Penugasan MTBS 3.2 Kasus e
Penugasan MTBS 3.2 Kasus e
Kasus
Arya, seorang anak usia 17 bulan mengalami demam sejak 8 hari sebelumnya.
Tidak didapatkan batuk. Tidak ada riwayat bepergian ke luar Jawa atau endemis
malaria atau DBD. Anak mengalami BAB cair sejak 2 hari yang lalu tanpa lendir
darah, frekuensi 5-7 kali/hari. Ibu mengatakan anak hanya minum sedikit sejak
pagi tadi. Tidak ada kejang. Tanda vital menunjukkan suhu badan 38,2C, nadi
kuat 132 kali/menit, frekuensi napas 37 x/menit. Pada pemeriksaan didapatkan
kaku kuduk, tidak terdapat mata cekung atau cubitan perut kembali lambat.
Riwayat imunisasi lengkap sampai usia 9 bulan.
a. Lakukan penilaian dan klasifikasi menurut MTBS untuk kasus di atas!
b. Lakukan pengobatan dan tindak lanjutnya!
2 hari yang
lalu tanpa
lendir darah
Dema
m8
hari
yang
lalu
Pasien tidak memiliki tanda bahaya. Keluhan orang tua pasien ialah
demam pada anaknya. Kemudian pada pemeriksaan didapatkan informasi
bahwa suhu badan anak 38,2C, terdapat kaku kuduk, namun tidak
memiliki risiko malaria. Dari hasil pemeriksaan tersebut, keadaan bayi
dapat diklasifikasikan dalam penyakit berat dengan demam. Selain itu,
anak juga diare sejak 2 hari yang lalu dan frekuensi 5-7 kali/hari namun
tidak terdapat mata cekung atau cubitan perut kembali lambat.
Berdasarkan pemeriksaan tersebut keadaan bayi dapat diklasifikasikan
sebagai diare tanpa dehidrasi. Pada anamnesis dan pemeriksaan,
didapatkan hasil anak tidak batuk, status gizi bayi normal, tidak
mengalami anemia, serta riwayat imunisasi lengkap sampai usia 9 bulan.
b. Pembahasan
Pasien pada kasus diatas dapat diklasifikasikan dalam penyakit berat
dengan demam dan diare tanpa dehidrasi. Pada kasus penyakit berat dengan
demam, pasien perlu diberi dosis pertama antibiotik yang sesuai, mencegah
agar gula darah tidak turun, beri dosis pertama parasetamol jika demam
Ampisilin
Gentamisin
1,25 ml = 250 mg
1 ml = 40 mg
1,75 ml = 350 mg
1,25 ml = 50 mg
2,25 ml = 450 mg
1,75 ml = 50 mg
3 ml = 600 mg
2,5 ml = 100 mg
3,75 ml = 750 mg
3 ml =120 mg
Untuk mencegah agar gula tidak turun perlu tindakan seperti meminta
ibu tersebut untuk menyusui bayinya jika bayi masih bisa menyusu.
Apabila bayi tidak dapat menyusu tapi masih bisa menelan maka berikan
ASI perah atau susu formula ataupun air gula 30 -50 ml sebelum dirujuk.
Apabila tidak memungkinkan berikan susu formula atau air gula. Selain itu
apabila bayi tidak bisa menelan, berikan 50 ml susu formula atau air gula
melalui pipa orograstrik. Jika tidak terdapat pipa orogastrik maka pasien
harus dirujuk segera. Cara membuat air gula ialah dengan melarutkan gula
sebanyak 1 sendok the (5 gram) ke dalam gelas berisi 50 ml air matang,
kemudian aduk sampai larut.
Apabila pasien mengalami demam >38,5C maka pasien harus diberi
parasetamol. Parasetamol diberi setiap 6 jam hingga demam hilang. Obat
ini tersedia dalam bentuk tablet 500 mg dan 100 mg serta dalam bentuk
sirup 120mg/5 ml. Berikut ialah dosis pemberian parasetamol pada anak
usia 2 bulan hingga 5 tahun.
