Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

HUKUM MENGGANTI ATAU MENJUAL BENDA WAKAF


makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata kuliah : Fiqh Kontemporer

Dosen : Dr. Esa Nurwahyuni, M.Pd.

Proposal ini disusun oleh


Rahmat Toyyib
PROGRAM PASCASARJANA KELAS D
MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2016

KATA PENGANTAR


Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah. Puja dan puji syukur kehadirat Allah Swt. berkat rahmat
dan hidayahnya, kami dapat menyelesaikan tugas Mata Kuliah Studi Kebijakan
Pendidikan Islam yang berjudul Studi Kebijakan Tentang Pengembangan
Kegiatan Ekstrakurikuler
Dengan segala daya upaya kami mencoba menganalisis dan mencari
berbagai hal yang berkesinambungan mengenai Studi Kebijakan Tentang
Pengembangan Kegiatan Ekstrakurikuler. Kemudian kami rangkai sedemikian
mungkin, dan semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Demikian terselesainya tugas Studi Kebijakan Pendidikan Islam ini. Demi
kesempurnaannya kami mohon kritik ataupun saran dari pembaca. Adapun kurang
lebihnya dalam proses pembuatan tugas ini kami mohon maaf yang sebesarbesarnya.
Wassalamualaikum wr. wb.

Batu, 14 September 2016

Penyusun

PENDAHULUAN
1.1; Latar Belakang

Harta - utamanya harta yang memiliki kemanfaatan untuk dikelola sebagai


modal usaha dan dikembangkan menjadi sumber dana seperti tanah, rumah,
pekarangan, sawah-ladang dan yang sama

dengannya, bisa diambil alih

pemanfatannya (tanpa adanya pengambilalihan kepemilikan) oleh orang lain


dalam waktu yang relatif lama atau bahkan selamanya selaras dengan perjanjian
(akad), untuk tujuan tertentu, dan bahkan bisa dikembangkan menjadi aset
berharga

bagi

masyarakat

luas

untuk

kepentingan

penyantunan

dan

pemberdayaan. Pengambilalihan manfaat terhadap harta itu terjadi atas dasar


kerelaan si pemilik harta dengan disertai amanah dari si pemberi terhadap si
penerima agar tetap menjaga keberadaan harta tersebut, sehingga tidak mengalami
kerusakan, dengan disertai persyaratan implisit: tanpa adanya kebolehan bagi si
penerima untuk memperjualbelikannya. Pola itulah yang disebut al-Waqf
(Wakaf).
Wakaf merupakan salah satu ibadah sunah bagi ummat Islam dalam upaya
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tujuan mulia dalam beribadah bukanlah hal
yang mudah untuk diterapkan sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Terkadang
pada awalnya wakif berniat ikhlas untuk berwakaf namun seiring perkembangan
waktu niat yang mulia itu bergeser menjadi tidak ikhlas, akhirnya harta wakaf
yang telah diserahkan menjadi milik ummat Islam seolah-olah menjadi milik
pribadi dengan ikut serta mengatur dan menentukan kebijakan dalam badan
wakaf, akibatnya wakaf tidak berjalan sebagai mana mestinya.1
Wakif tidak turut campur dalam mengatur berjalannya wakaf, namun pada
generasi berikunya bisa saja anak keturunan dari pewakif berusaha ikut dalam
upaya pengelolaan wakaf orang tuanya. Selain itu tidak jarang harta wakaf
dijadikan milik pribadi para pengurus wakaf atau keluarga pewakaf.
Wakaf bukan hanya merupakan shadaqah biasa, tetapi merupakan shadaqah
yang memiliki nilai lebih daripada shadaqah-shadaqah lainnya. Shadaqah berupa
wakaf lebih besar pahala dan manfaatnya bagi orang yang memberikan wakaf,
karena harta yang diwakafkan itu akan terus-menerus mengalir pahalanya kepada
1

