Anda di halaman 1dari 32

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan akut parenkim
paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, parasit).
Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak
termasuk. Peradangan paru yang disebabkan oleh non mikroorganisme (bahan
kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan lain) disebut pneumonitis
(PDPI, 2014). Penyakit ini sering menyerang anak balita, namun juga dapat
ditemukan pada orang dewasa, dan pada orang usia lanjut.
Bakteri yang biasa menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus
dan Mycoplasma pneumonia, sedangkan virus yang menye-babkan
pneumonia adalah adenoviruses, rhinovirus, influenza virus, respiratory
syncytial virus (RSV) dan para influenza virus.

Terjadinya pneumonia

ditandai dengan gejala batuk dan atau kesulitan bernapas seperti napas cepat,
dan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (Anwar, 2014).
Pneumonia merupakan penyebab utama kematian balita di dunia.
Diperkirakan ada 1,8 juta atau 20% dari kematian anak diakibatkan oleh
pneumonia, melebihi kematian akibat AIDS, malaria dan tuberkulosis
(WHO,2006)
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2013, menunjukkan prevalensi nasional Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) yaitu sebesar 25 %, dan

terjadi peningkatan prevalensi

pneumonia 11,2% pada tahun 2007 menjadi 18,5% pada tahun 2013. Insiden
tertinggi pneumonia terdapat pada kelompok umur 12-23 bulan (21,7%)
(Kemenkes RI 2007 dan 2013).
Demikian juga hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI), yang melaporkan bahwa prevalensi pneumonia daritahun ke tahun
terus eningkat, yaitu 7,6% pada tahun 2002 menjadi 11,2% pada tahun 2007
(BPS,2007). Pneumonia juga termasuk dalam 10 besar penyakit rawat inap di
rumah sakit dengan proporsi kasus 53,95 % laki-laki dan 46,05 % perempuan,

dengan crude fatality rate (CFR) 7,6 %, paling tinggi dibandingkan penyakit
yang lainnya (Kemenkes RI, 2012).
Pada umumnya, pneumonia dikategorikan dalam penyakit menular
yang ditularkan melalui udara, dengan sumber penularan adalah penderita
pneumonia yang menyebarkan kuman dalam bentuk droplet ke udara pada
saat batuk atau bersin. dan berbicara langsung terhirup oleh orang di sekitar
penderita, atau memegang dan menggunakan benda yang telah terkena
sekresi salu-ran pernapasan penderita (WHO, 2013)
Banyak faktor yang dapat berpengaruh terhadap meningkatnya
kejadian pneumonia, baik dari aspek individu, perilaku orang tua (ibu),
maupun lingkungan. Kondisi lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi
syarat kesehatan dan perilaku penggunaan bahan bakar dapat meningkatkan
risiko terjadinya berba-gai penyakit seperti TB, katarak, dan pneumonia
(Azhar, 2013; Tana 2009; Listyowati, 2013). Mengenai penyakit pneumonia
akan dibahas lebih lanjut mengenai pneumonia dalam makalah ini.

BAB II
STATUS PASIEN
ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama
Umur
Jenis Kelamin

: Ny. TM
: 63 tahun
: Wanita

Status
Pekerjaan
Agama
Alamat
Tanggal Masuk
Tanggal Pemeriksaan
No. RM

: Menikah
: Ibu rumah tangga
: Islam
: Banjarsari, Surakarta
: 11 Oktober 2015
: 11 Oktober 2015 16 Oktober 2015
: 01316554

2. Keluhan Utama
Sesak napas
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS Dr. Moewardi dengan keluhan utama
sesak napas. Sesak napas dialami pasien sejak 1 minggu sebelum masuk
rumah sakit (SMRS) dan memberat 2 hari SMRS. Sesak napas tidak
dipengaruhi cuaca atau debu dan tidak diperberat oleh aktivitas. Tidak ada
keluhan terbangun pada malam hari karena sesak.
Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 3 minggu SMRS. Batuk
disertai dahak berwarna putih dan berubah menjadi kekuningan sejak 1
minggu SMRS dengan peningkatan jumlah dahak. Pasien mengeluh
demam 1 minggu SMRS. Riwayat demam sumer-sumer tidak ada. Tidak
ada keluhan nyeri dada dan keringat saat malam hari. Pasien mengalami
penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan 5 kg dalam 1 tahun
terakhir. Pasien tidak mengeluhkan adanya gangguan BAB dan BAK.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit serupa :
disangkal
Riwayat alergi :
Riwayat DM :
Riwayat OAT :
Riwayat hipertensi

disangkal
disangkal
disangkal
:

disangkal
Riwayat sakit jantung :
disangkal
Riwayat asma : disangkal

Riwayat mondok

disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga

6. Riwayat Kebiasaan

Riwayat hipertensi

disangkal
Riwayat sakit jantung :

disangkal
Riwayat DM :
Riwayat asma :
Riwayat alergi :
Riwayat TB :
Merokok
:
Minum alkohol

disangkal
disangkal
disangkal
disangkal
pasif (+)
:

disangkal
Mempunyai binatang
:
disangkal
Kontak dengan binatang

peliharaan
:

disangkal
7. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien berobat di RS Dr. Moewardi menggunakan fasilitas BPJS.
Pasien berprofesi sebagai ibu rumah tangga, tinggal bersama suami, anak,
dan cucunya.
B PEMERIKSAAN FISIK
1 Keadaan Umum
Tampak sesak, GCS E4V5M6 (compos mentis).
2 Tanda Vital
Tekanan darah
: 110/80 mmHg
Frekuensi pernapasan
: 32 x/menit
Nadi
: 108 x/menit
Suhu
: 38oC
SpO2
: 98% dengan O2 3 lpm
3 Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venektasi (-),
4

spidernevi (-), hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-).


