Fenomena pergeseran bahasa di Sulawesi Selatan sudah sampai pada tarap yang
mengkhawatirkan.
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan laju pergeseran bahasa-bahasa
daerah di Sulawesi Selatan terutama pada empat wilayah pendukung bahasa-bahasa daerah di
Sulawesi Selatan, yaitu Bugis, Makassar, Toraja, dan Enrekang. Penelitian ini sifatnya survai
lapangan. Berdasarkan sifat penelitian tersebut, cara yang paling cocok dipakai untuk mengevaluasi
pergeseran bahasa adalah survai sosiolinguistik dengan menggunakan kuesioner, wawancara dan
observasi langsung pemakaian bahasa di wilayah sasaran. Untuk mengukur persentase tingkat
pergeseran pada setiap wilayah, analisis data difokuskan pada empat situasi utama yang merupakan
ranah pemakaian bahasa daerah, yaitu (1) situasi suami istri berbicara di rumah terdapat anak kecil
yang berumur 2-10 tahun, (2) Anak berbicara kepada orang tua di rumah, (3) anak bermain di sekitar
rumah, dan yang ke (4) suami-istri berbicara di rumah tidak ada orang lain. Sampel ini terdiri atas 400
responden yang mewakili empat wilayah dan setiap wilayah dipilih 100 responden.
Hasil penelitian menunjukkan bahhwa telah terjadi pergeseran bahasa-bahasa daerah di empat
wilayah pemakaian bahasa terhadap empat kelompok bahasa daerah besar di Sulawesi Selatan
(Bugis, Makassar, Toraja, Enrekang) dan bervariasi berdasarkan situasi perdesaan dan perkotaan.
Rata-rata pergeseran yang terjadi pada wilayah perkotaan mencapai 52,20% sementara pada
wilayah perdesaan rata-rata 19,15%. Berdasarkan tingkat persentase tersebut dapat disimpulkan
bahwa bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan sudah masuk dalam kategori tidak aman
(endangered language). Oleh karena itu, sudah perlu ada usaha untuk menekan laju pergeseran
tersebut agar bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan tetap lestari.
PENDAHULUAN
Masalah yang dihadapi bahasa daerah saat ini adalah kedudukan dan fungsinya tidak lagi sesuai dengan
kedudukan dan fungsi yang diberikan kepadanya. Bahasa daerah tidak lagi mendapatkan tempat sebagai
lambang kebanggaan daerah, tidak lagi dijadikan sebagai identitas yang membanggakan, begitu juga fungsinya
tidak lagi dijadikan bahasa komunikasi utama dalam kehidupan keluarga dan masyarakat pendukungnya. Selain
itu, fungsinya juga sudah bergeser, yaitu tidak lagi digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah dasar sebagai
bahasa pengantar sampai kelas tiga. Dengan memudarnya kedudukan dan fungsi bahasa daerah itu
menyebabkan timbulnya keperihatinan yang mendalam terhadap ancaman kepunahan bahasa-bahasa daerah itu.
Masalah kepunahan bahasa mulai menarik perhatian banyak kalangan, bukan hanya dari kalangan ahli
bahasa, melainkan juga oleh masyarakat umum setelah Unesco (Organisasi PBB untuk pendidikan, Ilmu
Pengatahuan, dan Kebudayaan) menetapkan 21 Februari sebagai Bahasa Ibu Internasional. Penetapan bahasa
ibu itu didasarkan atas kenyataan bahwa sudah banyak bahasa ibu/bahasa daerah yang sudah mengalami
kepunahan. Hal yang paling mengejutkan ketika terungkap data bahwa 50% dari 6700 bahasa di dunia sudah
mengalami kepunahan dalam satu abad terakhir. Anak-anak muda atau generasi muda sudah meninggalkan
bahasa ibunya/bahasa daerahnya. Hal ini diakibatkan oleh pengaruh globalisasi yang sangat kuat (Kompas 25
Februari 2008).