H.A Djazuli, Kaida-kaidah Fiqih; kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalahmasalah yang praktis. (Jakarta: Kencana, 2010) h. 37

orang yang memberikan wakaf (wakif). Sekalipun ia telah meninggal, selama


harta yang diwakafkan itu masih bisa dimanfaatkan. Selain itu, wakaf bisa
menjadi jalan dan perantara untuk membangun memajukan agama serta
membangun masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Seperti : pendidikan,
dakwah, sosial, kesehatan, dan lain-lain.
Wakaf ialah mengalihkan hak milik pribadi menjadi milik suatu badan
atau organisasi yang memberikan manfaat bagi masyarakat dengan tujuan untuk
mendapatkan kebaikan dan ridha Allah SWT.
Wakaf hukumnya sunnah dan harta yang di wakafkan terlepas dari
pemiliknya untuk selamanya, lalu menjadi milik Allah SWT semata-mata. Dan
wakaf memiliki empat rukun yaitu, orang yang mewakafkan, Ikrar serah terima
wakaf, barang yang diwakafkan dan pihak yang

menerima

wakaf.

memliki syarat-syarat bagi pewakaf, salah satunya yaitu pewakaf

Wakaf
boleh

menentukan apa saja syarat yang ia inginkan dalam wakafnya


Kekuasaan atas wakaf dibagi dua: yang bersifat umum dan yang bersifat
khusus. Yang bersifat umum yaitu kekuasaan atas wakaf yang ada ditangan
Waliul Amr, sedangkan yang khas yaitu kekuasaan yang diberikan kepada orang
yang diserahi wakaf ketika dilakukan, atau orang yang diangkat oleh hakim syari
untuk itu.
1.2; Rumusan Masalah

1; Apa arti kata wakaf pada hakikat yang sebenarnya yang ditinjau dari segi
bahasa dan istilah serta rukun dan syaratnya ?
2; Bagaimana pandangan para ulama madzhab mengenai perbedaan pendapat
tentang diperbolehkan atau tidaknya jual beli yang statusnya sebagai benda
wakaf tersebut ?
1.3; Tujuan

Dengan adanya identifikasi seperti diatas maka tujuan penulisan adalah


sebagai berikut :

1; Untuk mengetahui makna dari kata wakaf pada hakikat yang sebenarnya

dari segi bahasa, istilah, serta rukun dan syaratnya dari pendapat beberapa
zumhur ulama.
2; Untuk mengetahui pendapat dari berbagai kalangan

madzhab tentang

diperbolehkan atau tidaknya jual beli benda wakaf yang berupa masjid.

BAB II
PEMBAHASAN

A; Pengertian Wakaf
Wakaf (bahasa Arab: , [wqf]; plural bahasa Arab: , awqf;
bahasa Turki: vakf, bahasa Urdu: ) adalah perbuatan yang dilakukan wakif
(pihak yang melakukan wakaf) untuk menyerahkan sebagian atau keseluruhan
harta benda yang dimilikinya untuk kepentingan ibadah dan kesejahteraan
masyarakat untuk selama-lamanya.
Wakaf menurut bahasa,, waqafa berarti menahan atau mencegah,
misalnya saya menahan diri dari berjalan.
Dalam peristilahan syara, wakaf adalah sejenis pemberian yang
pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal, lalu
menjadikan manfaatnya berlaku umum. yang dimaksud dengan

menahan

(pemilikan) asal ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan,
digunakan dalam bentuk dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan, dipinjamkan,
dan sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya adalah dengan menggunakannya
sesuai dengan kehendak pemberi wakaf tanpa imbalan.
Ada beberapa pendapat para ulama mengenai wakaf diantarnya yaitu:
1; Mazhab maliki, berpendapat bahwa, wakaf tidak terwujud kecuali bila
orang yang mewakafkan bermaksud mewakafkan barangnya untuk selama
selamanya dan terus menerus. itu pula sebabnya, maka wakaf disebut
shadaqah jariyah
2; Sebagian

ulama

Imamiyah

mengatakan:

pembatasan

seperti

itu

menyebabkan wakaf tersebut batal, tapi hab-snya sah, sepanjang orang


yang melakukannya memaksudkan hal itu sebagai hasab. Sedangkan bila
dia memaksudkannya sebagai wakaf, maka batallah wakaf dan hasabnya
sekaligus.
Hal itu telah membuat Syekh Abu Zahra salah paham dan mengalami
kesulitan untuk membedakan wakaf dari hasab yang berlaku dikalangan
Imamiyah. itu sebabnya beliau menisbatkan pendapat kepada Imamiyah bahwa
dikalangan Imamiyah wakaf boleh dilakukan untuk selamanya dan untuk waktu