Kepala

Bentuk mesocephal, luka (-), rambut warna hitam beruban, tidak mudah
5

6
7
8

rontok, tidak mudah dicabut, atrofi otot (-).


Mata
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil
isokor (3mm/3mm), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-).
Hidung
Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-).
Telinga
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-).
Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), lidah simetris, lidah tremor (-),
tonsil T1-T1, faring hiperemis (-), stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi

berdarah (-), papil lidah atrofi (-).


Leher
JVP tidak meningkat, KGB tidak membesar, nyeri tekan (-),benjolan (-),

leher kaku (-).


10 Thorax
Simetris, venektasi (-).
11 Jantung
Inspeksi
: Ictus cordis tidak tampak
Palpasi
: Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi
: Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler, bising (-)
12 Paru
a Paru (anterior)
Inspeksi statis : Permukaan dada kanan = kiri
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi
: Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi
: sonor/sonor
Auskultasi
: SDV (+/+), RBK (-/+), wheezing (-/-)
b. Paru (posterior)
Inspeksi statis : Permukaan dada kanan = kiri
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi
: Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi
: hipersonor/hipersonor
Auskultasi
: SDV (+/+), RBK (-/+), wheezing (-/-)
13 Abdomen
Inspeksi
: dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi
: timpani
Palpasi
: supel, nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba
14 Ekstremitas
Oedem
Akral dingin

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
I.

Anatomi
Secara anatomi, unit dasar dari struktur paru-paru dipertimbangkan
adalah lobulus sekunder. Beratus-ratus dari lobules ini membentuk masingmasing paru. Setiap lobulus merupakan miniature dari paru-paru dengan
percabangan bronchial dan suatu sirkulasi sendiri. Setiap bronkiolus
respiratorius berterminasi kedalam suatu alveolus. Alveolus terdiri dari sel
epitel tipis datar dan disinilah terjadi pertukaran gas antara udara dan darah.
Apeks dari paru-paru mencapai daerah tepat diatas clavicula dan dasarnya
bertumpu pada diafragma. Kedua paru-paru dibagi kedalam lobus, yang
kanan dibagi tiga, yang kiri dibagi dua. Nutrisi dibawa pada jaringan paruparu oleh darah melalui arteri bronkial, darah kembali dari jaringan paru-paru
melalui vena bronkial (Rosa, 1996).
Paru-paru juga mempunyai suatu sirkulasi paru-paru yang berkaitan
dengan mengangkut darah deoksidasi dan oksigenasi. Paru-paru disuplai
dengan darah deoksigenasi oleh arteri pulmonalis yang datang dari ventrikel
kanan. Arteri membagi diri dan membagi diri kembali dalam cabang yang
secara progresif menjadi lebih kecil, berpenetrasi pada setiap bagian dari
paru-paru hingga akhirnya mereka membentuk anyaman kapiler yang
mengelilingi dan terletak pada dinding dari alveoli. Dinding dari alveoli
maupun kapiler sangat tipis dan disinilah terjadi pertukaran gas pernafasan.
Darah yang dioksigenasi kembali kedalam atrium dengan empat vena
pulmonalis (Rosa, 1996).

Gambar kiri: anatomi pulmo; kanan: gambar pneumonia.


II.

Fisiologi
Proses pernapasan sangat penting untuk dapat mensuplai oksigen ke
semua jaringan tubuh dan untuk mengeluarkan karbondioksida yang
dihasilkan oleh darah melalui paru-paru (Brian, 2007). Udara masuk ke paruparu melalui sistem berupa pipa yang menyempit (bronchi dan bronkiolus)
yang bercabang di kedua belah paru-paru utama (trachea). Pipa tersebut
berakhir di gelembung-gelembung paru-paru (alveoli) yang merupakan
kantong udara terakhir dimana oksigen dan karbondioksida dipindahkan dari
tempat dimana darah mengalir. Ada lebih dari 300 juta alveoli di dalam paruparu manusia bersifat elastis. Ruang udara tersebut dipelihara dalam keadaan
terbuka oleh bahan kimia surfaktan yang dapat menetralkan kecenderungan
alveoli untuk mengempis (McArdle, et al. 1986).
Alveoli paru-paru/ kantong udara merupakan kantong kecil dan tipis
yang melekat erat dengan lapisan pembuluh darah halus (kapiler) yang
mebawa darah yang bebas oksigen (deoxgenated) dari jantung. Molekul
oksigen dapat disaring melalui dinding pembuluh darah tersebut untuk masuk
ke aliran darah. Sama halnya dengan karbondioksida yang dilepaskan dari
darah ke dalam kantong udara untuk dikeluarkan melalui pernapasan,
menentukan jumlah oksigen yang masuk ke dalam darah dan jumlah
karbondioksida yang dikeluarkan dari darah (Guyton, 1994).
Permukaan bagian luar paru-paru ditutup oleh selaput pleura yang licin
dan selaput serupa membatasi permukaan bagian dari dinding dada. Kedua
selaput tersebut terletak dekat sekali dan hanya dipisahkan oleh lapisan cairan
yang tipis, karenanya dapat dipisahkan dan terdapat suatu rongga diantara
selaput-selaput tersebut yang disebut ruang antar rongga selaput dada (intra

