Anda di halaman 1dari 16

KEDUDUKAN DAN FUNGSI FILSAFAT

DALAM PENDEKATAN STUDI ISLAM1


Nanang Nurcholis
PROLOG
Adalah sebuah keniscayaan ketika kita mendiskusikan kedudukan dan fungsi filsafat dalam
pendekatan Studi Islam, maka persoalan seputar harmonisasi filsafat dan agama (baca: Islam)
akan menjadi pusat perhatian. Dalam rentang sejarah Islam, diskursus harmonisasi antara filsafat
dan Islam, tidak diragukan lagi, mengalami pergulatan dan perdebatan yang panjang dan
melelahkan. Sebagian ulama dan ilmuwan berpendapat bahwa Islam dan filsafat berbeda secara
diametral. Dengan kata lain, Islam dan filsafat mempunyai domain yang sama sekali tidak bisa
disatukan; apapun alasannya dan bagaimanapun caranya. Walaupun demikian, satu hal yang
perlu ditegaskan disini adalah tidak sedikit dari mereka yang mencoba, bahkan berhasil
mengharmoniskan dan mensintesakan diantara keduanya.
Sejarah telah mencatat bahwa harmonisasi antara Filsafat Yunani dan Islam telah dimulai
oleh Al-Kindi2, yang kemudian diteruskan secara apik oleh Al-Farabi, dan disempurnakan Ibnu
Sina3 dan Ibnu Rushd4. Hal ini sebagaimana ditulis oleh P.K. Hitti:
The harmonization of Greek philosophy with Islam begun by Al-Kindi, an Arab, was
continued by Al-Farabi, a Turk, and completed in the East by Ibn Sina, a Persian.5
Al-Kindi, yang lebih dikenal dengan the philosopher of the Arabs adalah murid Aristoteles
yang pertama dan terakhir dari eastern caliphate yang berhasil membebaskan diri dari tradisi
Arab yang jumud.6 Dia tak sekedar menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, namun dia juga
menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Salah satu kontribusinya yang besar adalah
menyelaraskan filsafat dan agama.7 Mengikuti Aristoteles, Al-Kindi menganggap bahwa tujuan
1

Makalah ini ditulis sebagai tugas Mata Kuliah Metodologi Studi Islam Program Doktor Pascasarjana IAIN
Walisongo Semarang dan disampaikan pada diskusi tanggal (2012-2013)
2
Abu Yaqub ibn Ishaq al-Kindi berasal dari Basrah dan asli keturunan Arab, sehingga sering dijuluki sebagai
Arabian Philosopher. Sebutan ini untuk membedakan dari para filsuf yang bukan berasal dari Arab. Lihat, D.T.J.
De Boer, History of Philosophy in Islam (translated by Edward R. Jones B.D), (London: University of Gronigen,
1903), hal.98
3
Abu Ali al-Husain ibn Abdullah Ibn Sina lahir pada tahun 908 M di kota Isfahan, Bukhara. Lihat, D.T.J. De Boer,
Ibid, hal 132
4
Dalam usaha untuk mencari kaitan atau korelasi antara agama (syariat) dengan filsafat, Ibnu Rusyd kemudian
menghasilkan tiga karya besar, antara lain: Hubungan antara Filsafat dan Syariat (Fals al-Mafa fi ma bain-a
IHikmah wal syariah mina-l- Ittishal); Penyingkapan tentang metode penalaran dalam Doktrin Agama (al-Khasyf
an Manhij al-Adilah fi Aqa-id al-Millah l, serta Kerancuan dalam Kerancuan (Tahafut al-Tahafut).
5
Philip.K.Hitty, History of the Arabs, (United Kingdom: Palgrave Macmillan, 2002), hal. 371
6
Ibid, hal. 370
7
Peter S. Groff, Islamic Philosophy A-Z, (United Kingdom: Edinburg University Press, 2007), hal 121

filsafat ialah menemukan hakekat sejati benda-benda melalui penjelasan-penjelasan kausal.


Penjelasan-penjelasan alamiah bertujuan untuk mencari kebenaran tentang alam sementara
filsafat pertama8 atau metafisika, berkenaan dengan bidang yang lebih tinggi. Al-kindi
mempertemukan agama dengan filsafat, atas dasar pertimbangan bahwa filsafat ialah ilmu
tentang kebenaran dan agama juga adalah ilmu tentang kebenaran pula, dan oleh karena itu,
maka tidak ada perbedaan antara keduanya.9
Selanjutnya adalah Al-Farabi (875-,950) yang dijuluki oleh kalangan timur sebagai almuallim al-tsani atau the second Aristotle10 dan otoritas terbesar setelah Aristoteles. Sistem
filsafatnya dipahami sebagai sinktretisme antara Platonism, Aristotelianism dan Sufism. 11 Ia
termasyhur karena telah memperkenalkan doktrin harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles,
dan dia memulai wacananya dengan gagasan Plato tentang perlunya menempatkan harmonisasi
seperti itu pada landasan filsafat yang paling dasar. Sumbangan filosofisnya yang asli, misalnya
berkenaan dengan pendapat-pendapat Aristoteles tentang esensi dan eksistensi, dimana AlFarabi membedakan antara esensi (struktur fundamental) pengada yang niscaya (yang wajib ada)
dengan pengada yang kontingen (yang bergantung pada sebab-sebab dan dapat menjadi hal lain).
Selain itu, Al-Farabi mengadopsi pandangan Neo-Platonisme tentang penciptaan. Ia percaya
bahwa semua penciptaan ber-emanasi dari Allah, Sang penyebab pertama, dan bahwa pikiran
manusia dapat mengetahui penciptaan ini melalui penerangan yang diberikan oleh intelegensi
yang lebih tinggi dan eksternal. Seperti para pendahulunya, Al-Farabi berhasil mempertalikan
serta menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam. Sehingga, bisa dimengerti di
dalam konteks agama-agama wahyu.
Figur sentral lainnya adalah Ibnu Sina (980-1037). Dia adalah filsuf Muslim ternama yang
menjadi tokoh sentral filsafat paripatetik.12 dan ilmuan-filsuf yang amat produktif menerbitkan
karya-karya ilmiahnya yang hingga kini masih terus dipelajari. Mengikuti konsep NeoPlatonisme, Ibnu Sina berargumen bahwa Allah menciptakan dunia melalui emanasi. Dia percaya
bahwa Allah adalah pikiran murni dan ciptaan dihasilkan dari pemikiran Tuhan (sebagai aktifitas
fundamental-Nya). Walaupun demikian, Ibnu Sina meninggalkan ciri-ciri tertentu pandangan
Neo-Platonisme, misalnya ia tidak menganggap materi sebagai fondasi abadi benda-benda,
sejalan dengan pemahaman Aristoteles . Dalam perkembangan filsafat Islam, Ibnu Sina
merupakan perintis pemikiran iluminasi. Dia adalah filosof yang merumuskan kembali
pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme (Yunani), kemudian ia padukan
dengan keyakinan agama yang dianut (Islam). Ibnu Sina tertarik mengupas salah satu cabang
dari ilmu filsafat, yaitu metafisika.13
8

