Anda di halaman 1dari 27

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga Kami dapat menyelesaikan Tugas
Individu yang berjudul Gaya Bahasa ini dengan baik. Tugas ini disusun berdasarkan
literatur kepustakaan yang ada. Setiap bagian dalam tulisan ini selalu di mulai dengan
motivasi yang menunjukkan bagaimana setiap isi tulisan yang disajikan akan berguna
jika dipelajari. Pada kesempatan ini penulis

ingin

mengucapkan

terima

kasih

kepada semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya tugas ini.
Tak ada gading yang tak retak, Penulis menyadari bahwa tugas ini masih
memiliki kekurangan-kekurangan yang disebabkan oleh keterbatasan kemampuan
dan pengetahuan Penulis. Untuk itu kritik dan saran yang membangun penulis
harapkan untuk perbaikan dalam pembuatan makalah-makalah selanjutnya. Akhirnya
Kami berharap semoga tugas individu ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Metro, Desember 2012

Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................
KATA PENGANTAR ................................................................................
DAFTAR ISI ...............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................
A. Pengertian Gaya Bahasa ..................................................................
B. Sendi Gaya Bahasa ..........................................................................
C. Jenis-Jenis Gaya Bahasa .................................................................
BAB III KESIMPULAN .............................................................................
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Komunikasi antarpersonal merupakan proses memberikan sesuatu
kepada orang lain dengan kontak tertentu atau dengan mempergunakan suatu
alat. Komunikasi interpersonal hanya melibatkan satu individu.
Penggunaanbahasa yang baik sangat mendukung komunikasi. Dengan
menggunakan bahasa yang baik pihak yang dituju dalam komunikasi
antarpersonal dapta menerima dan memahami pesan yang disampaikan
komunikator, lebih dari itu, situasi komunikasi yang efektif dan serasipun
dapat dikembangkan.
Kemampuan menggunakan bahasa yang baik tidak hanya terkait
dengan

kemampuan

seseorang

memahami

dan

menerapkan

kaidah

ketatabahasaan, tetapi juga berhubungan dengan kemampuan seseorang


memahami unsur-unsur yang terlibat dalam praktik komunikasi. Unsur-unsur
itu mencakup siapa dan bagaimana karakteristik penerima pesan, tujuan
penyampaian pesan, alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan, dan
bagaimana karakteristik situasi komunikasi ketika penyampaian pesan
berlangsung. Secara umum, bidang ilmu yang menelaah unsur-unsur
komunikasi itu adalah retorika.
Retorika adalah ilmu yang mengajarkan tindak dan usaha yang efektif
dalam persiapan, penataan, dan penampilan tutur untuk membina saling
pengertian, kerja sama, serta kedamaian dalam kehidupan masyarakat (Oka,
1976: 44). Sedangkan Keraf (2006: 18) mendefinisikan retorika sebagai cara
pemakaian bahasa sebagai seni, lisan maupun tulisan yang didasarkan pada
suatu pengetahuan atau suatu metode yang teratur dan tersusun baik.

Menurut Richards dalam Atmazaki (2006: 1) retorika merupakan seni


yang mengadaptasi wacana sebagai tujuan akhir, tujuan utama retorika adalah
untuk menemukan cara agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Dari beberapa Pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
retorika merupakan kajian bagaimana kita bisa berkomunikasi atau berbicara
di depan orang lain tidak menimbulkan kebosanan, kemuakan, kekesalan, dan
membuat orang merasa tertarik, terpukau dengan penampilan kita.
Dalam kehidupan berkomunikasi, sering terjadi adanya komunikasi
yang tidak lancara karena apa yang diucapakan oleh penutur tidak berarti
dapat didengar oleh penerima, apa yang didengar penerima tidak berarti dapat
dimengerti, apa yang dimengerti tidak berarti disetujui dan apa yang disetujui
belum tentu dilaksanakan. Intinya, komunikasi yang baik adalah komunikasi
yang mampu membangun saling pengertian dan pemahaman antar pihak yang
terlibat dalam praktik komunikasi.

B.

Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana diksi dalam retorika?
2. Bagaimana gaya bahasa dalam retorika?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gaya Bahasa
Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan
istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stiliis, yaitu semacam alat
untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini
akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi.
Kelak

pada

waktu

penekanan

dititikberatkan

pada

keahlian

untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan
keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah.
Walaupun kata style berasal dan bahasa Latin, orang Yunani sudah
mengembangkan sendiri teori-teori mengeenai style itu. Ada dua aliran yang
terkenal, yaitu:

Aliran

Platonik:

menganggap

style

sebagai

kualitas

suatu

ungkapan; menurut mereka ada ungkapan yang memiliki style, ada juga
yang tidak rneinihiki style.