Umur atau Berat
Badan
2bulan - <6 bulan
(4 - <7 kg)
6 bulan - <3 tahun
(7- <14 kg)
3 tahun - <5tahun
(14- <19 kg)
Tablet 500 mg
Tablet 100 mg
1/8
Sirup 120mg/5
ml
2,5 ml ( sendok
takar)
5 ml (1 sendok
takar)
7,5 ml (1
sendok takar)
eksklusif, maka anak diberi atu atau lebih dari cairan seperti oralit atau
cairan makanan seperti kuah sayur, air tajin, atau air matang.
Tenaga kesehatan juga memberikan ibu 6 bungkus oralit (200ml)
untuk digunakan di rumah serta mengajarkan pada ibu cara mencampur
dan memberikan oralit. Oralit yang harus diberikan pada anak tiap kali
BAB adalah 50 ml sampai 100 ml pada anak usia kurang dari 1 tahun dan
sebanyak 100 ml sampai 200 ml pada anak usia 1 tahun hingga 5 tahun.
Cara meminumkan pada anak adalah sedikit demi sedikit tapi sering dari
cangkir. Apabila anak muntah maka tunggu selama 10 menit kemudian
lanjutkan lagi dengan lebih lambat. Pemberian cairan tambahan
dilanjutkan sampai diare berhenti.
Pemberian tablet Zinc selama 10 hari juga diberikan pada semua
penderita diare kecuali pada bayi muda. Sediaan tablet Zinc yang ada ialah
tablet 20 mg. Dosis untuk bayi usia 2 bulan hingga kurang dari 6 bulan
ialah tablet sementara untuk usia 6 bulan keatas ialah 1 tablet. Cara
pemberian tablet Zinc ialah dengan melarutkan tablet dengan sedikit ait
atau ASI dalam sendok teh.
c. Tinjauan Pustaka
1. Demam yang berlangsung selama lebih dari 7 hari
Berdasarkan
pedoman
penatalaksanaan
WHO,
diagnosis
banding untuk demam yang berlangsung lebih dari 7 hari ialah. Demam
tifoid, TB milier, Endokarditis infektif, demam rematik akut, dan abses
dalam (WHO, 2009).
Diagnosis banding
Demam tifoid
-
Nyeri
perut,
konstipasi
TB milier
Delirium
Demam tinggi
kembung,
mual,
muntah,
diare,
Anoreksia
Batuk
Endokarditis
infektif
Pucat
Jari tabuh
Bising jantung
Pembesaran limpa
Petekie
demam
- Hematuri mikroskopis
rematik- Bising jantung yang dapat berubah sewaktu-waktu
akut
abses dalam
Artritis/arthralgia
Gagal jantung
Korea
dilakukan
anamnesis,
pemeriksaan
fisik,
dan
itu,
lipooligosakarida
berperan
pada
virulensi
N.
mengakibatkan cedera pada endotel dari sawar darah otak. Hal tersebut
mengakibatkan
edema
vasogenik,
hilangnya
autoregulasi
serebrovaskular sehingga terjadi peningkatan tekanan intracranial. Halhal tersebut memicu terjadinya iskemia otak, cedera sitotoksik, dan
4. Diare
d. Analisis referensi lain
Berdasar pada referensi yang sudah di dapat pada tinjauan pustaka,
tatalaksana untuk diare dengan dehidrasi sudah dilakukan terlebih dahulu yaitu
dengan rencana terapi A. Berdasarkan pada karakteristik diare yang onsetnya 2
hari yang lalu, tidak berlendir dan tidak berdarah, pasien dapat di diagnosis
diare cair akut et causa rotavirus. Oleh karena disebabkan oleh virus, pasien
tidak perlu diberi antibiotic tambahan untuk mengeradikasi bakteri penyebab
diare.
Kondisi pasien demam dan kaku kuduk mengacu pada meningitis sehingga
dapat dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik maupun penunjang untuk
menegakkan diagnosis meningitis. Pada pemeriksaan fisik, dapat dilakukan
pemeriksaan tanda meningeal. Kemudian pasien dapat diarahkan untuk
melakukan pemeriksaan pungsi lumbal agar dapat ditegakkan diagnosis pasti
meningitis.
