinilainya sebagai
demokrasi sekuler yang akan banyak bertentangandengan aturan-aturan
Islam.
Pemikiran pokok tentang politik inihampir sama dengan semua pemikir
Muslim lainnya saat itu seperti A. Hassan, H.Agus Salim, Prof. Kahar
Mudzakkir, Hasbi Ash-Shiddiqy, dan sebagainya. Khususmengenai pemikiran

Natsir ini, saat ia menjabat sebagai ketua umum Masyumiantara tahun 1952
hingga 1960, ia sempat meminta kepada Prof. Ahmad Syalabiuntuk
menuliskan pokok-pokok pikiran tentang negara dan politik di dalam
Islamsecara lebih rinci dan sistematis. Ahmad Syalabi, intelektual Mesir yang
saatitu tengah menjadi visiting professor di beberapa perguruan tinggi
Islamdi Jakarta dan Jogja atas permintaan departemen agama
menyanggupinya. Iakemudian menuliskan pemikiran politik yang inti
pikirannya sejalan denganNatsir dan politisi Islam lainnya dalam As-Siysah
f Al-Fikr Al-Islmy. Parapembaca yang berminat silakan merujuk pada buku
tersebut untuk mengetahuisecara lebih detail pemikiran-pemikiran politik
Islam yang dipegang olehtokoh-tokoh Masyumi seperti Natsir.
***
Pemikiran-pemikiran Natsir tentang tatanegara inilah yang kemudian ia
praktikkan saat ia menjadi politisi. Akantetapi, pada saat yang sama ia harus
berhadapan
dengan
kelompok-kelompoksekuler
yang
juga
ingin
memaksakan ideologi mereka. Bagi kelompok sekulerpemikiran politik yang
mereka usulkan semata-mata datang dari pemikiran danfalasafah Barat
tentang masalah ini. Mereka mempromosikan demokrasi, namunbukan
demokrasi terbatas seperti yang dipikirkan Natsir. Demokrasi yangdimaksud
berdasarkan falsafah asalnya dari Yunani yang dalam konteks
moderndiasaskan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia (human right)
yangmenjamin sepenuhnya kebebasan manusia. Demokrasi semacam ini
adalah demokrasiliberal sebagaimana yang dikenal dan dipraktikkan di
Barat.
Dalam politik Indonesia, itulahtantangan paling berat yang dihadapi Natsir. Ia
tahu bahwa ini merupaka ancamanserius bagi politik Islam. Sebagian
pemikiran politik sekuler ini ada yangberhasil disusupkan dalam sistem
ketatanegaraan dan sistem perundangan dinegara ini. Bertahannya KUHP
model Belanda hingga saat ini menjadi salah satucontoh tantangan nyata
bagi politik Islam yang menghendaki masalah-masalahpidana yang banyak
aturanya dalam Al-Quran dan Sunnah dilandaskan pada Islam,bukan pikiran
liberal Belanda. Jelas ini merupakan kekalahan politik Islam diIndonesia.
Walaupun begitu, Natsir tidak serta merta bersetuju bahwa negara initelah
berubah menjadi negara kafir gara-gara kemenangan kelompok
sekulerdalam beberapa hal. Sepanjang dasar negara ini Pancasila yang
masingmemperlihatkan keberpihaknnya pada Islam, negara ini masih belum
bisa dikatakannegara kafir. Aturan yang sekuler hanyalah pertanda
kekalahan gerakan politikIslam yang harus menjadi catatan umat Islam dan
gerakan politik Islam sejati. MenghancurkanNegara Kesatuan Republik
Indonesia secara radikal untuk digantimisalnyadenganDaulah Islam,
Negara Islam Indonesia, atau label apa saja yang berbau Islambisa jadi

bukan
merupakan
solusi
kemenangan
politik
Islam.
Sebab,
sejakKemerdekaanya Indonesia telah diperjuangkan untuk menjadi negara
berbasisIslam. Sebagian hasilnya sudah jelas terlihat. Hanya perlu waktu
untukmenyempurnakan kemenangan Islam. Hanya perlu waktu untuk
menguji kesungguhan dankerja keras umat Islam dalam mewujudkan citacitanya. Wallhu Alam.

BahanBacaan
Bachtiar,Tiar Anwar (ed.). 2012. Risalah Politik A. Hassan. Jakarta:
PembelaIslam
Madinier,Remy. 2013. Partai Masjumi; Antara Godaan Demokrasi dan Islam
Integral.Bandung:Mizan Pustaka
Natsir,Mohammad. 2001. Agama dan Negara dalam Perpektif Islam. Jakarta:
MediaDakwah.
_______________.2003. Capita Selekta Jil. I-III. Jakarta: Media Dakwah
_______________.2009. Politik Melalui Jalur Dakwah. Jakarta: Dewan Dakwah
IslamiyahIndonesia
Noer,Deliar.
2000. Partai
Islam
di
Pentas
Nasional;
Kisah
da
AnalisisPerkembangan Politik Indonesia 1945-1965. Bandung: Mizan Pustaka
Syalabi,Ahmad. 1983. As-Siysah fi Al-Fikr Al-Islmy. Cairo: Maktabah AnNahdhahAl-Mishriyyah.

Anda mungkin juga menyukai