Anda di halaman 1dari 30

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III.1 Anatomi, Histologi,dan Fisiologi Kelenjar Tiroid


Untuk mengetahui penyakit dan kelainan tiroid, perlu diingat kembali
tentang anatomi tiroid. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan diingat
kembali sebelum terjadi perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat berlanjut
menjadi suatu penyakit atau kelainan.
III.1.1 Anatomi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid terletak di bagian bawah leher, terdiri dari 2 lobus yang
dihubungkan oleh ismus yang menutupi cincin trakea 2 dan 3. Kadang- kadang
dapat ditemukan bagian ketiga yaitu lobus piramidalis yang letaknya di atas
isthmus agak ke kiri dari garis tengah. Lobus ini merupakan sisa jaringan
embrional tiroid yang masih tertinggal. Setiap lobus tiroid berukuran panjang 2,54 cm, lebar 1,5-2 cm dan tebal 1-1,5 cm. Berat kelenjar tiroid dipengaruhi oleh
berat badan dan asupan yodium. Pada orang dewasa berat normalnya antara 10-20
gram. Seluruh jaringan tiroid dibungkus oleh suatu lapisan yang disebut true
capsule.
Pada sisi posterior melekat erat pada fasia pratrakea dan laring melalui
kapsul fibrosa, sehingga akan ikut bergerak kea rah cranial sewaktu menelan.
Pada sebelah anterior kelenjar tiroid menempel otot pretrakealis (m.
sternotiroid dan m. sternohioid) kanan dan kiri yang bertemu pada midline. Pada
sebelah yang lebih superficial dan sedikit lateral ditutupi oleh fasia kolli profunda
dan superfisialis yang membungkus m. sternokleidomastoideus dan vena jugularis
eksterna. Sisi lateral berbatasan dengan a. karotis komunis, v. jugularis interna,
trunkus simpatikus dan arteri tiroidea inferior. Posterior dari sisi medialnya
terdapat kelenjar paratiroid, n. laringeus rekuren dan esophagus. Esofagus terletak
di belakang trakea dan laring, sedangkan n.laringeus rekuren terletak pada sulkus
trakeoesofagikus.
Vaskularisasi kelenjar tiroid termasuk amat baik. A.tiroidea superior
berasal dari a.karotis kommunis atau a.karotis eksterna, a.tiroidea inferior dari
13

a.subklavia, dan a.tiroidea ima berasal dari a.brakhiosefalik salah sau cabang
arkus aorta. Saraf yang melewati tiroid adalah Nervus Rekurens. Saraf ini terletak
di dorsal tiroid sebelum masuk ke laring.
Aliran darah dalam kelenjar tiroid berkisar 4-6 ml/gram/menit, kira-kira 50
kali lebih banyak dibanding aliran darah di bagian tubuh lainnya. Pada keadaan
hipertiroidisme, aliran darah ini akan meningkat sehingga dengan stetoskop
terdengar bising aliran darah dengan jelas di ujung bawah kelenjar.
Setiap folikel tiroid diselubungi oleh jala-jala kapiler dan limfatik,
sedangkan system venanya berasal dari pleksus parafolikuler yang menyatu di
permukaan membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior.
Secara anatomis dari dua pasang kelenjar paratiroid, sepasang kelenjar
paratiroid menempel di belakang lobus superior tiroid dan sepasang lagi di lobus
medius.
Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan
pleksus trakealis. Selanjutnya dari pleksus ini ke arah nodus pralaring yang tepat
berada di atas ismus menuju ke kelenjar getah bening brakiosefalik dan sebagian
ada yang langsung ke duktus torasikus. Hubungan getah bening ini penting untuk
menduga penyebaran keganasan yang berasal dari kelenjar tiroid.

Gambar 7 Anatomi Kelenjar Tiroid

14

Gambar 8 Vaskularisasi dan Persarafan Kelenjar Tiroid

Gambar 9 Vaskularisasi Kelenjar Tiroid

15

Gambar 10 Anatomi Tiroid Potongan Melintang

III.1.2 Histologi Kelenjar Tiroid


Secara histologi, parenkim kelenjar ini terdiri atas:
1. Folikel-folikel

dengan

epithetlium

simplex

kuboideum

yang

mengelilingi suatu massa koloid. Sel epitel tersebut akan berkembang


menjadi bentuk kolumner katika folikel lebih aktif (seperti
perkembangan otot yang terus dilatih).
2. Cellula perifolliculares (sel C) yang terletak di antara beberapa folikel
yang berjauhan.

Gambar 11 Histologi Kelenjar Tiroid

16

III.1.3 Fisiologi Hormon Tiroid


Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama, yaitu tiroksin (T4).
Bentuk aktif ini adalah triyodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari
konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar
tiroid. Yodida anorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku
hormon tiroid. Zat ini dipekatkan kadarnya menjadi 30-40 kali yang afinitasnya
sangat tinggi di jaringan tiroid. Yodida anorganik mengalami oksidasi menjadi
bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tirosin yang terdapat dalam
tiroglobulin sebagai monoyodotirosin (MIT) atau diyodotirosin (DIT). Senyawa
atau konjugasi DIT dengan MIT atau dengan DIT yang lain akan menghasilkan
T3 atau T4, yang disimpan dalam koloid kelenjar tiroid. Sebagian besar T4
dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap di dalam kelenjar yang kemudian
mengalami deyodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi,
hormon tiroid terikat pada protein, yaitu globulin pengikat tiroid (thyroid binding
globulin,

TBG)

atau

prealbumin

pengikat

tiroksin

(thyroxine

binding

prealbumine, TBPA).
Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh suatu hormon stimulator tiroid
(thyroid stimulating hormone, TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar
hipofisis. Kelenjar hipofisis secara langsung dipengaruhi dan diatur aktivitasnya
oleh kadar hormon tiroid dalam sirkulasi yang bertindak sebagai negative
feedback terhadap lobus anterior hipofisis, dan terhadap sekresi thyrotropine
releasing hormone (TRH) dari hipotalamus.
Pada kelenjar tiroid juga didapatkan sel parafolikuler, yang menghasilkan
kalsitonin. Kalsitonin adalah suatu polipeptida yang turut mengatur metabolisme
kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum, melalui pengaruhnya terhadap
tulang.
Jadi, kesimpulan pembentukan hormon tiroksin melalui beberapa langkah,
yaitu:
1. Iodide Trapping, yaitu pejeratan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.
2. Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Kelenjar tiroid
merupakan satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I hingga