terbatas. ini jelas tidak benar, sebab dikalangan Imamiyah wakaf itu berlaku untuk
selamanya.
Dari beberapa pendapat para ulama dapat disimpulkan bahwa pengertian
wakaf ialah mengalihkan hak milik pribadi menjadi milik suatu badan atau
organisasi yang memberikan manfaat bagi masyarakat dengan tujuan untuk
mendapatkan kebaikan dan ridha Allah SWT.
Wakaf juga dapat diartikan pemindahan kepemilikan suatu barang yang
dapat bertahan lama untuk diambil manfaatnya bagi masyarakat dengan tujuan
ibadah dan mencari ridha Allah SWT.
B; Dasar Hukum Wakaf
Adapun yang dinyatakan sebagai dasar hukum wakaf oleh para
ulama, Al Quran surat Ali Imron ayat 92, Allah berfirman:

Artinya:
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan
apa

saja

yang

kamu

nafkahkan

maka

sesungguhnya

Allah

mengetahuinya.
Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam jamaah
kecuali Bukhari dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra sesungguhnya Nabi
saw bersabda:

Apabila mati seorang

manusia, maka terputuslah pahala

perbuatannya, kecuali tiga perkara: shodaqoh jariyah (wakaf), ilmu


yang dimanfaatkan, baik dengan cara mengajar maupun dengan
karangan dan anak yang sholeh yang mendoakan orang tuanya.
7

(H. R. Bukhari Muslim)


Dalam sejarah yang pertama kali berwakaf adalah Rasulullah dengan
mewakafkan tujuh kebun di Madinah setelah pulang dari perang Uhud kepada
fakir miskin dan ibnu sabil serta para kerabat. Kemudian Umar bin Khatab
mewakafkan hartanya yang biasa disebut dengan (tamgh) yaitu kurma, dan Abu
Bakar mewakafkan sebidang tanah yang berada di Makkah.2
Jadi jelaslah bahwa wakaf adalah perbuatan yang disunahkan oleh
Rasulullah karena sesuai dengan sabdanya;

artinya Rasulullah bersabda jika kau mau sebaiknya kau pertahankan
harta yang pokok (tanah tersebut) lalu di sedekahkan hasilnya.
C; Hukum dan Rukun Wakaf
Wakaf hukumnya sunah dan harta yang diwakafkan terlepas dari
pemiliknya untuk selamanya, lalu menjadi milik Allah SWT semata-mata, tidak
boleh dijual atau dihibahkan untuk perseorangan dan sebagainya. Pahalanya akan
terus mengalir kepada orang yang mewakafkan , karena termasuk shadaqah
jariyah.3
Bagi orang yang telah menyerahkan hak miliknya untuk wakaf, hilangkan
hak milik perorangan, dan Allah SWT. menggantinya dengan pahala meskipun
orang yang meberikan wakaf (wakif) telah meninggal dunia, selama harta yang
diwakafkan masih digunakan manfaatnya.
Rukun-rukun wakaf diantaranya yaitu :
1; Orang yang mewakafkan (wakif) : Para ulama mazhab sepakat bahwa
syarat bagi sahnya melakukan

wakaf yaitu sehat akalnya. Selain itu

juga sudah baligh.


2; Pihak yang menerima wakaf (maukuf lahu) : Orang yang menerima
wakaf ialah orang yang berhak memelihara barang yang diwakafkan
2

Ahmad sabiq bin latif abu yusuf,kaedah-kaedah praktis Memahami Fiqih islami
(pustaka Al-furqon, 2009) h.47
3

Abu Hazim Mubarok , Fiqh Idola Terjemah Fathul Qorib Karya Syekh Muhammad bin Qasim Al
Ghazzi (Mukjizat : 2011 ) h. 331

dan memanfaatkannya. Orang-orang yang menerima wakaf diantarnya


:
a;

Hendaknya orang yang diwakafi tersebut

ada

ketika wakaf

terjadi.
b;

Hendaknyaorang

yang

menerima

wakaf itu mempunyai

kelayakan untuk memiliki.


c;

Hendaknya tidak merupakan maksiat kepada Allah SWT.