Di Sulawesi Selatan saat ini terdapat sejumlah bahasa daerah yang didukung oleh penutur yang cukup
besar, seperti Bugis, Makassar, Toraja, dan Massenrengpulu. Selain keempat kelompok bahasa ini, di Sulawesi
Selatan juga terdapat sejumlah bahasa daerah yang digunakan termasuk bahasa Jawa, bahasa Bali, bahasa
Lombok, dll. terutama di daerah-daerah transmigran. Meskipun keempat kelompok bahasa daerah di Sulsel itu
memiliki pendukung yang cukup besar, fakta menunjukkan bahwa terjadi penurunan pemilihan dan penggunaan
bahasa daerah itu sebagai bahasa komunikasi utama bagi pendukungnya. Hasil Penelitian Amir (2009) di
Kabuaten Pangkep menunjukkan bahwa persentase pemilihan bahasa masyarakat Pangkerp berdasarkan
kelompok usia didominasi oleh pemilihan dan penggunaan bahasa Indonesia. Temuan ini menjadi menarik
karena pada setiap kelompok usia terhadap responden yang dwibahasa/multibahasa, pemilihan bahasa Indonesia
mengungguli bahasa Bugis dan bahasa Makassar. Padahal penduduuk Kabupaten Pangkep adalah Bugis dan
Makassar. Berdasarkan persentasenya, anak-anbak yang memilih bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dalam
berbagai ranah mencapai 79%, dibandingkan dengan bahasa Bugis yang hanya berkisar 13,8% sementara
bahasa Makassar hanya 7,1%. Ini menandakan bahwa eksistensi bahasa daerah sebagai bahasa ibu/identitas
etnis orang Bugis atau Makassar diperkirakan akan hilang atau punah dalam beberapa dekade.
Kemudian, penelitian pergeseran atau pemertahanan bahasa pada kelompok bahasa Toraja dan
Massenrengpulu setahu peneliti belum pernah dilakukan. Walaupun, belum ada penelitian tentang poergeseran
bahasa di kedua wilayah itu, berdasarkan informasi dan hasil pengamatan selintas keadaannya tidak terlalu jauh
berbeda dengan keadaan pemakaian bahasa Bugis dan Makassar. Kedua kelompok bahasa itu juga diasumsikan
mengalami pergeseran. Hal itulah yang menjadi alasan bahwa penelitian tentang pergeseran bahasa perlu
dilakukan pada kedua kelompok bahasa itu (bahasa Toraja dan Massenrengpulu).
Ilustrasi di atas mengisaratkan kepada seluruh komponen terkait khususnya pemerintah dan peneliti untuk
segera melakukan langkah-langkah strategis yang diawali dengan melakukan kajian-kajian komprehensif seperti
yang diusulkan pada proposal penelitian ini dalam rangka menghindarkan bahasa-bahasa daerah di Sulawesi
Selatan dari ancaman kepunahan.
METODE
Penelitian ini sifatnya survai lapangan. Penelitian survai menyangkut pengujian keberadaan hubungan
antara berbagai karakteristik yang ada di masyarakat, baik yang berkaitan dengan demografis, kondisi-kondisi
sosial, kegiatan-kegiatan sosial maupun pendapat atau sikap sekelompok individu tentang sesuatu. Berdasarkan
sifat penelitian Survai trersebut, cara yang paling cocok dipakai untuk mengevaluasi pergeseran bahasa menurut
Anderson (2010), yaitu dengan melaksanakan survai soosiolinguistik dengan memakai kuesioner, melakukan
wawancara, dan mengobservasi langsung pemakaian bahasa di daderah atau wilayah sasaran. Informasi
berbagai bahasa yang diketahui, pemakaian tiap-tiap bahasa di berbagai situasi kehidupan, sikap terhadap
bahasa, dan kelancaran tiap-tiap penutur semuanya dikumpulkan.
Populasi penelitian adalah keseluruhan penutur dari empat kelompok bahasa-bahasa daerah di Sulawesi
Selatan yang meliputi penutur bahasa Bugis, Makassar, Toraja, dan Massenrengpulu. Karena besar luasnya
populasi yang ada, akan diplih sampel yang dipandang refresentatif dengan teknik block sampling. Setiap
wilayah akan diwakili 100 responden yang mewakili wilayah desa dan kota. Oleh karena itu, dari empat
wilayah akan diperoleh sampel/responden sebanyak 400 orang responden. Selanjutnya, teknik pengumpulan
data me;liputi kuesioner, wawancara, dan observasi langsung. Adapun analisis data dilakukan dengan teknik
statistik desktif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Responden
Wilayah penelitian ini meliputi empat wilayah pemakaian bahasa daerah yang tergolong bahasa-bahasa
daerah mayoritas di Sulawesi Selatan, yaitu bahasa Bugis, Makassar, Toraja, dan Enrekang (Massenrengpulu).
