Anda di halaman 1dari 6

TERMS OF REFERENCE (TOR)

Apa Kabar Industri Keuangan Syariah Hari Ini ?


Saat ini keuangan syariah telah mendunia. Ia bukan barang asing lagi, kini
telah menjamur, tumbuh dan berkembang dengan pesat hampir di setiap negara, baik
di negara Muslim maupun non-Muslim. Di Indonesia, meskipun terlambat
dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia dan negara lainnya di Timur
Tengah, keuangan syariah telah berkembang dengan pesat. Dalam catatan sejarah, dari
tahun 1991 sampai dengan 2015, telah banyak berdiri berbagai lembaga keuangan
syariah dan dikeluarkannya kebijakan ataupun peraturan yang mendukungnya.
Sebagai contoh, pada tahun 1991, Bank Muamalat Indonesia, Bank Islam pertama,
didirikan. Lalu diikuti dengan berdirinya lembaga keuangan syariah lainnya seperti
asuransi syariah (1994), reksadana syariah oleh PT Danareksa Investment
Management (1997), diperkenalkannya Pasar Uang Antar Syariah dan Jakarta Islamic
Index (2000), ReIndo Syariah Retakaful syariah pertama (2004), MOU antara
BAPEPAM-LK dan DSN-MUI dalam membuat peraturan Pasar Modal Syariah
(2003),

Amanah

Finance,

lembaga

keuangan

nonbank

pertama

(2005),

dikeluarkannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan UU No. 19


Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (2008), dsb.
Dalam sepuluh tahun terakhir, industri keuangan syariah di Indonesia, yang
didominasi oleh perbankan syariah, mengalami pertumbuhan signifikan dengan
kecepatan rata-rata 30-40 persen, kecuali dua tahun terakhir yang mengalami
perlambatan pertumbuhan disebabkan kondisi ekonomi yang tidak stabil. Namun
sayangnya, apabila dilihat rata-rata pangsa pasar keuangan syariah masih belum
menggembirakan karena masih di bawah lima persen. Hal ini mestinya menjadi
pertanyaan besar dan tantangan tersendiri karena tidak berbanding lurus dengan
potensi besar yang dimiliki. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di
dunia, mestinya Indonesia bisa menjadi pemain utama (key player) dalam keuangan
syariah. Keuangan syariah bisa tumbuh besar dan mendunia karena masih banyak
potensi yang belum tersentuh (untapped resources). Berkembangnya keuangan
syariah juga akan memberikan kontribusi positif dalam memperkuat perekonomian
negara.

Pada 11 Maret 2016, Islamic Research and Training Institute-Islamic


Development Bank (IRTI-IDB), Thomson Reutures, dan General Council for Islamic
Banks and Financial Institutions (CIBAFI) meluncurkan Islamic Finance Report
Country Report for Indonesia dengan thema Prospect for Exponential Growth.
Report ini meng-highlight bagaimana Indonesia, sebagai negara besar dengan
mayoritas Muslim hampir 95% dari 220 juta total penduduk, memiliki sumber daya
alam yang melimpah dan lokasi geograpis yang strategis, menawarkan potensi besar
dalam pertumbuhan ekonomi dan berbagai peluang bagi industri keuangan syariah.
Berbeda dengan negara-negara lain, industri keuangan syariah di Indonesia sebagian
besar dibangun atas inisiatif masyarakat (community based initiatives). Dengan kata
lain, inisiasi pertumbuhan keuangan syariah di Indonesia dilakukan melalui bottomup approach bukan top-down approach. Keinginan tersebut muncul dari masyarakat
lalu diakomodasi oleh pemerintah, bukan sebaliknya. Namun, setidak-tidaknya hal
tersebut membawa kesan positif dengan memunculkan berbagai pengembangan fitur
unik seperti kehadiran BPR syariah, sukuk ritel, dana haji dan berbagai inisiatif
keuangan sosial yang inovatif lainnya.
Laporan berseri yang menyajikan kondisi dan prospek keuangan syariah di
negara-negara Muslim. IFCR Indonesia adalah seri ketujuh. Seri pertama adalah
Tunisia (2013), kedua Turki (2014), ketiga Arab Saudi (2014), keempat Malaysia
(2015), kelima Oman (2015), dan keenam adalah Sudan (2016). Hasil riset IRTI yang
bekerja sama dengan The General Council for Islamic Banks and Financial
Institutions (Cibafi) ini mengulas lima hal terkait peluang dan tantangan industri
keuangan syariah di Indonesia.
Pertama, perkembangan industri keuangan syariah. Perkembangan keuangan
syariah Indonesia bisa dibilang lambat dibandingkan negara tetangga. Meskipun
pertumbuhan keuangan syariah cukup tinggi, mencapai 139 persen year on year (yoy)
sejak 2010 dibandingkan konvensional yang hanya 42 persen sejak 2010, setelah lebih
dari dua dekade kontribusi keuangan syariah tidak lebih dari lima persen. Share bank
syariah masih berada pada kisaran 4,8 persen dari total industri perbankan, reksa dana
syariah juga masih 4,5 persen. Sukuk sebagai salah satu alternatif investasi juga masih
3,2 persen. Sedangkan, industri keuangan non-bank (IKNB) hanya berkontribusi 3,1

