TINJAUAN PUSTAKA
a.subklavia, dan a.tiroidea ima berasal dari a.brakhiosefalik salah sau cabang
arkus aorta. Saraf yang melewati tiroid adalah Nervus Rekurens. Saraf ini terletak
di dorsal tiroid sebelum masuk ke laring.
Aliran darah dalam kelenjar tiroid berkisar 4-6 ml/gram/menit, kira-kira 50
kali lebih banyak dibanding aliran darah di bagian tubuh lainnya. Pada keadaan
hipertiroidisme, aliran darah ini akan meningkat sehingga dengan stetoskop
terdengar bising aliran darah dengan jelas di ujung bawah kelenjar.
Setiap folikel tiroid diselubungi oleh jala-jala kapiler dan limfatik,
sedangkan system venanya berasal dari pleksus parafolikuler yang menyatu di
permukaan membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior.
Secara anatomis dari dua pasang kelenjar paratiroid, sepasang kelenjar
paratiroid menempel di belakang lobus superior tiroid dan sepasang lagi di lobus
medius.
Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan
pleksus trakealis. Selanjutnya dari pleksus ini ke arah nodus pralaring yang tepat
berada di atas ismus menuju ke kelenjar getah bening brakiosefalik dan sebagian
ada yang langsung ke duktus torasikus. Hubungan getah bening ini penting untuk
menduga penyebaran keganasan yang berasal dari kelenjar tiroid.
14
15
dengan
epithetlium
simplex
kuboideum
yang
16
TBG)
atau
prealbumin
pengikat
tiroksin
(thyroxine
binding
prealbumine, TBPA).
Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh suatu hormon stimulator tiroid
(thyroid stimulating hormone, TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar
hipofisis. Kelenjar hipofisis secara langsung dipengaruhi dan diatur aktivitasnya
oleh kadar hormon tiroid dalam sirkulasi yang bertindak sebagai negative
feedback terhadap lobus anterior hipofisis, dan terhadap sekresi thyrotropine
releasing hormone (TRH) dari hipotalamus.
Pada kelenjar tiroid juga didapatkan sel parafolikuler, yang menghasilkan
kalsitonin. Kalsitonin adalah suatu polipeptida yang turut mengatur metabolisme
kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum, melalui pengaruhnya terhadap
tulang.
Jadi, kesimpulan pembentukan hormon tiroksin melalui beberapa langkah,
yaitu:
1. Iodide Trapping, yaitu pejeratan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.
2. Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Kelenjar tiroid
merupakan satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I hingga
17
mencapai status valensi yang lebih tinggi. Tahap ini melibatkan enzim
peroksidase.
3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan
residu tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula
melibatkan enzim tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase).
4. Perangkaian
iodotironil,
yaitu
perangkaian
dua
molekul
DIT
atau perangkaian
18
19
III.2 Struma
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh
karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa
gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.
Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid
yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian
posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat
mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara
sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia. Hal tersebut akan berdampak
terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Bila
pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang besar dapat asimetris
atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia.
III.2.1 Epidemiologi Struma
a. Orang
Data rekam medis Divisi Ilmu Bedah RSU Dr. Soetomo tahun 2001-2005
struma nodusa toksik terjadi pada 495 orang diantaranya 60 orang lakilaki (12,12 %) dan 435 orang perempuan (87,8 %) dengan usia terbanyak
yaitu 31-40 tahun 259 orang (52,3 2%), struma multinodusa toksik yang
terjadi pada 1.912 orang diantaranya orang laki-laki (8,9 %) dan 174
perempuan (91,1%) dengan usia yang terbanyak pada usia 31-40 tahun
berjumlah 65 orang (34,03 %).
b. Tempat dan Waktu
Penelitian Ersoy di Jerman pada tahun 2009 dilakukan palpasi atau
pemeriksaan benjolan pada leher dengan meraba leher 1.018 anak
ditemukan 81 anak (8,0%) mengalami struma endemis atau gondok.
Penelitian Tenpeny K.E di Haiti pada tahun 2009 menemukan PR struma
endemis 26,3 % yang dilakukan pemeriksaan pada 1.862 anak usia 6-12
tahun.