Aliran Aristoteles: menganggap bahwa gaya adalah suatu kualitas yang


inheren, yang ada dalam tiap ungkapan. Dengan
Plato

mengatakan

bahwa ada karya

demikian,

aliran

yang memiliki gaya dan ada

karya yang sama sekali tidak memiliki gaya. Sebaliknya, aliran

Aristoteles mengatakan bahwa semua karya memiliki gaya, tetapi ada


karya yang memiliki gaya yang tinggi ada yang rendah, ada karya yang
memiliki gaya yang kuat ada yang lemah, ada yang memiliki gaya yang
baik ada yang memiliki gaya yang jelek.
Bila kita melihat gaya secara umum, kita dapat mengatakan bahwa
gaya adalah cara mengungkapkan diri sendiri, entah melalui bahasa, tingkah
laku, berpakaian, dan sebagainya. Dengan menerima pengertian ini, maka kita
dapat mengatakan, Cara berpakaiannya menarik perhatian orang banyak,
Cara menulisnya lain daripada kebanyakan orang, Cara jalannya lain dan
yang lain, yang memang sama artinya dengan gaya berpakaian, gaya
menulis dan gaya berjalan. Dilihat dan segi bahasa, gaya bahasa
adalah

cara menggunakan bahasa. Gaya bahasa memungkinkan kita dapat

menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang yang mempergunakan


bahasa itu. Semakin baik gaya bahasanya, semakin baik pula penilaian orang
terhadapnya; semakin buruk

gaya

bahasa

seseorang,

semakin

buruk

pula penilaian diberikan padanya.


B. Sendi Gaya Bahasa
Syarat-syarat manakah yang diperlukan untuk membedakan suatu gaya
bahasa yang baik dan gaya bahasa yang buruk? Sebuah gaya bahasa yang baik
harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran, sopan-santun, dan menarik.
Kejujuran dalam bahasa berarti: kita mengikuti aturan-aturan. kaidah-kaidah
yang baik dan benar dalam berbahasa. Pemakaian kata-kata yang kabur dan
tak terarah, serta penggunaan kalimat yang berbelit-belit, adalah jalan untuk
mengundang

ketidakjujuran.

menyampaikan

isi

pikirannya

Pembicara
secara

terus

atau
terang;

penulis
ia

tidak

seolah-olah

menyembunyikan pikirannya itu di balik rangkaian kata-kata yang kabur dan


jaringan

kalimat

yang

berbelit-belit

tak

menentu.

Ia

hanya

mengelabui pendengar atau pembaca dengan mempergunakan kata-kata yang

kabur dan hebat: hanya agar bisa tampak lebih intelek atau lebih
dalam pengetahuannya.
Yang dimaksud dengan sopan-santun adalah memberi penghargaan
atau menghormati orang yang diajak bicara, khususnya pendengar atau
pembaca. Rasa hormat di sini tidak berarti memberikan penghargaan atau
menciptakan kenikmatan melalui kata-kata, atau mempergunakan kata-kata
yang manis sesuai dengan hasa-basi dalam pergaulan masyarakat beradab.
Rasa hormat dalam
dan

gaya

bahasa

kesingkatan. Menyampaikan

dimanifestasikan

melalui

sesuatu secara jelas

kejelasan

berarti tidak

membuat pembaca atau pendengar memeras keringat untuk mencari


tahu

apa

yang

ditulis

atau dikatakan. Di samping itu, pembaca atau

pendengar tidak perlu membuang-buang waktu untuk

mendengar atau

membaca sesuatu secara panjang lebar, kalau hal itu bisa diungkapkan dalam
beherapa rangkaian kata. Kejelasan dengan demikian akan diukur dalam
heberapa butir kaidah berikut, yaitu:

kejelasan dalam struktur gramatikal kata dan kalimat;

kejelasan dalam korespondensi dengan fakta yang diungkapkan melalui


kata-kata atau kalimat tadi;

kejelasan dalam pengurutan ide secara logis;

kejelasan dalam penggunaan kiasan dan perbandirigan. Kejujuran,


kejelasan serta kesingkatan harus merupakan langkah dasar dan langkah
awal. Bila seluruh gaya bahasa hanya mengandalkan kedua (atau ketiga)
kaidah tersebut di atas, maka bahasa yang digunakan masih terasa tawar,
tidak menarik. Sebab itu, sebuah gaya bahasa harus pula menarik.

Sebuah gaya yang menarik dapat diukur melalui beberapa komponen


berikut: variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup
(vitalitas), dan penuh daya khayal (majinasi).

C. Jenis-Jenis Gaya Bahasa


1. Segi Nonbahasa
Pengikut Aristoteles menerima style sebagai hasil dan bermacammacam unsur. Pada dasarnya style dapat dibagi atas tujuh pokok sebagai
berikut:
a. Berdasarkan

pengarang.

nama pengarang

gaya

dikenal

digunakan pengarang

yang

berdasarkan

atau

penulis

kuat dapat

disebut

sesuai

ciri

pengenal

dalam

mempengaruhi

dengan
yang

karangannya.