17

mencapai status valensi yang lebih tinggi. Tahap ini melibatkan enzim
peroksidase.
3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan
residu tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula
melibatkan enzim tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase).
4. Perangkaian

iodotironil,

yaitu

perangkaian

dua

(diiodotirosin) menjadi T4 (tiroksin, tetraiodotirosin)

molekul

DIT

atau perangkaian

MIT (monoiodotirosin) dan DIT menjadi T3 (triiodotirosin). reaksi ini


diperkirakan juga dipengaruhi oleh enzim tiroperoksidase.
5. Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone) tetapi
dihambat oleh I, sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan tetap
berada dalam sel folikel.
6. Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam
darah. Proses ini dibantu oleh TSH.
7. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami
deiodinasi, dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim deiodinase
sangat berperan dalam proses ini.
8. Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma dan
kompleks golgi.

18

Gambar 12 Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid

19

III.2 Struma
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh
karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa
gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.
Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid
yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian
posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat
mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara
sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia. Hal tersebut akan berdampak
terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Bila
pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang besar dapat asimetris
atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia.
III.2.1 Epidemiologi Struma
a. Orang
Data rekam medis Divisi Ilmu Bedah RSU Dr. Soetomo tahun 2001-2005
struma nodusa toksik terjadi pada 495 orang diantaranya 60 orang lakilaki (12,12 %) dan 435 orang perempuan (87,8 %) dengan usia terbanyak
yaitu 31-40 tahun 259 orang (52,3 2%), struma multinodusa toksik yang
terjadi pada 1.912 orang diantaranya orang laki-laki (8,9 %) dan 174
perempuan (91,1%) dengan usia yang terbanyak pada usia 31-40 tahun
berjumlah 65 orang (34,03 %).
b. Tempat dan Waktu
Penelitian Ersoy di Jerman pada tahun 2009 dilakukan palpasi atau
pemeriksaan benjolan pada leher dengan meraba leher 1.018 anak
ditemukan 81 anak (8,0%) mengalami struma endemis atau gondok.
Penelitian Tenpeny K.E di Haiti pada tahun 2009 menemukan PR struma
endemis 26,3 % yang dilakukan pemeriksaan pada 1.862 anak usia 6-12
tahun.
Penelitian Arfianty di Kabupaten Madiun tahun 2005 dengan sampel 40
anak yang terdiri dari 20 anak penderita gondok dan 20 anak bukan
penderita gondok menunjukan PR GAKY 31,9 % di Desa Gading

20

(daerah endemik) dan 0,65 % di Desa Mejaya (daerah non endemik).


III.2.2 Klasifikasi Struma
Pembesaran kelenjar tiroid atau struma diklasifikasikan berdasarkan efek
fisiologisnya, klinis, dan perubahan bentuk yang terjadi.
a. Berdasarkan Fisiologisnya
1. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang
disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal
sedangkan kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang
meningkat. Goiter atau struma semacam ini biasanya tidak
menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi
secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea.
2. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar
tiroid sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang.
Kegagalan dari kelenjar untuk mempertahankan kadar plasma yang
cukup dari hormon. Beberapa pasien hipotiroidisme mempunyai
kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai kelenjar tiroid
akibat pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh
antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi. Gejala hipotiroidisme
adalah penambahan berat badan, sensitif terhadap udara dingin,
dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar,
rambut rontok, mensturasi berlebihan, pendengaran terganggu dan
penurunan kemampuan bicara.
3. Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat
didefenisikan sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap
pengaruh metabolik hormon tiroid yang berlebihan. Keadaan ini dapat
timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam darah yang
merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon
yang berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar.

21

Gejala hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu makan


meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, lebIh suka udara dingin,
sesak napas. Selain itu juga terdapat gejala jantung berdebar-debar,
tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot (eksoftalamus), diare,
haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot. Gambar penderita
hipertiroidisme dapat terlihat di bawah ini.
b. Berdasarkan Klinisnya
Secara klinis pemeriksaan klinis struma dapat dibedakan menjadi sebagai
berikut :
1. Struma Toksik, yaitu struma yang menimbulkan gejala klinis pada
tubuh, berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi :
a) Diffusa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid meliputi seluruh
lobus, seperti yang ditemukan pada Graves disease.
b) Nodosa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid hanya mengenai
salah satu lobus, seperti yang ditemukan pada Plummers disease.
2. Struma Nontoksik, yaitu struma yang tidak menimbulkan gejala klinis
pada tubuh, berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi
menjadi :
a) Diffusa, seperti yang ditemukan pada endemik goiter.
b) Nodosa, seperti yang ditemukan pada keganasan tiroid.
Adapun klasifikasi klinisnya adalah sebagai berikut:
a. Grade 0