pleura space). Sewaktu menarik napas (inspirasi) dinding dada secara aktif
tertarik keluar oleh pengerutan dinding dada, dan sekat rongga dada
(diafragma) tertarik ke bawah. Berkurangnya tekanan di dalam menyebabkan
udara mengalir ke paru-paru. Dengan upaya yang maksimal pengurangan
dapat mencapai 60-100 mmHg di bawah tekanan atmosfir. Hembusan napas
keluar (ekspirasi) disebabkan mengkerutnya paru-paru dan dinding yang
mengikuti pengembangan. Tekanan udara yang meningkat di dalam dada
memaksa gas-gas keluar dari paru-paru. Hal tersebut terutama terjadi tanpa
upaya otot tetapi dapat dibantu oleh hembusan napas yang kuat (Guyton,
1994).
Respirasi eksternal artinya udara dari atmosfer masuk ke dalam aliran
darah untuk dibawa ke dalam sel jaringan dan karbondioksida yang
terkumpul di dalam paru dikeluarkan dari tubuh. Respirasi internal meliputi
aktivitas vital kimia yang memerlukan kombinasi oksigen dan glikogen,
kemudian dilepaskan menjadi energi, air dan karbondioksida (Guyton, 1994).
Pengukuran fungsi pernapasan ada banyak dan bermacam-macam.
Namun secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut : Selama bernapas,
kira-kira kira-kira 500 ml udara bergerak ke saluran napas dalam setiap
inspirasi, dan jumlah yang sama bergerak keluar dalam setiap eskpirasi.
Hanya kira-kira 350 ml volume tidal/tidal volume (TV) benar-benar mencapai
alveoli, sedangkan 150 ml tetap berda di hidung, faring, trachea, dan bronki
disebut sebagai volume udara mati (dead space). Udara total yang diambil
selama satu menit disebut volume menit respirasi/respiratory minute volume
(RMV), yang dihitung dengan perkalian udara tidal dan laju pernapasan
normal setiap menit. Volume rata-rata = 500 ml x 12 respirasi setiap menit =
6.000 ml/menit dalam keadaan istirahat.
Apabila bernapas kuat, maka jumlah udara yang masuk ke dalam
saluran napas dapat melebihi 500 ml udara. Kelebihan udara tersebut disebut
volume udara cadangan inspiratori, rata-rata 3.100 ml. Dengan demikian

sistem pernapasan normal dapat menarik 3.100 ml (volume udara cadangan


respiratori) + 500 ml (volume udara tidal) = 3.600 ml. Namun dalam
kenyataan, lebih banyak lagi udara yang dapat ditarik bila inspirasi mengikuti
eskpirasi kuat.
Selanjutnya apabila seseorang melakukan inspirasi normal dan
kemudian melakukan ekspirasi sekuat-kuatnya, maka akan dapat mendorong
keluar 1.200 ml udara, volume udara tersebut adalah volume udara cadangan
eskpiratori. Setelah volume udara cadangan eskpiratori dihembuskan,
sejumlah udara masih tetap berada dalam paru-paru, karena tekanan
intrapleural lebih rendah sehingga udara yang tinggal tersebut dipakai untuk
mempertahankan agar alveoli tetap sedikit menggembung, dan juga sejumlah
udara masih tetap ada pada saluran udara pernapasan. Udara yang masih
berada pada saluran pernapasan tersebut adalah udara residu yang jumlahnya
kira-kira 1.200 ml.
Kapasitas paru-paru dapat dihitung dengan menjumlahkan semua
volume udara paru. Kapasitas inspiratori adalah keseluruhan kemampuan
inspirasi paru, yaitu jumlah volume udara tidal dan volume cadangan
inspiratori = 500 ml + 3.100 ml = 3.600 ml. Kapasitas residu fungsional
adalah jumlah volume udara residu dan volume udara cadangan ekspiratori =
2.400 ml. Kapasitas vital adalah volume udara cadangan inspiratori = volume
udara tidal + volume udara cadangan eskpiratori = 4.800 ml. Akhirnya
kapasitas total paru merupakan jumlah semua volume udara yaitu = 6.000 ml.
Respirasi eksternal adalah pertukaran oksigen dan karbondioksida
antara paru dan kapiler darah paru. Selama inspirasi, udara atmosfer
mengandung oksigen memasuki alveoli. Darah terdeoksigenasi dipompa dari
ventrikel kanan melalui arteri pulmonaslis menuju kapiler pulmonalis yang
menyelubungi alveoli. PO2 alveolar 105 mmHg, pO2 darah teroksigenasi
yang memasuki kapiler pulmonalis hanya 40 mmHg. Sebagai akibat
perbedaan tekanan tersebut, oksigen berdifunsi dari alveoli ke dalam darah

