Anda di halaman 1dari 14

A.

Kasus
Arya, seorang anak usia 17 bulan mengalami demam sejak 8 hari sebelumnya.
Tidak didapatkan batuk. Tidak ada riwayat bepergian ke luar Jawa atau endemis
malaria atau DBD. Anak mengalami BAB cair sejak 2 hari yang lalu tanpa lendir
darah, frekuensi 5-7 kali/hari. Ibu mengatakan anak hanya minum sedikit sejak
pagi tadi. Tidak ada kejang. Tanda vital menunjukkan suhu badan 38,2C, nadi
kuat 132 kali/menit, frekuensi napas 37 x/menit. Pada pemeriksaan didapatkan
kaku kuduk, tidak terdapat mata cekung atau cubitan perut kembali lambat.
Riwayat imunisasi lengkap sampai usia 9 bulan.
a. Lakukan penilaian dan klasifikasi menurut MTBS untuk kasus di atas!
b. Lakukan pengobatan dan tindak lanjutnya!

B. Jawaban Pertanyaan Kasus


a. Berdasarkan alur MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit)
Pada anak usia 2 bulan sampai 5 tahun, tenaga kesehatan memeriksa
kemungkinan tanda bahaya umum, menanyakan keluhan utama yang dapat
berupa keluhan batuk atau sukar bernafas, diare, demam, masalah pada
telinga serta, memeriksa status gizi, anemia, dan riwayat imunisasi.

2 hari yang
lalu tanpa
lendir darah

Dema
m8
hari
yang
lalu

Pasien tidak memiliki tanda bahaya. Keluhan orang tua pasien ialah
demam pada anaknya. Kemudian pada pemeriksaan didapatkan informasi
bahwa suhu badan anak 38,2C, terdapat kaku kuduk, namun tidak
memiliki risiko malaria. Dari hasil pemeriksaan tersebut, keadaan bayi
dapat diklasifikasikan dalam penyakit berat dengan demam. Selain itu,
anak juga diare sejak 2 hari yang lalu dan frekuensi 5-7 kali/hari namun
tidak terdapat mata cekung atau cubitan perut kembali lambat.
Berdasarkan pemeriksaan tersebut keadaan bayi dapat diklasifikasikan
sebagai diare tanpa dehidrasi. Pada anamnesis dan pemeriksaan,
didapatkan hasil anak tidak batuk, status gizi bayi normal, tidak
mengalami anemia, serta riwayat imunisasi lengkap sampai usia 9 bulan.
b. Pembahasan
Pasien pada kasus diatas dapat diklasifikasikan dalam penyakit berat
dengan demam dan diare tanpa dehidrasi. Pada kasus penyakit berat dengan
demam, pasien perlu diberi dosis pertama antibiotik yang sesuai, mencegah
agar gula darah tidak turun, beri dosis pertama parasetamol jika demam

tinggi (>38,5C) kemudian dirujuk segera. Pada kasus anak diatas,


pemberian parasetamol tidak perlu dilakukan karena suhu tubuh tidak
mencapai 38,5C.
Pada pemberian dosis pertama antibiotic yang sesuai, tenaga
kesehatan harus memberikan penjelasan kepada ibu mengapai obat tersebut
diberikan, menentukan dosis yang sesuai dengan berat badan atau umur
anak, menggunakan jarum dan alat suntik steril, dan memberikan obat
secara intramuscular. Tenaga kesehatan memberikan dosis pertama
ampisilin + gentamisisn intramuscular dan rujuk segera. Jika rujukan tidak
memungkinkan maka penyuntikan ampisilin diulangi setiap 12 jam selama
5 hari kemudian melanjutkan pemberian antibiotic oral yang seuai untuk
melengkapi 10 hari pengobatan. Ampisilin diberikan dengan dosis 50
mg/kgBB lalu ditambahkan 4 ml aquadest dalam 1 vial 1000 mg sehingga
menjadi 1000 mg/5ml atau 200ml/ml. Sedangkan gentamisin dengan dosis
7,5 mg/kgBB.
Umur atau Berat Badan
2 bulan - < 4 bulan
(4- <6 kg)
4 bulan - <9 bulan
(6- <8 kg)
9 bulan - <12 bulan
(8- <10 kg)
12 bulan - < 3 tahun
(10- <14 kg)
3 tahun - <5 tahun
(14-19 kg)

