Anda di halaman 1dari 7

A.

Patofisiologi
Menurut Suwitra (2006), patofisiologi penyakit ginjal pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan
massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving
nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth
factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan
aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi
berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang
progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin
angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan
progresifitas tersebut. Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit
ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normal diekresikan ke dalam urin)
tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak tertimbun
produk sampah, maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis (Smeltzer,
2002).
Gangguan Klirens Renal, banyak masalah muncul pada gagal ginjal kronik sebagai akibat dari penurunan
jumlah glumerulus yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang seharusnya
dibersihkan oleh ginjal. Apabila telah jelas muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal kira-kira fungsi ginjal
telah hilang 80%-90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15
ml/ menit atau lebih rendah (Smeltzer, 2002).
Penurunan laju filtrasi glumerulus ( GRF ) dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24-jam untuk
pemeriksaan klirens kreatinin. Menurunya filtrasi glumerulus (akibat tidak berfungsinya glumerulus) klirens
kreatinin akan menurun dan kadar kreatinin serum akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah
(BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator yang paling sensitif dari fungsi renal
karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit
renal, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme (jaringan dan luka RBC) dan medikasi
seperti steroid (Smeltzer, 2002).
Terjadi retensi cairan dan natrium karena ginjal juga tidak ammpu untuk mengkonsentrasikan atau
mengencerkan urin secara normal, respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan
elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Tubuh sering menahan natrium dan cairan dapat meningkatkan resiko
penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi reninangiotensin dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Beberapa pasien mempunyai
kencenderungan untuk kehilangan garam dapat menimbulkan resiko hipotensi dan hipovolemi. Mual, muntah
dan diare menyebabkan
penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk status uremik
(Smeltzer, 2002).
Dengan semakin bertambah parahnya penyakit renal, terjadi asidosis metabolik seiring dengan
ketidakmampuan ginjal mengekresikan muatan asam (H+) yang berlebih. Penurunan sekresi asam terutama
akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk mesekresikan amonia (NH3-) dan mengabsobsi natrium
bikarbonat (HCO3-). Penurunan eskresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi (Smeltzer, 2002).
Anemia terjadi sebagai akibat dari poduksi eritopoetin yang tidak adekuat, memendekan usia sel darah
merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik pasien,
terutama gastrointestinal. Eritopoetin adalah suatu substansi normal yang diproduksi oleh ginjal,
menstimulasi sum-sum tulang untuk memproduksi sel darah merah. Pada gagal ginjal produksi eritopoetin
menurun dan anemia berat terjadi, disertai keletihan, angina dan sesak nafas (Smeltzer, 2002).