: tidak teraba struma, atau bila teraba besarnya

normal
b. Grade IA

: teraba struma, tapi tak terlihat

c. Grade IB

: teraba struma, tapi baru dapat dilihat apabila posisi

kepala menengadah
d. Grade II

: struma dapat dilihat dalam posisi biasa

e. Grade III

: struma dapat dilihat dalam posisi biasa dalam jarak

6 meter
f. Grade IV

: struma yang amat besar

22

III.2.3 Patogenesis Struma


Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh :
a. Hiperplasi dan hipertrofi dari kelenjar tiroid
Setiap organ apabila dipacu untuk bekerja lebih berat maka akan
berkompensasi dengan jalan hipertrofi dan hiperplasi. Demikian pula
dengan kelenjat tiroid pada saat masa pertumbuhan atau paa kondisi
memerlukan hormon tiroksin lebih banyak, misal saat pubertas, gravid
dan sembuh dari sakit parah.
1. Non toxic goiter: difus, noduler
2. Toxic

goiter:

noduler

(Parrys

disease),

difus

(Graves

disease)/Morbus Basedow
b. Inflamasi atau infeksi kelenjar tiroid
1. Tiroiditis akut
2. Tiroiditis sub-akut (de Quervain)
3. Tiroiditis kronis (Hashimotos disease dan struma Riedel)
c. Neoplasma
1. Neoplasma jinak (adenoma)
2. Neoplasma

ganas

(adenocarcinoma)

papiliferum,folikularis,

anaplastik
III.3 Struma Difusa Toksik
a. Definisi
Struma difusa toksik dapat kita temukan pada Graves Disease. Penyakit
ini juga biasa disebut Basedow. Trias Basedow meliputi pembesaran
kelenjar tiroid difus, hipertiroidi dan eksoftalmus. Penyakit ini lebih
sering ditemukan pada orang muda dengan gejala seperti berkeringat
berlebihan, tremor tangan, menurunnya toleransi terhafap panas,
penurunan berat badan, ketidakstabilan emosi, gangguan menstruasi
berupa amenorrhea, dan polidefekasi ( sering buang air besar ). Klinis
sering ditemukan adanya pembesaran kelenjar tiroid, kadang terdapat
juga manifestasi pada mata berupa exophthalmus dan miopatia
ekstrabulbi. Walaupun etiologi penyakit Graves tidak diketahui pasti,

23

tampaknya terdapat peran dari suatu antibodi yang dapat ditangkap


reseptor TSH, yang menimbulkan stimulus terhadap peningkatan hormon
tiroid. Penyakit ini juga ditandai dengan peningkatan absorbsi yodium
radiokatif oleh kelenjar tiroid.

Gambar 13 Penderita Graves disease

b. Patofisiologi
Graves Disease merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh
kelainan system imun dalam tubuh, di mana terdapat suatu zat yang
disebut sebagai Thyroid Receptor Antibodies. Zat ini menempati reseptor
TSH di sel-sel tiroid dan menstimulasinya secara berlebiham, sehingga
TSH tidak dapat menempati reseptornya dan kadar hormone tiroid dalam
tubuh menjadi meningkat.
c. Gejala Klinis
Gejala dan tanda yang timbul merupakan manifestasi dari peningkatan
metabolisme di semua sistem tubuh dan organ yang mungkin secara
klinis terlihat jelas. Peningkatan metabolisme menyebabkan peningkatan
kebutuhan kalori, dan seringkali asupan ( intake) kalori tidak mencukupi
kebutuhan sehingga terjadi penurunan berat badan secara drastis.
Peningkatan metabolisme pada sistem kardiovaskuler terlihat dalam
bentuk peningkatan sirkulasi darah, antara lain dengan peningkatan curah
jantung/ cardiac output sampai dua-tiga kali normal, dan juga dalam
keadaan istirahat. Irama nadi meningkat dan tekanan denyut bertambah
sehingga menjadi pulsus celer; penderita akan mengalami takikardia dan

24

palpitasi. Beban pada miokard, dan rangsangan saraf autonom dapat


mengakibatkan kekacauan irama jantung berupa ektrasistol, fibrilasi
atrium, dan fibrilasi ventrikel.
Pada saluran cerna sekresi maupun peristaltik meningkat sehingga sering
timbul polidefekasi dan diare.
Hipermetabolisme

susunan

saraf

biasanya

menyebabkan

tremor,

penderita sulit tidur, sering terbangun di waktu malam. Penderita


mengalami ketidakstabilan emosi, kegelisahan, kekacauan pikiran, dan
ketakutan yang tidak beralasan yang sangat menggangu.
Pada saluran napas, hipermetabolisme menimbulkan dispnea dan
takipnea yang tidak terlalu mengganggu. Kelemahan otot terutama otototot bagian proksimal, biasanya cukup mengganggu dan sering muncul
secara tiba-tiba. Hal ini disebabkan oleh gangguan elektrolit yang dipicu
oleh adanya hipertiroidi tersebut.
Gangguan menstruasi dapat berupa amenorea sekunder atau metrorhagia.
Kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun berupa ikatan antibodi
terhadap reseptor pada jaringan ikat dan otot ekstrabulbi dalam rongga
mata. Jaringan ikat dan jaringan lemaknya menjadi hiperplastik sehingga
bola mata terdorong ke luar dan otot mata terjepit. Akibatnya terjadi
eksoftalmus yang dapat menyebabkan kerusakan bola mata akibat
keratitis. Gangguan gerak otot akan menyebabkan strabismus.

Gambar 14 Skema Patogenesis Graves Disease

25

d. Tatalaksana
Terapi

penyakit

Graves

ditujukan

pada

pengendalian

keadaan

tirotoksisitas/ hipertiroidi dengan pemberian antitiroid, seperti propiltiourasil ( PTU ) atau karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih antara
pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio dengan yodium radiokatif,
atau tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi
dilakukan terutama jika pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan
kelenjar tiroid besar. Pembedahan yang baik biasanya memberikan
kesembuhan yang permanen meskipun kadang dijumpai terjadinya
hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.
III.4 Struma Nodosa Toksik
a. Definisi
Struma nodosa toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu
lobus yang disertai dengan tanda-tanda hipertiroid. Pembesaran noduler
terjadi pada usia dewasa muda sebagai suatu struma yang nontoksik. Bila
tidak diobati, dalam 15-20 tahun dapat menjadi toksik. Pertama kali
dibedakan dari penyakit Graves oleh Plummer, maka disebut juga
Plummers disease.
b. Patofisiologi
Penyakit ini diawali dengan timbulnya pembesaran noduler pada kelenjar
tiroid yang tidak menimbulkan gejala-gejala toksisitas, namun jika tidak
segera diobati, dalam 15-20 tahun dapat menimbulkan hipertiroid.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan dari nontoksik menjadi
toksik antara lain adalah nodul tersebut berubah menjadi otonom sendiri
(berhubungan dengan penyakit autoimun), pemberian hormon tiroid dari
luar, pemberian yodium radioaktif sebagai pengobatan.
c. Gejala Klinis
Saat anamnesis, sulit untuk membedakan antara Graves disease dengan
Plummers

