Anda di halaman 1dari 2

Reading Report 6 EPKI 2016/7

NPM : 1406618820
Sumber: Bellamy, Alex J. Humanitarian Intervention. Dalam The Routledge Handbook of
Security Studies, diedit oleh Myriam Dunn Cavelty dan Victor Mauer, 42838. Oxon : Routledge, 2010.
Memahami Intervensi Kemanusiaan
Di awal tulisannya, Alex J. Bellamy mengutip pernyataan Mary Kaldor tentang new wars, yakni
perang yang sengaja menargetkan kematian warga sipil, bukan sebagai hasil ketidaksengajaan.
Menurutnya, pelaku utama kejahatan terhadap warga sipil adalah aktor negara. Mengutip data
dari Rummel, di abad ke dua puluh, sekitar 40 juta orang tewas dalam perang antarnegara,
sementara 170 juta orang tewas di tangan pemerintahnya sendiri. Fakta tersebut menjadi
tantangan tersendiri bagi politik dunia hari ini. Tatanan internasional kini didasarkan pada konsep
kedaulatan. Apabila kita merujuk pada Hobbes, maka sebuah negara ada untuk melindung
rakyatnya. Keamanan negara menjadi penting karena negara menyediakan keamanan bagi
rakyatnya. Namun, dengan kejadian yang terjadi di Rwanda maupun Darfur, muncullah
pertanyaan-pertanyaan: sampai sejauh manakah keamanan individu harus didahulukan daripada
keamanan negara? Haruskah hak sebuah negara atas keamanan dan bebas dari serangan
bersenjata bergantung pada kemampuannya untuk memenuhi tanggung jawab tertentu pada
rakyatnya, tidak hanya sekadar melindungi mereka dari pembunuhan massal? Haruskah
imperatif dari menjaga tatanan internasional yang menghargai harmoni antarnegara
mengesampingkan perhatian mengenai keamanan insani? Pertanyaan-pertanyaan tersebutlah
yang mendasari debat mengenai intervensi kemanusiaan. Dalam tulisannya, Bellamy
berargumen bahwa semenjak berakhirnya Perang Dingin, prinsip responsibility to protect telah
menjadi konsensus internasional. Prinsip R2P memiliki arti bahwa negara memiliki tanggung
jawab untuk melindungi rakyatnya dari genosida dan kejataan masal, dan ketika mereka gagal,
maka tanggung jawab tersebut berpindah kepada masyarakat internasional yang umumnya
diwakili oleh Dewan Keamanan PBB.
Bagi pendukung intervensi kemanusiaan, kedaulatan harus dipahami sebagai sebuah nilai
instrumental karena ia berasal dari tanggung jawab negara atas kesejahteraan rakyatnya.
Sehingga, ketika negara gagal menjalankan tugasnya, maka mereka kehilangan hak
kedaulatannya untuk tidak diintervensi. Pemikiran ini berasal dari ide liberal yang mengutip Kant
bahwa seluruh individu memiliki pre-political rights untuk mendapatkan keamanan. Mereka juga
berargumen bahwa negara telah meyetujui beberapa standar minimum atas perilaku. Hal itu
dapat menjustifikasi intevensi keamnusiaan sebagai perlindungan dan pelaksanaan mandat
kolektif dari masyarakat internasional, bukan menjalankan keinginan dari beberapa pihak.
Di sisi lain, intervensi kemanusiaan dinilai dapat menciptakan ketidakteraturan karena
negara-negara berperang untuk melindungi dan secara violent mengekspor preferensi
kulturalnya. Selain itu, hak atas intervensi kemanusiaan yang tidak diotorisasi akan membuka
kesempatan bagi penyalahgunaan kekuasaan. Poin ini terbukti secara historis dengan adanya
kecenderungan penyalahgunaan justifikasi kemanusiaan untuk melegitimasi hal-hal yang tidak
sesuai dengan prinsip kemanusiaan. Terakhir, menurut Bellamy, negara-negara besar terus
menentang intervensi kemanusiaan karena tindakna tersebut diihat sebagai penghinaan
terhadap prinsip utama self-determination yang mendasari dekolonisasi pasca perang.
Kemudian, Bellamy juga membahas mengenai R2P sebagai konsensus internasional
terhadap intervensi kemanusiaan. Prinsip ini dicetuskan oleh International Commission for
Intervention and State Sovereignty (ICISS) yang didirikan pada tahun 2000. Prinsip tersebut
ditujukan sebagai sebuah cara untuk melarikan diri dari logika yang tak teuraikan atas logika
kedaulatan versus HAM yang berfokus bukan pada a right of intervention, tapi pada apa yang
perlu dilakukan untuk melindungi nyawa manusia dan apa yang harus dilakukan berbagai pihak
untuk mencapainya. Terdapat empat komitmen R2P: (1) semua negara menerima bahwa mereka
memiliki tanggung jawab untuk melindungi warga negaranya sendiri dari genosida, pemberishan

etnis, kejahatan perang dan perang terhadap kemanusiaan; (2) komunitas internasional
mendukung dan membantu negara-negara dalam pemenuhan tanggung jawabnya, termasuk
dengan embatu negara untuk membangun kapasitasyang dipelrukan dan membantu negara di
bawah tekanan; (3) komunitasinternasional memiliki tanggung jawab utnuk menggunakan caracara damai untuk melindungi manusia dari genosida, dsb., melalui pengaturan regional maupun
PBB; (4) DK PBB dapat menggunakan kekuatannya yang tercanum dalam Chapter VII apabila
solusi damai tidak menukupi dan otoritas nasional gagal untuk melindungi warga negaranya dari
genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, maupun kejahatan lain terhadap kemanusiaan.

Anda mungkin juga menyukai