Sesuai dengan cakupan wilayah penelintian ini, responden diplih dari empat wilayah yang meliputi wilayah
pemakaian bahasa Bugis, Makassar, Toraja, dan Enrekang. Untuk setiap kabupaten telah dipilih sebanyak
seratus responden yang masing-masing mewakili wilayah perdesaan dan perkotaan. Dengan demikian, dari
empat wilayah telah diperoleh 399 responden yang dipilih secara blok sampling. Untuk lengkapnya jumlah dan
sebaran responden tersebut dapat dilihat melalui tabel 1 di bawah ini
Wilayah
Bahsa/Kabupaten
Bugis
Makassar
Toraja
Enrekang
Jumlah
Penggunaan
Desa
Kota
50
48
46
50
194
50
50
56
49
205
Hasil yang diperoleh berdasarkan analsis data yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan pergeseran bahasa yang menonjol antara wilayah perdesaan dan perkotaan. Pada wilayah perkotaan
tingkat pergeseran sudah rata-rata berada di atas 50%. Sementara untuk tingkat perdesaan pergeserannnya masih
berada pada angka19%. Berdasarkan tingkat persentase tersebut dapat disimpulkan bahwa pergeseran yang
terjadi pada wilayah perkotaan sudah berada pada taraf yang mengkhawatirkan dan kalau tidak ada langkahlangkah yang pasti tidak menutup kemungkinan bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan khususnya di
wilayah perkotaan tidak digunakan lagi atau hilang/punah. Sementara di perdesaan, situasinya tidak separah
dengan di perkotaan. Akan tetapi, persentase yang hampir rata-rata menyentuh angka 20% untuk sistuasi
perdesaan sudah perlu mendapat perhatian khusus. Angka tersebut akan meningkat terus-menerus sejalan
dengan situasi dan perkembangan masyarakat yang dipengaruhi situasi kehidupan modern yang semakin
mengintervensi ranah-ranah kehidupan masyarakat perdesaan (tradisional).
Dibandingkan dengan perdesaan, keadaan masyarakatnya cenderung homogen sehingga intensitas
komunikasi sesama etnis/kelompok masih intens sehingga dapat menjamin keterpakaian bahasa ibu sebagai
bahasa komunkasi utama. Namun, tidak berati tidak ada hal yang harus dikhawatirkan saat ini, yaitu pengaruh
kehidupan modern dan media terutama media elektronik yang memicu perkembangan gaya hidup modern juga
cepat merambat sampai ke desa-desa. Dengan demikian, kalau isu perkotaan adalah isu pergeseran, isu
perdesaan adalah pemertahanan. Inilah sebenarnya yang perlu dijaga atau diupayakan agar penggunaan bahasa
daerah/ibu di desa-desa tetap kuat karena situasi perdesaan merupakan domain atau ranah utama penggunaan
bahasa daerah/ibu.
Pembahasan hasil penelitian selengkapnya akan dipaparkan berikut ini berdasarkan bahasa dan wilayah
pemakaiannya.
Pereseran Bahasa Bugis
Hasil analisis data pada wilayah penggunaan BB menunjukkan bahwa pada situasi dan wilayah ( SI-K)
telah terjadi pergeseran sebesar 60,7 % sementara pada situasi desa (SI-D) sebesar 35,6%. Selanjutnya, pada
situasi (AO-K) tingkat pergeseran sebesar 51% sementara pada situasi (AO-D) 49%. Menyusul situasi (AB-K)
tingkat pergesrannya mencapai 48% dan pada situasi (AB-D) sebesar 33% dan pada situasi (SITOL-K) tingkat
pergeserannya mencapai 35,60%, sementara pada situasi (SITOL-D) hanya, 19,12%. Berdasarkaran tingkat
pergeseran di atas, dapat diperoleh rata-rata tingkat pergeseran pada stuasi dan wilayah kota terhadap
penggunaan BB mencapai 43,47% dan pada situasi dan wilayah desa mencapai rata-rata 28,59%. Tingkat ratarata pergeseran tersebut sudah berada pada posisi yang tidak aman (endangered language).
Tabel 2. Persentase Penggunaan BB dan BI pada Wilayah Kota dan Desa
BB
BI
SI-K
60,7%
39,3 %
AO-K
49 %
51 %
AB-K
52 %
48 %
SITOL-K
64,4 %
35,6 %
SI-D
71,73 %
28,27 %
AO-D
66 %
34 %
AB-D
67 %
33 %
SITOL-D
80,88 %
19,12 %
Persentase penggunaan BB dan BI pada tabel di atas menunjukkan bahwa tingkat pergeseran penggunaan
BB di wilayah perkotaan menunjukkan angka yang cukup tinggi, yaitu rata-rata 43,47%, sedangakan di
wilayah perdesaan rata-rata 28,70%. Berdasarkan angka persentase tersebut dapat disimpulkan bahwa rata-rata
tingkat pergeseran BB pada wilayah kota dan desa sebesar 36,08%. Keadaan tersebut menunjukkan tingkat
pergesran dengan kategori tidak aman (endangered). Tingkat pergeseran tersebut menunjukkan bahwa BB
bukan lagi bahasa yang berkategori aman (save language).
