***
Mengenai sikap politik Natsir yangsangat berpihak pada Islam sudah tidak
perlu dijelaskan panjang lebar. Natsirboleh dikatakan sebagai wujud hidup
politisi Muslim yang berpijak pada ideologisecara kokoh. Natsir tidak pernah
mau menggadaikan ideologi dan keberpihakannyapada Islam dengan
apapun, termasuk jabatan atau harta benda. Ia lebih relamasuk penjara
daripada
menggadaikan
idealisme
dan
kepercayaannya.
Itulah
yangdihadapinya ketika harus berhadapan dengan Sukarno setelah
pembubaran Masyumitahun 1960. Sukarno tidak menoleransi siapa saja
yang tidak setuju dengangagasannya yang ingin menggabungkan kelompok
nasionalis, agama, dan komunis(Nasakom). Natsir berpendirian tegas sejak
awal bahwa menggabungkan agamadengan komunisme adalah hal yang
mustahil. Oleh sebab itu, ia memilih untukdipenjara karena menolak gagasan
Natsir dan bahkan ikut memprotesnya melaluigerakan PRRI (Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia).
Akan tetapi kekukuhan Natsir dalammemegang Islam sebagai ideologi
politiknya tidak membuatnya bersikap hitamputih terhadap politik. Hitam
putih di sini artinya bahwa yang disebut politikIslam adalah politik yang
ada dalam satu Negara Islam, Daulah Islam, atauKhilafah Islam.
Mereka yang mengartikan politik berlandas ideologi Islamseperti itu tidak
mengerjakan hal lain selain berniat untuk mendirikannya. Padasaat yang
sama sistem dan konstelasi politik yang ada dianggap sebagai politikkafir
atau
minimal
politik
yang
mencampuradukkan
antara
yang haq denganyang bthil yang harus dijauhi dan tidak bisa dijadikan alat
politikuntuk mendirikan negara Islam impian mereka. Satu-satunya jalan,
bagi kelompokini, untuk mendirikan negara Islam adalah melalui dakwah dan
jihad. Dakwahbertujuan menyadarkan umat untuk menerima negara Islam
atau Khilafah Islam,sementara jihad adalah gerakan militer (perang) untuk
merebut danmengambil-alih kekuasaan. Ada lagi yang menghindari jihad,
melainkan berusahameyakinkan kekuatan politik yang ada untuk mengubah
negara dan kekuasaannyamenjadi Islam.
Walaupun cara-cara di atas bisa sajadilakukan untuk mewujudkan negara
Islam, namun Natsir bukan tipikalpolitisi-Islam seperti itu, terutama dalam
konteks Indonesia. Terlebih dahuluNatsir meletakkan Indonesia ini sebagai
negara yang telah diperjuangkankelahirannya agar bebas dari kekuatan
Penjajah Belanda. Perjuangan Natsir danpejuang kemerdekaan lainnya bukan
perjuangan dari titik nol. Ini adalahperjuangan yang telah berlangsung lebih
dari satu abad sebelumnya ketikaBelanda berhasil menjadikan wilayahwilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam,baik di Jawa maupun di pulau
lainnya menjadi bagian dari pemerintahan HindiaBelanda. Sejarah mencatat
Oleh sebab negara ini sejak semulamerupakan negara Islam yang dihuni
oleh mayoritas Muslim, maka Natsir beradapada pihak yang tidak setuju
ketika Kartosuwiryo memproklamasikan Negara IslamIndonesia (NII) atau
Darul Islam (DI) tahun 1949 di Garut. Ia menilai bahwa apayang dilakukan
Kartoterlepas dari haknya untuk melakukan ijtihad dan gerakanpolitik
tidak produktif untuk perjuangan Islam. Konon NII ini didirikan
karenakekecewaan pada perjanjian Renville yang menyerahkan sebagian
besar wilayah RIini kepada Belanda, termasuk Priangan Timur yang akhirnya
diklaim olehKartosuwiryo untuk NII-nya itu. Natsir melalui juru rundingnya
dari Masyumi,Mohammad Roem, membuktikan bahwa kekhawatiran itu
berlebihan. Bahkan, Natsir melaluiMosi Integral-nya di Parlemen saat ia
menjabat Ketua Umum Partai Masyumiberhasil mempersatukan wilayah yang
tercerai-berai melalui RIS (RepublikIndonesia Serikat) menjadi Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun1950. Atas pembuktian ini,
seharusnya Karto mau berkompromi dengan Natsir danMasyumi dan kembali
sama-sama mempertahankan negara baru ini agar tetap adadalam
pangkuan Islam. Sayang sekali, Karto tidak bersedia untuk bernegosiasidan
memilih untuk melanjutkan perjuangannya mendirikan NII. Perang pun
tidakdapat dihindari. Dua belas tahun sejak 1950 hingga 1962, Karto yang
membangunTentara Islam Indonesia (TII) harus berhadap-hadapan dengan
saudara sendiridari Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Musim politik sudah berganti bagiNatsir. Kini ia pun harus menjadi seteru
politik Sukarno yang berada di kubusekuler, sekalipun Sukarno tidak pernah
mengakui posisi sekulernya itu. Natsirharus mengakui kepiawaian Sukarno
berpolitik. Tahun 1960, partai Masyumidibubarkan. Para aktivisnya, termasuk
Natsir tidak boleh lagi berpolitik.Sebagian besar dipenjarakan karena
dianggap kontra-Revolusi. Bahkan ketikaSukarno tumbang di tangan
Suharto pun, kebebasan berpolitik Natsir dankawan-kawan masih belum bisa
pulih. Akhirnya, Natsir menempuh jalan lain untukmenuju kepada politik,
yaitu melalui dakwah. Dulu kita berdakwah melalui politik;sekarang kita
berpolitik melalui dakwah, begitu kira-kira pesan Natsir ketika
menderikanDewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) tahun 1967. Dalam
posisi itupun, seikapNatsir terhadap negara ini tidak berubah. Ia tetap
menganggap negara inisebagai warisan para raja Muslim; negara ini bukan
negara kafir. Oleh sebabitu, ia sama sekali tidak berniat untuk mendirikan
negara baru ataumenggantikan negara ini dengan nomenklatur yang lain.