persen. Perbankan syariah berkontribusi terbesar untuk keuangan syariah (50 persen),
diikuti oleh sukuk 44 persen. Asuransi syariah dan reksa dana hanya 65 persen.
Kedua, regulasi dan infrastruktur pasar. Sebagaimana pengalaman negara
tetangga, peran regulator dalam meningkatkan pertumbuhan keuangan syariah sangat
penting. Salah satu isu adalah bagaimana membuat regulasi yang efesien dan efektif
untuk mendukung perkembangan ekonomi syariah. Sistem infrastruktur keuangan
syariah kita terdiri dari tiga otoritas, yaitu Bank Indonesia (BI) dalam pengembangan
keuangan syariah fokus pada kebijakan makroprudensial; OJK yang memiliki otoritas
pada kebijakan mikroprudensial; dan Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI yang
menjaga kesyariahan segala kegiatan transaksi keuangan syariah. Ketiga otoritas
inilah yang menggawangi keberlanjutan dan kemapanan keuangan syariah di
Indonesia. Selain ketiganya, ada Badan Zakat Nasional (Baznas) dan Badan Wakaf
Indonesia (BWI) yang juga punya peran dalam membentuk infrastruktur pasar
keuangan syariah lebih dinamis dan humanis.
Ketiga, peluang investasi sektor ritel. Dari hasil penelitian tersebut,
pembiayaan syariah masih dikuasai dua bank besar, yaitu Bank Muamalat dan BSM
sebesar 68 persen, sisanya dibagi-bagi antarbank syariah lainnya. Begitu pula
pembiayaan ritel syariah juga hanya dikuasai lima bank (63 persen) sehingga
pembiayaan ritel tidak begitu kompetitif. Maka wajar jika harga pembiayaan menjadi
mahal. Tidak jauh beda dengan bank syariah, general asuransi syariah 65 persen
pangsa pasar juga dikuasai hanya lima perusahaan. Bahkan, untuk asuransi jiwa
syariah 82 persen dikuasai lima perusahaan. Untuk pengguna asuransi terdapat kurang
lebih 59 persen yang tidak memakai asuransi syariah. Artinya, masih sangat besar
potensi nasabah asuransi syariah ke depannya. Dari sisi pemahaman konsumen
terhadap keuangan syariah, hanya 13 persen yang mengerti dan paham perbedaan
keuangan syariah dan konvensional, dan 37 persen tahu tapi terbatas. Sebaliknya, ada
sekitar 37,7 persen tidak tahu tapi masih ada keinginan untuk mencari tahu.
Sedangkan, yang tidak tahu tapi ingin tahu sekitar 30 persen. Hal ini menunjukkan
edukasi tentang keuangan syariah sangat minim sekali.
Yang menggembirakan, sukuk ritel yang dikeluarkan pemerintah sejak 2009
sebesar Rp 5,5 triliun naik tajam menjadi kurang lebih Rp 43 triliun pada tahun awal
2016. Isu wealth management terkhusus dalam kaitan dengan manajemen dana haji