Ilmu filsafat pertama meliputi ketuhanan, keesaan, keutamaan, dan ilmu-ilmu lain yang mengajarkan bagaimana
cara memperoleh hal-hal yang berguna dan menjauhkan hal-hal yang merugikan, dibawa juga oleh Rasul-rasul dari
Tuhan. Lihat, Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Cet. 6, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hal. 60
9
Ahmad Hanafi, Ibid.
10
D.T.J.De.Boer, op.cit. hal. 109
11
Philip K. Hitty, op.cit, hal. 371
12
13

W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology: An Extended Survey, (London: Edinburg University
Press, 1985), hal. 72-73

Figur fenomenal lain yang juga mempunyai kontribusi besar dalam mengharmoniskan
filsafat dan agama adalah Ibnu Rusyd. Memulai makalahnya, Ibnu Rusyd mengajukan
pertanyaan-pertanyaan apakah mempelajari filsafat dan manthiq (logika) diperbolehkan menurut
syara, ataukah dilarang, ataukah diperintahkan; baik sebagai perintah anjuran ataupun perintah
wajib?. Menurut Ibnu Rusyd, kegiatan filsafat tidak lain adalah mempelajari segala wujud dan
merenungkannya sebagai bukti adanya pencipta. Disisi lain, syara menurutnya telah
memerintahkan dan mendorong kita untuk mempelajari segala yang ada. Dia mengawali
filsafatnya dengan pembuktian bahwa syariat (al-Quran dan Hadis) mengharuskan penalaran
filsafat, sebagaimana ia mengharuskan penggunaan demonstrasi logika-rasional (burhan
manthiqi) untuk mengenal Allah dan segala ciptaan-Nya. Disini, ia ingin mengatakan bahwa
menurut syara, pengertian demikian menunjukkan bahwa mempelajari filsafat itu adalah
perintah wajib atau perintah anjuran bagi ahl al-burhan (kalangan filosof). 14
RELASI FILSAFAT DAN AGAMA
Pengertian Filsafat
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran, dan
kata sophos yang berarti ilmu dan hikmah (wisdom). Dan kombinasi dari keduanya biasa
diterjemahkan sebagai love of wisdom. Namun, yang perlu dicatat, sophia (wisdom) dalam
bahasa Yunani mempunyai aplikasi yang lebih luas daripada wisdom dalam bahasa Inggris
modern. Sophia disini mempunyai makna penggunaan akal dalam semua bidang ilmu
pengetahuan atau persoalan-persoalan praktis. Dengan kata lain, kata sophia mengandung makna
kemauan dan keinginan yang sangat kuat untuk mencari tahu. 15 Dari penjelasan diatas, filsafat
mengandung arti ingin tahu dengan mendalam atau cinta kepada kebijaksanaan. Selain itu,
filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta
berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Adapun pengertian filsafat dari segi
istilah adalah berpikir secara sistematis, radikal dan universal, untuk mengetahui tentang hakikat
segala sesuatu yang ada, seperti hakikat alam, hakikat manusia, hakikat masyarakat, hakikat
ilmu, hakikat pendidikan dan seterusnya. Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa filsafat
pada intinya berupaya menjelaskan inti, hakikat atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di
balik objek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas dan inti yang terdapat di
balik yang bersifat lahiriyah.
Sedangkan dalam Islam, istilah filsafat biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
sebagai falsafah dan hikmah.16 Definisi falsafah sebagaimana diungkapkan oleh al-Kindi adalah
pengetahuan tentang realitas wujud dengan segala kemungkinannya, sebab tujuan akhir dari
seoarang filsuf dalam pengetahuan teoritisnya adalah untuk mendapatkan kebenaran dan dalam
14

Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal wa Taqrir ma Bain al-Hikmah wa as-Syariah Min al-Ittishal, (Beirut: Dar alMasyriq, 1986), hal. 17-18
15
Frederic Ntedika Mvumbi, A Guided Journey into Philosophical Study of Religion in Africa; Going Beyond A
Religious Tradition, (Nairobi: 2010), hal. 24
16
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy: From Its Origin to the Present (Philosophy in the Land of Prophecy),
(New York: State University of New York Press, 2006), hal. 31

pengtahuan praktisnya adalah untuk berperilaku sesuai dengan kebenaran tersebut.17 Istilah
hikmah18 mempunyai pengertian Dalam serta struktur Islam dan essensinya dan penyebaran
sejarah berkaitan dengan filsafat. Wahyu Islam memiliki berbagai macam dimensi didalamnya
dan diwahyukan kepada seuluruh umat manusia pada level dasar yaitu al-islam, al-iman, dan alihsan atau dalam perspektif lain dikenal sebagai al-shariah, al-tariqah dan al-haqiqah. Ketika
kita berbicara peran filsafat dalam Islam, pertama-tama, tentunya kita akan bertanya aspek dan
dimensi Islam yang mana yang akan kita bicarakan. Dalam banyak kasus, kita harus menghindari
kesalahan yang terlalu sering dibuat oleh para sarjana barat selama beberapa abad yang lalu yang
mengidntifikasi Islam hanya dengan shariah atau kalam dan kemudian mereka melakukan studi
hubungan filsafat atau metafisik dengan dimensi Islam tersebut. Lebih dari itu, dalam rangka
mendapatkan pemahaman peran filsafat yang sesungguhnya dalam pendekatan studi Islam (baca:
Islam), satu hal yang harus kita lakukan adalah memahami Islam di seluruh amplitudonya dan
kedalamannya, terutama termasuk dimensi al-haqiqah, yang dengan ini kita akan mendapatkan
titik persimpangan antara filsafat tradisional dan metafisik dan aspek perspektif Islam ke
dalam sapientia19 yang mana seluruhnya telah dintegresikan ke dalam sejarah Islam.
Adapun arti filsafat yang kita gunakan dalam diskusi ini harus didefinisikan dengan tepat,
karena disini kita akan berhadapan dengan beberapa pertanyaan yang sangat kompleks.
Menyoal Makna Agama dan Islam
Dalam rangka memperjelas persoalan kedudukan dan peran filsafat dalam pendekatan studi
Islam, satu hal yang tidak bisa dilepaskan adalah melihat kembali definisi agama. Sebab, Islam,
tidak dapat dipungkiri lagi merupakan salah satu dari agama-agama besar di dunia. Ketika
berbicara mengenai makna agama, maka kita akan dihadapkan berbagai macam definisi dan
sudut pandang. Pertentangan tentang definisi agama biasanya berkisar seputar skop/jangkauan
yakni persoalan apa yang secara legitimate dapat atau tidak dapat dimasukkan dalam batas istilah
agama.20 Istilah agama yang biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai
religion diartikan sebagai sebuah sistem yang mencakup keimanan dan ritual, sebagaimana
dijelaskan
There are in the world today a very large number of what are technically called cults,-- a
term usually applied to a system which includes both faith and ritualbut which are
popularly called religionsIt would appear that the human race has been always, and
almost universally, religions: that every group in every period has held to some religions or