3; Barang yang diwakafkan (maukuf)4 Barang yang diwakafkan itu harus


konkrit. artinya dapat dilihat wujudnya dan dapat diperhitungkan
jumlah dan sifatnya. maka tidak sah mewakafkan barang yang tidak
tampak. Misalnya mewakafkan masjid yang belum dibangun. Barang
yang diwakafkan juga harus bisa bertahan lama. Misalnya bangunan,
tanah, kitab, Al-Quran, alat-alat kantor atu rumah tangga seprti : tikar,
bangku, meja dan lain-lain. Dan barang yang tidak bisa diwakafkan
dan tidak bisa

bertahan lama seperti: beras, minuman dan

sebagainya.barang-barang yang diwakafkan juga bukan barang yang


terlarang. sebab wakaf hanya pada hal-hal yang baik dan bermanfaat
bagi masyarakat banyak.
4; Ikrar serah terima wakaf (lafal/sighat wakaf)
a;

Redaksi waqaftu dalam konteks ini kalimatnya

saya

mewakafkan, seluruh ulama mazhab sepakat bahwa wakaf


terjadi dengan menggunakan redaksi waqaftu tersebut.
b; Sikap. menurut Hanafi, Maliki dan Hambali mengatakan : wakaf
terjadi cukup dengan perbuatan, dan barang yang dimaksud
berubah menjadi wakaf. tanpa kita harus melafalkan waqaftu,
habistu (menahan dari dari milik saya).

Abu Hazim Mubarok , Fiqh Idola, Hal 334

c;

Qabul, dalam wakaf. pendapat kalangan syafii yang lebih kuat,


yaitu menetapkan bahwa wakaf untuk orang-orang tertentu
diisyaratkannya ada qabul.

D; Syarat-syarat Bagi Pewakaf


Syarat-syarat bagi pewakaf diantara lain yaitu :
1. Orang yang mewakafkan mempunyai hak untuk melakukan perbuatan tersebut.
2. Atas kehendak sendiri dan tidak ada unsur paksaan.
3. Pihak yang menerima wakaf jelas adanya.
4. Barang yang diwakafkan untuk kepentingan masyarakat bukan untuk
kepentingan pribadi.
5. Barang yang diwakafkan berwujud nyata pada saat diserahkan.
6. Barang yang diwakafkan dapat bertahan lama.
7. Berlaku untuk selamanya.
8. Orang yang mewakafkan tidak boleh menarik kembali wakafnya.
9. Ikrarnya jelas. lebih afdhal jika dibuktikan secara tertulis misalnya, akte
notaris, surat wakaf dari Kantor Urusan Agama.
E; Kekuasaan Atas Wakaf
Kekuasaan atas wakaf ialah kekuasaan yang terbatas dalam memelihara,
menjaga, mengelola dan memanfaatkan hasil dari barang yang diwakafkan sesuai
dengan yang dimaksudnya. Kekuasaan atas wakaf dibagi menjadi dua : yang
bersifat umum dan yang bersifat khusus. Yang bersifat umum yaitu kekuasaan
atas wakaf yang ada ditangan Waliul Amr, sedangkan yang khas yaitu kekuasaan
yang diberikan kepada orang yang diserahi wakaf ketika dilakukan, atau orang
yang diangkat oleh hakim syari untuk itu.5
Para ulama mazhab sepakat bahwa wali wakaf adalah harus orang yang
berakal sehat.baligh, pandai menggunakan harta, dan bisa dipercaya. bahkan
SyafiI dan banyak ulama mazhab imamiyah mensyaratkan ia harus adil.
5

Muhammad bin shalih al Utsaimin, Buku Panduan Wakaf,Hibah dan Wasiat. (Pustaka Imam
Assyafii : 2010 ) hal : 49

10

sebetulnya cukup dengan sifat amanat dan bisa dipercaya. di tambah dengan
kemampuan mengelola wakaf secara sempurna.
Mereka juga sepakat bahwa, wali wakaf itu adalah orang yang dapat
dipercaya yang tidak dikenakan jaminan atas barang itu kecuali bila sengaja
merusaknya atau lalai menjaganya.
Kecuali Imam maliki, Para ulama mazhab sepakat bahwa, pewakaf
berhak menjadikan kekuasaan atas wakaf ketika melangsungkan pewakafan,
berada di tangannya sendiri, atau mensyaratkan orang lain bersama dirinya
sepanjang dia masih hidup, atau untuk waktu tertentu, dan dia pun berhak untuk
menyerahkan penanganan wakaf tersebut terhadap orang lain. Selanjutnya, Para
ulama mazhab berbeda pendapat bahwa apabila pewakaf tidak menentukan siapa
orang yang menjadi wali wakaf: tidak orang lain, dan tidak pula dirinya sendiri
Hambali dan Maliki mengatakan: kekuasaan atas barang wakaf berada
ditangan orang-orang yang diserahi wakaf, mana kala orang-orang itu diketahui
secara pasti. tetapi bila tidak, kekuasaan atas barang wakaf berada