Abnormalitas lain pada gagal ginjal adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum
kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satu meningkat yang lain
menurun. Dengan menurunya filtrasi melalui glumerulus ginjal , terdapat peningkatan kadar fosfat serum
dan sebaliknya penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar serum kalsium menyebabkan sekresi
parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun demikian pada gagal ginjal tubuh tidak berespon secara
normal terhadap peningkatan sekresi parathormon dan akibatnya kalsium di tulang menurun, menyebabkan
perubahan pada tulang. Metabolik aktif vitamin D (1,25-dihidrokolekasiferol) secara normal dibuat di ginjal
menurun. Desifisiensi vitamin D menyebabkan terganggunya absobsi kalsium dari usus dan menyebabkan
hipokalsemia. Penyakit tulang uremik sering disebut osteodistrofi renal. (Smeltzer, 2002).
Tahap perkembangan penyakit gagal ginjal kronikPrice (2005) dibagi menjadi empat tahap yaitu :
a. Penurunan cadangan ginjal
Sekitar 40-75 % nefron tidak berfungsi; laju filtrasi glomerulus 40-50% normal; BUN dan kretinin
serum masih normal serta pasien asimtomatik.
b. Gagal Ginjal
75-80% nefron tidak berfungsi; laju filtrasi glomerulus 20-40% normal; BUN dan kreatinin serum
meningkat; anemia ringan dan azotemia ringan; nokturia dan polyuria.
c. Gagal Ginjal
Laju filtrasi glomerulus 10-20% normal; BUN dan kreatinin serum meningkat; anemia, azotemia dan
asidosis metabolik; berat jenis urine; polyuria dan nokturia; gejala gagal ginjal.
d. End-stage renal disease ( ESRD)
Lebih dari 80% nefron tidak berfungsi; laju filtrasi glomerulus kurang dari 10%; BUN dan kreatinin
tinggi; anemia, azotemia dan asidosis metabolik; berat jenis urin tetap 1,010; oliguria serta gejala
gagal ginjal.
Menurut Suwitra (2006) GGK dibagi menjadi 5 stadium berdasarkan dari tingkat
penuruananGromerular Filtration Rate (GFR) :
a. Stadium 1: kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria peristen dan GFR yang masih normal
90 ml/min/1,73 m2.
b. Stadium 2 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria peristen dan GRF antara 60-89
ml/min/1,73 m2.
c. Stadium 3 : kelainan ginjal dengan GFR 30-59 ml/min/1,73 m2.
d. Stadium 4 : kelainan ginjal dengan GFR 15-29 ml/min/1,73 m2.
e. Stadium 5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15 ml/min/1,73 m2.
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin Test ) dapat digunakan
dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )
72 x creatinin serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85
B. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk klien Gagal Ginjal Kronik menurut Doengoes ( 2000) yaitu :
a. Urin
1) Volume urin : biasanya berkurang dari 400ml/24 jam (oliguria) atau urin tidak ada (anurian).
2) Warna urine : secara abnormal urin berwarna keruh kemungkinan disebabkan oleh pus, bakteri, lemak,
partikel koloid, fosfat dan urea.
3) Berat jenis urine : kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan ginjal berat ).
4) Osmolaritas : kurang dari 350mOsm/kg menunjukan kerusakan tubular dan rasio urine/ serum 1:1.

5) Klirens kreatinin : merupakan cara pengukuran laju filtrasi glomerulus (GFR; glomerulus filtrate rate)
biasanya menurun pada penderita gagal ginjal.
6) Natrium : lebih besar 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsobsi natrium.
7) Protein : proteinuria (+3 sampai +4) menunjukan kerusakan glomerulus bila sel darah merah dan
fragmen juga ada. Protein derajat rendah (+1 sampai +2 ) dapat menunjukan infeksi atau nefritis
intertisial.
8) Warna tambahan : biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi tambahan warna merah dapat juga
nefritis glomerulus.
b. Darah
1) BUN/ kreatinin : biasanya meningkat 10 mg/dL
2) Hemoglobin : menurun karena anemia, biasanya kurang dari7-8 g/dL.
3) Eritrosit : waktu hidup sel darah merah menurun pada defisiensi eritopoetin seperti pada azotemia.
4) pH : terjadi asidosis metabolik (<7,2) karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengekresi
hydrogen dan amonia atau katabolisme protein. Bikarbonat dan PCO2 menurun.
5) Natrium serum : bisa terjadi hypernatremia atau hiponatremia.
6) Kalium : peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dangan perpindahan selular atau asidosis/
pengeluaran jaringan. Kadar kalium 6,5 mEq atau lebih besar.
7) Kalsium : menurun.
8) Magnesium dan klorida fosfat : meningkat.
9) Protein (khususnya albumin): penurunan kadar serum dapat menunjukan kehilangan protein melalui
urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan dan penurunan sintesis karena kurang asam amino
esensial.
10) Osmolaritas: lebih besar dari 28,5 m Osm / kg, sering sama dengan urine.
c. Diagnostik
1) Ultrasono ginjal : menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista, obstruksi pada saluran
perkemihan bagian atas.
2) Biopsi ginjal : mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk diagnostik
histologi.
3) Endoskopi ginjal : dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal, keluaran batu, hematuria.
4) Foto polos abdomen : sebaiknya tanpa puasa karena dehidrasi akan memeperburuk fungsi ginjal,
untuk menilai bentuk dan besar ginjal apakah ada batu atau obstruksi lain.
d. Kardiovaskuler
1) EKG : abnormalitas menunjukan ketidak seimbangan asam basa.
2) Rontgen thoraks : dapat melihat tanda-tanda bendungan paru akibat kelebihan air (Fluid overload),
efusi pleura, kardiomegali dan efusi pericardial.
C. Penatalaksanaan
Menurut Bare & Smeltzer (2001) penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan GGK dibagi tiga yaitu :
a. Konservatif
1) Dilakukan pemeriksaan laboratorium darah dan urin.
2) Observasi balance cairan .
3) Observasi adanya oedema.
4) Batasi cairan yang masuk.
b. Intervensi Diit
Protein dibatasi karena urea, asam urat dan asam organik merupakan hasil pemecahan protein yang
akan menumpuk secara cepat dalam darah jika terdapat gangguan pada klirens renal. Protein yang