Pengarang

yang

orang-orang

sejamannya,

atau pengikutpengikutnya, sehingga dapat membentuk

sebuah aliran. Kita mengenal gaya Ehainil, gaya Takdir, dan


sebagainya.
b. Berdasarkan Masa: gaya bahasa yang didasarkan pada masa dikenal
karena ciri-ciri tertentu yang berlangsung dalam suatu kurun waktu
tertentu. Misalnya ada gaya lama, gaya klasik, gaya sastra modern, dan
sebagainya.
c. Berdasarkan Medium: yang dimaksud dengan medium adalah bahasa
dalam arti alat komunikasi. Tiap bahasa, karena struktur dan situasi
sosial pemakainya, dapat merniliki corak tersendiri. Sebuah karya yang
ditulis dalam bahasa jerman akan memiliki gaya yang berlainan, bila
ditulis

dalam

bahasa

Indonesia,

Prancis,

atau

Jepang.

Dengan demikian kita mengenal gaya Jerman, Inggris, Prancis,


Indonesia, dan sehagainya.
d. Berdasarkan Subyek: subyek yang menjadi pokok pembicaraan dalam
sebuah

karangan

dapat

mempengaruhi

pula

gaya

bahasa

sebuah karangan. Berdasarkan hal ini kita mengenal gaya: filsafat,


ilmiah (hukum, teknik, sastra, dsh), populer, didaktik, dan sebagainya.
e. Berdasarkan Tempat: gaya ini mendapat namanya dari lokasi
geografis, karena ciri-ciri kedaerahan mempengaruhi ungkapan atau
ekspresi bahasanya. Ada gaya Jakarta, gaya Jogya, ada gaya Medan,
Ujung Pandang, dan sebagainya.
f. Berdasarkan Hadirin: seperti halnya dengan subyek, maka hadirin atau
jenis pembaca juga mempengaruhi gaya yang dipergunakan seorang
pengarang. Ada gaya populer atau gaya demagog yang cocok untuk
rakyat banyak. Ada gaya sopan yang cocok untuk lingkungan istana
atau Iingkungan yang terhormat. Ada pula gaya intim (familiar) yang
cocok untuk lingkungan keluarga atau untuk orang yang akrab.
g. Berdasarkan Tujuan: gaya berdasarkan tujuan memperoleh namanya
dan

maksud

mana pengarang

yang
ingin

gaya sentimental, ada


agung

ingin

disampaikan

mencurahkan
gaya

oleh

gejolak

pengarang.
emotifnya.

di
Ada

sarkastik, gaya diplomatis, gaya

atau luhur, gaya teknis atau informasional, dan ada gaya

humor.
2. Segi Bahasa
Dilihat dan sudut bahasa atau unsur-unsur bahasa yang digunakan
maka gaya bahasa dapat dibedakan berdasarkan titik tolak unsur bahasa
yang dipergunakan, yaitu:

a. Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata;


b. Gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalarn wacana
c. Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat;
d. Gaya bahasa berdasarkari langsung tidaknya makna.

3. Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata


Dalam bahasa standar (bahasa baku) dapatlah dibedakan:
gaya bahasa resmi (bukan bahasa resmi), gaja bahasa takresmi dan gaya
bahasa percakapan. Gaya bahasa dalam tingkatan bahasa nonstandar
tidak akan dibicarakan di sini, karena tidak akan berguna dalam tulisantulisan ilmiah atau ilmiah populer.
a. Gaya Bahasa Resmi
Gaya bahasa resmi adalah gaya dalam bentuknya yang lengkap, gaya
yang dipergunakan dalam kesempatan-kesempatan resmi, gaya yang
dipergunakan oleh mereka yang diharapkan mempergunakannya
dengan

baik

dan

terpelihara.

Amanat

kepresidenan,

berita

negara, khotbah-khotbah mimbar, tajuk rencana, pidato-pidato yang


penting, artikel-artikel yang serius atau esei yang memuat subyeksubyek yang penting, semuanya dibawakan dengan gaya bahasa
resmi.
b. Gaya Bahasa Tak Resmi
Gaya bahasa tak resmi juga merupakn gaya bahasa yang
dipergunakan

dalam

bahasa

standar,

khususnya

dalam

kesempataflkesempatan yang tidak krmal atau kurang formal.


Bentuknya tidak terlalu konservatif. Gaya ini biasanya dipergunakan

dalam karya-karya tulis, buku-buku pegangan, artikel-artikel


iningguan atau bulanan yang baik, dalam perkuliahan, editorial,
kolumnis, dan sehagainya. Singkatnya gaya bahasa tak resmi adalah
gaya bahasa yang umum dan normal bagi kaum terpelajar.
c. Gaya Bahasa Percakapan
Sejalan dengan kata-kata percakapan, terdapat juga gaya bahasa
percakapan. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata
populer dan kata-kata percakapan. Namun di sini harus ditambahkan
segi-segi morfologis dan sintaksis, yang secara bersama-sama
membentuk gaya bahasa percakapan ini. Biasanya segi-segi sintaksis
tidak terlalu diperhatikan, demikian pula segi-segi morfologis yang
biasa diabaikan sering dihilangkan. Kalau dibandingkan dengan gaya
bahasa resmi dan gaya bahasa tak resmi, maka gaya bahasa
percakapan ini dapat diumpamakan sebagai bahasa dalam pakaian
sport. Itu berarti bahasanya masih lengkap untuk suatu kesempatan,
dan masih dibentuk menurut kebiasaan-kebiasaan, tetapi kebiasaan
ini agak longgar bila dibandirigkan dengan kebiasaan pada gaya
bahasa resmi dan tak resmi.