ditangan

hakim.6
F; Mengganti Barang Wakaf
Prinsip-prinsip diatas adalah pemilikan terhadap manfaat suatu barang.
Barang asalnya tetap, tidak boleh diberikan, dijual atau dibagikan. maka barang
yang diwakafkan tidak boleh diganti. namun persoalannya akan lain jika misalnya
barang wakaf itu tadi sudah tidak bisa dimanfaatkan, kecuali dengan
memperhitungkan harga atau nilai jual setelah barang tersebut dijual. artinya hasil
jualnya dibelikan gantinya. dalam keadaan seperti ini mengganti barang wakaf
diperbolehkan.
Adapun sebab-sebab penggantian barang wakaf antara lain sebagaimana
dibawah ini :

Aulia, Redaksi Tim. 2008. Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan dan
Perwakafan), Bandung: Nuansa Aulia. Hal 78

11

1; Penggantian karena rusak, sehingga manfaatnya berkuarang atau


mungkin hilang. Misalnya, wakaf sound system yang sudah rusak karena
sudah lama dipakai. lalu diganti dengan yang lebih baik.
Contoh lain misalnya mengganti (membangun) masjid yang rusak.
meskipun

bangunan

masjid

itu

adalah

wakaf,

maka

karena

manfaatnya semakin hilang, maka dibolehkan untuk menggantikannya


agar dapat mencapai maksud yang sebenarnya.
2; Penggantian karena kepentingan yang lebih besar. Misalnya mengganti
masjid dengan yang lebih banyak lagi bagi kepentingan penduduk
setempat. ini diperbolehkan oleh Iman Ahmad, yang berdalih bahwa
Umar bin Khattab memindahkan masjid kufah ketempat yang lain yang
lebih layak. sementara masjid lama tanahnya dijadikan pasar buahbuahan.
Hal ini merupakan kias dari ucapan iman ahmad tentang pemidahan
masjid. bahkan diperbolehkan menggantikan bangunan masjid dengan
bukan masjid karena alasan kemslahatan atau manfaat. akan tetapi Imam
syafiI melarang menggantikan masjid, hadiah dan tanah wakaf dengan
yang lain.
G; Hukum Jual Beli Wakaf
1; Hukum Menjual Aset Wakaf
Dasar hukum benda bergerak adalah hadits Nabi Muhammad
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari sebagai berikut :

Artinya : Berkata Nabi Muhammad SAW adapun Khalid ia telah
mewakafkan baju-baju perangnya di jalan Alloh. (H.R. Bukhari)
Adapun Dasar hukum penjualan wakaf benda tidak bergerak atau benda
tetap adalah hadist Abdullah bin Umar di bawah ini :

12


















Dari Ibnu Umar radliallahu 'anhuma bahwa Umar bin Khathab
radliallahu 'anhu mendapat bagian lahan di Khaibar lalu dia menemui Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam untuk meminta pendapat Beliau tentang tanah
lahan tersebut seraya berkata: Wahai Rasulullah, aku mendapatkan lahan
di Khaibar dimana aku tidak pernah mendapatkan harta yang lebih bernilai
selain itu. Maka apa yang Tuan perintahkan tentang tanah tersebut? Maka
Beliau berkata: Jika kamu mau, kamu tahan (pelihara) pepohonannya
lalu kamu dapat bershadaqah dengan (hasil buah) nya. Ibnu Umar
radliallahu 'anhu berkata: Maka Umar menshadaqahkannya ( hasilnya ),
dan wakaf tersebut tidak boleh dijual, tidak dihibahkan dan juga tidak
diwariskan, namun dia menshadaqahkannya untuk para faqir, kerabat,
untuk membebaskan budak, fii sabilillah, ibnu sabil dan untuk menjamu
tamu. Dan tidak dosa bagi orang yang mengurusnya untuk memakan
darinya dengan cara yang ma'ruf dan untuk memberi makan orang lain
bukan bermaksud menimbunnya. (HR Bukhori)
Berdasarkan hadist di atas, para ulama berpendapat bahwa aset wakaf
tidak boleh dijual atau ditarik kembali oleh pemiliknya, bahkan sebagian kalangan
menyatakan bahwa hal ini merupakan kesepakatan ulama. Berkata Imam Qurthubi
: Pendapat yang membolehkan penarikan kembali barang yang sudah
diwakafkan adalah pendapat yang menyelesihi kesepakatan ulama, maka tidak
boleh diikuti. Hanya saja dalam rinciannya ternyata para ulama berbeda
pendapat :
Pendapat Pertama : Boleh menjual wakaf dan atau menariknya kembali.
Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hanifah. Tetapi murid-muridnya mengingkari