disease

karena

sama-sama

menunjukan

gejala-gejala

hipertiroid. Yang membedakan adalah saat pemeriksaan fisik di mana

26

pada saat palpasi kita dapat merasakan pembesaran yang hanya terjadi
pada salah satu lobus.
d. Tatalaksana
Terapi yang diberikan pada Plummers Disease juga sama dengan
Graves yaitu ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/
hipertiroidi dengan pemberian antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU )
atau karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih antara pengobatan antitiroid jangka panjang, ablasio dengan yodium radioaktif, atau
tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi dilakukan
terutama jika pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan kelenjar
tiroid besar. Pembedahan yang baik biasanya memberikan kesembuhan
yang permanen meskipun kadang dijumpai terjadinya hipotiroidi dan
komplikasi yang minimal.
III.5 Struma Difusa Nontoksik
a. Definisi
Struma endemik adalah penyakit yang ditandai dengan pembesaran
kelenjar tiroid yang terjadi pada suatu populasi, dan diperkirakan
berhubungan dengan defisiensi diet dalam harian. Epidemologi Endemik
goiter diperkirakan terdapat kurang lebih 5% pada populasi anak sekolah
dasar/preadolescent (6-12 tahun), seperti terbukti dari beberapa
penelitian. Goiter endemik terjadi karena defisiensi yodium dalam diet.
Kejadian goiter endemik sering terjadi di derah pegnungan, seperti di
himalaya, alpens, daerah dengan ketersediaan yodium alam dan cakupan
pemberian yodium tambahan belum terlaksana dengan baik
b. Patofisiologi
Umumnya, mekanisme terjadinya goiter disebabkan oleh adanya
defisiensi intake iodin oleh tubuh. Selain itu, goiter juga dapat
disebabkan oleh kelainan sintesis hormon tiroid kongenital ataupun
goitrogen (agen penyebab goiter seperti intake kalsium berlebihan
maupun sayuran familiBrassica). Kurangnya iodin menyebabkan
kurangnya hormon tiroid yang dapat disintesis. Hal ini akan memicu

27

peningkatan pelepasan TSH (thyroid-stimulating hormone) ke dalam


darah sebagai efek kompensatoriknya. Efek tersebut menyebabkan
terjadinya hipertrofi dan hiperplasi dari sel folikuler tiroid, sehingga
terjadi pembesaran tiroid secara makroskopik. Pembesaran ini dapat
menormalkan kerja tubuh, oleh karena pada efek kompensatorik tersebut
kebutuhan hormon tiroid terpenuhi. Akan tetapi, pada beberapa kasus,
seperti defisiensi iodin endemik, pembesaran ini tidak akan dapat
mengompensasi penyakit yang ada. Kondisi itulah yang dikenal dengan
goiter hipotiroid. Derajat pembesaran tiroid mengikuti level dan durasi
defisiensi hormon tiroid yang terjadi pada seseorang.
c. Goiter Difus
Goiter difus adalah bentuk goiter yang membentuk satu buah pembesaran
yang tampak tanpa membentuk nodul. Bentuk ini biasa ditemukan
dengan sifat non-toksik (fungsi tiroid normal), oleh karena itu bentuk ini
disebut juga goiter simpel. Dapat juga disebut sebagai goiter koloid
karena sel folikel yang membesar tesebut umumnya dipenuhi oleh
koloid. Kelainan ini muncul pada goiter endemik dan sporadik.
Goiter endemik muncul di tempat yang tanah, air, maupun suplai
makanannya mengandung sedikit iodin, sehingga terjadi defisiensi iodin
secara meluas di daerah teresebut. Contoh daerahnya adalah daerah
pegunungan Alps, Andes atau Himalaya. Goiter sporadik muncul lebih
jarang dan dapat disebabkan oleh berbagai hal, yaitu konsumsi bahan
yang menghambat sintesis hormon tiroid atau gangguan enzim untuk
sintesis hormon tiroid yang turun secara herediter.
d. Gejala Klinis
Sebagian besar manifestasi klinik berhubungan dengan pembesaran
kelenjar tiroid. Sebagian besar pasien tetap menunjukkan keadaan
eutiroid,

namun

sebagian

lagi

mengalami

keadaaan

hipotiroid.

28

Hipotiroidisme lebih sering terjadi pada anak-anak dengan defek


biosintetik sebagai penyebabnya, termasuk defek pada transfer yodium.

e. Tatalaksana
Tujuan dari pengobatan struma endemik adalah untuk mengecilkan
struma dan mengatasi hipotiroidisme yang mungkin ada, yaitu dengan
pemberian SoL Lugoli selama 4-6 bulan. Bila ada perbaikan, pengobatan
dilanjutkan sampai tahun dan kemudian tapering off dalam 4 minggu.
Bila 6 bulan sesudah pengobatan struma tidak juga mengecil maka
pengobatan medikamentosa tidak berhasil dan harus dilakukan tindakan
operatif.
III.6 Struma Nodosa Nontoksik
a. Definisi
Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara
klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda
hypertiroidisme. Istilah struma nodosa menunjukkan adanya suatu
proses, baik fisiologis maupun patologis yang menyebabkan pembesaran
asimetris dari kelenjar tiroid. Karena tidak disertai tanda-tanda toksisitas
pada tubuh, maka pembesaran asimetris ini disebut sebagai struma
nodosa nontoksik. Kelainan ini sangat sering dijumpai sehari-hari, dan
harus diwaspadai tanda-tanda keganasan yang mungkin ada.
b. Patofisiologi
SNNT dapat juga disebut sebagai goiter sporadis. Jika goiter endemis
terjadi 10% populasi di daerah dengan defisiensi yodium, maka goiter
sporadis terjadi pada seseorang yang tidak tinggal di daerah endemik
beryodium rendah. Penyebabnya sampai sekarang belum diketahui
dengan jelas, bisa terdapat gangguan enzim yang penting dalam sintesis
hormon tiroid atau konsumsi obat-obatan yang mengandung litium,
propiltiourasil, fenilbutazone, atau aminoglutatimid.
c. Gejala Klinis