Untuk lebih lengkapnya angka pergeseran tersebut dapat dilihat pada grafik 1 di bawah ini.
100.00%
80.00%
60.00%
40.00%
BB
20.00%
BI
0.00%
SI-K
45,62
54,38
AO-K
38,8
61,2
AB-K
43,62
56,38
SITOL-K
66,8
33,2
SI-D
67,18
31,35
AO-D
62,60
37,39
AB-D
63,02
36,97
SITOL-D
78,42
21,37
Penggunaan bahasa Indonesia pada wilayah kota dan desa sekaligus menjadi petunjuk atau
indikator terjadinya pergeseran bahasa pada suatu tempat atau wilayah. Hal itu dapat terjadi karena situasi
kebahasaan yang diamati atau diteliti adalah situasi yang seharusnya menggunakan bahasa daerah. Namun,
kenyataannya justru ranah-ranah itu sudah diisi dengan bahasa Indonesia. Situasi seperti itu menjadi bukti
bahwa telah terjadi pergeseran bahasa seperti dapat dilihat pada grafik 2 di bawah ini.
90
80
70
60
50
Bahasa Daerah
40
Bahasa Indonesia
30
20
10
0
SI-K
AO-K
AO-D
AB-D SITOL-D
SI-K
72.71
27,28
AO-K
66,12
33,69
AB-K
66,32
33,67
SITOL-K
81,75
18,30
SI-D
90,60
9,39
AO-D
87,04
12,95
AB-D
88,76
11,23
SITOL-D
96,43
3,56
Tabel 4 menunjukkan bahwa pergeseran bahasa Toraja, baik di desa maupun di kota masih lebih rendah
dibandingkan dengan daerah lain. Khusus di kota, pergeseran belum mencapai angka 50% dibandingkan dengan
pergeseran yang terjadi pada wilayah pemakaian BB dan BM. Dengan kata lain, pemertahanan BT masih relatif
lebih kuat dibandingkan dengan BB, BM, dan BE khusus pada wilayah kota).
Gambaran tentang laju pergeseran bahasa Toraja yang ditunjukkan oleh persentase perbedaan penggunaan
bahasa Indonesia dan bahasa daerah (Toraja) pada empat situasi utama yang diamati seperti tergambar pada
grafik 3 di bawah ini.
120
100
80
Bahasa Daerah
60
Bahasa Indonesia
40
20
0
SI-K
AO-K
AO-D
AB-D SITOL-D
Grafik 3. Tingkat Perbedaan Penggunaan BT dan BI pada Wilayah Kota dan Desa
SI-K
14,63
85,31
AO-K
8,63
91,22
AB-K
13,61
86,2
SITOL-K
48,61
51
SI-D
94,76
5,24
AO-D
95,28
4,72
AB-D
99.06
0,94
SITOL-D
99
1
Untuk melihat perbedaan penggunaan bahasa di kota dan desa pada situasi dan wilayah penggunaan BE
dapat dilihat pada grafik 4 berikut ini.
120
100
80
Bahasa Daerah
60
Bahasa Indonesia
40
20
0
SI-K
AO-K
AO-D
AB-D SITOL-D
Grafik 4. Tingkat Perbedaan Penggunaan BE dan BI pada Wilayah desa dan Kota
Grafik 4 menunjukkan perbedaan yang ekstrim antara kota dan desa. Di desa tampak penggunaan bahasa
daerah yang sangat kuat rata-rata di atas 90%, sementara di kota menunjukkan penggunaan bahasa daerah yang
sangat rendah, kecuali pada situasi SITOL-K yang menghampiri 50%, sementara lainnya berada di bawah 20%.