13

hal ini, berkata Abu Yusuf : Seandainya hadist di atas sampai kepada Abu
Hanifah, niscaya dia akan mengikutinya dan akan menarik pendapatnya yang
membolehkan penjualan aset wakaf.
Pendapat Kedua : Tidak boleh menjual wakaf sama sekali, walaupun
diganti dengan yang lebih baik atau lebih banyak manfaatnya, selama aset wakaf
tersebut tidak terputus manfaatnya. Ini adalah pendapat Imam Malik dan SyafiI,
dan riwayat dari Imam Ahmad.
Adapun dalil pendapat ini sebagai berikut :

Dalil Pertama : Hadist Umar di atas yang menyebutkan : Wakaf tersebut


tidak boleh dijual , kalimat ini bersifat umum, dan tidak ada
pengecualian, sehingga tetap haram menjual benda wakaf dan ditukar
dengan yang lain.

Dalil Kedua : Jika dibolehkan untuk ditukar dengan yang lain, hal itu akan
menimbulkan kerusakan dimana-mana, karena setiap Nadhir wakaf,
dengan mudahnya menjual benda wakaf dan menukarnya dengan yang
lain, yang menurutnya lebih baik. Jika ini terjadi, maka akan sulit
mengontrolnya, maka hal ini dilarang untuk mencegah terjadinya
kerusakan tersebut.

Dalil ketiga : Hal ini seperti apa yang difatwakan oleh Imam Malik, ketika
Khalifah Harun Rasyid memintanya izin untuk membongkar Kabah dan
dikembalikan kepada pondasi yang pernah dibangun Nabi Ibrahim, maka
Imam Malik melarangnya dan mengatakan : Jangan sampai Kabah
engkau jadikan sebagai permainan para raja. . Padahal tujuan Khalifah
Harun Rasyid adalah kebaikan.

Tetapi dalam madzhab Maliki sendiri dibolehkan menjual tanah atau rumah wakaf
jika terkena pelebaran masjid, jalan atau kuburan umum, sebagaimana disebutkan
dalam buku Hasyiat ad-Dasyuqi.

14

Pendapat Ketiga : Boleh menjual wakaf jika manfaatnya hilang, atau


wakaf tidak berfungsi lagi, seperti masjid yang roboh, atau masyakat sekitar
masjid tersebut pindah tempat, sehingga tidak ada yang memanfaatkan masjid
tersebut . Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam riwayat lain.
Adapun dalilnya sebagai berikut :

Dalil Pertama : Atsar Umar bin Khattab ketika sampai kepadanya berita
bahwa Baitul Maal di Kufah telah rusak, maka beliau memerintahkan Saad
bin Abi Waqqas gubernur Kufah untuk memindahkan masjid yang berada
di Tamarin, dan memindahkan Baitul Maal di depan masjid.

Peristiwa ini diketahui oleh para sahabat, dan tidak ada satupun dari mereka yang
menolaknya, hal ini menunjukkan adanya kesepakatan mereka.

Dalil Kedua : Bahwa Syariah Islam selalu memperhatikan maslahat dan


menghilangkan mafsadah. Jika dengan menjual aset wakaf dan
menggantikan dengan lainnya membawa masalahat yang lebih banyak dan
mengurangi kerusakan yang ada, maka hal itu dibolehkan karena sesuai
dengan ruh Syariah Islam.
Berkata Ibnu Taimiyah : Jika kebutuhan mendesak, maka wakaf tersebut
wajib diganti dengan yang sama, jika tidak ada kebutuhan mendesak,
dibolehkan menggantikannya dengan yang lebih baik, hal itu karena ada
maslahat yang hendak dicapai.
Berkata Ibnu Uqail : Wakaf itu sifatnya langgeng, jika tidak bisa
melanggengkannya secara khusus ( karena rusak dan yang lainnya ), maka
paling tidak kita menjaga maksud ( dari wakaf itu sendiri ), yaitu
pemanfaatan yang terus menerus dengan barang lain, yaitu dengan cara
diganti, karena kalau tetap mempertahankan aset wakaf yang sudah tidak
berfungsi lagi, justru malah tidak sesuai dengan tujuan ( wakaf) itu sendiri