Penelitian Arfianty di Kabupaten Madiun tahun 2005 dengan sampel 40
anak yang terdiri dari 20 anak penderita gondok dan 20 anak bukan
penderita gondok menunjukan PR GAKY 31,9 % di Desa Gading
20
21
normal
b. Grade IA
c. Grade IB
kepala menengadah
d. Grade II
e. Grade III
6 meter
f. Grade IV
22
goiter:
noduler
(Parrys
disease),
difus
(Graves
disease)/Morbus Basedow
b. Inflamasi atau infeksi kelenjar tiroid
1. Tiroiditis akut
2. Tiroiditis sub-akut (de Quervain)
3. Tiroiditis kronis (Hashimotos disease dan struma Riedel)
c. Neoplasma
1. Neoplasma jinak (adenoma)
2. Neoplasma
ganas
(adenocarcinoma)
papiliferum,folikularis,
anaplastik
III.3 Struma Difusa Toksik
a. Definisi
Struma difusa toksik dapat kita temukan pada Graves Disease. Penyakit
ini juga biasa disebut Basedow. Trias Basedow meliputi pembesaran
kelenjar tiroid difus, hipertiroidi dan eksoftalmus. Penyakit ini lebih
sering ditemukan pada orang muda dengan gejala seperti berkeringat
berlebihan, tremor tangan, menurunnya toleransi terhafap panas,
penurunan berat badan, ketidakstabilan emosi, gangguan menstruasi
berupa amenorrhea, dan polidefekasi ( sering buang air besar ). Klinis
sering ditemukan adanya pembesaran kelenjar tiroid, kadang terdapat
juga manifestasi pada mata berupa exophthalmus dan miopatia
ekstrabulbi. Walaupun etiologi penyakit Graves tidak diketahui pasti,
23
b. Patofisiologi
Graves Disease merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh
kelainan system imun dalam tubuh, di mana terdapat suatu zat yang
disebut sebagai Thyroid Receptor Antibodies. Zat ini menempati reseptor
TSH di sel-sel tiroid dan menstimulasinya secara berlebiham, sehingga
TSH tidak dapat menempati reseptornya dan kadar hormone tiroid dalam
tubuh menjadi meningkat.
c. Gejala Klinis
Gejala dan tanda yang timbul merupakan manifestasi dari peningkatan
metabolisme di semua sistem tubuh dan organ yang mungkin secara
klinis terlihat jelas. Peningkatan metabolisme menyebabkan peningkatan
kebutuhan kalori, dan seringkali asupan ( intake) kalori tidak mencukupi
kebutuhan sehingga terjadi penurunan berat badan secara drastis.
Peningkatan metabolisme pada sistem kardiovaskuler terlihat dalam
bentuk peningkatan sirkulasi darah, antara lain dengan peningkatan curah
jantung/ cardiac output sampai dua-tiga kali normal, dan juga dalam
keadaan istirahat. Irama nadi meningkat dan tekanan denyut bertambah
sehingga menjadi pulsus celer; penderita akan mengalami takikardia dan
24
susunan
saraf
biasanya
menyebabkan
tremor,
25
d. Tatalaksana
Terapi
penyakit
Graves
ditujukan
pada
pengendalian
keadaan
tirotoksisitas/ hipertiroidi dengan pemberian antitiroid, seperti propiltiourasil ( PTU ) atau karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih antara
pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio dengan yodium radiokatif,
atau tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi
dilakukan terutama jika pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan
kelenjar tiroid besar. Pembedahan yang baik biasanya memberikan
kesembuhan yang permanen meskipun kadang dijumpai terjadinya
hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.
III.4 Struma Nodosa Toksik
a. Definisi
Struma nodosa toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu
lobus yang disertai dengan tanda-tanda hipertiroid. Pembesaran noduler
terjadi pada usia dewasa muda sebagai suatu struma yang nontoksik. Bila
tidak diobati, dalam 15-20 tahun dapat menjadi toksik. Pertama kali
dibedakan dari penyakit Graves oleh Plummer, maka disebut juga
Plummers disease.
b. Patofisiologi
Penyakit ini diawali dengan timbulnya pembesaran noduler pada kelenjar
tiroid yang tidak menimbulkan gejala-gejala toksisitas, namun jika tidak
segera diobati, dalam 15-20 tahun dapat menimbulkan hipertiroid.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan dari nontoksik menjadi
toksik antara lain adalah nodul tersebut berubah menjadi otonom sendiri
(berhubungan dengan penyakit autoimun), pemberian hormon tiroid dari
luar, pemberian yodium radioaktif sebagai pengobatan.
c. Gejala Klinis
Saat anamnesis, sulit untuk membedakan antara Graves disease dengan
Plummers
disease
karena
sama-sama
menunjukan
gejala-gejala
26
pada saat palpasi kita dapat merasakan pembesaran yang hanya terjadi
pada salah satu lobus.
d. Tatalaksana
Terapi yang diberikan pada Plummers Disease juga sama dengan
Graves yaitu ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/
hipertiroidi dengan pemberian antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU )
atau karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih antara pengobatan antitiroid jangka panjang, ablasio dengan yodium radioaktif, atau
tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi dilakukan
terutama jika pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan kelenjar
tiroid besar. Pembedahan yang baik biasanya memberikan kesembuhan
yang permanen meskipun kadang dijumpai terjadinya hipotiroidi dan
komplikasi yang minimal.