terdeoksigenasi

sampai

keseimbangan

tercapai,

dan

pO2

darah

terdeoksigenasi sekarang 105 mmHg. Ketika oksigen difusi dari alveoli ke


dalam darah terdeoksigenasi, karbondioksida berdifusi dengan arah
berlawanan. Sampai di paru, pCO2 darah terdeoksigenasi 46 mmHg, sedang
di alveoli 40 mmHg. Oleh karena perbedaan pCO2 tersebut karbondioksida
berdifusi dari darah terdeoksigenasi ke dalam alveoli sampai pCO2 turun
menjadi 40 mmHg. Dengan demikian pO2 dan pCO2 darah terdeoksigenasi
yang meninggalkan paru sama dengan udara dalam alveolar. Karbondioksida
yang berdifusi ke alveoli dhembuskan keluar dari paru selama ekspirasi
(Soewolo, et al. 1999).
Gas buang cenderung untuk berdifusi dari daerah dengan tekanan
partial tinggi ke daerah lain dimana tekanan partialnya lebih rendah yaitu
dikarenakan selisih tekanan (Pressure Gradient). Selisih tekanan oksigen dari
alveoli ke aliran darah dan sebaliknya selisih tekanan karbondioksida dari
saluran darah ke alveoli menentukan pertukaran gas-gas tersebut di dalam
paru-paru. Keseimbangan terjadi dengan masuknya oksigen ke aliran darah
dari paru-paru. Selisih tekanan yang sama terdapat pada tingkatan jaringan
darah, dimana karbondioksida dilepaskan oleh jaringan masuk ke aliran darah
dan oksigen berdifusi ke dalam jaringan-jaringan. Hal tersebut tejadi pada
setiap pernapasan dan pertukaran peredaran darah. Pertukaran gas terjadi
karena difusi, dan ini ditentukan sampai tingkat tertentu di udara oleh berat
jenis gas yang bersangkutan (Guyton, 1994).
Di alveoli paru-paru, oksigen berdifusi lebih cepat daripada
karbondioksida karena berat jenisnya lebih rendah. Difusi gas dalam jaringan
tubuh angat dipengaruhi oleh daya larutnya di dalam cairan-cairan jaringan
dan darah, dan oleh karena karbondioksida berkurang lebih 24 kali lebih
mudah larut dalam darah dibanding oksigen, maka keseluruhan kecepatan
difusi karbondioksida melebihi kecepatan oksigen sekitar 20 kali lipat. Difusi
gas dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : kelainan pada dinding
alveoli, peredaran pembuluh darah halus yang tidak sempurna dapat

mengurangi suplai darah ke alveoli, mengecilnya alveoli yang dapat


mengurangi daerah pemindahan gas. Salah satu dari semua itu dapat
menyebabkan kurang oksigen dalam darah atau berkurangnya pengeluaran
karbondioksida dari darah (Guyton, 1994).
Pengangkutan gas-gas pernapasan antara paru dan jaringan tubuh
adalah tugas darah. Bila oksigen dan karbondioksida masuk darah, terjadi
perubahan kimiadan fisika tertentu yang membantu pengangkutan dan
pertukaran gas. Dalam setiap 100 ml darah teroksigenasi mengandung 20 ml
oksigen. Oksigen tidak mudah larut dalamair, karenanya sangat sedikit
oksigen yang diangut dalam keadaan larut dalam plasma darah.
Kenyataannya, 100 ml darah teroksigenasi hanya kira-kira 3% terlarut dalam
plasma, 97 % sisanya diangkut dalam gabungan kimia dengan hemoglobin
dalam eritrosit. Hemoglobin terdiri dari protein yang disebut globin dan
pigmen yang disebut heme. Oksigen dan hemoglobin bergabung dalam suatu
rekasi bolak-balik yang dengan mudah membentuk oksihemoglobin
(Soewolo, et al. 1999).
Hb + O2

HbO2

Karbondioksida yag dihasilkan oleh jaringan tubuh berdifusi ke dalam


cairan interstitial dan ke dalam plasma. Kurang 10% karbondioksida tersebut
tetap tertinggal dalam plasma sebagai CO2 yang terlarut. Lebih 90%
karbondioksida tersebut berdifusi ke dalam sel darah merah. Beberapa
diantaranya diambil dan diangkut oleh hemoglobin. Sebagian besar
karbondioksida bereaksi dengan ion hidrogen dalam eritrosit untuk
membentuk asam karbonat. Sel darah merah mengandung enzim karbonat
anhidrase, yang mengkatalisis reaksi. Asam kabrbonat berdisosiasi menjadi
ion bikarbonat dan ion hidrogen. Hemoglobin berikatan dengan sebagian
besar ion hidrogen dari asam karbonat, agar tidak bertambah asam.
Pengikatan ion hidrogen tersebut menyebabkan Bohr Shift.