Ampisilin

Gentamisin

1,25 ml = 250 mg

1 ml = 40 mg

1,75 ml = 350 mg

1,25 ml = 50 mg

2,25 ml = 450 mg

1,75 ml = 50 mg

3 ml = 600 mg

2,5 ml = 100 mg

3,75 ml = 750 mg

3 ml =120 mg

Untuk mencegah agar gula tidak turun perlu tindakan seperti meminta
ibu tersebut untuk menyusui bayinya jika bayi masih bisa menyusu.
Apabila bayi tidak dapat menyusu tapi masih bisa menelan maka berikan
ASI perah atau susu formula ataupun air gula 30 -50 ml sebelum dirujuk.
Apabila tidak memungkinkan berikan susu formula atau air gula. Selain itu
apabila bayi tidak bisa menelan, berikan 50 ml susu formula atau air gula

melalui pipa orograstrik. Jika tidak terdapat pipa orogastrik maka pasien
harus dirujuk segera. Cara membuat air gula ialah dengan melarutkan gula
sebanyak 1 sendok the (5 gram) ke dalam gelas berisi 50 ml air matang,
kemudian aduk sampai larut.
Apabila pasien mengalami demam >38,5C maka pasien harus diberi
parasetamol. Parasetamol diberi setiap 6 jam hingga demam hilang. Obat
ini tersedia dalam bentuk tablet 500 mg dan 100 mg serta dalam bentuk
sirup 120mg/5 ml. Berikut ialah dosis pemberian parasetamol pada anak
usia 2 bulan hingga 5 tahun.
Umur atau Berat
Badan
2bulan - <6 bulan
(4 - <7 kg)
6 bulan - <3 tahun
(7- <14 kg)
3 tahun - <5tahun
(14- <19 kg)

Tablet 500 mg

Tablet 100 mg

1/8

Sirup 120mg/5
ml
2,5 ml ( sendok
takar)
5 ml (1 sendok
takar)
7,5 ml (1
sendok takar)

Selain itu menangani infeksi berat sebelum dirujuk, tenaga kesehatan


juga harus menangani diare tanpa dehidrasi yang dialami oleh anak. Pada
diare tanpa dehidrasi, anak harus diberikan cairan, makanan, dan tablet
Zinc sesuai rencana terapi A, menasihati orang tua kapan harus kembali
segera, dan kunjungan bisa dilakukan setelah 5 hari tidak ada perbaikan.
Rencana Terapi A merupakan penanganan diare di rumah. Tenaga
kesehatan menjelaskan pada ibu tentang empat aturan perawatan di rumah
yaitu memberi cairan tambahan, memberi tablet zinc selama 10 hari,
melanjutkan pemberian makanan dan memberi tahu kapan harus kembali.
Pemberian cairan tambahan harus dilakukan sebanyak anak mau. Jelaskan
kepada ibu untuk memberi ASI lebih sering dan lebih lama pada setiap
menyusui. Apabila anak mendapat ASI eksklusif, anak harus diberikan
tambahan oralit atau air matang. Jika anak sudah tidak mendapat ASI