17

Seyyed Hossein Nasr, Ibid, hal. 36


Istilah hikmah yang merujuk pada filsafat dalam al-Quran diulang sebanyak 20 kali,
misalnya Q.S: 2: 269
19
Istilahsapientia, berasal dari bahasa Latin, dari kata kerja sapere yang artinya mengetahui. Definisinya seperti
dikemukakan oleh Thomas Aquinas: Sapientia adalah pengetahuan yang membahas sebab-sebab utama dan sebabsebab umum; sapientia meneliti sebab sebab inti dari segala sebab (sapientia est scientia quae considerat causas
primaikan s et universales causas; sapientia causas primas omnium causarum considerat
20
Peter Connolly, Approaches to the Study of Religion (Introduction), (New York: Continuum, 2001), hal. 4-5
18

other. We speak sometimes of the four great religions, meaning Christianity, Judaism,
Brahmanism, and Mohammedanism (Islam).21
Dalam studi agama, termasuk Islam, paling tidak ada dua aspek yang harus dipenuhi: pertama,
faith (keyakinan) yaitu aspek internal, tak terkatakan, orientasi transenden, dan dimensi pribadi
kehidupan beragama. Kedua; tradition (tradisi): yaitu aspek eksternal keagamaan, aspek sosial,
dan historis agama yang dapat diobservasi dalam msyarakat. 22 Kedua aspek tersebut oleh Charles
Adams23 dikategorikan sebagai pengalaman-dalam dan perilaku luar manusia (mans inward
experience and of his outward behavior).
Definisi lain yang juga sangat penting untuk memberikan gambaran lebih jelas mengenai
Islam sebagai sebuah agama adalah yang diungkapkan oleh Peter Connolly, Agama adalah
berbagai keyakinan yang mencakup penerimaan pada yang suci (sacred), wilayah trans-empiris
dan berbagai perilaku yang dimaksudkan untuk mempengaruhi relasi seseorang dengan wilayah
trans-empiris itu.
Any beliefs which involve the acceptance of a sacred, trans-empirical realm and any
behaviours designed to affect a persons relationship with that realm.24
Barangkali istilah yang paling tepat untuk menyebut perilaku (behavior) tersebut adalah
spiritualitas. Maka agama dapat bersifat komunal atau individual. Agama biasanya akan
memperlihatkan beberapa dimensi atau manifestasi. Kadang-kadang agama memperlihatkan
seluruh dimensi dan manifestasi itu. Misalnya Frederik Streng menggambarkan agama melalui
tiga dimensi dasar agama; dimensi personal, kebudayaan, dan ultimate. Eric Sharpe lebih
menyukai mode-mode kebahasaan dalam menyatakan dimensi-dimensi itu, dan membedakannya
dalam empat macam: dimensi eksistensial, intelektual, institusional, dan etik. Sedangkan Ninian
Smart membedakan enam bahkan tujuh dimensi yaitu dimensi ritual (practical and ritual), emosi
(experiential and emotional), mistis atau naratif (narrative or mythic), sosial (social and
institutional) etis (ethical and legal) doctrinal (doctrinal or philosophical), pengalaman dan yang
paling akhir adalah dimensi materiil (material). Walaupun demikian, satu-satunya elemen yang
benar-benar penting adalah keyakinan pada wilayah yang suci (the sacred), transenden, atau
trans-empiris. Jika hal ini ada, maka kita beragama, jika tidak ada, kita tidak beragama.
Selanjutnya kita akan membahas mengenai Studi Islam. Hal mendasar yang penting
dipahami dalam studi Islam adalah definisi Islam dan Agama. Menurut Adams sangat sulit
dicapai sebuah rumusan yang dapat diterima secara umum mengenai apakah yang disebut Islam
itu? Islam harus dilihat dari perspektif sejarah sebagai sesuatu yang selalu berubah, berkembang
dan terus berkembang dari generasi ke generasi dalam merespon secara mendalam realitas dan
21

Knight Dunlap, Religion: Its Function in Human Life, Edisi I, (New York: McGraw-Hill Book Company, Inc.,
1946), hal. 1
22
M. Arfan Muammar, dkk., Studi Islam: Perspektif Insider/Outsider, Cet. I, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), hal. 83
23
Charles Joseph Adams lahir pada tanggal 24 April 1924 di Houston, Texas. Karir akademisi Adams adalah
profesor dalam bidang Islamic Studies dan pada tahun 1963 diangkat menjadi direktor Institute of Islamic Studies
McGill University selama 20 tahun.
24
Peter Connolly, Ibid, hal. 7

makna kehidupan ini. Islam adalah an on going process of experience and its expression, which
stands in historical continuity with the message and influence of the Prophet.
Untuk melihat dan mendefinisikan Islam, kita bisa menggunakan kerangka teoritik dari
Wilfred Cantwell Smith25 yang membedakan antara tradition dan faith;
The first and altogether fundamental step has been the gradual recognition of what was
always true in principle, but was not always grasped: that the study of a religion is the study
of persons. Of all branches of human inquiry, hardly any deals with an area so personal as
this. Faith is a quality of mens lives. "All religions are new religions, every morning. For
religions do not exist up in the sky somewhere, elaborated, finished, and static; they exist in
mens hearts. The externals of religion -- symbols, institutions,
doctrines, practices -- can be examined separately; and this is largely what in fact was
happening until quite recently, perhaps particularly in European scholarship. 26
Agama apapun, termasuk Islam, memiliki aspek tradition yaitu aspek eksternal keagamaan,
aspek sosial dan historis agama yang dapat diobservasi dalam masyarakat, dan aspek faith yaitu
aspek internal, tak terkatakan, orientasi transenden, dan dimensi pribadi kehidupan beragama.
Dengan pemahaman konseptual seperti ini, tujuan studi agama adalah untuk memahami dan
mengerti pengalaman pribadi dan perilaku nyata seseorang. Studi agama harus berupaya
memiliki kemampuan terbaik dalam melakukan eksplorasi baik aspek tersembunyi maupun
aspek yang nyata dari fenomena keberagamaan. Karena dua aspek dalam keberagamaan ini
(tradition and faith, inward experience and outward behavior, hidden and manifest aspect) tidak
dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain.
Tugas dan Peran Filsafat dalam Studi Agama
Ketika membincangkan relasi antara filsafat dan agama, maka hal yang menarik untuk kita
lihat adalah bagaimana mencari titik temu antara filsafat dan agama itu sendiri. Hal ini karena
kendati agama dan filsafat masing-masing berangkat dari titik pijakan yang berbeda, agama
berangkat dari landasan keyakinan, sementara filsafat bermula dari keraguan dan kebertanyaan. 27
Keraguan dan kebertanyaan yang menjadi ciri khas berfilsafat ini merupakan sebuah landasan
yang berseberangan dengan keyakinan agama, namun keduanya memiliki fungsi yang sama
sebagai pencari kebenaran. Perbedaan titik landasan inilah yang mengakibatkan adanya
kecenderungan perkembangan yang diametral dan tidak saling menyapa antara filsafat dan
25

Wilfred Cantwell Smith lahir di Toronto, Kanada, tahun 1916. Ia adalah professor Ilmu Perbandingan Agama
sekaligus direktur Institute of Islamic Studies di McGill University, Montreal, Kanada, sejak awal berdirinya tahun
1952.
26
Manifestasi agama menurut W.C. Smith dapat dikelompokkan menjadi ajaran, simbol, praktek, dan lembaga. WC.
Smith, Comparative Religion, Whither and Why, dalam Mircea Eliade and Joseph M. Kitagawa (Ed), The History
of Religions (Chicago and London: University of Chicago Press, 1973), 35
27