Proses perubahan asam karbonat-bikarbonat yang dapat berbalik arah


juga membantu menyangga darah, dengan membebaskan atau mengeluarkan
ion hidrogen, tergantung pada pH. Sebagian besar ion bikarbonat berdifusi ke
dalam plasma, ion-ion diangkut dalam aliran darah ke paru-paru. Kebalikan
dari proses yang terjadi dalam kapiler jaringan terjadi diparu-paru. Ion
bikarbonat berdifusi dari plasma ke dalam sel darah merah.Ion hidrogen yang
dibebasan dari hemoglobin, bergabung dengan ion bikarbonat untuk
membentuk asam karbonat. Karbondioksida dibentuk dari asam karbonat dan
dilepaskan dari hemoglobin. Karbondioksida berdifusi keluar dari darah, ke
dalam cairan interstitial dan ke dalam ruangan alveoli, sebelum dikeluarkan
selama ekshalasi (Campbell, et al. 2004).
Dalam pertukaran ion klor berdifusi ke dalam sel darah merah yang
dikenal sebagai chloride shift. Ion klor yang masuk plasma dari sel darah
merah bergabung dengan ion K untuk membentuk KCl. Ion bikarbonat yang
masuk plasma dari sel darah merah bergabung dengan ion Na, membentuk
sodium bikarbonat. Rangkaian reaksi tersebut bahwa karbondioksida dibawa
dari sel jaringan sebagai ion bikarbonat dalam plasma (Soewolo, et al. 1999).
III.

Definisi
Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru
yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit).
Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak
termasuk.

Sedangkan

peradangan

paru

yang

disebabkan

oleh

nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan


dan lain-lain) disebut pneumonitis.
IV.

Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme,
yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia
komuniti yang diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan
bakteri Gram positif, sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak

disebabkan bakteri Gram negatif sedangkan pneumonia aspirasi banyak


disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di
Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan
dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram negatif.
V.

Patofisiologi
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di
paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila
terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat
berkembang biak dan menimbulkan penyakit.
Resiko

infeksi

di

paru

sangat

tergantung

pada

kemampuan

mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas.


Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan :
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara
Kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme
atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5
-2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan
selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas
atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan
terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari
sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring
terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga pada keadaan penurunan
kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse).
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 810/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat
memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada
pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi.

Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama


dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian
tidak di temukan jenis mikroorganisme yang sama.
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli
menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan
infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan
fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke
permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui
psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimakan.
Pada waktu terjadi peperangan antara host dan bakteri maka akan tampak 4
zona pada daerah parasitik terset yaitu :
1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa
eksudasi sel darah merah.
3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang
aktif dengan jumlah PMN yang banyak.
4. Zona resolusi : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak
bakteri yang mati, leukosit dan alveolar makrofag.
Red hepatization ialah daerah perifer yang terdapat edema dan perdarahan,
sedangkan Gray hepatization ialah konsolodasi yang luas.
VI.

Diagnosis
1. Gambaran klinis
a. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu
tubuh meningkat dapat melebihi 400 C, batuk dengan dahak mukoid atau
purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.
b. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada
inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa
palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi
terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin
disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada
stadium resolusi.

2. Pemeriksaan penunjang
a. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama
untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat
sampai konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan
interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas
menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah
diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering
disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa
sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia
sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang
terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
b. Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan
pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi
peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan
pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif
pada 20- 25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah
menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi
asidosis respiratorik.
VII.

Penatalaksanaan
Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan
klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati
di rumah. Juga diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi yaitu keadaan
yang dapat meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme pathogen
yang spesifik misalnya S. pneumoniae yang resisten penisilin. Yang termasuk
dalam faktor modifikasis adalah ( PDPI, 2014 ):
a

Pneumokokus resisten terhadap penisilin

Umur lebih dari 65 tahun

Memakai obat-obat golongan P laktam selama tiga bulan terakhir

Pecandu alkohol

Penyakit gangguan kekebalan

Penyakit penyerta yang multipel

Bakteri enterik Gram negatif

Penghuni rumah jompo

Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru

Mempunyai kelainan penyakit yang multipel

Riwayat pengobatan antibiotik

Pseudomonas aeruginosa

Bronkiektasis

Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari

Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir

Gizi kurang
Penatalaksanaan pneumionia komuniti dibagi menjadi (PDPI, 2014):

Penderita rawat jalan

Pengobatan suportif / simptomatik

- Istirahat di tempat tidur


- Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
- Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
- Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran

Pemberian antiblotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam

Penderita rawat inap di ruang rawat biasa

Pengobatan suportif / simptomatik


- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik

Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam

Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif

Pengobatan suportif / simptomatik


- Pemberian terapi oksigen

- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit


Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik

Pengobatan antibiotik (sesuai bagan.) kurang dari 8 jam

Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik


Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD diobservasi

tingkat kegawatannya, bila dapat distabilkan maka penderita dirawat map di


ruang rawat biasa; bila terjadi respiratory distress maka penderita dirawat di
Ruang Rawat Intensif (PDPI, 2014).

Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan /


memburuk maka pengobatan disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji
sensitiviti (PDPI, 2014).
Pengobatan pneumonia atipik
Antibiotik masih tetap merupakan pengobatan utama pada pneumonia
termasuk atipik. Antibiotik terpilih pada pneumonia atipik yang disebabkan

oleh M.pneumoniae, C.pneumoniae dan Legionella adalah golongan (PDPI,


2014):
Makrolid baru (azitromisin, klaritromisin, roksitromisin)
Fluorokuinolon respiness
Doksisiklin
Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan
perubahan obat suntik ke oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk
mengurangi biaya perawatan dan mencegah infeksi nosokomial. Perubahan
obat suntik ke oral harus memperhatikan ketersediaan antibiotik yang
diberikan secara iv dan antibiotik oral yang efektivitinya mampu
mengimbangi efektiviti antibiotik iv yang telah digunakan. Perubahan ini
dapat diberikan secara sequential (obat sama, potensi sama), switch over
(obat berbeda, potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda, potensi
lebih rendah) (PDPI, 2014).
Contoh terapi sekuensial: levofioksasin, moksifloksasin, gatifloksasin
Contoh switch over : seftasidin iv ke siprofloksasin oral
Contoh step down amoksisilin, sefuroksim, sefotaksim iv ke cefiksim
oral.
Obat suntik dapat diberikan 2-3 hari, paling aman 3 hari, kemudian
pada hari ke 4 diganti obat oral dan penderita dapat berobat jalan.
Kriteria untuk perubahan obat suntik ke oral pada pneumonia komuniti
(PDPI, 2014):
Tidak ada indikasi untuk pemberian suntikan lagi
Tidak ada kelainan pada penyerapan saluran cerna
Penderita sudah tidak panas 8 jam
Gejala klinik membaik (mis : frekuensi pernapasan, batuk)
Leukosit menuju normal/normal
Evaluasi pengobatan
Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris selama 24 - 72 jam
tidak ada perbaikan, kita harus meninjau kembali diagnosis, faktor-faktor

penderita, obat-obat yang telah diberikan dan bakteri penyebabnya (PDPI,


2014).

BAB IV
ANALISIS KASUS

BAB V
FOLLOW UP PASIEN

A Tanggal 12 Oktober 2015


S : batuk (+), sesak menurun
O:
TD

110/70 mmHg

Nadi :

92 kali/ menit, isi dan tegangan cukup, irama teratur

RR

24x/menit

Suhu :

37,5C per aksiler

SiO2 :

98% (O2 ruang)

Kulit : warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venektasi (-),
spider naevi (-)
Kepala : mesocephal, luka (-), atrofiotot (-), rambut rontok (-)
Mata : Conjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+),
pupi lisokor (3 mm/ 3mm), oedempalpebra (-/-), sekret (-/-)
Hidung : nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)
Telinga : deformitas (-/-),darah (-/-), sekret (-/-)
Mulut : bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), tonsil T1-T1, faring
hiperemis (-), stomatitis (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-)
Leher : simetris, trakhea ditengah, JVP tidak meningkat, pembesaran KGB
(-), nyeri tekan (-), benjolan (-)
Thoraks : retraksi (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi

: Ictus cordis tidak kuat angkat

Perkusi

: Konfigurasi jantung kesan tidak melebar

Auskultasi: BJ I dan II intensitas normal, reguler, bising (-)


Paru anterior
Inspeksi statis

: Simetris, dinding dada kiri = kanan

Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kiri = kanan

Palpasi

: Fremitus raba kiri = kanan

Perkusi

: Sonor/sonor

Auskultasi

: SDV (+/+), wheezing (-/-), RBK (-/+)

Paru posterior
Inspeksi statis

: Simetris, dinding dada kiri = kanan

Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kiri = kanan


Palpasi

: Fremitus raba kiri = kanan

Perkusi

: Sonor/sonor

Auskultasi

: SDV (+/+), wheezing (-/-), ronki basah halus (-/+)

Abdomen
Inspeksi

: dinding perut sejajar dinding dada

Auskultasi

: peristaltik (+) normal

Perkusi

: timpani

Palpasi

: supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas
Oedem ekstremitas

Akral dingin

Diagnosis
Pneumonia komuniti KR III dengan sepsis
Presumptive TB
Terapi
1
2
3
4
5
6
7
8
Plan

IVFD NaCl 0,9% 20 tpm


Diet sepsis 500 kkal/ hari
O2 2 lpm
Levofloxacyn 750 mg/ 24 jam (II)
NAC 3 x 200
PCT 3x500 mg
Ranitidin 50 mg / 12 jam
Vit BC 3 x 1

1
2
3

Sputum BTA 3x
GDP/2 jam PP
Urinalisa rutin

Jawaban konsul jantung


Didapatkan Compensated cordis, tidak ada terapi dari bidang janting, tidak
ACC raber.
B Tanggal 13 Oktober 2015
S : batuk (+), sesak menurun
O:
TD

: 100/70 mmHg

Nadi

: 82 kali/ menit, isi dan tegangan cukup, irama teratur

RR

: 24x/menit

Suhu

: 36,5C per aksiler

SiO2

: 99% (O2 ruang)