eksklusif, maka anak diberi atu atau lebih dari cairan seperti oralit atau
cairan makanan seperti kuah sayur, air tajin, atau air matang.
Tenaga kesehatan juga memberikan ibu 6 bungkus oralit (200ml)
untuk digunakan di rumah serta mengajarkan pada ibu cara mencampur
dan memberikan oralit. Oralit yang harus diberikan pada anak tiap kali
BAB adalah 50 ml sampai 100 ml pada anak usia kurang dari 1 tahun dan
sebanyak 100 ml sampai 200 ml pada anak usia 1 tahun hingga 5 tahun.
Cara meminumkan pada anak adalah sedikit demi sedikit tapi sering dari
cangkir. Apabila anak muntah maka tunggu selama 10 menit kemudian
lanjutkan lagi dengan lebih lambat. Pemberian cairan tambahan
dilanjutkan sampai diare berhenti.
Pemberian tablet Zinc selama 10 hari juga diberikan pada semua
penderita diare kecuali pada bayi muda. Sediaan tablet Zinc yang ada ialah
tablet 20 mg. Dosis untuk bayi usia 2 bulan hingga kurang dari 6 bulan
ialah tablet sementara untuk usia 6 bulan keatas ialah 1 tablet. Cara
pemberian tablet Zinc ialah dengan melarutkan tablet dengan sedikit ait
atau ASI dalam sendok teh.
c. Tinjauan Pustaka
1. Demam yang berlangsung selama lebih dari 7 hari
Berdasarkan

pedoman

penatalaksanaan

WHO,

diagnosis

banding untuk demam yang berlangsung lebih dari 7 hari ialah. Demam
tifoid, TB milier, Endokarditis infektif, demam rematik akut, dan abses
dalam (WHO, 2009).
Diagnosis banding
Demam tifoid
-

Didasarkan pada keadaan


Demam lebih dari tujuh hari
Terlihat jelas sakit dan kondisi serius tanpa sebab
yang jelas

Nyeri

perut,

konstipasi
TB milier

Delirium
Demam tinggi

kembung,

mual,

muntah,

diare,

Berat badan turun

Anoreksia

Pembesaran hati dan/atau limpa

Batuk

Tes tuberkulin dapat positif atau negatif (bila anergi)

Riwayat TB dalam keluarga

Endokarditis

Pola milier yang halus pada foto polos dada


Berat badan turun

infektif

Pucat

Jari tabuh

Bising jantung

Pembesaran limpa

Petekie

Splinter haemorrhages in nail beds

demam

- Hematuri mikroskopis
rematik- Bising jantung yang dapat berubah sewaktu-waktu

akut

abses dalam

Artritis/arthralgia

Gagal jantung

Denyut nadi cepat

Pericardial friction rub

Korea

Diketahui baru terinfeksi streptokokal


Demam tanpa fokus infeksi yang jelas

Radang setempat atau nyeri

Tanda-tanda spesifik yang tergantung tempatnya


paru, hati, otak, subfrenik, ginjal, dsb

2. Demam tanpa penyebab yang jelas


Demam tanpa penyebab yang jelas ialah gejala demam akut
yang dengan penyebab yang jelas sesudah dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik secara teliti (Pudjiadi et al., 2009). Untuk
mendiagnosis,