4. Gaya Bahasa Berdasarkan Nada


Gaya

bahasa

berdasarkan

nada

didasarkan

pada

sugesti

yang

dipancarkan dan rangkaian kata-kata yang terdapat dalam sebuah wacana.


Sering kali sugesti ini akan lebih nyata kalau diikuti dengan sugesti suara
dan pembicara, bila sajian yang dihadapi adalah bahasa lisan. Dengan
latar belakang ini gaya bahasa dilihat dan sudut nada yang terkandung
dalam sebuah wacana, dibagi atas: gaya yang sederhana, gaya mulia dan
bertenaga, serta gaya menengah.

a. Gaya Sederhana
Gaya ini biasanya cocok untuk memberi instruksi, perintah,
pelajaran,

perkuliahan,

dan

sejenisnya.

Sebab

itu

untuk

mempergunakan gaya ini secara.


b. Gaya Mulia dan Bertenaga Sesuai dengan namanya, gaya ini penuh
dengan vitalitas dan enersi,
menggerakkan

Ian

biasanya

dipergunakan

untuk

sesuatu. Menggerakkan sesuatu tidak saja dengan

mempergunakan tenaga dan vitalitas pembicara, tetapi juga dapat


mempergunakan nada keagungan dan kemuliaan. Tampaknya hal ini
mengandung kontradiksi, tetapi kenyataannya memang demikian.
Nada yang agung dan mulia akan anggup
emosi

setiap

pendengar.

pula

menggerakkan

Dalam keagungan, terselubung sebuah

tenaga yang halus tetapi secara aktif ia meyakinkan bekerja untuk


mencapai suatu tujuan tertentu. Khotbah tentang kemanusiaan dan
keagamaan,

kesusilaan

dan

ketuhanan biasanya disampaikan

dengan nada yang agung dan mulia. Tetapi di balik keagungan dan
kemuliaan itu terdapat tenaga penggerak yang luar biasa, tenaga yang
benar-benar mampu menggetarkan emosi para pendengar atau
pembaca.
c. Gaya Menengah
Gaya menengah adalah gaya yang diarahkan kepada usaha untuk
menimbulkan suasana senang dan damai. Karena tujuannya adalah
menciptakan suasana senang dan damai, maka nadanya juga bersifat
lemah-lembut, penuh kasih sayang, dan mengandung humor
yang sehat. Pada kesempatan-kesempatan khusus seperti pesta,
pertemuan, dan rekreasi, orang lebih menginginkan ketenangan dan
kedamaian. Akan ganjillah rasanya, atau akan timbul disharmoni,

kalau dalam suatu pesta pernikahan ada orang yang memberi


sambutan berapi-api, mengerahkan segala emosi dan tenaga untuk
menyampaikan sepatah kata. Para hadirin yang kurang waspada akan
turut terombang-ambing dalam permainan emosi semacam itu.

5. Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat


Berdasarkan struktur kalimat sebagai

yang dikemukakan

di atas,

maka dapat diperoleh gaya-gaya bahasa sebagai berikut:


a. Klimaks
Gaya bahasa klimaks diturunkan dan kalimat yang bersifat
periodik. Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung
urutan-urutan

pikiran

kepentingannya dan

yang

setiap

kali

gagasan-gagasan

semakin

sebelumnya.

meningkat
Klimaks

disebut juga gradasi. Istilah ini dipakai sebagai istilah umum yang
sebenamya merujuk
Bila

klimaks

kepada

tingkat

atau

gagasan

tertinggi.

itu terbentuk dan beberapa gagasan yang berturut-

turut semakin tinggi kepentingannya, maka ia disebut anabasis.


b. Antiklimaks
Antiklimaks

dihasilkan

oleh

kalimat

yang

berstruktur

mengendur. Antiklimaks sebagai gaya bahasa merupakan suatu acuan


yang gagasan-gagasannya diurutkan dan yang terpenting berturutturut ke gagasan yang kurang penting. Antiklimaks sering kurang
efektif karena gagasan yang penting ditempatkan pada awal kalimat,
sehingga pembaca atau pendengar tidak lagi memberi perhatian pada
bagian- bagian berikutnya dalam kalimat itu.
c. Paralelisme

Paralelisme

adalah

semacam

gaya

bahasa

yang

berusaha

mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa


yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang
sama. Kesejajaran tersebut dapat pula berbentuk anak kalimat
yang bergantung pada sebuah induk kalimat yang sama. Gaya ini lahir
dan struktur kalimat yang berimbang.
d. Antitesis
Antitesis adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasangagasan yang bertentangan, dengan mempergunakan kata-kata atau
kelompok

kata

yang

berlawanan.