15

Dalil Ketiga : Meng-qiyaskan kepada hadist yang membolehkan seseorang


merubah nadzarnya kepada nadzar yang lebih baik, sebagaimana dalam
hadist Jabir :

!
: ,

: ,
: ,


, ,)
Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa ada seseorang berkata pada waktu
penaklukan kota Mekkah: Wahai Rasulullah, aku telah bernadzar bila
Allah menaklukan kota Mekkah kepada baginda, aku akan sholat di Baitul
Maqdis. Beliau bersabda: "Sholatlah disini." Orang tersebut bertanya lagi
dan beliau bersabda: "Sholatlah disini." Orang itu masih bertanya lagi,
maka beliau bersabda: "Kalau begitu, terserah engkau." (HR Ahmad dan
Abu Daud, dan dishahihkan oleh Hakim)
Jika nadzar saja bisa dirubah dengan yang lebih baik, begitu juga wakaf,

boleh dirubah dengan yang lebih baik.


Pendapat ketiga ini lebih kuat, karena sesuai dengan tujuan wakaf itu
sendiri yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin. Untuk menghindari adanya
penyelewengan, ketika menjual dan menggantikan dengan yang lebih baik, harus
di bawah pengawasan pemerintah atau lembaga sosial yang dapat dipercaya.
Akan tetapi terlepas dari berbagai macam pendapat diatas apabila ditinjau
dari ranah hukum Bahwa pada dasarnya tanah yang sudah berstatus wakaf secara
hukum sudah tidak dapat diperjual-belikan kembali, oleh karena tanah tersebut
dipergunakan untuk kepentingan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah. Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf
melarang seseorang yang melakukan transaksi jual beli tanah wakaf dan perbuatan
tersebut termasuk sebagai suatu tindak pidana wakaf.7

Direktorat Pemberdayan Wakaf. 2007. Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia. Depag
RI.

16

Sedangkan pendapat dari Para ulama mutaakhirin (baru-baru ini)


membolehkan menjual barang-barang wakaf yang diperuntukkan bagi masjid
dengan syarat yang ketat bahwa alat-alat masjid yang dimaksud sudah rusak dan
tidak patut dipakai lagi. Artinya, boleh dijual dengan catatan kemaslahatannya
hanya bisa didapat dengan cara dijual, daripada barang tersebut dibakar sia-sia.
Keterangan dalam kitab Ianatut Thalibin III/18 berikut ini:
Diperbolehkan menjual tikar (alas) wakaf untuk masjid yang sudah rusak,
dengan hilangnya keindahan dan manfaatnya, sedangkan kemaslahatannya hanya
ada pada penjualannya. Demikian halnya dengan menjual kerangka atap masjid
yang telah patah-patah Dalam at-Tuhfah disebutkan, kebolehan penjualan
tersebut agar tidak tersia-siakan karena "hasil yang sedikit dari nilai penjualan
yang kembali kepada barang wakaf itu lebih baik dari pada penyia-syiaannya"
Dicontohkan, jika atap-atap patah itu memungkinkan untuk dimanfaatkan
seperti dibuat papan maka sama sekali tidak boleh dijual. Hakim atau pengelola
masjid harus berijtihad agar bisa memperoleh kesimpulan yang lebih dekat kepada
tujuan dari orang yang mewakafkannya. Imam Subki berpendapat, kalau mungkin
dipakai untuk peralatan bangunan, maka jelas dilarang untuk dijual.
Sementara itu sebagian ulama yang tidak membolehkan penjualan alas
atau atap masjid yang sudah rusak tersebut adalah demi melanggengkan substansi
barang wakaf. Bahwa tidak boleh menjual sesuatu yang telah diwakafkan
walaupun

sudah

menghibahkannya.

rusak
Juga

sebagaimana
dilarang

dilarang

mengubah

posisi

untuk
dan

menjual

dan

peruntukannya.