29

Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan


karena tidak ada hipo- atau hipertiroidisme. Yang penting pada diagnosis
SNNT adalah tidak adanya gejala toksik yang disebabkan oleh perubahan
kadar hormon tiroid, dan pada palpasi dirasakan adanya pembesaran
kelenjar tiroid pada salah satu lobus. Biasanya tiroid mulai membesar
pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.
Karena pertumbuhannya berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar
tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan
struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa keluhan.
Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena
menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan
trakea bila pembesarannya bilateral. Struma nodosa unilateral dapat
menyebabkan pendorongan sampai jauh ke arah kontra lateral.
Pendorongan demikian mungkin tidak mengakibatkan gangguan
pernafasan.

Penyempitan

yang

berarti

menyebabkan

gangguan

pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspiratoar.


Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea naik
untuk menutup laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena terfiksasi
padatrakea.
d. Tatalaksana
Tindakan operatif masih merupakan pilihan utama pada SNNT. Macammacam teknik operasinya antara lain :
1. Lobektomi, yaitu mengangkat satu lobus, bila subtotal maka kelenjar
disisakan seberat 3 gram
2. Isthmolobektomi, yaitu pengangkatan salah satu lobus diikuti oleh
isthmus
3. Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar tiroid
4. Tiroidektomi subtotal bilateral, yaitu pengangkatan sebagian lobus
kanan dan sebagian kiri, sisa jaringan 2-4 gram di bagian posterior
dilakukan untuk mencegah kerusakan pada kelenjar paratiroid atau N.
Rekurens Laryngeus.

30

III.7 Karsinoma Tiroid


a. Definisi
Karsinoma tiroid adalah suatu keganasan (pertumbuhan tidak terkontrol
dari sel) yang terjadi pada kelenjar tiroid. Kanker tiroid adalah sutu
keganasan pada tiroid yang memiliki 4 tipe yaitu: papiler, folikuler,
anaplastik dan meduller. Kanker tiroid jarang menyebabkan pembesaran
kelenjar, lebih sering menyebabkan pertumbuhan kecil (nodul) dalam
kelenjar. Sebagian besar nodul tiroid bersifat jinak, biasanya kanker tiroid
bisa disembuhkan
Kanker tiroid sering kali membatasi kemampuan menyerap yodium dan
membatasi kemampuan menghasilkan hormon tiroid, tetapi kadang
menghasilkan

cukup

banyak

hormon

tiroid

sehingga

terjadi

hipertiroidisme.
b. Klasifikasi karsinoma tiroid
1. Karsinoma papiler, karsinoma ini berasal dari sel-sel tiroid dan
merupakan jenis paling umum dari karsinoma tiroid. Lebih sering
terdapat pada anak dan dewasa muda dan lebih banyak pada wanita.
Terkena radiasi semasa kanak ikut menjadi sebab keganasan ini.
Pertama kali muncul berupa benjolan teraba pada kelenjar tiroid atau
sebagai pembesaran kelenjar limfe didaerah leher. Metastasis dapat
terjadi melalui limfe ke daerah lain pada tiroid atau, pada beberapa
kasus, ke paru.
2. Karsinoma folikuler, karsinoma ini berasal dari sel-sel folikel dan
merupakan

20-25

dari

karsinoma

tiroid. Karsinoma

folikuler terutama menyerang pada usia di atas 40 tahun. Karsinoma


folikuler juga menyerang wanita 2 sampai 3 kali lebih sering daripada
pria. Pemaparan terhadap sinar X semasa kanak-kanak meningkatkan
resiko jenis keganasan ini. Jenis ini lebih invasif daripada jenis
papiler.
3. Karsinoma anaplastik, karsinoma ini sangat ganas dan merupakan
10% dari kanker tiroid. Sedikit lebih sering pada wanita daripada pria.
Metastasis terjadi secara cepat, mula-mula disekitarnya dan kemudian

31

keseluruh bagian tubuh. Pada mulanya orang yang hanya mengeluh


tentang adanya tumor didaerah tiroid. Dengan menyusupnya kanker
ini disekitar, timbul suara serak, stridor, dan sukar menelan. Harapan
hidup setelah ditegakkan diagnosis, biasanya hanya beberapa bulan.
4. Karsinoma parafolikular, karsinoma parafolikular atau meduller
umumnya lebih banyak pada wanita daripada pria dan paling sering di
atas 50 tahun. Karsinoma ini dengan cepat bermetastasis, sering
ketempat jauh seperti paru, tulang, dan hati. Ciri khasnya adalah
kemampuannya mensekresi kalsitonin karena asalnya. Karsinoma ini
sering dikatakan herediter.
c. Perbedaan Nodul Tiroid Jinak dan Ganas
Sekitar 5% struma nodosa mengalami keganasan. Di klinik perlu
dibedakan nodul tiroid jinak dan nodul ganas yang memiliki
karakteristik:
1. Konsistensi keras pada beberapa bagian atau menyeluruh pada nodul
dan sukar digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalami
degenerasi kistik dan kemudian menjadi lunak.
2. Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak,
walaupun nodul yang mengalami kalsifikasi dapat ditemukan pada
hiperplasia adenomatosa yang sudah berlangsung lama.
3. Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupaka tanda keganasan,
walaupun nodul ganas tidak selalu melakukan infiltrasi. Jika
ditemukan ptosis, miosis, dan enoftalmus merupakan tanda infiltrasi
ke jaringan sekitar
4. 20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang
yang ganas.
5. Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurigai
ganas terutama yang tidak disertai nyeri. Atau nodul lama yang tibatiba membesar progresif
6. Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah
bening regional atau perubahan suara menjadi serak.

32

7. Pulsasi arteri karotis teraba dari arah tepi belakang muskulus


sternokleidomastoideus karena desakan pembesaran nodul (Berrys
Sign).