Tidak juga terbersitdalam pikirannya untuk mendirikan Negara Islam (Daulah
Islam) di Indonesia ini.Ia tetap menganggap negara ini sebagai bukan negara
kafir! Walaupun kali ini,ia harus mengakui kekalahannya dalam politik
praktis. Akan tetapi, ia masihsangat leluasa mempersiapkan generasigenerasi berikutnya untuk melanjutkanestafeta perjuangannya dalam
memelihara negara ini tetap ada dalam pangkuanIslam; agama induk dari
negara ini.
***
Berdasarkan pengakuan bawa Indonesiasebagai bukan negara kafir inilah
Natsir memiliki pijakan kokoh untuk mendorongterlaksananya prinsip-prinsip
ketatanegaraan Islam di bumi Indonesia warisanpara Wali ini. Lalu
bagaimana pemikirannya tentang ketatanegaraan Islam yangdiinginkannya
bagi Indonesia? Inilah pertanyaan berikut yang akan coba kitatelusuri
jawabannya dari beberapa tulisan dan kejadian sejarah yang dialamiNatsir.
Pemikiran Natsir tentang ketatanegaraanlebih banyak dipraktikkan daripada
dituliskan, karena dalam hal ini ia adalahseorang praktisi yang terjun
langsung mewujudkan sistem ketatanegaraanIndonesia semenjak ia duduk
menjadi anggota KNIP (Komite Nasional IndonesiaPusat) atau semacam DPR
sekarang, tiga kali menjadi menteri penerangan, menjadiperdana menteri,
hingga ikut dalam perdebatan-perdebatan Konstituante(1956-1959) sebagai
wakil dari Masyumi. Walaupun begitu, apa yang dilakukanNatsir selama ia
aktif di parlemen dan pemerintahan Republik Indonesia secarapemikiran
memiliki pijakan yang kuat dari tradisi pemikiran Islam tentangpolitik dan
pemerintahan. Pemikiran pokoknya tentang sistem kenegaraan dalamIslam
tertuang dalam salah satu artikelnya berjudul Mungkinkan AlQuranMengatur Negara. Artikel ini kemudian diterbitkan ulang oleh Endang
SaefudinAnshari dalam satu kumpulan tulisannya khusus tentang politik
berjudul Agamadan Negara dalam Perspektif Islam (2001).
Dalam tulisannya ini, Natsirberkesimpulan bahwa mengenai masalah politik,
Islam tidak mengatur sampaikepada masalah-masalah yang detail dalam
sistem ketatanegaraan. Islam hanyamengatur masalah-masalah pokok
dalam politik yang tidak boleh berubah sepanjangmasa. Di antara masalahmasalah pokok tersebut adalah pertama,kriteriapemimpin. Di dalam AlQuran maupun hadis banyak sekali dijelaskan tentangcriteria yang harus
dimiliki oleh seorang pemimpin yang hendak memikul amanahumat. Seorang
pemimpin haruslah orang yang beriman, jauh dari maksiat,berakhlak baik,
dan memiliki kecakapan memadai untuk menjalankantugas-tugasnya.