Dikhawatirkan perubahan bentuk dan peruntukan tersebut di atas dapat


menyebabkan keterputusan wakaf.
Ditambahkan bahwa daripada membangun dengan bahan-bahan yang
baru lebih baik memakai bahan-bahan (bekas bangunan)lama yang sekiranya telah
ditetapkan bahwa barang tersebut memang tidak dibutuhkan lagi, dan jangan
menjualnya.8
8

Keputusan Konferensi besar Pengurus Syuriah Nahdlatul Ulama ke-2 di Jakarta pada tanggal 1-

17

BAB III
PENUTUP
Wakaf merupakan salah satu ibadah sunah bagi ummat Islam dalam upaya
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tujuan mulia dalam beribadah bukanlah hal
3 Jumadil Ula 1381 H / 11-13 Oktober 1961 M.

18

yang mudah untuk diterapkan sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Terkadang
pada awalnya wakif berniat ikhlas untuk berwakaf namun seiring perkembangan
waktu niat yang mulia itu bergeser menjadi tidak ikhlas, akhirnya harta wakaf
yang telah diserahkan menjadi milik ummat Islam seolah-olah menjadi milik
pribadi dengan ikut serta mengatur dan menentukan kebijakan dalam badan
wakaf, akibatnya wakaf tidak berjalan sebagai mana mestinya.
Hukum Wakaf adalah Sunnah , adapun Rukun-rukun wakaf diantaranya
yaitu :
2; Orang yang mewakafkan (wakif)
Para ulama mazhab sepakat bahwa syarat bagi sahnya melakukan wakaf
yaitu sehat akalnya. Selain itu juga sudah baligh.
2.

Pihak yang menerima wakaf (maukuf lahu)


Orang yang menerima wakaf ialah orang yang berhak memelihara barang

yang diwakafkan dan memanfaatkannya. Orang-orang yang menerima wakaf


diantaranya :
1. Hendaknya orang yang diwakafi tersebut ada ketika wakaf terjadi.
2. Hendaknya orang

yang

menerima wakaf

itu

mempunyai

kelayakan untuk memiliki.


3.
3.

Hendaknya tidak digunakan untuk maksiat kepada Allah SWT.

Barang yang diwakafkan (maukuf).

Adapun hukumnya melaksanakan jual beli wakaf ada beberapa pendapat Ulama,

Pendapat Pertama : Membolehkan. Boleh menjual wakaf dan atau menariknya


kembali. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hanifah.

Pendapat Kedua : Tidak boleh menjual wakaf sama sekali, walaupun


diganti dengan yang lebih baik atau lebih banyak manfaatnya, selama aset
wakaf tersebut tidak terputus manfaatnya. Ini adalah pendapat Imam Malik

dan SyafiI,
Pendapat Ketiga : Boleh menjual wakaf jika manfaatnya hilang, atau
wakaf tidak berfungsi lagi, seperti masjid yang roboh, atau masyakat
sekitar masjid tersebut pindah tempat, sehingga tidak ada yang

19

memanfaatkan masjid tersebut . Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam


riwayat lain
DAFTAR PUSTAKA

Aulia, Redaksi Tim. 2008. Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan,


Kewarisan dan Perwakafan), Bandung: Nuansa Aulia.

Direktorat Pemberdayan Wakaf. 2007. Strategi Pengembangan Wakaf


Tunai di Indonesia. Depag RI.

H.A Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqih; kaidah-kaidah Hukum Islam dalam


Menyelesaikan Masalah-masalah Praktis (pustaka Al-furqon, 2009)

Hazim Abu Mubarok , Fiqh Idola Terjemah Fathul Qorib Karya Syekh
Muhammad bin Qasim Al Ghazzi (Mukjizat : 2011 )

Keputusan Konferensi besar Pengurus Syuriah Nahdlatul Ulama ke-2 di


Jakarta pada tanggal 1-3 Jumadil Ula 1381 H / 11-13 Oktober 1961 M.

Sabiq Ahmad bin latif abu yusuf,kaedah-kaedah praktis Memahami Fiqih


islami (pustaka Al-furqon, 2009)

Shalih Muhamad al Utsaimin, Buku Panduan Wakaf,Hibah dan Wasiat.


(Pustaka Imam Assyafii : 2010 )

20

Anda mungkin juga menyukai