III.8 Diagnosis Struma


a. Anamnesis
Pada anamnesis, keluhan utama yang diutarakan oleh pasien bisa berupa
benjolan di leher yang sudah berlangsung lama, maupun gejala-gejala
hipertiroid atau hipotiroidnya. Jika pasien mengeluhkan adanya benjolan
di leher, maka harus digali lebih jauh apakah pembesaran terjadi sangat
progresif atau lamban, disertai dengan gangguan menelan, gangguan
bernafas dan perubahan suara. Setelah itu baru ditanyakan ada tidaknya
gejala-gejala hiper dan hipofungsi dari kelenjer tiroid. Perlu juga
ditanyakan tempat tinggal pasien dan asupan garamnya untuk
mengetahui apakah ada kecendrungan ke arah struma endemik.
Sebaliknya jika pasien datang dengan keluhan ke arah gejala-gejala hiper
maupun hipofungsi dari tiroid, harus digali lebih jauh ke arah hiper atau
hipo dan ada tidaknya benjolan di leher.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik status lokalis pada regio coli anterior, yang paling
pertama dilakukan adalah inspeksi, dilihat apakah pembesaran simetris
atau tidak, timbul tanda-tanda gangguan pernapasan atau tidak, ikut
bergerak saat menelan atau tidak.
Pada palpasi sangat penting untuk menentukan apakah benjolan tersebut
benar adalah kelenjar tiroid atau kelenjar getah bening. Perbedaannya
terasa pada saat pasien diminta untuk menelan. Jika benar pembesaran
tiroid maka benjolan akan ikut bergerak saat menelan, sementara jika
tidak ikut bergerak maka harus dipikirkan kemungkinan pembesaran
kelenjar getah bening leher. Pembesaran yang teraba harus dideskripsikan
:

33

Lokasi: lobus kanan, lobus kiri, ismus.

Ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang.

Jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa).

Konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras.

Nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi.

Mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus

sternokleidomastoidea.
-

Kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada pembesaran atau tidak.

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis penyakit
tiroid terbagi atas :
1. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid. Pemeriksaan untuk
mengetahui kadar T3 dan T4 serta TSH paling sering menggunakan
teknik radioimmunoassay (RIA) dan ELISA dalam serum atau plasma
darah. Kadar normal T4 total pada orang dewasa adalah 50-120 ng/dl.
Kadar normal untuk T3 pada orang dewasa adalah 0,65-1,7 ng/dl.
Kadar

T3

dan

TSH

sangat

membantu

untuk

mengetahui

hipotiroidisme primer di mana basal TSH meningkat 6 mU/L.


Kadang-kadang meningkat sampai 3 kali normal.
2. Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid. Antibodi
terhadap macam-macam antigen tiroid yang ditemukan pada serum
penderita dengan penyakit tiroid autoimun. Seperti antibodi
tiroglobulin dan thyroid stimulating hormone antibody (TSA).
3. Pemeriksaan radiologis

Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea


atau pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya secara
klinis pun sudah bisa diduga. Foto rontgen leher posisi AP dan
lateral biasanya menjadi pilihan.

USG tiroid yang bermanfaat untuk menentukan jumlah


nodul, membedakan antara lesi kistik maupun padat, mendeteksi
adanya jaringan kanker yang tidak menangkap iodium dan bisa
dilihat dengan scanning tiroid, mengukur volume dari nodul tiroid,

34

mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak, untuk


mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan
dilakukan biopsi terarah, dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut
hasil pengobatan.

Scanning Tiroid, dasarnya adalah presentasi uptake dari I


131 yang didistribusikan tiroid. Dari uptake dapat ditentukan teraan
ukuran, bentuk lokasi dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian
tiroid (distribusi dalam kelenjar). Uptake normal 15-40% dalam 24
jam. Dari hasil scanning tiroid dapat dibedakan 3 bentuk, yaitu cold
nodule bila uptake nihil atau kurang dari normal dibandingkan
dengan daerah disekitarnya, ini menunjukkan fungsi yang rendah
dan sering terjadi pada neoplasma. Bentuk yang kedua adalah
warm nodule bila uptakenya sama dengan sekitarnya, menunjukkan
fungsi yang nodul sama dengan bagian tiroid lain. Terakhir adalah
hot nodule bila uptake lebih dari normal, berarti aktifitasnya
berlebih dan jarang pada neoplasma.

4. FNAB. Pemeriksaan histopatologis akurasinya 80%. Hal ini perlu


diingat agar jangan sampai menentukan terapi definitif hanya
berdasarkan hasil FNAB saja.
5. Pemeriksaan potong beku (VC = Vries coupe) pada operasi
tiroidektomi diperlukan untuk meyakinkan bahwa nodul yang
dioperasi tersebut suatu keganasan atau bukan. Lesi tiroid atau sisa
tiroid yang dilakukan VC dilakukan pemeriksaan patologi anatomis
untuk memastikan proses ganas atau jinak serta mengetahui jenis
kelainan histopatologis dari nodul tiroid dengan parafin block.
III.9 Pencegahan
Langkah yang harus dilakukan untuk menghindari diri dari terjadinya
struma adalah :
a.

Memberikan edukasi kepada masyarakat dalam hal merubah pola

perilaku makan dan memasyarakatkan pemakaian garam yodium.


b. Mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber yodium seperti ikan
laut.

35

c. Mengkonsumsi yodium dengan cara memberikan garam beryodium


setelah dimasak, tidak dianjurkan memberikan garam sebelum memasak
untuk menghindari hilangnya yodium dari makanan.
d. Iodinasi air minum untuk wilayah tertentu dengan resiko tinggi. Cara ini
memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan dengan garam karena
dapat

terjangkau daerah luas dan terpencil. Iodisasi dilakukan dengan

yodida diberikan dalam saluran air dalam pipa, yodida yang diberikan
dalam air yang

mengalir, dan penambahan yodida dalam sediaan air

minum.
e. Memberikan kapsul minyak beryodium (lipiodol) pada penduduk di
daerah endemik berat dan endemik sedang. Sasaran pemberiannya adalah
semua pria berusia 0-20 tahun dan wanita 0-35 tahun, termasuk wanita
hamil dan menyusuiyang tinggal di daerah endemis berat dan endemis
sedang. Dosis pemberiannya bervariasi sesuai umur dan kelamin.
f. Memberikan suntikan yodium dalam minyak (lipiodol 40%) diberikan 3
tahun

sekali dengan dosis untuk dewasa dan anak-anak di atas 6 tahun

1 cc dan untuk

anak kurang dari 6 tahun 0,2-0,8 cc.