Kulit : warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venektasi (-),
spider naevi (-)
Kepala : mesocephal, luka (-), atrofiotot (-), rambut rontok (-)
Mata : Conjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+),
pupi lisokor (3 mm/ 3mm), oedempalpebra (-/-), sekret (-/-)
Hidung : nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)
Telinga : deformitas (-/-),darah (-/-), sekret (-/-)
Mulut : bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), tonsil T1-T1, faring
hiperemis (-), stomatitis (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-)
Leher : simetris, trakhea ditengah, JVP tidak meningkat, pembesaran KGB
(-), nyeri tekan (-), benjolan (-)
Thoraks : retraksi (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi

: Ictus cordis tidak kuat angkat

Perkusi

: Konfigurasi jantung kesan tidak melebar

Auskultasi: BJ I dan II intensitas normal, reguler, bising (-)


Paru anterior
Inspeksi statis

: Simetris, dinding dada kiri = kanan

Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kiri = kanan


Palpasi

: Fremitus raba kiri = kanan

Perkusi

: Sonor/sonor

Auskultasi

: SDV (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/+)

Paru posterior
Inspeksi statis

: Simetris, dinding dada kiri = kanan

Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kiri = kanan


Palpasi

: Fremitus raba kiri = kanan

Perkusi

: Sonor/sonor

Auskultasi

: SDV (+/+), wheezing (-/-),RBK (-/+)

Abdomen
Inspeksi

: dinding perut sejajar dinding dada

Auskultasi

: peristaltik (+) normal

Perkusi

: timpani

Palpasi

: supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas
Oedem ekstremitas

Akral dingin

Diagnosis
Pneumonia komuniti KR III dengan sepsis
Presumptive TB
Laboratorium
Hasil pemeriksaan sputum BTA tgl 12 Oktober (-)
PEMERIKSAAN
KIMIA KLINIK

HASIL

SATUAN

RUJUKAN

Glukosa Darah Sewaktu


URINALISA
Berat Jenis
Leukosit
Nitrit
Protein
Glukosa
Keton
MIKROSKOPIS
Eritrosit
EPITEL
Epitel Squamosa
Epitel Transisional
Kristal
Mukus

86

mg/dl

70-110

1.010
-

/ul
Mg/dl
Mg/dl
Mg/dl
Mg/dl

1.015-1.025
-

12,1

/ul

0-8,7

3-4
0-1
0,3
0,79

/LPB
/LPB
/ul
/ul

Terapi
1
2
3
4
5
6
7

IVFD NaCl 0,9% 20 tpm


Diet sepsis 500 kkal/ hari
O2 2 lpm
Injeksi Levofloxacyn 750 mg/ 24 jam (III)
Injeksi Ranitidin 50 mg/ 12 jam
NAC 3 x 200 mg
Vit BC 3 x 1

C Tanggal 14 Oktober 2015


S : batuk (+), sesak (+)
O:
TD

110/70 mmHg

Nadi :

92 kali/ menit, isi dan tegangan cukup, irama teratur

RR

24x/menit

Suhu :

36,5C per aksiler

SiO2 :

96% (O2 ruang)

Kulit : warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venektasi (-),
spider naevi (-)
Kepala : mesocephal, luka (-), atrofiotot (-), rambut rontok (-)
Mata : Conjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+),
pupi lisokor (3 mm/ 3mm), oedempalpebra (-/-), sekret (-/-)

Hidung : nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)
Telinga : deformitas (-/-),darah (-/-), sekret (-/-)
Mulut : bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), tonsil T1-T1, faring
hiperemis (-), stomatitis (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-)
Leher : simetris, trakhea ditengah, JVP tidak meningkat, pembesaran KGB
(-), nyeri tekan (-), benjolan (-)
Thoraks : retraksi (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi

: Ictus cordis tidak kuat angkat

Perkusi

: Konfigurasi jantung kesan tidak melebar

Auskultasi: BJ I dan II intensitas normal, reguler, bising (-)


Paru anterior
Inspeksi statis

: Simetris, dinding dada kiri = kanan

Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kiri = kanan


Palpasi

: Fremitus raba kiri = kanan

Perkusi

: Sonor/sonor

Auskultasi

: SDV (+/+), wheezing (-/-), ronki basah halus (-/+)

Paru posterior
Inspeksi statis

: Simetris, dinding dada kiri = kanan

Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kiri = kanan


Palpasi

: Fremitus raba kiri = kanan

Perkusi

: Sonor/sonor

Auskultasi

: SDV (+/+), wheezing (-/-), ronki basah kasar (-/+)

Abdomen
Inspeksi

: dinding perut sejajar dinding dada

Auskultasi

: peristaltik (+) normal

Perkusi

: timpani

Palpasi

: supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas

Oedem ekstremitas

Akral dingin

Diagnosis
Pneumonia komuniti KR III dengan sepsis
Presumptive TB
Terapi
1
2
3
4
5
6
7