Gaya

ini

timbul

dan

kalimat berimbang. Perhatikan contoh berikut:


e. Repetisi
Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat
yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks
yang sesuai. Dalam bagian in hanya akan dibicarakan repetisi yang
berbentuk kata atau frasa atau klausa. Karena nilainya dianggap
tinggi,

maka

dalam

oratori

timbullah

bermacam-macam

variasi repetisi. Repetisi, seperti halnya dengan paralelisme dan


antitesis, lahir dan kalimat yang benimbang. Karena nilainya dalam
oratori dianggap tinggi, maka para orator menciptakan bermacammacam repetisi yang pada prinsipnya didasarkan pada tempat kata
yang diulang dalam baris, klausa, atau kalimat.

D. Pengertian Retorika

Pengertian pokok dari retorika adalah berbicara. Berbicara berarti


mengucapkan kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang,
untuk mencapai suatu tujuan tertentu (memberikan informasi atau
memberikan motivasi). Berbicara adalah salah satu kemampuan khusus pada
manusia. Berikut disampaikan uraian mengenai retorika diantaranya:
1. Arti Retorika
Secara etimologis, retorika berasal dari bahasa Yunani, rhetrike yang
berarti seni kemampuan berbicara yang dimiliki seseorang. Aristoteles
dalam bukunya Rhetoric mengemukakan pengertian retorika, yaitu
kemampuan untuk memilih dan menggunakan bahasa dalam situasi
tertentu secara efektif untuk mempersuasi orang lain. Sedangkan menurut
Gorys Keraf, retorika adalah suatu istilah secara tradisional yang diberikan
pada suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni yang didasarkan pada
suatu pengetahuan yang tersusun baik. Menurut P. Dori Wuwur
Hendrikus, retorika adalah kesenian untuk berbicara baik yang digunakan
dalam proses komunikasi antarmanusia.
Retorika berarti kesenian untuk berbicara dengan baik (kunst, gut zu
reden atau ars bene dicendi), yang dicapai berdasarkan bakat alam
(talenta) dan keterampilan teknis (ars, techne). Kesenian berbicara ini
bukan hanya berarti berbicara lancar tanpa pikiran yang jelas dan tanpa isi,
melainkan suatu kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara
singkat, jelas, padat, dan mengesankan. Retorika modern mencakup
ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang tinggi, teknik
pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang tepat.
Retorika modern adalah gabungan yang serasi antara pengetahuan,
pikiran, kesenian dan kesanggupan berbicara. Dalam bahasa populer,
retorika berarti pada tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, atas cara
yang lebih efektif, mengucapkan kata-kata yang tepat, benar dan
mengesankan. Keterampilan dan kesanggupan untuk menguasai seni
berbicara dapat dengan mencontoh para rektor yang terkenal (imitatio),
dengan mempelajari dan mempergunakan hukum-hukum retorika
(doctrina), dan dengan melakukan latihan yang teratur (exercitium).
Dalam seni berbicara juga dituntut penguasaan bahan (res) dan
pengungkapan yang tepat melalui bahasa (verba).
2. Retorika, Dialektika dan Elocutio

Ilmu retorika juga berhubungan erat dengan dialektika yang sudah


berkembang sejak zaman Yunani kuno. Dialektika adalah metode untuk
mencari kebenaran lewat diskusi dan debat. Melalui dialektika orang dapat
mengenal dan menyelami suatu masalah (intellectio), mengemukakan
argumentasi (inventio) dan menyusun jalan pikiran secara logis
(dispositio). Retorika mempunyai hubungan dengan dialektika karena
debat dan diskusi juga merupakan bagian dari ilmu retorika.
Elocutio berarti kelancaran berbicara. Dalam retorika kelancaran
berbicara sangat dituntut. Elocutio menjadi prasyarat kepandaian
berbicara. Oleh karena itu, retorika juga berhubungan erat dengan
elocutio.
3. Pentingnya Retorika
Sebuah pepatah bahasa latin berbunyi: Poeta nascitur, orator fit.
Artinya, seorang penyair dilahirkan, tetapi seorang ahli pidato dibina.
Sejak dua ribu tahun terbukti bahwa banyak orang menjadi ahli pidato,
karena mereka mempelajari teknik berbicara dan berpidato serta tekun
melakukan latihan berbicara juga berpidato. Berikut terdapat dua contoh
dalam sejarah yaitu:
a. Demosthenes (384 - 322)
Demosthenes dari lahir memiliki kekurangan dalam berbicara.
Dalam mengatasi itu, dia pergi ke pantai laut, menaruh kerikil dalam
mulutnya, dan berusaha berbicara dengan ucapan yang jelas dan
dengan suara yang sekuat mungkin untuk bisa mengatasi gemuruh
hempasan ombak, dan usahanya ini berhasil. Demosthenes akhirnya
menjadi seorang ahli pidato dalam Kerajaan Yunani Kuno.
b. Winston Churchill (1874 - 1965)
Untuk bisa berpidato di depan Parlemen Inggris. Winston
Churchill berharihari dia mencoba membuat latihan membaca dan
berpidato. Dia mempersiapkan diri secara intensif. Beberapa bagian
penting dari pidatonya malah dihafalkan. Usaha yang tekun ini
akhirnya menjadikannya seorang ahli pidato terkenal. Orang-orang
yang bersifat introver dapat mengalami kesulitan dalam menggunakan
bahasa. Introver adalah bersifat suka memendam rasa dan pikiran
sendiri dan tidak mengutarakannya kepada orang lain (bersifat