III.10 Penatalaksanaan Medis


Ada beberapa macam untuk penatalaksanaan medis jenis-jenis struma antara
lain sebagai berikut :
a. Operasi/Pembedahan
Pembedahan menghasilkan hipotiroidisme permanen yang kurang sering
dibandingkan dengan yodium radioaktif. Terapi ini tepat untuk para
pasien hipotiroidisme yang tidak mau mempertimbangkan yodium
radioaktif dan tidak dapat diterapi dengan obat-obat anti tiroid. Reaksireaksi yang merugikan yang dialami dan untuk pasien hamil dengan
tirotoksikosis parah atau kekambuhan. Pada wanita hamil atau wanita
yang menggunakan kontrasepsi hormonal (suntik atau pil KB), kadar
hormon tiroid total tampak meningkat. Hal ini disebabkan makin banyak
tiroid yang terikat oleh protein maka perlu dilakukan pemeriksaan kadar
T4 sehingga dapat diketahui keadaan fungsi tiroid.
Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid, sebelum
pembedahan tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan akan

36

dirawat sekitar 3 hari. Kemudian diberikan obat tiroksin karena jaringan


tiroid yang tersisa mungkin tidak cukup memproduksi hormon dalam
jumlah yang adekuat dan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan
struma dilakukan 3-4 minggu setelah tindakan pembedahan.
Operasi tiroid (tiroidektomi) merupaka operasi bersih dan tergolong
operasi besar. Berapa luas kelenjar tiroid yang akan diambil tergantung
patologiya serta ada tidaknya penyebaran dari karsinomanya. Ada 6
macam operasi, yaitu:
1. Lobektomi

subtotal;

pengangkatan

sebagian

lobus

tiroid

yang

mengandung jaringan patologis


2. Lobektomi total (Hemitiroidektomi, ismolobektomi); pengangkatan
satu sisi lobus tiroid
3. Tiroidektomi subtotal; pengangkatan sebagian kelenjar tiroid yang
mengandung jaringan patologis,meliputi kedua lobus tiroid
4. Tiroidektomi near total; pengangkatan seluruh lobus tiroid yang
patologis berikut sebagian besar lobus kontralateralnya.
5. Tiroidektomi total; pengangkatan seluruh kelenjar tiroid
6. Operasi yang sifatnya extended:
a) Tiroidektomi total + laringektomi total
b) Tiroidektomi total + reseksi trakea
c) Tiroidektomi total + sternotomi
d) Tiroidektomi total + FND atau RND
Indikasi operasi pada struma adalah :
a) Struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
b) Struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
c) Struma dengan gangguan kompresi
d) Kosmetik
Kontraindikasi pada operasi struma :
a) Struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya
b) Struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik lain
yang belum terkontrol

37

c) Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit


digerakkan yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang
demikian biasanya sering dari tipe anaplastik yang jelek
prognosisnya. Perlekatan pada trakea ataupun laring dapat
sekaligus

dilakukanreseksi

trakea

atau

laringektomi,

tetapi

perlekatan dengan jaringan lunak leher yang luas sulit dilakukan


eksisi yang baik.
d) Struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya
karena metastase luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun
telah dilakukan sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan
mortalitas yang tinggi dan sering hasilnya tidak radikal.
Pertama-tama dilakukan pemeriksaan klinis untuk menentukan
apakah nodul tiroid tersebut suspek maligna atau suspek benigna.
Bila nodul tersebut suspek maligna, maka dibedakan apakah kasus
tersebut operable atau inoperable.
Bila kasus yang dihadapi adalah inoperable maka dilakukan tidakan
biopsi

insisi

untuk

keperluan

pemeriksaan

histopatologis.

Dilanjutkan dengan tindakan debulking dan radiasi eksterna atau


kemoradioterapi. Bila nodul tiroid suspek maligna yang operable
atau suspek benigna dapat dilakukan tindakan isthmolobektomi
atau lobektomi. Jika setelah hasil PA membuktikan bahwa lesi
tersebut jinak maka operasi selesai, tetapi jika ganas maka harus
ditentukan terlebih dahulu jenis karsinoma yang terjadi.
Komplikasi pembedahan tiroid
Komplikasi awal antara lain :
a) Perdarahan dari A. Tiroidea superior
b) Dispneu
c) Paralisis N. Rekurens Laryngeus. Akibatnya otot-otot laring terjadi
kelemahan
d) Paralisis N. Laryngeus Superior. Akibatnya suara penderita menjadi
lebih lemah dan sukar mengontrol suara nada tinggi, karena terjadi

38

pemendekan pita suara oleh karena relaksasi M. Krikotiroid.