Menurut Plato dan Aristoteles, filsafat bermula dari wonder ketika seseorang melihat dunia dan sekelilingnya,
sehingga terbersit dalam benaknya untuk meneliti lebih jauh mengenai asal-usul, karakter, fungsinya, dan lain-lain.
Jason A. Panon, What Is Philosophy (article), 2007, hal. 2-3

agama. Ketika keduanya disatukan, maka filsafat mendistorsi dan merusak apa yang menjadi inti
agama. Sekalipun fisafat dan agama bukan tidak saling berkaitan, keduanya harus dipisahkan.
Dalam menanggapi persoalan ini, Dalferd menyatakan ketika kita mengkaji agama, tidak
mungkin menghindari penggunaan filsafat. Suatu pendekatan filosofis terhadap agama
merefleksikan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pengalaman keagamaan prateologis
dan dalam wacana keyakinan. Dengan kata lain, Dalferd menyatakan bahwa tugas filsafat
adalah melihat persoalan-persoalan yang melingkupi pengalaman manusia, faktor-faktor yang
menyebabkan pengalaman manusia menjadi pengalaman religius, dan membahas bahasa yang
digunakan umat beragama dalam membicarakan keyakinan mereka. Baginya, rasionalitas kerja
reflektif agama dalam proses keimanan yang menuntut pemahaman itulah yang meniscayakan
adanya hubungan antara agama dan filsafat. Dalam upaya agar agama terpahami baik upaya yang
bersifat internal yakni upaya tradisi keagamaan mengeksplorasi watak dan makna keimanan
maupun upaya eksternal yakni upaya menjelaskan dan mengartikulasikan makna itu bagi mereka
yang tidak berada dalam tradisi, agama tidak dapat dipisahkan dari filsafat.
Dalferd argues that when we come to study religion, it impossible to avoid doing philosophy.
A philosophical Approach to religion reflects on questions arising in pre-theological
religious experience and the discourse of faith. In other words, the task of philosophy is to
look at problems which surround human experience, the factors that can make human
experience religious, and to examine the language believers use in talking about their faith.
For Dalfert, it is the rationality of its reflective labour in the process of faith seeking
understanding which inseparably links it with philosophy. In struggling to make itself
understood, both internally in the sense of a religious traditions attempt to explore the
nature and meaning of its faith, and externally in the sense trying to explain and articulate
that meaning to those who do not stand within the tradition, religion becomes inseparably
linked with philosophy.
Dari uraian sekilas mengenai definisi agama dan filsafat diatas, kita dapat mengetahui bahwa
titik temu antara filsafat dan agama adalah pada bidang yang sama yaitu apa yang disebut
sebagai the Ultimate Reality, yakni Realitas (Dzat) yang terpenting bagi masalah kehidupan
dan kematian manusia, seperti diungkapkan oleh beberapa tokoh; Stephen Rocker,
It is the argument of this paper that philosophy and religion are related to one another by the
activity of mutual implication. Philosophy not only has it reality as the higher stage of the
history of religion, but it has its recursion and concretion in actual religious life and
practices as they bring about the reconciliation as a whole is the truth. Religion and
philosophy form this relation of mutual implication because they share the same object, God
who is the truth, though philosophy distinguishes itself from religion by having as its task to
demonstrate the rational necessity of its object.28
28

Stephen Rocker, The Integral Relation of Religion and Philosophy in Hegels Philosophy (article) in New
Perspective in Hegels Philosophy of Religion, edited by David Kolb, (New York: State University of New York

Dalam literature lain juga disebutkan bahwa objek kajian agama dan filsafat adalah sama yaitu
Tuhan (Ultimate Reality);
The object of religion is the same as that of philosophy; it is the external verity itself in its
objective existence; it is God--nothing but God and the unfolding of God.29
Sedangkan perbedaan atau setidaknya sebuah jarak yang bisa membedakan, diatara
keduanya tidak terletak pada bidang yang menjadi titik temu itu sendiri, tetapi terletak pada cara
bagaimana menyelidiki bidang tersebut. Diatara perbedaan keduanya adalah pertama, jika yang
ditonjolkan dalam filsafat adalah berpikir, sedangkan dalam agama adalah mengabdi. Kedua, jika
filsafat menekankan pengetahuan untuk memahami, maka agama menuntut pengetahuan untuk
beribadah. Ketiga jika dalam filsafat itu dilakukan contemplation maka agama dilakukan dengan
enjoyment (merasakan dan mengalami cinta itu sendiri). Keempat bahwa filsafat walaupun
bersifat tenang dalam pekerjaannya akan tetapi sering mengeruhkan pikiran pemeluknya,
sedangkan agama meskipun memenuhi pemeluknya dengan semangat dan perasaan pengabdian
diri, namun mempunyai efek yang menenangkan jiwa pemeluknya, dan kelima jika filsafat
benyak berhubungan dengan akal atau pikiran, maka agama benyak hubungannya dengan hati.30
Secara khusus, kita dapat mengidentifikasi empat posisi utama mengenai hubungan antara
filsafat dengan agama, sebagaimana muncul dalam seluruh sejarah peradaban. Pertama, filsafat
sebagai agama, kedua, Filsafat sebagai pelayan agama, (3) Filsafat sebagai yang membuat ruang
bagi keimanan, (4) Filsafat sebagai suatu perangkat analitis bagi agama. Terhadap keempat posisi
itu kita dapat menambahkan yang (5) Filsafat sebagai studi tentang penalaran yang digunakan
dalam pemikiran keagamaan.31
Posisi pertama, filsafat sebagai agama, di Barat dapat mencakup
Pendekatan Filosofis Dalam Studi Islam
Joseph M. Kitagawa berpendapat bahwa disiplin religionwisennschaft32 terletak di antara
disiplin normatif di satu sisi dan disiplin deskriptif di sisi lain. 33 Mengkaji agama dapat dilakukan
Press, 1992), hal. 27
29
George Wilhelm Friedrich Hegel, Religion and Philosophy in The Worlds Greatest Books, Vol. XIII, (London:
Guternberg, 2004), hal. 65;
30
Syarif Hidayatullah, Relasi Agama dan Filsafat dalam Perspektif Islam (artikel), hal. 135
31
Rob Fisher, Ibid, hal. 165
32
Istilah Religionwisennschaft atau science of religion pertama kali digunakan oleh Max Muller pada tahun 1867,
yang di kemudian hari dikembangkan oleh beberapa tokoh seperti Joachim Wach, Joseph Kitagawa, Charles Adams
dan lain-lain. Menurut Joachim Wach, Religionwisennschaft atau Ilmu Agama digunakan untuk menunjukkan
emansipasi disiplin baru dari filsafat agama, terutama dari teologi. Lihat, Joachim Wach, The Comparative Study of
Religions, (New York: Columbia University Press, 1969), hal. 3
33
Konsep Kitagawa ini kemudian dikembangkan oleh Charles Adam, walaupun konsep Kitagawa sendiri, banyak
dipengaruhi oleh Joachim Wach sebagaimana diungkapkannya ketika memberi pengantar pada buku Joachim Wach,
lihat Joseph M. Kitagawa, The Life and Thought of Joachim Wach, in Joachim Wach, The Comparative Study of
Religions, (New York: Columbia University Press, 1969), hal. xxiii. Berkaitan dengan pendekatan studi Islam yang
dikembangkan oleh Adams, Amin Abdullah menyebut dia sebagai salah satu sarjana Barat yang berpendapat bahwa
metodologi ilmu-ilmu sosial dapat diterapkan pada ilmu-ilmu keislaman, dan merasakan pentingnya menerapkan