tertutup). Dalam mempelajari retorika lebih mudah bagi mereka yang


ekstover, tetapi tetap saja keberhasilan seni berbicara tergantung dari
usaha untuk mengembangkan kemampuan dengan optimal. Terus
latihan untuk berbicara akan merubah gaya berbicara seseorang. Oleh
karena itu, seni berbicara dapat dikuasai dan ilmu retorika juga dapat
dipelajari.
4. Pembagian Retorika
Retorika adalah bagian dari ilmu bahasa, khususnya ilmu bina bicara
(sprecherziehung). Retorika sebagai bagian dari ilmu bina bicara ini
mencakup:
a. Monologika
Monologika adalah ilmu tentang seni berbicara secara monolog,
dimana hanya seorang yang berbicara. Bentuk-bentuk yang tergolong
dalam monologika adalah pidato, kata sambutan, kuliah, makalah,
ceramah dan deklamasi.
b. Dialogika
Dialogika adalah ilmu tentang seni berbicara secara dialog, dimana
dua orang atau lebih berbicara atau mengambil bagian dalam satu
proses pembicaraan. Bentuk dialogika yang penting adalah diskusi,
tanya jawab, perundingan, percakapan dan debat.
E. Sarana Retorika dan Gaya Bahasa dalam Sastra
1. Sarana Retorika
Sarana retorika merupakan salah satu unsur pembangun puisi yang
digunakan penyair sebagai alat untuk menyampaikan pikiran, perasaan
dan gagasan kepada pembaca atau pendengar. Kedudukannya untuk
mendukung makna puisi. Altenbernd (1970) mengistilahkan sarana
retorika sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran. Dengan muslihat
itu para penyair berusaha menarik perhatian, pikiran, hingga pembaca
berkontemplasi atas apa yang dikemukakan penyair. Pada umumnya
sarana retorika menimbulkan ketegangan puitis karena pembaca harus
memikirkan efek apa yang ditimbulkan dan dimaksudkan oleh penyairnya
(Pradopo, 2005).
Dalam puisi sarana retorika berupa rangkaian kata-kata frase, atau
kalimat yang akan merangsang pikiran. Makna puisi merupakan wilayah

isi atau unsur isi puisi, sarana retorika adalah unsur pembangun struktur
puisi merupakan wilayah bentuk lahiriah. Untuk mengenali sarana
retorika berikut contoh.
Ah
rasa yang dalam
datang Kau padaku!
Aku telah mengecap luka
Aku telah membelai aduhai
Aku telah tiarap harap
Aku telah mencium aum!
Aku telah dipukau au!
aku telah meraba
celah
lubang
pintu
aku telah tinggalkan puri purapuraMu
rasa yang dalam
rasa dari segala risau sepi dari segala nabi Tanya dari segala nyata sebab dari
sebagai abad sungsang dari segala sampai duri dari segala rindu luka dari
segala laku igau dari segala risau (Sutardji,1981).
Bunga Gugur
Bunga gugur
di atas nyawa yang gugur
gugurlah semua yang bersamanya
Kekasihku
Bunga gugur
di atas tempatmu terkubur
gugurlah segala hal ikhwal antara kita
Baiklah kita ikhlaskan saja
Tiada janji kan jumpa di sorga
Karena di sorga tiada kita kan perlu asmara
Asmara cuma lahir di bumi
(di mana segala berujung di tanah mati)
ia mengikuti hidup manusia