Kemungkinan nervus terligasi saat operasi.
e) Trakeomalasia
f) Infeksi
g) Tetani hipokalsemia
h) Krisis tiroid (thyroid storm)
Sedangkan komplikasi lanjut berupa:
a) Keloid;
b) Hipotiroiditi;
c) Hipertiroiditi yang kambuh
b. Yodium Radioaktif
Pengobatan dengan radioiodine 131 diindikasikan untuk: (1) small goiter
(volume <100 mL), (2) tanpa ada kecurigaan malignancy, (3) penderita
dengan riwayat operasi sebelumnya, (4) penderita dengan resiko tindakan
bedah. (AME Guideline, 2006)
Jika penderita mempunyai lesi nodul yang besar maka ia akan
membutuhkan radioiodine dalam jumlah banyak dan hal ini dapat
menyebabkan terjadinya efek resisten terhadap terapi. Satu satunya kontra
indikasi prosedur ini adalah kehamilan dan laktasi, yang bisa dideteksi
segera dengan tes kehamilan pada penderita. (AME Guideline, 2006)
Terapi dengan radioiodine berhasil pada 85% - 100% penderita tiroid
nodul. Masa nodul dapat mengecil sebesar 35% setelah tiga bulan, bahkan
mengecil sampai 45% setelah 24 bulan terapi). Pengobatan ini efektif dan
aman, meskipun penelitian lain melaporkan bahwa pengunaan dosis tinggi
dapat menyebabkan thyroid cancer, leukemia; namun demikian, studi
epidemiologi tidak menunjukkan efek klinis yang signifikan terhadap
timbulnya carcinoma dan leukemia. (AME Guideline, 2006)
Penggunaan
hendaknya

high-iodine-content-drugs

dihindari

sebelum

melakukan

(misalnya:
prosedur

amiodarone)
terapi

dengan

radioiodine, agar tidak mempengaruhi thyroid radioiodine uptake. Jika


mungkin, obat anti-tiroid hendaknya distop tiga mingu sebelim prosedur

39

pengobatan, dan tidak boleh diberikan selama 3-5 hari pasca prosedur terapi
dengan radioiodine, untuk mencegah menurunnya efektifitas terapi. (AME
Guideline, 2006)
Jumlah radioiodine yang dipergunakan secara fixed adalah 300 1800
MBq, dosis ini tanpa mempertimbangkan ukuran nodul. Sehinga prosedur
ini simple, murah, dan hasilnya memuaskan. (AME Guideline, 2006)
Prosedur ini dibilang berhasil jika nilai TSH mecapai 0,5 IU/mL. Jika
kondisi ini belum tercapai, maka terapi dapat diulang setelah 3 sampai 6
bulan. (AME Guideline, 2006)
c. Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid
Terapi dengan Levothyroxine (LT4) kombinasi dengan serum TSH (<0.1
IU/mL) masih dalam kontroversi. Tujuannya adalah untuk mengecilkan
nodul tiroid dan mencegah kembali munculnya nodul baru atau
pertumbuhan kecil massa yang serupa dengan nodul awal. (AME Guideline,
2006)
Beberapa laporan menyebutkan bahwa pengecilan nodul tiroid lebih
sering terjadi pada penderita dengan kombinasi terapi long-term-TSH di
banding dengan penderita yang tanpa kombinasi TSH. Lebih dari 50% kasus
nodul dapat mengecil, tetapi jika hanya dengan terapi Levothyroxine (LT4)
saja maka persentase keberhasilannya hanya 20%. (AME Guideline, 2006)
Pemberian Levothyroxine (LT4) hendaknya setengah sampai satu jam
sebelum makan (kondisi lambung kosong) agar absorbsinya maksimal.
Disarankan agar minum tablet Levothyroxine (LT4) dengan menggunan
segelas air agar tablet lebih mudah larut dan mudah terserap. Jangan
mengkonsumsi tablet calcium, iron supplements, dan antasida karena akan
menghambat absorbsi obat Levothyroxine (LT4). Dosis maksimum yang
diberikan adalah 400 microgram per hari. (GNU-Wikipedia, 2007)
Saat ini, pengobatan Levothyroxine (LT4) secara rutin pada penderita
dengan nodule tiroid tidak direkomendasikan. Pengunaan Levothyroxine
(LT4) harus dihindari pada penderita: (1) dengan nodule yang besar (large
nodule), (2) pada kasus long-standing goiter, (3) jika level TSH <1 IU/mL,

40

(4) wanita post-menopause, (5) penderita usia lebih dari 60 tahun, (6)
penderita

dengan

osteoporosis,

(7)

penderita

dengan

penyakit

kardiovaskuler, dan (8) penderita dengan systemic illness. (AME Guideline,


2006)
Berikut ini adalah hal-hal penting lain yang perlu diperhatikan terhadap
penggunaan

Levothyroxine

(LT4),

antara

lain:

Pengobatan

dengan

Levothyroxine (LT4) hanya menunjukkan hasil klinis yang signifikan pada


minoritas jumlah penderita dan variasi respons-nya belum diketahui dengan
baik. Pengobatan dengan Levothyroxine (LT4) hendaknya tidak boleh terlalu
suppressive karena akan menimbulkan adverse effect. Jika nodul tiroid tidak
mengecil dengan pemberian Levothyroxine (LT4), tindakan reaspiration
harus segera dilakukan. Pengobatan dengan Levothyroxine (LT4) tidaklah
berguna untuk tindakan pencegahan recurrent goiter pasca tindakan
lobectomy. (AME Guideline, 2006)
Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini adalah
propiltiourasil (PTU) dan metimasol/karbimasol.

41

DAFTAR PUSTAKA
American Association of Clinical Endocrinologists and Association Medici
Endocrinologi, Medical Guidelines For Clinical Practice for the diagnosis and
management of thyroid nodule : ENDOCRINE PRACTICE Vol 12 No. 1.
January/February2006.
Diunduh dari http://www.aace.com/pub/pdf/guidelines/thyroid_ nodule.pdf
tanggal 16 November 2016
Jamson, L, 2005, Diseases of Tyroid Gland : Harrisons Principles of Internal
Medicine, hlm.2104-2126, 16 th edition, Mcgraw-Hill Medical Publishing
Division,
Johan, SM, 2006, Nodul Tiroid : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, hlm. 757-778,
Edisi Keempat, Penerbit FKUI, Jakarta
Tanto, C, Liwang, F, Hanifati, S, Pradipta, EA, 2016, Kapita Selekta Kedokteran,
Essentials of Medicine, Jilid II, Edisi IV, Penerbit Media Aesculapius, Jakarta
Widjosono, Garitno, 2010, Sistem Endokrin : Buku Ajar Ilmu Bedah, hlm. 925952. Editor Syamsuhidayat R.Jong WB, Edisi Revisi, EGC, Jakarta,

42

Anda mungkin juga menyukai