dilakukan

anamnesis,

pemeriksaan

fisik,

dan

pemeriksaan penunjang. Dalam anamnesis, sangat penting ditanyakan


adanya paparan terhadap infeksi seperti riwayat kontak dengan orang
yang memiliki gejala yang sama, karakteristik demam, riwayat
imunisasi, serta gejala penyerta seperti nyeri telan, nyeri telinga, batuk,
sesak napas, diare, muntah, menangis waktu buang air kecil. Kemudian
pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan tanda vital, tingkat
kesadaran, derajat hidrasi, warna/kulit selaput lendir (Soedarmo et al.,
2008).
Pada pemeriksaan penunjang dilakukan 3 tahapan. Pada tahap
pertama, dilakukan foto toraks, darah perifer lengkap, hitung jenis 8
morfologi, apusan darah tebal, laju endap darah dan atau C-reactive
protein, urinalisis, pemeriksaan mikroskopik apusan yang dilakukan
pada darah, urin, likuor serebrospinal, feses, cairan tubuh lain bila
terdapat indikasi, biakan darah, urin, feses, hapusan tenggorok, uji
tuberculin, dan uji fungsi hati. Kemudian apabila masih belum didapat
penyebab, dilakukan pemeriksaan tahap kedua yaitu Pemeriksaan uji
serologik: terhadap salmonela, toksoplasma. leptospira, mononukleosis,
virus sitomegalo, histoplasma dan USG abdomen atau kepala (bila
ubun-ubun besar masih terbuka). Lalu apabila pada dua tahap tersebut
masih belum dapat ditemukan maka lakukan pemeriksaan penunjang
tahap ketiga yaitu aspirasi sumsum tulang, pielografi intravena, foto
sinus paranasal, Antinuclear antibody (ANA), enema barium, skaning,
limfangiogram, biopsi hati, dan laparatomi (Soedarmo et al., 2008).
Etologi yang tersering menjadi dasar dari demam tanpa
penyebab yang jelas ialah infeksi saluran kemih, pneumonia,
gastroenteritis bacterial, dan meningitis. Pada infeksi saluran kemih,
didapatkan pemeriksaan urinalisis positif terdapat nitrit serta leukosit
esterase, diagnosis pasti didapat dari biakan urin yang hasilnya positif,
dan pada pemeriksaan mikroskopis didapatkan hasil leukosit lebih dari
10 per lapang pandang (Pudjiadi et al., 2009). Sedangkan pada
pneumonia bakterial, anak mengalami demam tinggi 39OC, yang

disertai distress respirasi, takipne, ronki, atau suare naapas melemah


(Hay et al., 2009).
Pada gastroenteritis bacterial, umumnya ditandai dengan muntah
dan diare. Etiologi terbanyak dari penyakt ini ialah rotavirus. Pada
penyakit ini juga ditemukan buang air besar darah lendir (Pudjiadi et
al., 2009). Kemudian pada meningitis, pasien tampak sakit besar serta
pada pemeriksaan fisik didapatkan letargik, kaku kuduk, dan muntah.
Diagnosis meningitis dapat ditegakkan dengan pungsi lumbal
(Marcdante et al., 2014; Hay et al., 2009).
3. Meningitis
Meningitis ialah peradangan pada selaput jaringan otak dan
medulla spinalis yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, maupun
infeksi jamur. Peradangan tersebut mengenai arachnoid, piameter, dan
cairan cerebrospinal (Marcdante et al. 2014; Sridhar et al. 2015).
a. Etiologi
Bakteri yang sering menyebabkan meningitis bakterialis adalah
Streptokokus grup B, Escherichia coli, Klebsiella dan Enterobacter
pada neonates, sedangkan pada bayi usia lebih dari 1 bulan bisa
disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, Neisseria meningitidis,
Haemophillus influenza (Marcdante et al., 2014). Pada anak usia diatas
5 tahun, meningitis sering disebabkan oleh Streptococcus pneumonia
dan Neisseria meningitidis (Pudjiadi et al., 2009).
b. Patogenesis dan Patofisiologi
Pathogen melakukan kolonisasi dan invasi. Mula-mula pathogen
menyerang permukaan epitel mukosa seperti pada fimbriae atau vili lalu
berkolonisasi di sana (Ku et al., 2015). Kolonisasi dapat dilakukan
karena pathogen dapat menghindari dari sistem imun yaitu IgA dengan
memproduksi IgA protease. Setelah berkolonisasi dan mencapai jumlah
yang adekuat, pathogen mampu menginvasi dengan intraseluler
maupun interseluler dengan bantuan molekul adhesi bernama adhesin.
Setelah itu, pathogen mampu mencapai sirkulasi (Tunkel, 2015).