III.5 Struma Difusa Nontoksik
a. Definisi
Struma endemik adalah penyakit yang ditandai dengan pembesaran
kelenjar tiroid yang terjadi pada suatu populasi, dan diperkirakan
berhubungan dengan defisiensi diet dalam harian. Epidemologi Endemik
goiter diperkirakan terdapat kurang lebih 5% pada populasi anak sekolah
dasar/preadolescent (6-12 tahun), seperti terbukti dari beberapa
penelitian. Goiter endemik terjadi karena defisiensi yodium dalam diet.
Kejadian goiter endemik sering terjadi di derah pegnungan, seperti di
himalaya, alpens, daerah dengan ketersediaan yodium alam dan cakupan
pemberian yodium tambahan belum terlaksana dengan baik
b. Patofisiologi
Umumnya, mekanisme terjadinya goiter disebabkan oleh adanya
defisiensi intake iodin oleh tubuh. Selain itu, goiter juga dapat
disebabkan oleh kelainan sintesis hormon tiroid kongenital ataupun
goitrogen (agen penyebab goiter seperti intake kalsium berlebihan
maupun sayuran familiBrassica). Kurangnya iodin menyebabkan
kurangnya hormon tiroid yang dapat disintesis. Hal ini akan memicu
27
namun
sebagian
lagi
mengalami
keadaaan
hipotiroid.
28
e. Tatalaksana
Tujuan dari pengobatan struma endemik adalah untuk mengecilkan
struma dan mengatasi hipotiroidisme yang mungkin ada, yaitu dengan
pemberian SoL Lugoli selama 4-6 bulan. Bila ada perbaikan, pengobatan
dilanjutkan sampai tahun dan kemudian tapering off dalam 4 minggu.
Bila 6 bulan sesudah pengobatan struma tidak juga mengecil maka
pengobatan medikamentosa tidak berhasil dan harus dilakukan tindakan
operatif.
III.6 Struma Nodosa Nontoksik
a. Definisi
Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara
klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda
hypertiroidisme. Istilah struma nodosa menunjukkan adanya suatu
proses, baik fisiologis maupun patologis yang menyebabkan pembesaran
asimetris dari kelenjar tiroid. Karena tidak disertai tanda-tanda toksisitas
pada tubuh, maka pembesaran asimetris ini disebut sebagai struma
nodosa nontoksik. Kelainan ini sangat sering dijumpai sehari-hari, dan
harus diwaspadai tanda-tanda keganasan yang mungkin ada.
b. Patofisiologi
SNNT dapat juga disebut sebagai goiter sporadis. Jika goiter endemis
terjadi 10% populasi di daerah dengan defisiensi yodium, maka goiter
sporadis terjadi pada seseorang yang tidak tinggal di daerah endemik
beryodium rendah. Penyebabnya sampai sekarang belum diketahui
dengan jelas, bisa terdapat gangguan enzim yang penting dalam sintesis
hormon tiroid atau konsumsi obat-obatan yang mengandung litium,
propiltiourasil, fenilbutazone, atau aminoglutatimid.
c. Gejala Klinis
29
Penyempitan
yang
berarti
menyebabkan
gangguan
30
cukup
banyak
hormon
tiroid
sehingga
terjadi
hipertiroidisme.
b. Klasifikasi karsinoma tiroid
1. Karsinoma papiler, karsinoma ini berasal dari sel-sel tiroid dan
merupakan jenis paling umum dari karsinoma tiroid. Lebih sering
terdapat pada anak dan dewasa muda dan lebih banyak pada wanita.
Terkena radiasi semasa kanak ikut menjadi sebab keganasan ini.
Pertama kali muncul berupa benjolan teraba pada kelenjar tiroid atau
sebagai pembesaran kelenjar limfe didaerah leher. Metastasis dapat
terjadi melalui limfe ke daerah lain pada tiroid atau, pada beberapa
kasus, ke paru.
2. Karsinoma folikuler, karsinoma ini berasal dari sel-sel folikel dan
merupakan
20-25
dari
karsinoma
tiroid. Karsinoma
31
32
33
sternokleidomastoidea.
-
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis penyakit
tiroid terbagi atas :
1. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid. Pemeriksaan untuk
mengetahui kadar T3 dan T4 serta TSH paling sering menggunakan
teknik radioimmunoassay (RIA) dan ELISA dalam serum atau plasma
darah. Kadar normal T4 total pada orang dewasa adalah 50-120 ng/dl.
Kadar normal untuk T3 pada orang dewasa adalah 0,65-1,7 ng/dl.