dikonsumsi harus bernilai biologis (produk susu, telur, daging) di mana makanan tersebut dapat
mensuplai asam amino untuk perbaikan dan pertumbuhan sel. Biasanya cairan diperbolehkan 300600 ml/24 jam. Kalori untuk mencegah kelemahan dari karbohidrat dan lemak. Pemberian vitamin
juga penting karena pasien dialisis mungkin kehilangan vitamin larut air melalui darah sewaktu
dialisis.
c. Penatalaksanaan Anemia
Anemia pada GGK ditangani dengan epogen (erytropoitin manusia rekombinan). Anemia pada
pasien (Hematokrit < 30%) muncul tanpa gejala spesifik seperti malaise, keletihan umum dan
penurunan toleransi aktivitas. Abnormalitas neurologi dapat terjadi seperti kedutan, sakit kepala,
dellirium atau aktivitas kejang.
d. Dialisis
1) Peritoneal dialisis
Biasanya dilakukan pada kasus kasus emergency. Sedangkan dialisis yang bisa dilakukan
dimana saja yang tidak bersifat akut adalah CAPD ( Continues Ambulatori Peritonial Dialisis )
2) Hemodialisis
Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena dengan menggunakan mesin.
Pada awalnya hemodiliasis dilakukan melalui daerah femoralis namun untuk mempermudah
maka dilakukan :
a) AV fistule : menggabungkan vena dan arteri.
b) Double lumen : langsung pada daerah jantung (vaskularisasi ke jantung).
e. Operasi
a. Pengambilan batu.
b. Transplantasi ginjal.
D. Komplikasi
Komplikasi menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwitra (2006) yang mungkin timbul akibat gagal
ginjal kronis antara lain :
a. Gangguann klirens renal
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glomerulus yang
berfungsi, yang menyebabkan penurunan klirens (substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh
ginjal).
b. Retensi cairan dan natrium
Ginjal kehilangan kemampuan untuk menkonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal. Terjadi
penahanan cairan dan natrium sehingga meningkatkan resiko terjadinya oedema, gagal jantung kongestif
dan hipertensi.
c. Anemia
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetrin yang tidak adekuat, memendeknya usia sel
darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk terjadi perdarahan akibat status uremik pasien,
terutama dari saluran gastrointestinal.
d. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat
Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan yang saling timbal balik, jika salah satunya
meningkat, yang lain akan turun. Dengan meurunnya GFR, maka terjadi peningkatan kadar fosfat serum
dan sebaliknya akan terjadi penurunan kadar kalsium. Penurunan kadar kalsium ini akan memicu sekresi
paratormon, namun dalam kondisi gagal ginjal tubuh tidak berespon terhadap peningkatan sekresi

parathormon akibatnya kalsium ditulang menutun menyebabkan perubahan pada tulang dan penyakit
tulang.
e. Penyakit tulang uremik (osteodistrofi)
Terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat keseimbangan parathormon.
Diagnosis Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien GGK menurut Bare & Smeltzer (2001) dan Doenges
(2001) adalah:
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload dan kontraktilitas jantung.
b. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi, kelebihan asupan
cairan dan natrium.
c. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan factor biologis
anoreksia, mual, muntah.
d. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk sampah dan dialisis.
f. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kondisi dan penangana atau tindakan medis.
Intervensi Keperawatan
Menurut Doenges (2001) dan Bare & Smeltzer (2001) intervensi keperawatannya adalah :
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload dan kontraktilitas jantung.
Tujuan: Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil :
mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas
normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler
Intervensi:
1) Auskultasi bunyi jantung dan paru.
R: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur.
2) Kaji adanya hipertensi.
R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin-angiotensin (disebabkan
oleh disfungsi ginjal).
3) Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikan lokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10).
R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
4) Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia.
b. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi, kelebihan asupan cairan
dan natrium.
Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan Kriteria hasil: tidak ada
edema, keseimbangan antara input dan output
Intervensi:
1) Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan dan pengeluaran, turgor
kulit tanda-tanda vital.
2) Batasi masukan cairan.
R: Pembatasan cairan akan menentukan BB ideal, pengeluaran urin, dan respon terhadap terapi.
3) Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan.
R: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan cairan.
4) Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama pemasukan dan keluaran.