menjadi sorotan dalam laporan IFCR ini. Sebagai negara Muslim yang besar, potensi
dana haji juga besar. Tak kalah pentingnya adalah sektor keuangan sosial. Dana zakat,
wakaf, dan sedekah juga punya potensi yang sangat besar jika dikelola dengan baik
dan benar. Dengan adanya regulasi baru pada 2011 terkait zakat, harapannya mampu
mendongkrak pendapatan zakat. Salah satu aturannya adalah pengurangan pajak
pendapatan bagi muzaki yang membayar zakatnya. Selain zakat, wakaf juga tidak
kalah penting dalam perekonomian Indonesia. Berbagai produk yang atraktif, misal
wakaf tunai, telah meningkatkan kesadaran masyarakat mewakafkan hartanya. Dan
yang tak kalah penting dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat bawah adalah
lembaga keuangan mikro syariah atau BMT yang terbukti mampu melewati krisis
finansial.
Terdapat berbagai perkumpulan atau asosiasi yang mendorong anggotanya
berkembang, semisal Pusat Inkubasi Usaha Kecil (Pinbuk), Induk Koperasi Syariah
(Inkopsyah), Micro Finance Indonesia, BMT Center, Pusat Koperasi Syariah
(Puskopsyah), Pusat Nasional Madani (PNM), dan Permodalan BMT ventura.
Keempat, peluang investasi di sektor korporasi. Pembiayaan perbankan syariah di
sektor ini tak jauh beda dengan sektor ritel. Hampir 70 persen masih dikuasai lima
bank besar saja. Dari sisi sektor ekonomi, pembiayaan bank syariah terbesar pada
business services, yaitu hampir sepertiga dari total pembiayaan. Namun, hanya
menyumbangkan 1,57 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Sungguh miris,
sebagai negara agraris dan sepertiganya adalah laut, pembiayaan di sektor pertanian,
perkebunan, perikanan hanya tiga persen. Hal ini menunjukkan, perbankan syariah
masih belum bisa memberi solusi yang dihadapi petani dan nelayan. Kontrak salam
(nol persen) dan istisna (tujuh persen) juga belum maksimal digunakan oleh
perbankan syariah. Adapun sukuk korporasi hanya seperempat dari sukuk negara.
Berdasarkan survei 2014, sukuk korporasi Indonesia (176 miliar dolar AS) berada di
peringkat tujuh, di bawah Malaysia di posisi pertama (13.672 miliar dolar), bahkan
masih kalah dengan Singapura (563 miliar dolar).
Kelima, dampak ekonomi Islam pada investasi. Potensi industri halal sangat
besar dan menggiurkan. Berdasarkan Global Islamic Economic Indicator (GIEI)
2015-2016 yang dirilis Thomson Reuters, Indonesia menempati peringkat ke-10 dari
70 negara Muslim. Perinciannya, industri keuangan syariah menempati ranking

kesembilan, disusul industri makanan halal pada ranking ke-13. Halal tourism berada
pada posisi ke-13, fashion/pakaian di posisi ke-25. Selanjutnya, media/rekreasi di
posisi 48, dan terkait kosmetik dan farmasi di posisi keenam.
Dari data ini, terlihat masih banyak pekerjaan rumah untuk meningkatkan
posisi Indonesia supaya lebih baik. Pemerintah harus mulai sadar bahwa industri
syariah memerlukan grand design dan kebijakan yang mendukung perkembangan
ekonomi syariah, khususnya keuangan syariah.
RUMUSAN MASALAH:
1. Potensi Industri Keuangan Syariah di Indonesia dan Sulawesi Selatan ?
2. Analisis SWOT Industri Keuangan Syariah di Indonesia dan Sulawesi Selatan ?
3. Perkembangan Industri Keuangan Syariah di Indonesia dan Sulawesi Selatan ?
TUJUAN:
1. FGD Ini Bertujuan Untuk Menjelaskan Kondisi Industri Keuangan Potensi Yang
Dimiliki Industry Keuangan Syariah
2. FGD Ini Bertujuan Untuk Menganalisis SWOT Industri Keuangan
3. FGD Ini Bertujuan Untuk Menguraikan Dan Menjelaskan Perkembangan Industri
Keuangan Syariah
WAKTU DAN TEMPAT:
1. Hari/Tanggal : Ahad, 27 November 2016
2. Waktu

: Pukul 09.00-16.00 WITA

3. Tempat: STAI Al Azhar

RUNDOWN ACARA
FGD PART 1 WITH ONE DAY CLOSER QUR'AN
FoSSEI REGIONAL SULAWESI SELATAN
HARI / TGL

AHAD,27 NOVEMBER
2016

WAKTU
09.00 10.00
10.00 10.15
10.15
-12.15
10.15
-10.30
10.30 12.00
12.00 12.15
12.15
-13.15
13.15 14.15
14.15 15.00
15.00 15.30
15.30 15.15
15.15
-16.00

KEGIATAN
Open register
Pembukaan
Focus Group Discussion
Pengantar FGD
Diskusi (FGD)
Penutup /Kesimpulan FGD
Ishoma
Apa kabar KSEI ? (Update
kondisi KSEI)
One Day Closer Qur'an
Isho
Sosialisasi SOP "Success
Together"
Penutup

Anda mungkin juga menyukai