Kadar
T3
dan
TSH
sangat
membantu
untuk
mengetahui
34
35
yodida diberikan dalam saluran air dalam pipa, yodida yang diberikan
dalam air yang
minum.
e. Memberikan kapsul minyak beryodium (lipiodol) pada penduduk di
daerah endemik berat dan endemik sedang. Sasaran pemberiannya adalah
semua pria berusia 0-20 tahun dan wanita 0-35 tahun, termasuk wanita
hamil dan menyusuiyang tinggal di daerah endemis berat dan endemis
sedang. Dosis pemberiannya bervariasi sesuai umur dan kelamin.
f. Memberikan suntikan yodium dalam minyak (lipiodol 40%) diberikan 3
tahun
1 cc dan untuk
36
subtotal;
pengangkatan
sebagian
lobus
tiroid
yang
37
dilakukanreseksi
trakea
atau
laringektomi,
tetapi
insisi
untuk
keperluan
pemeriksaan
histopatologis.
38
high-iodine-content-drugs
dihindari
sebelum
melakukan
(misalnya:
prosedur
amiodarone)
terapi
dengan
39
pengobatan, dan tidak boleh diberikan selama 3-5 hari pasca prosedur terapi
dengan radioiodine, untuk mencegah menurunnya efektifitas terapi. (AME
Guideline, 2006)
Jumlah radioiodine yang dipergunakan secara fixed adalah 300 1800
MBq, dosis ini tanpa mempertimbangkan ukuran nodul. Sehinga prosedur
ini simple, murah, dan hasilnya memuaskan. (AME Guideline, 2006)
Prosedur ini dibilang berhasil jika nilai TSH mecapai 0,5 IU/mL. Jika
kondisi ini belum tercapai, maka terapi dapat diulang setelah 3 sampai 6
bulan. (AME Guideline, 2006)
c. Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid
Terapi dengan Levothyroxine (LT4) kombinasi dengan serum TSH (<0.1
IU/mL) masih dalam kontroversi. Tujuannya adalah untuk mengecilkan
nodul tiroid dan mencegah kembali munculnya nodul baru atau
pertumbuhan kecil massa yang serupa dengan nodul awal. (AME Guideline,
2006)
Beberapa laporan menyebutkan bahwa pengecilan nodul tiroid lebih
sering terjadi pada penderita dengan kombinasi terapi long-term-TSH di
banding dengan penderita yang tanpa kombinasi TSH. Lebih dari 50% kasus
nodul dapat mengecil, tetapi jika hanya dengan terapi Levothyroxine (LT4)
saja maka persentase keberhasilannya hanya 20%. (AME Guideline, 2006)
Pemberian Levothyroxine (LT4) hendaknya setengah sampai satu jam
sebelum makan (kondisi lambung kosong) agar absorbsinya maksimal.
Disarankan agar minum tablet Levothyroxine (LT4) dengan menggunan
segelas air agar tablet lebih mudah larut dan mudah terserap. Jangan
mengkonsumsi tablet calcium, iron supplements, dan antasida karena akan
menghambat absorbsi obat Levothyroxine (LT4). Dosis maksimum yang
diberikan adalah 400 microgram per hari. (GNU-Wikipedia, 2007)
Saat ini, pengobatan Levothyroxine (LT4) secara rutin pada penderita
dengan nodule tiroid tidak direkomendasikan. Pengunaan Levothyroxine
(LT4) harus dihindari pada penderita: (1) dengan nodule yang besar (large
nodule), (2) pada kasus long-standing goiter, (3) jika level TSH <1 IU/mL,
40
(4) wanita post-menopause, (5) penderita usia lebih dari 60 tahun, (6)
penderita
dengan
osteoporosis,
(7)
penderita
dengan
penyakit
Levothyroxine
(LT4),
antara
lain:
Pengobatan
dengan
41
DAFTAR PUSTAKA
American Association of Clinical Endocrinologists and Association Medici
Endocrinologi, Medical Guidelines For Clinical Practice for the diagnosis and
management of thyroid nodule : ENDOCRINE PRACTICE Vol 12 No. 1.
January/February2006.
Diunduh dari http://www.aace.com/pub/pdf/guidelines/thyroid_ nodule.pdf
tanggal 16 November 2016
Jamson, L, 2005, Diseases of Tyroid Gland : Harrisons Principles of Internal
Medicine, hlm.2104-2126, 16 th edition, Mcgraw-Hill Medical Publishing
Division,
Johan, SM, 2006, Nodul Tiroid : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, hlm. 757-778,
Edisi Keempat, Penerbit FKUI, Jakarta
Tanto, C, Liwang, F, Hanifati, S, Pradipta, EA, 2016, Kapita Selekta Kedokteran,
Essentials of Medicine, Jilid II, Edisi IV, Penerbit Media Aesculapius, Jakarta
Widjosono, Garitno, 2010, Sistem Endokrin : Buku Ajar Ilmu Bedah, hlm. 925952. Editor Syamsuhidayat R.Jong WB, Edisi Revisi, EGC, Jakarta,
42