c.

d.

e.

f.

R: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output.


Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis
anoreksia, mual, muntah.
Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan
Kriteria hasil : menunjukan BB stabil.
Intervensi:
1) Awasi konsumsi makanan / cairan.
R: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi.
2) Perhatikan adanya mual dan muntah.
R: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah atau menurunkan
pemasukan dan memerlukan intervensi.
3) Berikan makanan sedikit tapi sering.
R: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan.
4) Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan.
R: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial.
5) Berikan perawatan mulut sering.
R: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam mulut yang dapat
mempengaruhi masukan makanan.
Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret.
Tujuan: Pola nafas kembali normal / stabil.
Intervensi:
1) Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles.
R: Menyatakan adanya pengumpulan secret.
2) Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam.
R: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2.
3) Atur posisi senyaman mungkin.
R: Mencegah terjadinya sesak nafas.
4) Batasi untuk beraktivitas.
R: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia.
Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk sampah dan dialisis.
Tujuan : klien dapat berpartisipasi dalam aktivitas yang dapat ditoleransi.
KH : klien dapat berpatisipasi dalam minangkatkan tingkat aktivitas dan latihan, berpartisipasi dalam
perawatan mandiri yang dipilih serta melakukan aktivitas dan istirahat secara bergantian.
Intervensi :
1) Kaji keterbatasan aktivitas, perhatikan adanya keterbatsan kemampuan.
R : Menetukan intervensi yang tepat.
2) Tingkatkan kemandirian perawatan diri yang dapat ditoleransi, bantu jika keletihan terjadi.
R : Meningkatkan aktivitas ringan atau sedang.
3) Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat.
R : Mendorong latihan dan aktivitas dalam batas-batas yang dapat ditoleransi dan istirahat yang
adekuat.
4) Anjurkan istirahat setelah dialisis.
R : Istirahat yang adekuat dianjurkan setelah dialisis.
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kondisi dan penangana atau tindakan medis.
Tujuan : meningkatkan pengetahuan tentang kondisi dan penanganan medis.

KH : Mengetahui penyebab gagal ginjal dan komplikasinya, berpartisipasi dalam program pengobatan,
mengatahui pembatasan cairan dan diet sehubungan dengan penyakit gagal ginjal kronis.
Intervensi :
1) Kaji tentang pemahaman mengenai penyebab, prognosis dan penanganan.
R: Memberikan informasi dasar untuk penjelasan lebih lanjut.
2) Jelaskan mengenai fungsi renal dan akibat gagal ginjal sesuai tingkat pemahaman klien.
R : pasien dapat memahami fungsi renal dan siap untuk pengobatan selanjutnya.
3) Bantu klien untuk mengidentifikasi cara-cara memahami perubahan akibat penyakit dan
penangananya yang mempengaruhi gaya hidup.
R : Klien dapat menyesuaikan kegiatan sehari-hari sesuai dengan kemampuan fisik.
4) Berikan informasi mengenai: pembatasan dan diet gagal ginjal kronis, terapi, jadwal dialisis tanda
dan gejala komplikasi
R: Klien mendapatkan informasi mengenai terapi di rumah, dan terapi selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC
Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perancanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC
Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid 3. Bandung :
Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4.
Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.
Edisi 8. Jakarta :EGC
Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.: Balai Penerbit FKUI
Manjoer, arief dkk.2008.Kapita Selekta Kedokteran Jilid pertama edisi ketiga.Jakarta:Media Aesculapius

Anda mungkin juga menyukai