Saat berada di sirkulasi, pathogen mampu bertahan terhadap


sistem komplemen. N. meningitidis memiliki capsular sialic acid yang
mencegah ikatan dengan C3b. Pada S. pneumonia, C3b tidak dapat
berikatan dengan efektif pada membran bakteri (Adriani et al., 2013).
Setelah patogen dapat bertahan di sirkulasi, pathogen dapat mencapai
Liquor Cerebrospinal (LCS) dengan menembus sawar darah otak. E.
coli dapat mencapai LCS melalui pleksus koroideus dan difasilitiasi
oleh fimbriae pada permukaan bakteri (Kim, 2012). Sedangkan pada
bakteri pneumococcal memiliki lipeteichoic acid pada dinding selnya
yang berikatan dengan reseptor endogen untuk platelet activating factor
(PAF) untuk melakukan penempelan dan migrasi transseluler pada
endotel (Mook-Kanamori et al. 2011).
Setelah berhasil memasuki LCS, bakteri bermultiplikasi dan
mencapai konsentrasi tinggi yaitu mencapai 107 organisme/ml sehingga
dapat memberikan manifestasi klinis (Tunkel 2015). Komponen
permukaan bakteri mampu menginduksi inflamasi pada LCS dan
mengakibatkan cedera sawar darah otak. Antigen pada masing-masing
bakteri yang menginduksi respon tersebut berbeda-beda (Grandgirard et
al. 2013). Pada bakteri S. pneumonia, dinding selnya mengandung
teichoic acid da peptidoglycan yang memicu inflamasi. Selain itu, ia
juga mengeluarkan pneumolysin setelah bakteri lisis (Wall et al. 2012).
Sementara

itu,

lipooligosakarida

berperan

pada

virulensi

N.

meningitidis dan lipopolisakarida pada Haemophilus influenzae


(Guagliarello 2011).
Respon inflamasi yang terjadi ialah terbentuknya sitokin
inflamasi seperti IL-1, IL-6, dan TNF-alfa. Selain sitokin, MMPs juga
terinduksi (Ye et al.,

2016). Respon inflamasi yang terjadi

mengakibatkan cedera pada endotel dari sawar darah otak. Hal tersebut
mengakibatkan

edema

vasogenik,

hilangnya

autoregulasi

serebrovaskular sehingga terjadi peningkatan tekanan intracranial. Halhal tersebut memicu terjadinya iskemia otak, cedera sitotoksik, dan

apoptosis pada sel neuron (Tunkel 2015; Coimbra et al. 2014).


c. Manifestasi Klinis
Terjadinya inflamasi pada meningen mengakibatkan gejala sakit
kepala, mual, muntah, kaku kuduk, iritabilitas, letargia, fotopobia, dan
demam. Pada bayi kecil umumnya tanda inflamasi tidak begitu terlihat.
Namun bayi cenderung rewel, gelisah, mengalami penurunan
kesadaran, dan asupan makanan yang memburuk. Kejang juga umum
terjadi pada meningitis (WHO 2009). Selain itu manifestasi lain yang
dapat terjadi adalah atralgia, myalgia, petekie, sepsis, syok, dan koma.
Peningkatan tekanan intracranial dapat berakibat pada muntah, diplopia,
dan sakit kepala (Marcdante et al. 2014).
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasar pada anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, pasien dapat
mengatakan bahwa gejala diawali oleh infeksi salurang napas atau
saluran cerna seperti demam, batuk, diare, dan muntah. Sementara
gejala meningitis ialah demam, nyeri kepala, mengingismus, letargi,
malaise, kejang, dan muntah. Pasien juga mungkin memiliki riwayat
tidak bisa minum atau menyusu, kejang, dan gelisah (Pudjiadi et al.
2009).
Pada pemeriksaan fisik, pasien mengalami gangguan kesadaran
menjadi letargi atau gelisah. Selain itu, pemeriksa dapat menemukan
bahwa ubun-ubun besar menonjol, kaku kuduk, tanda meningeal seperi
Bruzinski dan Kernig, kejang, dan deficit neurologis fokal. Namun
tanda meningeal dapat tidak muncul pada anak usia kurang dari 1 tahun.
Pasien juga mengalami gejala peningkatan tekanan intracranial
(Pudjiadi et al. 2009).
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan ialah pemeriksaan pungsi
lumbal yang merupakan fasilitas untuk menegakkan diagnosis pasti dari
meningitis bacterial. Pada pemeriksaan ini dapat didapatkan hasil LCS
keruh dan reaksi Nonne dan pandy positif sehingga bisa dimulai