dan kalau hidup sendiri telah gugur


gugur pula ia bersama-sama
Ada tertinggal sedikit kenangan
tapi semata tiada lebih dari penipuan
atau semacam pencegah bunuh diri
walau ada pula kesedihan
itu baginya semacam harga atau kehormatan
Kekasihku
Gugurlah ya gugur
semua gugur
hidup, asmara, embun di bunga
yang kita ambil cuma yang berguna. (Rendra,1971).
Menegaskan kalau seseorang yang sudah gugur (mati) gugur
semualah yang dimiliki yang berkaitan dengan dirinya. Orang yang
ditinggalkannya pun akan segera melupakannya.\
Setiap angkatan atau priode sastra memunyai sarana retorika,
bahkan setiap penyair dalam priode memunyai kekhususan dalam
menggunakana dan memilih sarana retorika dalam sajak-sajaknya,
aliran, paham, serta konvensi dan konsepsi estetikanya. Misalnya
sarana retorika Pujangga Baru sesuai dengan konsepsi estetika yang
menghendaki keseimbangan yang simetris dan juga aliran romantik
yang penuh curahan perasaan. Maka sarana retorika yang dominan
ialah tautologi, pleonasme, keseimbangan, retorik retisense,
paralelisme, dan penjumlahan (enumerasi).Angkatan 45, sesuai dengan
aliran realisme dan ekspressionisme, banyak memergunakan sarana
retorika yang bertujuan intensitas dan eksprevitas. Di antaranya
hiperbola, litotes, dan penjumlahan. Sementara, sajak-sajak yang berisi
pemikiran atau filsafat banyak memergunakan sarana retorika
paradoks dan kiasmus. Sajak bergaya mantra banyak memergunakan
sarana retorika repetisi atau ulangan, misalnya sajak Sutardji.
2. Jenis-jenis Sarana Retorika
Jenis-jenis sarana retorika dapat dilihat berikut ini.
a. Hiperbola, adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara
berlebih-lebihan dengan membesar-besarkan fakta atau emosi dari
kenyataan yang sesungguhnya. Contoh berikut.

berjuta-juta bilangan perkalian dan berjuta-juta bilangan tambahan


kurang mengurung kamarku berdentang-dentang membawa lonceng
dengan muka coreng- moreng memekikkan perang.
Hari ini
bermcam-macam margasatwa dan bermacam-macam belantara melabrak jendela
kamarku menggeram-geram berderap-derap membawa cakar dan meriam dengan
muka luka menyebarkan kekerasan.
Hari ini
Berbondong-bondong kalong dan berbondong-bondong para penodong menggedor
dadaku dan menodongkan senapannya ke jantungku(Yudhistiara Adi
Nugraha, Hari Ini Kamis Keempat, 1983).
Hiperbola yang ditandai dengan pengguna rangkaian kata berjutajuta..berdentang-dentang, bermacam-macam, menggeram-geram, berderapderap,
berbondong-bondong.
Efek yang ditimbulkan dari hiperbola tersebut menggambarkan si aku yang
sedang menghadapi masalah yang bertubi-tubi. Di sini dirangkaian dengan bahasa
kias sinekdok sehingga tambah jelas.
Menyala rinduku
Dalam unggung apiMu
Membara dalam keluhan panjang
Hatiku yang pendiam
Menyala rinduku
Dalam redupnya gemintang
Saat malam saat kelam itu
Menikamkan dalam-dalam
(Acep Zamzam, Di Bukit Dago, 1982)
Penyair menggambarkan betapa besar kerinduannya dengan Tuhan, seperti
api yang menyala-nyala dan membara, betapa besar nyala rindu itu sampai-sampai
mengalahkan cahaya bintang.
Sajaksajak
Angkatan
45
banyak
memergunakan
sarana
retorika hiperbola. Misalnya sajak Chairil Anwar berikut.
Kepada Peminta-minta
Baik, baik akau akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku

Nanti darahku jadi beku


Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari muka
Sambil berjalan kau usap juga
Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap ka memandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah
Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku
Baik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahmu jadi beku. (Chairil Anwar).
Dalam
sajak
tersebut,
sarana
retorika
yang
dominan
adalah hiperbola. Hal ini dapat dilihat pada larik: jangan tentang lagi
aku / nanti darahku jadi beku. Juga tampak dalam bait ke- 2, 3, 4. di
sini hiperbola dikombinasi dengan penjumlahan (bait ke- 2, 3, 4),
maksudnya untuk lebih mengintensifkan pernyataan. Dengan
demikian, lukisan menjadi sangat mengerikan dan menakutka,
perasaan dosa itu menjadi sangat terasa. Begitu juga ulangan-ulangan
bentuk kata kerja itu memberi intensitas:mengganggu- menghenpasmengaum.
b. Understatement, kebalikan dari hiperbola karena sarana retorika
berarti pernyataan yang mengecilkan sesuatu. Suatu hal atau keadaan
yang digambarkan lebih kecil atau lebih rendah dari kenyataan yang
sesungguhnya. Understatement biasa juga disebut litotes. Contoh
berikut ini.
ingin selalu kupersembahkan kepada-Mu
sajak-sajak yang sederhana
pikiran-pikiran yang sederhana
perasaan-perasaan dan hasrat yang sederhana