dengan menggunakan disiplin-disiplin normatif maupun deskriptif. Aspek deskriptif studi agama
harus bergantung kepada disiplin-disiplin yang berhubungan dengan perkembangan historis
masing-masing agama, psikologi, sosiologi, antropologi, filsafat, filologi, dan hermeneutik;
Obviously the history of religions or Religionswissenschaft does not monopolize the
study of religions. Normative studies, such as theology and philosophy, and descriptive
disciplines, such as sociology, anthropology, and others, are concerned with various aspects
of religions and religious phenomena. At the same time it must be made clear that the history
of religions is not merely a collective title for a number of related studies, such as the history
of Islam, Christianity, Buddhism, Hinduism, and primitive religion, or the comparative
studies of doctrines, practices, and ecclesiastical institutions of various religions. In short,
the history of religions is neither a normative discipline nor solely a descriptive discipline,
even though it is related to both. Our thesis is that the discipline of Religionswissenschaft lies
between the normative disciplines on the one hand and the descriptive disciplines on the
other.34
Persoalan selanjutnya yang perlu dibicarakan dalam topik ini adalah pendekatan filosofis
dalam studi Agama (baca: Islam). Menurut Rob Fisher, pendekatan filosofis adalah proses
rasional. Yang dimaksud proses rasional disini mencakup dua hal.35 Pertama, kita menunjukkan
fakta bahwa akal memainkan peran fundamental dalam refleksi pangalaman dan keyakinan
keagamaan dalam suatu tradisi keagamaan, Philosophy looks for rational explications and
justifications for beliefs. Philosophy has its basis in reason.36 Bagian dari proses refleksi
melibatkan peninjauan secara terbuka terhadap bahasa, doktrin, symbol-simbol, model-model,
dan mite-mite yang terdapat dan digunakan dalam tradisi. Kedua, kita menunjukkan fakta bahwa
dalam menguraikan keimanannya, tradisi keagamaan harus dapat menggunakan akal dalam
memproduksi argument-argumen logis dan dalam membuat klaim-klaim yang dapat dibenarkan.
Agama tidak bisa mengemukakan sejumlah klaim-klaim yang tidak dapat diperdebatkan atau
didiskusikan, Karena bagian dari kredibilitas tradisi keagamaan adalah kemampuannya masuk
dalam dialog yang dapat dinalar dan masuk akal dengan tradisi keagmaan lainnya dan
komunitas di mana agama itu berada.37
Sedangkan dalam kajian Islam, berpikir filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan
dalam memahami agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat
dimengerti dan dipahami secara saksama. Pendekatan filosofis ini sebenarnya sudah banyak
dilakukan sebelumnya, diantaranya Muhammad al Jurjawi yang menulis buku berjudul Hikmah
Al Tasyri wa Falsafatuhu. Dalam buku tersebut Al Jurjawi berusaha mengungkapkan hikmah
yang terdapat di balik ajaran-ajaran agama Islam, misalnya ajaran agama Islam mengajarkan
kaidah-kaidah ilmiah, metode dan cara pandang yang biasa digunakan dalam studi agama (religionwissenchaft) pada
wilayah studi keislaman.
34
Joseph M. Kitagawa, The History of Religions in America in The History of Religions: Essays in Methodology by
Mircea Eliade and Joseph M. Kitagawa (eds.)
35

Rob Fisher, Pendekatan Filosofis, dalam Aneka Pendekatan Studi Agama, Editor; Peter Connolly, (Yogyakarta:
LKiS, 2002), hal 155
36
Philip A. Pecorino, Philosophy of Religion, (Queensbrough Community College), hal
37
Rob Fisher, op.cit., hal 155

agar melaksanakan sholat berjamaah dengan tujuan antara lain agar seseorang dapat merasakan
hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain, dan lain sebagainya. Makna demikian
dapat dijumpai melalui pendekatan yang bersifat filosofis. Dengan menggunakan pendekatan
filosofis seseorang akan dapat memberi makna terhadap sesuatu yang dijumpainya, dan dapat
pula menangkap hikmah dan ajaran yang terkandung di dalamnya. Dengan cara demikian ketika
seseorang mengerjakan suatu amal ibadah tidak akan merasa kekeringan spiritual yang dapat
menimbulkan kebosanan. Semakin mampu menggali makna filosofis dari suatu ajaran agama,
maka semakin meningkat pula sikap, penghayatan, dan daya spiritualitas yang dimiliki
seseorang.
Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama
yang bersifat formalistik, yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki
makna apa-apa, kosong tanpa arti. Yang didapatkan dari pengamalan agama hanyalah pengakuan
formalistik, misalnya sudah haji, sudah menunaikan rukun Islam kelima dan berhenti sampai
disitu saja. Tidak dapat merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Namun
demikian pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan bentuk pengamalan
agama yang bersifat formal. Filsafat mempelajari segi batin yang bersifat esoterik, sedangkan
bentuk (forma) memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik. Islam sebagai agama yang
banyak menyuruh penganutnya mempergunakan akal pikiran sudah dapat dipastikan sangat
memerlukan pendekatan filosofis dalam memahami ajaran agamanya.
Berkaitan dengan relasi antara filsafat dengan agama, ada empat posisi utama sebagaimana
muncul dalam dalam sejarah perdebatan. (1) filsafat sebagai agama (philosophy as religion), (2)
filsafat sebagai pelayan agama (philosophy as the handmaid of religion), (3) filsafat sebagai yang
membuat ruang bagi keimanan (philosophy as making room for faith), (4) filsafat sebagai suatu
perangkat analitis bagi bahasa agama (philosophy as the analysis of religious language). Namun,
David Pailin menambahkan posisi yang (5) filsafat sebagai studi tentang penalaran yang
digunakan dalam pemikiran keagamaan (philosophy as the study of reasoning used in religious
thought).38
Posisi pertama, filsafat sebagai agama, di barat dapat mencakup pemikir-pemikir seperti
Plato, Plotinus, Porphyry, Spinoza, Iris Murdoch, dan pemikir proses khususnya, Hartshone dan
Griffen, inti dari pendekatan ini terletak pada ide bahwa dengan merefleksiskan watak realitas
tertinggikebaikan, Tuhan (God), ketuhanan (divine)kita dapat menemukan wawasanwawasan yang sesungguhnya mengenai pengalaman manusia dan dunia, refleksi memberi
gambaran yang benar tentang bagaimana sesuatu itu. Model pandangan metafisik ini
menunjukkan pada kita apa yang tertinggi dan ultimate, dan memberikan kita suatu sistem nilai
bagi hidup dalam kehidupan sehari-hari.
Posisi kedua, filsafat sebagai pelayan agama, dapat mencakup pemikir-pemikir seperti
Aquina, John Lock, Basil Mitchell, dan Richard Swinburne. Refleksi memberikan pengetahuan
38

Rob Fisher, Ibid, hal.