Kriteria umum ini ditetapkan dalam Al-Quran dan hadis untukmenjadi
pegangan sepanjang masa bagi manusia. Kriteria teknisnya dapat
dirumuskansendiri oleh manusia. Hanya saja, kriteria umum di atas tidak
boleh berubahuntuk menjamin kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
Pokok ajaran Islam yang kedua dalamhal politik adalah keharusan
pengambilan keputusan melalui musyawarah. Perintahini termaktub dalam
Al-Quran, hadis Nabi, dan praktik kekuasaanKhulafaur-rasyidun. Musyawarah
digunakan untuk mengambil keputusan yang belumsecara tegas diatur di
Natsir ini, saat ia menjabat sebagai ketua umum Masyumiantara tahun 1952
hingga 1960, ia sempat meminta kepada Prof. Ahmad Syalabiuntuk
menuliskan pokok-pokok pikiran tentang negara dan politik di dalam
Islamsecara lebih rinci dan sistematis. Ahmad Syalabi, intelektual Mesir yang
saatitu tengah menjadi visiting professor di beberapa perguruan tinggi
Islamdi Jakarta dan Jogja atas permintaan departemen agama
menyanggupinya. Iakemudian menuliskan pemikiran politik yang inti
pikirannya sejalan denganNatsir dan politisi Islam lainnya dalam As-Siysah
f Al-Fikr Al-Islmy. Parapembaca yang berminat silakan merujuk pada buku
tersebut untuk mengetahuisecara lebih detail pemikiran-pemikiran politik
Islam yang dipegang olehtokoh-tokoh Masyumi seperti Natsir.
***
Pemikiran-pemikiran Natsir tentang tatanegara inilah yang kemudian ia
praktikkan saat ia menjadi politisi. Akantetapi, pada saat yang sama ia harus
berhadapan
dengan
kelompok-kelompoksekuler
yang
juga
ingin
memaksakan ideologi mereka. Bagi kelompok sekulerpemikiran politik yang
mereka usulkan semata-mata datang dari pemikiran danfalasafah Barat
tentang masalah ini. Mereka mempromosikan demokrasi, namunbukan
demokrasi terbatas seperti yang dipikirkan Natsir. Demokrasi yangdimaksud
berdasarkan falsafah asalnya dari Yunani yang dalam konteks
moderndiasaskan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia (human right)
yangmenjamin sepenuhnya kebebasan manusia. Demokrasi semacam ini
adalah demokrasiliberal sebagaimana yang dikenal dan dipraktikkan di
Barat.
Dalam politik Indonesia, itulahtantangan paling berat yang dihadapi Natsir. Ia
tahu bahwa ini merupaka ancamanserius bagi politik Islam. Sebagian
pemikiran politik sekuler ini ada yangberhasil disusupkan dalam sistem
ketatanegaraan dan sistem perundangan dinegara ini. Bertahannya KUHP
model Belanda hingga saat ini menjadi salah satucontoh tantangan nyata
bagi politik Islam yang menghendaki masalah-masalahpidana yang banyak
aturanya dalam Al-Quran dan Sunnah dilandaskan pada Islam,bukan pikiran
liberal Belanda. Jelas ini merupakan kekalahan politik Islam diIndonesia.
Walaupun begitu, Natsir tidak serta merta bersetuju bahwa negara initelah
berubah menjadi negara kafir gara-gara kemenangan kelompok
sekulerdalam beberapa hal. Sepanjang dasar negara ini Pancasila yang
masingmemperlihatkan keberpihaknnya pada Islam, negara ini masih belum
bisa dikatakannegara kafir. Aturan yang sekuler hanyalah pertanda
kekalahan gerakan politikIslam yang harus menjadi catatan umat Islam dan
gerakan politik Islam sejati. MenghancurkanNegara Kesatuan Republik
Indonesia secara radikal untuk digantimisalnyadenganDaulah Islam,
Negara Islam Indonesia, atau label apa saja yang berbau Islambisa jadi
bukan
merupakan
solusi
kemenangan
politik
Islam.
Sebab,
sejakKemerdekaanya Indonesia telah diperjuangkan untuk menjadi negara
berbasisIslam. Sebagian hasilnya sudah jelas terlihat. Hanya perlu waktu
untukmenyempurnakan kemenangan Islam. Hanya perlu waktu untuk
menguji kesungguhan dankerja keras umat Islam dalam mewujudkan citacitanya. Wallhu Alam.
BahanBacaan
Bachtiar,Tiar Anwar (ed.). 2012. Risalah Politik A. Hassan. Jakarta:
PembelaIslam
Madinier,Remy. 2013. Partai Masjumi; Antara Godaan Demokrasi dan Islam
Integral.Bandung:Mizan Pustaka
Natsir,Mohammad. 2001. Agama dan Negara dalam Perpektif Islam. Jakarta:
MediaDakwah.
_______________.2003. Capita Selekta Jil. I-III. Jakarta: Media Dakwah
_______________.2009. Politik Melalui Jalur Dakwah. Jakarta: Dewan Dakwah
IslamiyahIndonesia
Noer,Deliar.
2000. Partai
Islam
di
Pentas
Nasional;
Kisah
da
AnalisisPerkembangan Politik Indonesia 1945-1965. Bandung: Mizan Pustaka
Syalabi,Ahmad. 1983. As-Siysah fi Al-Fikr Al-Islmy. Cairo: Maktabah AnNahdhahAl-Mishriyyah.