KESIMPULAN
Penelitian ini sudah berhasil mengungkapkan laju pergeseran bahasa daerah (Bugis) di
Sulawesi Selatan. Hasil analisis data sudah membuktikan bahwa telah terjadi pergeseran bahasa pada
dua wilayah utama yang dijadikan fokus dalam peneltian ini, yaitu wilayah desa dan kota. Pada
keempat wilayah ini terbukti adanya tingakat perbedaan yang sangat signifikan dengan angka
persentase secara umum pada wilayah kota 52% dan desa 19,15%. Meskipun terdapat perbedaan yang
bervariasi antara empat wilayah, secara umum angka tersebut memberikan makna yang sangat
signifikan terhadap persoalan pergeseran bahasa pada suatu temapt atau wilayah. Makna yang
terkandung dalam data tersebut adalah bahwa laju pergeseran bahasa (BB, Bm, BT, dan BE) di Sulsel
sudah waktunya untuk mendapat perhatian khusus. Sebab kalau tidak keadaannya akan menjadi
semakin parah dan akan susah lagi mengatasinya.
Beradasarkan temuan tersebut, langkah-langkah konkret untuk membantu agar bahasa daerah
(BB, BM, BT, dan BE) laju pergeserannya bisa dihambat, beberapa hal yang perlu dilakukan antara
lain:
1. Pemerintah Provinsi dan pemerintah kabupaten perlu menyadari betul bahwa mereka betanggung
jawab atas ancaman punahnya bahasa daerah.
2. Seluruh komponen masyarakat pendukung bahasa bahasa-bahasa daerah tersebut perlu mendukung
pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan untuk tetap berkomitmen memasukkan bahasa daerah
dalam kurikulum sebagai mata pelajaran, apakah mata pelajaran yang berdiri sendiri atau muatan
lokal.
3. Upaya yang dirintis oleh pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk menyediakan tenaga guru
bahasa daerah melalui Program Tunjangan Belajar bagi calon guru yang bersedia menjadi guru
bahasa daerah agar tetap dilanjutkan untuk menjamin kebutuhan terhadap 1000 guru bahasa
daerah di Sulaesi Selatan.
4. Peneliti bahasa terutama peneliti bahasa daerah perlu melakukan kerja sama dengan guru bahasa
untuk meneliti model pembelajaran yang menarik dan berbasis multimedia agar pengajaran BD
tidak membosankan.
Daftar Pustaka
Afrinal. 2002. Bahasa Indonesia Menggeser Fungsi Bahamas Daerah di Tingkat Pendidikan Dasar Makalah
dalam MLI X, Dempasar.
Alwasilah, A. Chaedar. 2009. Meluruskan Politik Bahasa Bahasa Ibu. diakses pada tanggal 7 Mei 2009.
Anderson, T. David. 2010. Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Moronene.
dalam Seminar Internasional Bahasa-Bahasa Daerah
Makalah
disamapaikan
http://putarbumi.wordpress.
Gunarwan, Asim. 2005. Kasus-Kasus Pergeseran Bahasa Daerah: Akibat Persaingan dengan Bahamas
Indonesia. Makalah dalam Kongres MLI XI, Padang.
Kamaruddin, 1992 Kajian tentang Hubungan antara Kedwibahasaan, Keberaksaraan, dan Sikap Bahasa dengan
Kesadaran Adopsi Inovasi pada Masyarakat Desa di Sulawesi Selatan (disertasi tdk. Diterbitkan) Ujung
Pandang: Universitas Hasanuddin.
Lukman. 2000. Pemertahanan Bahasa Warga Transmigran Jawa di Wonomulyo-Polmas Hubungannya dengan
faktor-Faktor Sosial. Disertasi tdk diterbitkan. Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin.
---------------2007. Kontinuitas Pewarisan Bahasa Daerah Sebagai Strategi Pemertahanan Bahasa dan Sastra
Daerah. Makalah dalam Kongres Bahamas-Bahamas Daerah Sulawesi Selatan I, Makassar.
--------------2010. Revitalisasi Peran dan Fungsi bahasa Ibu dalam menangkal Arus Globalisasi. Makalah
Dalam Seminar Internasional Bahasa-Bahasa Daerah di Sulawesi Tenggara, Buton.
Poerwadi, Petrus. 2008. Penanganan Bahasa Dayak yang Hampir Punah dan Sudah Punah Makalah dalam
Kongres IX Bahamas Indonesia, Jakarta.
Rahim, A. Rahman. 1985. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas
Hasanuddin.
Ridwan, Fauzi. 2009. Bahasa Ibu dalam Arus Globalisasi Diakses pada tanggal 12 Mei 2009.
Taha, Zainuddin. 2008. Gapura Bahasa: Kumpulan Makalah Pilihan tentang Bahasa dan Pengajaran Bahasa.
Makassar: UNM.