parsial tentang Tuhan atau beberapa bentuk lain dari ultimate spiritual. Ia dapat menunjukkan
rasionalitas dari proses meyakini bahwa Tuhan ada, mendiskusikan sifat-sifat Tuhan, dalam
tradisi Judeo-Kristen, refleksi berfungsi untuk membangun argumen-argumen yang
menunjukkan aktifitas Tuhan dalam sejarah dan kontrol Tuhan terhadap dunia. Pelaksanaan
refleksi jenis ini dikenal dengan teologi natural (natural theology).39 Tetapi teologi natural tidak
dapat memberikan keimanan seseorang, ia mensyaratkan wahyu Tuhan jika orang harus
merespon dengan keimanan dan menerima keanggunan penyelamatan. Bagi Aquinas, wahyu
adalah komunikasi Tuhan tentang kebenaran yang tanpa bantuan akal, ia tidak dapat diperoleh
dengan sendirinya, nalar manusia adalah mukaddimah bagi keimanan. John Locke
mengembangkan hal ini dengan menyatakan bahwa akal menetapkan suatu standar kebenaran
yang berlawanan dengan standar yang ditetapkan oleh pengetahuan wahyu, diuji otensitasnya,
kebenaran wahyu tidak boleh bertentangan dengan standar-standar itu. Dan posisi ini
dikembangkan dalam karya Richard Swinburn baru-baru ini.
Posisi ketiga, filsafat sebagai pembuat ruang bagi keimanan dapat meliouti pemikirpemikir seperti William Ockam, Immanuel Kant, Karl Bath, dan Alvin Platinga. Refleksi, paling
banter hanya dapat memperlihatkan ketidakmemadainya dalam membuat pertimbanganpertimbangan tentang agama, dengan menunjukkan keterbatasan-keterbatasannya, refleksi
membuka kemungkinan agama, dan menjelaskan ketergantungan manusia pada wahyu yang
dengannya manusia kita memperoleh pengetahuan tentang Tuhan.40 Misalnya, Kant berpendapat
bahwa filsafat tidak mempunyai peran positif dengan agama, fungsinya hanya menentukan
kondisi-kondisi kemungkinan agama, atau dalam arti negative; membuat ruang bagi keimanan
agama. Baginya, batas-batas akal muni vis--vis agama sangat sulit untuk dijelaskan sehingga
tugas filsafat disini dilihat sebagai adanya kemungkinan ruang bagi agama dengan menunjukan
keterbatasan akal murni (pure reason).41
Posisi keempat, filsafat sebagai studi analisis terhadap agama, barangkali adalah posisi
yang paling akrab dan dapat mencakup pemikir-pemikir seperti Anthony Flew, Paul Van Buren,
R.B. Braith Waite, dan D.Z. Philips. Ini merupakan posisi yang paling akrab karena merupakan
cara berfilsafat agama yang paling dominan dalam dunia berbahasa Inggris. Tujuannya adalah
menganalisis dan menjelaskan watak dan fungsi bahasa keagamaan (religious language),
menemukan cara kerjanya, dan makna yang dibawanya. Ia ingin mengetahui bagaimana umat
beriman menggunakan bahasa untuk membicarakan Tuhan, apa dasar-dasar yang digunakan
untuk mendukung pengetahuan-pengetahuan mereka dan bagaimana semua itu dikaitkan dengan
cara hidup mereka.
39

Teologi natural (natural theology) adalah suatu usaha untuk menyimpulkan pusat keyakinan/keimanan agama dari
premis-premis empiris baik dari makna umum ataupun makna logis. the attempt to infer central religious beliefs
from premisses that are either obvious to common sense (e.g. that some things are in motion) or logically necessary .
Lihat, Alvin Platinga, The Free Will Defence, in The Philosophy of Religion, Edited by Basil Michell, (New York:
Oxford University Press, 1971), hal. 106
40
Job Fisher, op.cit., hal
41
Jaco Gericke, The Hebrewe Bible and Philosophy of Religion, (Society of Biblical Literature, 2012), hal. 25

Posisi kelima dari filsafat agama yang perlu digarisbawahi disini adalah filsafat sebagai
studi penalaran yang digunakan dalam pemikiran keagamaan. Dalam beberapa hal, bentuk ini
bisa dilihat sebagai komponen cara pandang analisis terhadap relasi filsafat dan agama. 42 Teori
ini merupakan perkembangan modern dan mencakup pemikir-pemikir seperti David Pailin 43,
Maurice Wiles44, dan John Hick45. Pendirian dibalik pendekatan agama jenis ini adalah bahwa
umat beriman adalah manusia dan oleh karena itu, struktur pemikiran mereka dan kebudayaankebudayaan partikular, dimana mereka menemukan bagi diri mereka sendiri suatu kondisi apa
yang mereka yakini;
The final form of philosophy of religion which is to be outlined in this chapter is that which is
concerned with the reasoning used in religious thought. In some ways it may be seen as a
component of the analytical view of the relationship between philosophy and religion. It
does, however, have sufficient importance and characteristics as a study in its own right to
deserve to be mentioned separately. The conviction underlying this philosophical approach
to religion is that believers are human beings and hence both the human structure of their
thought and the particular cultures in which they find themselves condition what they
believe.46
Tujuannya mencoba melihat secara teliti berbagai konteks dimana orang beriman
melangsungkan kehidupannya, mengidentifikasi faktor-faktor yang beroperasi dalam konteks itu
yang dapat mempengaruhi keyakinan seseorang, dan melihat bagaimana keyakinan itu
diekspresikan dalam doktrin dan praktik.47 Penekanannya sebagaimana disebutkan oleh John
Hick adalah pada kebudayaan. Artinya, kebudayaan sebagai faktor formatif dan berpengaruh
terhadap pemikiran dan keyakinan keagamaan seseorang;
There is, I think, no great mystery as to the historical sources of this prevalent view of
religion as essentially an aspect of human culture, and of the consequent transformation of
God into one of the terms of religious thought.48
I suggest that we shall be moving in the right direction if we follow out the implications of
the realisation, increasingly established within western thought in the modern period, that
what we call a religion, as an empirical entity that can be tracedhistorically and mapped
geographically, is a human phenomenon. Christianity, Judaism, Buddhism, Islam and so on
are human creations whose history is part of the wider history of human culture.49
42
43

David Pailin, Groundwork of Philosophy of Religion, (London: Epworth Press, 1989), hal. 31
David Pailin adalah professor theology and philosophy of religion di Universitas Manchester, U.K.

44

45

John Hick adalah salah satu professor philosophy of religion di Claremont Graduate School, California. Dia juga
tercatat sebagai salahvsatu peneliti senior di Institute for Advanced Research in Humanities di Universitas
Birmingham, U.K. Karya-karyanya di bidang Teologi dan Filsafat Agama antara lain An Interpretation of Religion,
Faith and Knowledge, Problems of Religious Pluralism, Arguments for the Existence of God, and Three Faiths
One God: A Jewish, Christian, Muslim Encounter.
46
Ibid.
47
Ibid.
48
John Hick, God and the Universe of Faiths, (United Kingdom: Oneworld Publications Ltd, 1993), hal. 22
49
John Hick, Ibid, hal 101