IVFD NaCl 0,9% 20 tpm


Diet sepsis 500 kkal/ hari
O2 2 lpm
Levofloxacyn 750 mg/ 24 jam (IV)
NAC 3 x 200
Ranitidin 50 mg / 12 jam
Vit BC 3 x 1

Plan
DR3 besok
D Tanggal 15 Oktober 2015
S : batuk (+), sesak (+)
O:
TD

: 110/80 mmHg

Nadi

: 90 kali/ menit, isi dan tegangan cukup, irama teratur

RR

: 24x/menit

Suhu

: 36,5C per aksiler

SiO2

: 98% (O2 ruang)

Kulit : warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venektasi (-),
spider naevi (-)
Kepala : mesocephal, luka (-), atrofiotot (-), rambut rontok (-)
Mata : Conjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+),
pupi lisokor (3 mm/ 3mm), oedempalpebra (-/-), sekret (-/-)
Hidung : nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)
Telinga : deformitas (-/-),darah (-/-), sekret (-/-)

Mulut : bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), tonsil T1-T1, faring
hiperemis (-), stomatitis (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-)
Leher : simetris, trakhea ditengah, JVP tidak meningkat, pembesaran KGB
(-), nyeri tekan (-), benjolan (-)
Thoraks : retraksi (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi

: Ictus cordis tidak kuat angkat

Perkusi

: Konfigurasi jantung kesan tidak melebar

Auskultasi: BJ I dan II intensitas normal, reguler, bising (-)


Paru anterior
Inspeksi statis

: Simetris, dinding dada kiri = kanan

Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kiri = kanan


Palpasi

: Fremitus raba kiri = kanan

Perkusi

: Sonor/sonor

Auskultasi

: SDV (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/+)

Paru posterior
Inspeksi statis

: Simetris, dinding dada kiri = kanan

Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kiri = kanan


Palpasi

: Fremitus raba kiri = kanan

Perkusi

: Sonor/sonor

Auskultasi

: SDV (+/+), wheezing (-/-), RBK(-/+)

Abdomen
Inspeksi

: dinding perut sejajar dinding dada

Auskultasi

: peristaltik (+) normal

Perkusi

: timpani

Palpasi

: supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas
Oedem ekstremitas

Akral dingin

Diagnosis
Pneumonia komuniti KR III dengan sepsis
Presumptive TB
Terapi
1
2
3
4
5
6
7

IVFD NaCl 0,9% 20 tpm


Diet sepsis 500 kkal/ hari
O2 2 lpm
Injeksi Levofloxacyn 750 mg/ 24 jam (V)
Injeksi Ranitidin 50 mg/ 12 jam
NAC 3 x 200 mg
Vit BC 3 x 1

DAFTAR PUSTAKA
Anwar A dan Dharmayanti I. 2014. Pneumonia pada Anak Balita di Indonesia.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 8.
Asih SR, Landia S, Makmuri MS. 2006. Continuing Education XXXVI
Pneumonia. SMF Ilmu Kesehatan Anak UNAIR. Surabaya: Openurika
Creative Multimedia and Presentation Division.
Azhar K, Perwitasari D. Kondisi fisik rumah dan perilaku dengan prevalensi TB
paru di Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Sulawesi Utara. Media
Litbangkes. 2013; 23 (4):172- 81.
Badan Pusat Statistik, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional,
Departemen Kesehatan. Survei demografi dan kesehatan Indonesia 2007.
Jakarta:

Kementerian

Kesehatan

Republik

Indonesia.

Pedoman

pengendalian infeksi saluran pernafasan akut. Jakarta: Direktorat Jenderal


Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Lingkungan, Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2012.
Brian JE, 2007. Breathing, Aerobic Conditioning and Gas Consumption.
http://www.gue.com/Research/Exercise/q2_3g.html

Campbell NA, Reece JB, and Mitchel LG. 2004. Biologi. Alih Bahasa :
Wasmen Manalu. Jakarta : Erlangga.
Guyton AC. 1994. Fisiologi Tubuh Manusia. Jakarta: Binarupa Aksara.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan riset kesehatan dasar 2007.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2007.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar 2013. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2013.
Listyowati. Hubungan kondisi lingkungan fisik rumah dengan kejadian
pneumonia pada balita di wilayah kerja puskesmas Tegal Barat, Kota
Tegal. Jurnal Kesehatan Masyarakat [online]. 2013 [diakses tanggal 15Mei
2013]. Diunduh dalam: http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm.

PDPI (2003). Pneumonia komuniti.


PDPI. 2014. Pneumonia Komunitas. Jakarta: Balai Penerbitan FK UI.
Soewolo, Basoeki S, Yudani T. 1999. Fisiologi Manusia. IMSTEP JICAUniversitas Negeri Malang.
Tana L, Delima, Kristanto AY. Peranan penggunaan bahan bakar ter-hadap katarak
pada ibu rumah tangga di Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia. 2009;
59(8): 363-9.
Unicef/WHO. Pneumonia: the forgotten killer of children. Geneva: The United
Nations Childrens Fund/World Health Organization; 2006.
World Health Organization. Pneumonia. Fact sheet N331. Available from:
http://www.who.int/mediacentre/fact-sheets/fs331 /en/2013.

Anda mungkin juga menyukai