Apabila pasien sudah terdiagnosis pasti meningitis, maka segera dilakukan
pemberian antibiotic, steroid, dan perawatan suportif. Antibiotik lini pertama
yang dapat diberikan ialah seftriakson dengan dosis 100 mg/kgBB IV drip/kali
selama 30-60 menit setiap 12 jam atau sefotaksim 50 mg.kgBB/kali IV setiap 6
jam. Sedangkan antibiotik lini kedua yaitu kloramfenikol 25 mg/kgBB/kali IM
atau IV setiap 6 jam ditambah ampisilin 50 mg/kgBB kali IM atau IV setiap 6
jam. Jika diagnosis sudah pasti, berikan anntibiotik tersebut selama 5 hari
secara parenteral, dilanjutkan dengan pengobatan per oral selama 5 hari.
Pasien juga diberikan prednisone 1-2 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4
dosis dan diberikan selama 2-4 minggu yang dilanjutkan dengan tapering off.
Apabila tidak memungkinkan untuk memberikan secara oral, dapat diberkan
deksametason dengan dosis 0,6 mg/kgBB/hari IV selama 2-3 minggu.
Perawatan suprtif yang dilakukan ialah menjaga jalan napas, posisiskan
pasien miring untuk menghindari aspirasi, mengubah posisi pasien setiap 2
jam, pasien harus berbaring di alas yang kering, pemberian cairan da nutrisi.
Pasien juga dipantau vital sign setiap 6 jam selam setidaknya 48 jam pertama.
Apabila timbul komplikasi seperti kejang, maka harus segera diatasi.
C. Daftar Pustaka
Adriani, K., Brouwe, M. & Geldhoff, M., 2013. Common Polymorphism in the
Complement system dan SUsceptibity to Bacterial Meningitis. J Infect,
66(255).
Coimbra, R.S. et al., 2014. A putative role for homocysteine in the
pathophysiology of acute bacterial meningitis in children. BMC clinical
pathology, 14(1), p.43. Available at:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?
artid=4255930&tool=pmcentrez&rendertype=abstract.
Grandgirard, D. et al., 2013. The causative pathogen determines the inflammatory
profile in cerebrospinal fluid and outcome in patients with bacterial
meningitis. Mediators of Inflammation, 2013.
Guagliarello, V., 2011. Dissemination of Neisseria meningitidis. N Eng J Med,
364, p.1573.
Hay, W.W. et al., 2009. Current Diagnosis & Treatment Pediatrics 19th ed., New
York: The McGraw-Hill Companies.
Kim, K., 2012. Current Concepts on The Pathogenesis of Escherichia coli
Meningitis: Implications for Therapy dan Prevention. Curr Opin Infect Dis,
25(273).
Ku, L., Boggess, K. & Cohen-Wolkoweiz, M., 2015. Bacterial meningitis in
infants. Clin Perinatol, 1, pp.2945.
Marcdante, K.J. et al., 2014. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial, Jakarta:
Saunders Elsevier.
Mook-Kanamori, B. et al., 2011. Pathogenesis and Pathophysiology of
Pneumococcal Meningitis. Clin Microbiol Rev, 24, p.557.
Pudjiadi, A.H. et al., 2009. Pedoman pelayanan medis, Jakarta: IKATAN
DOKTER ANAK INDONESIA.
Soedarmo, S.S.P. et al., 2008. Buku Ajar lnfeksi & Pediatri Tropis, Jakarta: Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FK UI.
Sridhar, S., Greenwood, B. & Head, C., 2015. Global incidence of serogroup B
invasive meningococcal disease: a systematic review. Lancet Infect Dis, 11,
pp.133446.
Tunkel, A.R., 2015. Pathogenesis dan Pathophysiology of Bacterial Meningitis.
UpToDate. Available at: https://www.uptodate.com [Accessed November 29,
2016].
Wall, E., Gordon, S. & Hussain, S., 2012. Persistence of Pneumolysin in the
Cerebrospinal Fluid of Patients With Pneumococcal Meningitis Is Associated
With Mortality. Clin Infect Dis, 54, p.701.
WHO, 2009. Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit, Jakarta: World Health
Organization. Available at: http://gooleknah.nmetreisnbs.
Ye, Q., SHao, W. & Shang, S., 2016. Clinical Value of Assessing Cytokine Levels
for the Differential Diagnosis of Bacterial Meningitis in a Pediatric
Population. Medicine (Baltimore), 95(13), p.3222.