Karakteristik Prinsipil Pendekatan Filosofis


John Hick menyatakan bahwa pemikiran filosofis mengenai agama bukan merupakan cabang
teologi atau studi-studi keagamaan tetapi sebagai cabang filsafat. Dengan demikian, filsafat
agama merupakan suatu aktifitas keteraturan kedua (second order activity)50 yang
menggunakan perangkat-perangkat bagi agama dan pemikiran keagamaan. Pernyataan Hick
memberikan pemahaman bagi kita suatu cara yang menarik kepada kita dalam membahas apa
gambaran karakteristik pendekatan filosofis. Pada umumnya kita dapat menyatakan bahwa
pendekatan filosofis memiliki empat cabang. 51
1. Logika
Berasal dari bahasa Yunani logos, secara literal logika berarti pemikiran atau akal,
logika adalah seni argumen rasional dan koheren. Dalam sejarah, Aristoteles adalah orang
pertama yang mengelaborasikan sistem logika. 52 Ia memberikan penekanan tentang
definisi universal yang ditemukan dalam pemikiran Sokrates, penggunaan Seperti telah
kita lihat, kita semua marah ketika seseorang menentang sesuatu yang kita yakini atau
kita mengemukakan semua alasan untuk membenarkan posisi kita. Logika merasuk ke
seluruh proses berargumentasi dengan seseorang menjadikannya lebih cermat dan
meningkat proses tersebut. Semua argumen memiliki titik pangkal, argumen-argumen itu
memerlukan pernyataan pembuka untuk memulai. Dalam logika, pernyataan pembuka ini
disebut premis. Premis adalah apa yang mengawali argumen. Salah satu premis yang
paling terkenal dalam filsafat agama adalah yang dikemukan Anselm : Tuhan adalah
sesuatu yang tidak ada hal lebih besar yang dapat dipikirkan selain dia. Ketika berkaitan
dengan argumen, seorang filsuf akan melihat premis untuk mengetahui apakah suatu
argumen itu benar atau salah, dan apakah ia koheren, karena jika premisnya keliru, tidak
ada argumen yang dapat dibangun darinya. Dari premis, argumen berkembang dalam
serangkaian tahapan sampai kita mencapai suatu kesimpulan. Argumen Anselm,
berkembang dengan cara sebagai berikut:
Langkah 1: Terdapat sesuatu yang dapat dipahami, namun pemahaman itu sangat
berbeda dari keberadaannya yang sesungguhnya
Langkah 2: Jika (sesuatu) hanya ada dalam pemahaman maka dimungkinkan juga
memikirkan keberadaannya dalam realitas, dan itu lebih besar.
Langkah 3: Jika sesuatu yang lebih besar daripada sesuatu yang tidak ada hal lain yang
lebih besar darinya, hanya dapat dipikirkan (maha besar) bahwa ia ada
dalam pemahaman maka sesuatu yang lebih besar daripada sesuatu yang
tidak ada hal lain yang lebih besar darinya yang dapat dipikirkan adalah
sesuatu yang lebih kecil daripada sesuatu yang lebih besar yang dapat
dipikirkan.
Langkah 4:
Ini jelas tidak mungkin
50

Maksud dari istilah second order activity atau aktifitas keteraturan kedua adalah bahwa filsafat agama tidak
seharusnya difahami hanya sebagai praktik agama atau pernyataan keimanan terhadap suatu agama saja, tetapi lebih
dari itu yaitu sebagai refleksi rasional terhadap permasalahan-permasalahan agama yang mencoba mendengarkan
secara seksama masalah fundamental agama. Tujuan utamanya untuk mengungkapkan kebenaran agama, membuka
paradigma berfikir, dan berusaha mengungkapkan kebenaran dan kelemahan proposisi-proposisi agama. Lihat
Frederic Ntedika Mvumbi, op.cit., hal. 13
51
Rob Fisher, op.cit., hal. 168
52

Peter King & Stewart Shapiro, The Oxford Companion to Philosophy, (London: Oxford University Press, 1996), hal.
496

Kesimpulan:

Tidak ada keraguan bahwa sesuatu yang lebih kecil daripada sesuatu yang
lebih besar yang tidak dapat dipikirkan, ada dalam pemahaman dan
realitas.
Seorang filsuf akan menguji masing-masing tahap yang disebut langkahlangkah logis untuk melihat apakah secara logika tahapan-tahapan itu
saling mengikuti satu sama lain. Akhirnya filsuf akan melihat apakah
konsisten dengan premis dan tahapan-tahapan logisnya.53

Maka seorang logikawan, akan mengambil segala apa yang dikatakan seseorang dan
menguraikannya dalam bentuk tahap demi tahap sederhana. Ketika berargumentasi
dengan seseorang, coba tentukan premis apa yang dijadikan titik pijak, bagaimana
mereka membangun argumennya dan bagaimana mereka sampai pada kesimpulan. Ini
diterapkan dalam banyak argumen, dan dalam kaitan dengan agama, suatu pendekatan
filosofis, secara teliti menguji seluruh aspek argumen yang diajukan orang beragama.
Proses ini memiliki dua keuntungan disatu sisi, proses ini dapat memperlebar friksi yang
mungkin terjadi antara orang-orang yang terlibat dalam satu argumen, juga
memperlihatkan bahwa anda tidak tertarik membuat komentar personal tetapi hanya
concern dengan kekuatan apa yang telah dikatakan. Di sisi lain, semua argumen harus
bertahan atau jatuh karena di belakangnya memiliki penalaran yang baik. Proses ini
memungkinkan kita melihat secara pasti bentuk penalaran apa yang digunakan dalam
argumen tertentu. Kemampuan berargumen dengan cara begini merupakan keahlian yang
dicapai secara gradual melalui praktik, dan merupakan perbuatan yang bermanfaat,
mempersingkat apa yang dikatakan seseorang ke dalam bagian-bagian yang rinci.54
2. Metafisika
Istilah ini pertama kali digunakan tahun 60 SM oleh filsuf Yunani Andronicus.
Metafisika terkait dengan hal yang paling dasar, pertanyaan-pertanyaan fundamental
tentang kehidupan, eksistensi, dan watak ada (being) itu sendiri, secara literal metafisika
berarti kehidupan, alam, dan segala hal. Metafisika mengemukakan pertanyaan tentang
apakah sesungguhnya aku (what I am), sebagai seorang pribadi, apakah aku tubuh
materiil, otak yang akan berhenti dari keberadaannya ketika mati? Atau apakah aku itu
suatu jiwa, suatu entitas tanpa bentuk terpisah? Atau apakah benar terletak antara
keduanya? Metafisika mengemukakan pertanyaan-pertanyaan tentang siapakah aku
(who I am) sebagai seorang pribadi: apakah yang menjadikan aku sebagai aku? Apakah
aku pribadi yang sama dengan aku 5, 10, dan 15 tahun yang lalu? Apakah aku akan
menjadi pribadi ketika aku berusia 40, 50, dan 60 tahun? Apa yang menjadikan sebagai
pribadi yang sama? Apakah ini persoalan memori, jika ya, bagaimana jika aku kehilangan
memori? Atau apakah ini persoalan hiasan fisik, sehingga bagaimanapun juga aku harus
selalu memiliki bentuk fisik? Metafisika mempertanyakan eksistensi: apakah yang
dimaksud dengan ada? Apakah aku ada? Apakah Daffy Duck ada? Apakah Daffy Duck
ada dalam pengertian yang sama dengan keberadaanku? Apakah Tuhan ada? Dalam
pengertian bagaimana Tuhan ada?
Aspek aktivitas filosofis ini menunjukkan concern pada komprehensifitas. Tidak ada
sesuatu pun yang berada di luar wilayah perhatian filsafat, bagi filsuf segala sesuatu
53
54