pengobatan antibiotic sambil menunggu hasil laboratorium dari


pemeriksaan mikroskopis. Pada pemeriksaan mikroskopis, LCS
menunjukkan peningkatan jumlah leukosit diatas 100/mm3 dengan
predominan polimorfonuklear, glukosa <40 mg/dl, pewarnaan gram,
biakan dan uji resistensi (Pudjiadi et al. 2009; WHO 2009).
Pemeriksaan computed tompgraphy (CT Scan) atau magntic
resonance imaging (MRI) dapat dilakukan untuk menunjukan
komplikasi seperti empyema, hidrosefalus, dan abses otak. Pada
pemeriksaan elektroensefalografi dapat ditemukan perlambatan umum
(Pudjiadi et al. 2009).
e. Tatalaksana
Tata laksana yang dilakukan ialah pemberian antibiotic, steroid,
dan perawatan suportif. Antibiotic lini pertama yang dapat diberikan
ialah seftriakson dengan dosis 100 mg/kgBB IV drip/kali selama 30-60
menit setiap 12 jam atau sefotaksim 50 mg.kgBB/kali IV setiap 6 jam.
Sedangkan antibiotik lini kedua yaitu kloramfenikol 25 mg/kgBB/kali
IM atau IV setiap 6 jam ditambah ampisilin 50 mg/kgBB kali IM atau
IV setiap 6 jam. Jika diagnosis sudah pasti, berikan anntibiotik tersebut
selama 5 hari secara parenteral, dilanjutkan dengan pengobatan per oral
selama 5 hari (WHO 2009).
Pasien juga diberikan prednisone 1-2 mg/kgBB/hari dibagi dalam
3-4 dosis dan diberikan selama 2-4 minggu yang dilanjutkan dengan
tapering off. Apabila tidak memungkinkan untuk memberikan secara
oral, dapat diberkan deksametason dengan dosis 0,6 mg/kgBB/hari IV
selama 2-3 minggu (WHO 2009).
Perawatan suprtif yang dilakukan ialah menjaga jalan napas,
posisiskan pasien miring untuk menghindari aspirasi, mengubah posisi
pasien setiap 2 jam, pasien harus berbaring di alas yang kering,
pemberian cairan da nutrisi. Pasien juga dipantau vital sign setiap 6 jam
selam setidaknya 48 jam pertama. Apabila timbul komplikasi seperti
kejang, maka harus segera diatasi (WHO 2009).

4. Diare
d. Analisis referensi lain
Berdasar pada referensi yang sudah di dapat pada tinjauan pustaka,
tatalaksana untuk diare dengan dehidrasi sudah dilakukan terlebih dahulu yaitu
dengan rencana terapi A. Berdasarkan pada karakteristik diare yang onsetnya 2
hari yang lalu, tidak berlendir dan tidak berdarah, pasien dapat di diagnosis
diare cair akut et causa rotavirus. Oleh karena disebabkan oleh virus, pasien
tidak perlu diberi antibiotic tambahan untuk mengeradikasi bakteri penyebab
diare.
Kondisi pasien demam dan kaku kuduk mengacu pada meningitis sehingga
dapat dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik maupun penunjang untuk
menegakkan diagnosis meningitis. Pada pemeriksaan fisik, dapat dilakukan
pemeriksaan tanda meningeal. Kemudian pasien dapat diarahkan untuk
melakukan pemeriksaan pungsi lumbal agar dapat ditegakkan diagnosis pasti
meningitis.
Apabila pasien sudah terdiagnosis pasti meningitis, maka segera dilakukan
pemberian antibiotic, steroid, dan perawatan suportif. Antibiotik lini pertama
yang dapat diberikan ialah seftriakson dengan dosis 100 mg/kgBB IV drip/kali
selama 30-60 menit setiap 12 jam atau sefotaksim 50 mg.kgBB/kali IV setiap 6
jam. Sedangkan antibiotik lini kedua yaitu kloramfenikol 25 mg/kgBB/kali IM
atau IV setiap 6 jam ditambah ampisilin 50 mg/kgBB kali IM atau IV setiap 6
jam. Jika diagnosis sudah pasti, berikan anntibiotik tersebut selama 5 hari
secara parenteral, dilanjutkan dengan pengobatan per oral selama 5 hari.
Pasien juga diberikan prednisone 1-2 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4
dosis dan diberikan selama 2-4 minggu yang dilanjutkan dengan tapering off.
Apabila tidak memungkinkan untuk memberikan secara oral, dapat diberkan
deksametason dengan dosis 0,6 mg/kgBB/hari IV selama 2-3 minggu.
Perawatan suprtif yang dilakukan ialah menjaga jalan napas, posisiskan
pasien miring untuk menghindari aspirasi, mengubah posisi pasien setiap 2
jam, pasien harus berbaring di alas yang kering, pemberian cairan da nutrisi.