sebab hidup ini pun sederhana saja


aku dilahirkan secara deserhana
dari rahim ibuku yang sederhana
dari rahim idarat-Mu yang sederhana
(Emha Einun Najib Sajak Sederhana. 1987).
Di sini ada hasrat untuk merendahkan diri, efeknya untuk
mengagunggang Tuhan
.
Aku menggelinding
Hanya debu
Tertiup dari sudut ke sudut
Terseret-seret irama yang riuh
Hanya debu aku
Melayang-layang lalu jatuh, lalu luruh
Lalu turun hujan menggemuruh
Aku kuyup
Hanya debu sekedar debu
. (Acep, Bandung 1982).
Si aku menganggap betapa rendah dirinya, betapa tak kuasanya
sehingga tertiup dan terseret-seret dari sudut satu ke sudut lain.
Efeknya mengandung makna betapa kecil dan tak berkuasanya
manusia di semesta raya ini. Pada dasarnya manusia itu adalah debu.
.
c. Ambiguitas, artinya makna ganda yang dimiliki oleh kata, frase,
kalusa, ataupun kalimat sebagai akibat sifat puisi yang berupa
pemadatan kata, frase, kalausa ataupun kalimat (Pradopo, 1994).
d. Pot
pot apa pot itu pot kaukah pot itu
pot pot pot
yang jawab pot pot pot pot kaukah pot itu
yang jawab pot pot pot pot kaukah pot itu
pot pot pot
potapa potitu potikaukah potaku?
POT
(Sutardjih,1981)

Kita tidak dapat memastikan apakah itu pot. Apakah pot


tanaman atau simbol dari sesuatu? Mungkin pot itu berkaitan dengan
tanah yang menjadi bahan dasarnya, yang sebenarnya sama dengan
bahan dasar manusuia ketika dicipta?Kalau demikian, pertanyaan
tentang pot aku pot mungkin dapat dikaitkan dengan pertanyaan
tentang hakikat dan asal-usul manusia.
Ayah dan ibuku bercakap-cakap
dalam tidurku
Kata mereka: Pohon keluarganya
selalu ditebangi orang
Aku bangun pagi-pagi benar
-di seberang gurun langit sudah malam
Aku ingin tidur lagi
Aku tak ingin melihatnya (Abdul Hadi Optimisme, 1982)
Penggunaan frase pohon keluarganya selalu ditebangi
orang, baris ketiga dan keempat punya makna ganda karena dapat
ditafsirkan sebagai pohon yang ditanam dan dimiliki keluarga dan
ditebangi orang. Tetapi dapat juga berarti silsilah keluarga yang
digannggu orang lain.
Bait kedua dapat ditafsirkan si aku bangun pagi-pagi benar,
tetapi ternyata di seberang gurun ada sesuatu yang menakutkan
(digambarkan tengah malam) dan dia tak mau melihatnya.
Tuan. Tuhan bukan? Tunggu sebentar/ saya sedang
keluar (Sapardi Djoko Damono, Tuan). Pernyataan tersebut terdapat
ambiguitas karena dalam logika biasa, tidak akan terjadi si aku yang
sedang keluar, dapat menyapa Tuhan. Ambiguitas tersebut antara lain
akan menyatakan seseorang yang tidak (belum) siap untuk menemui
Tuhan, karena mungkin masih perlu membersihkan dirinya (Wiyatmi,
2006).

BAB III
KESIMPULAN
Gaya bahasa adalah mempelajari atau memahami segala cara untuk
mencapai suatu efek tertentu dan pernyataan. Gaya bahasa memungkinkan kita dapat
menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa itu.
Semakin baik gaya bahasanya, semakin baik pula penilaian orang terhadapnya;
semakin buruk gaya bahasa seseorang, semakin buruk pula penilaian diberikan
padanya. Gaya adalah cara mengungkapkan diri sendiri, entah melalui bahasa,
tingkah laku, berpakaian, dan sebagainya.
Dilihat dari segi bahasa terdapat berbagai jenis-jenis gaya bahasa :
1. Gaya bahasa berdasarkan Pilihan kata
2. Gaya bahasa berdasarkan Nada
3. Gaya bahasa berdasarkan Struktur kalimat
4. Gaya bahasa berdasarkan Langsung tidaknya makna.

DAFTAR PUSTAKA
Badrun, Drs. Ahmad, Pengantar Ilmu Sastra (Teori Sastra), Usaha NasionalSurabaya, Tahun Akademik 2009 / 2010.
Hartoko, Dick dan Rahmanto, B. 1985. Pemandu di Dunia Sastra. Penerbit
Kanisius : Yogyakarta.
Keraf, Gorys, Dr. 1981. Diksi dan Gaya Bahasa. Penerbit Nusa Indah :
Ende-Flores.
Lubis, Muchtar. 1990. Jalan Tak Ada Ujung. Penerbit Pustaka Jaya : Jakarta.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Gadjah Mada University
Press : Yogyakarta.
Sujiman, Panuti, Dr. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Pustaka Jaya : Jakarta.
http://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/pesona-puisi/beberapa-gaya-bahasadalam-pandangan-teori-klasik/

http://danririsbastind.wordpress.com/2009/11/27/gaya-bahasa-dalam-bahasaindonesia/
http://info-makalah.blogspot.com/2009/12/makalah-gaya-bahasa.html
Download
of 15

Sarana Retorika dan Gaya Bahasa dalam Sastra

A.

PENGERTIAN RETORIKA

Anda mungkin juga menyukai