Rob Fisher, op.cit., hal 169


Ibid

adalah penting. Ini melindungi dari digunakannya pandangan menutup mata atau berat
sebelah dalam hal-hal tertentu, filsuf harus menyadari segala sesuatu yang memang atau
mungkin penting bagi persoalan yang sedang dihadapi. Dan hal ini diterapkan dalam
pendekatan filosofis terhadap agama, yang dengan sendirinya berkaitan misalnya dengan
pertanyaan-pertanyaan ontologisme (studi tentang ada atau eksistensi, termasuk
eksistensi Tuhan), pertanyaan-pertanyaan kosmologis (argumen-argumen yang terkait
dengan asal usul dan tujuan dunia, termasuk pengaruh yang ditimbulkan oleh ilmu) dan
pertanyaan-pertanyaan tentang humanitas (watak dan status manusia dan komunitas
manusia, termasuk watak subjektivitas).55
3. Epistemologi
Epistemologi menitikberatkan pada apa yang dapat kita ketahui, dan bagaimana kita
mengetahui. Epistemologi memberi perhatian pada pengetahuan dan bagaimana kita
memperolehnya. Plato misalnya berpendapat tidak mungkin memperoleh pengetahuan,
dan dia menggunakan apa yang dia sebut dengan paradok Meno guna menunjukkan
mengapa seseorang tidak dapat menyelidiki apa yang dia tahu karena dengan
mengasumsikan bahwa ia tahu berarti ia tidak perlu menyelidiki, demikian juga ia tidak
dapat menyelidiki apa yang tidak dia ketahui karena dia tidak tahu apa yang harus
diselidiki.
Inti dari pernyataan Plato adalah bahwa ketika kita sampai pada pengetahuan, kita
tidak pernah memulainya dari permulaan. Seluruh pertanyaan yang kita ajukan, segala
sesuatu yang kita ketahui, memiliki serombongan besar praanggapan dan keyakinan yang
telah ada sebelumnya. Seluruh yang kita kerjakan dan ketahui terletak dalam suatu
konteks praanggapan dan keyakinan yang luas dan sering tidak dipertanyakan. Tidak
sesuatupun dimulai dari daftar yang bersih. Segala sesuatu selalu dibangun berdasar
sesuatu lainnya. Plato juga menunjukkan bahwa penelitian dan pencarian pengetahuan
tidak pernah berhenti, jawaban terhadap pertanyaan kita menjadi dasar bagi seluruh
pertanyaan selanjutnya, dan begitu seterusnya. Bagi Plato, pengetahuan adalah persoalan
mengingat segala sesuatu yang telah dipelajari dalam kehidupan sebelumnya, bagi kita
sekarang pengetahuan adalah persoalan proses penelitian dan penemuan. Proses ini hanya
akan berhenti jika kita secara sewenang-wenang dan artifisial menjadikannya berhenti.
Itulah mengapa kesimpulan yang kita capai hanya dapat bersifat tentatif dan sementara.56
Tugas epistemologi adalah menemukan bagaimana pengetahuan berbeda dari
keyakinan dan pendapat? Apakah pengetahuan dan keyakinan berbeda secara esensial?
Jika saya berkata saya meyakini dia berbohong padaku, itu merupakan pernyataan yang
lebih lemah dibanding jika saya mengatakan saya tahu dia berbohong padaku.
Sekarang lihatlah pernyataan ini dalam konteks berbeda. Orang beriman berkatasaya
meyakini Tuhan ada, apakah ini sama dengan pernyataan saya tahu Tuhan ada.
Menyatakan saya meyakini Tuhan ada dan saya tahu Tuhan ada tampak merupakan
dua pernyataan yang berbeda, apa yang menjadikan sesuatu sebagai keyakinan berbeda
dari apa yang menjadikan sesuatu sebagai sebuah pengetahuan. Beberapa umat beragama
menyatakan mengetahui bahwa Tuhan ada, namun apa yang mereka ketahui? Dengan
kata lain, kapan kita dapat menyatakan kita mengetahui sesuatu? Dan dimana persoalan
kebenaran mengenai apa yang kita tahu itu muncul? Apakah keyakinan-keyakinan yang
55
56

Ibid, hal. 172


Ibid

kita pegang dapat menjadi benar atau salah? Atau apakah ini secara tepat yang
menjadikannya keyakinan, yakni bahwa kita tidak dapat menunjukkannya benar atau
salah, hanya mungkin dan tidak mungkin, lebih berpeluang atau kurang berpeluang.
4. Etika
Secara harfiah etika berarti studi tentang perilaku atau studi dan penyelidikan
tentang nilai-nilai yang dengannya kita hidup, yang mengatur cara kita hidup dengan
lainnya, dalam satu komunitas lokal, komunitas nasional, maupun komunitas global
internasional. Etika menitikberatkan perhatian pada pertanyaan-pertanyaan tentang
kewajiban, keadilan, cinta, dan kebaikan. Dan dalam etika sebagai concern general,
muncul perhatian pada praktik-praktik partikular dalam masyarakat, maka kita memiliki
perhatian khusus pada etika bisnis, etika medis, etika kerja, dan etika politik. Semua itu
kadang disebut sebagai persoalan yang termasuk dalam etika terapan dengan kata lain ia
menerapkan ide-ide, teori-teori, dan prinsip-prinsip etika general pada wilayah-wilayah
partikular, dan spesifik dalam kehidupan dan kerja manusia.
Dalam kaitan dengan studi agama, etika terlihat jelas dalam kehidupan
keagamaan, aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang menerangkan tentang cara kehidupan
religius. Apa yang menjadi sumber dan dari mana asal usul aturan itu? Apa sumber dan
asal usul moralitas? Beberapa orang beriman mengatakan bahwa Tuhan adalah sumber
moralitas, dan prinsip-prinsip yang mereka ikuti dalam kehidupan mereka adalah baik
karena Tuhan menyatakannya sebagai baik. Akan tetapi apakah yang terjadi seandainya
Tuhan menyatakan bahwa pembunuh itu baik? Apa yang terjadi seandainya Tuhan
memerintahkan orang untuk membunuh orang lain? Haruskah itu disebut baik? Dalam
menanggapi hal ini, umat beragama sering mengatakan bahwa Tuhan tidak akan
memerintahkan membunuh orang lain, tetapi dalam pernyataan ini, mereka menunjukkan
bahwa Tuhan juga tunduk pada satu kode moral dan karenanya Tuhan bukan sumber
moralitas. Akan tetapi jika Tuhan bukan pembuat moralitas, lalu siapa? Apakah anda
menjadi agamis jika anda hidup dalam suatu kehidupan moral? Apakah ateis itu moral?
Apa kaitan antara moralitas dan agama?
Pada umumnya, di sini terdapat empat wilayah yang menghiasi aktivitas filsafat
sebagai suatu disiplin akademik, dan bagaimana aktivitas filosofis mendekati studi
agama. Ini adalah bentuk aktivitas filosofis yang paling banyak dilakukan orang di Barat.
Dan dalam bentuk inilah perdebatan dan persoalan karakteristik itu muncul.

Ibn Sina writes in "al-Isharat" that, "Philosophy is the exercise of intellect, enabling man
to know Being as it is in itself. It is incumbent upon man to do this by the exercise of his
intellect, so that he may ennoble his soul and make it perfect, and may become a rational
scientist, and get the capacity of eternal bliss in hereafter." During the time of new
philosophical approach, the orthodox circles had two options open before them; either to
adopt a rigid stance, or to assimilate the trend. The orthodox orbits, however, tenaciously
reacted against this pattern.

Anda mungkin juga menyukai