Pasien juga dipantau vital sign setiap 6 jam selam setidaknya 48 jam pertama.
Apabila timbul komplikasi seperti kejang, maka harus segera diatasi.
C. Daftar Pustaka
Adriani, K., Brouwe, M. & Geldhoff, M., 2013. Common Polymorphism in the
Complement system dan SUsceptibity to Bacterial Meningitis. J Infect,
66(255).
Coimbra, R.S. et al., 2014. A putative role for homocysteine in the
pathophysiology of acute bacterial meningitis in children. BMC clinical
pathology, 14(1), p.43. Available at:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?
artid=4255930&tool=pmcentrez&rendertype=abstract.
Grandgirard, D. et al., 2013. The causative pathogen determines the inflammatory
profile in cerebrospinal fluid and outcome in patients with bacterial
meningitis. Mediators of Inflammation, 2013.
Guagliarello, V., 2011. Dissemination of Neisseria meningitidis. N Eng J Med,
364, p.1573.
Hay, W.W. et al., 2009. Current Diagnosis & Treatment Pediatrics 19th ed., New
York: The McGraw-Hill Companies.
Kim, K., 2012. Current Concepts on The Pathogenesis of Escherichia coli
Meningitis: Implications for Therapy dan Prevention. Curr Opin Infect Dis,
25(273).
Ku, L., Boggess, K. & Cohen-Wolkoweiz, M., 2015. Bacterial meningitis in
infants. Clin Perinatol, 1, pp.2945.
Marcdante, K.J. et al., 2014. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial, Jakarta:
Saunders Elsevier.
Mook-Kanamori, B. et al., 2011. Pathogenesis and Pathophysiology of
Pneumococcal Meningitis. Clin Microbiol Rev, 24, p.557.
Pudjiadi, A.H. et al., 2009. Pedoman pelayanan medis, Jakarta: IKATAN
DOKTER ANAK INDONESIA.
Soedarmo, S.S.P. et al., 2008. Buku Ajar lnfeksi & Pediatri Tropis, Jakarta: Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FK UI.

Sridhar, S., Greenwood, B. & Head, C., 2015. Global incidence of serogroup B
invasive meningococcal disease: a systematic review. Lancet Infect Dis, 11,
pp.133446.
Tunkel, A.R., 2015. Pathogenesis dan Pathophysiology of Bacterial Meningitis.
UpToDate. Available at: https://www.uptodate.com [Accessed November 29,
2016].
Wall, E., Gordon, S. & Hussain, S., 2012. Persistence of Pneumolysin in the
Cerebrospinal Fluid of Patients With Pneumococcal Meningitis Is Associated
With Mortality. Clin Infect Dis, 54, p.701.
WHO, 2009. Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit, Jakarta: World Health
Organization. Available at: http://gooleknah.nmetreisnbs.
Ye, Q., SHao, W. & Shang, S., 2016. Clinical Value of Assessing Cytokine Levels
for the Differential Diagnosis of Bacterial Meningitis in a Pediatric
Population. Medicine (Baltimore), 95(13), p.3222.

Anda mungkin juga menyukai