Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Metode Farley


Ada dua aspek penting dari perancangan tempat kerja yaitu daerah kerja
horizontal pada sebuah bangku dan ketinggiannya dari atas lantai. Batasan daerah
kerja horizontal yang diperlukan untuk mendefinisikan batasan-batasan dari suatu
daerah kerja horisontal untuk memastikan bahwa material atau alat kontrol tidak
dapat ditempatkan begitu saja diluarjangkauan tangan. Batasan-batasan jangkauan
secara vertikal harus diterapkan untuk kasus seperti misalnya papan-papan
kontrol, namun hampir seluruh bangku kerja material (benda kerja) dan peralatan
lainnya disusun pada sebuah permukaan yang horisontal.
Batasan untuk jarak menjangkau semakin meningkat jika operator
mengendalikan beberapa macam gerakan tubuh. Sebagai contoh, operator duduk
yang menghindari gangguan keseimbangan pada saat menjangkau. Bahkan jika
berdiri, jangkauan kedepan dibatasi oleh pinggiran bangku, hal ini akan dapat
mengganggu keadaan badan dan menimbulkan tekanan pada punggung.
Dalarn bukunya R.M. Barnes (Motion and Time Study, terbit tahun 1980)
mendefinisikan daerah kerja Normal dan Maksimum, dengan batasan yang
ditentukan oleh ruas tengah jari (mid points of fingers), yaitu daerah normal
meliputi lengan bawah yang berputar pada bidang horisontal dengan siku tetap,
dan daerah maksimum meliputi lengan direntangkan keluar dan diputar sekitar
bahu.
R.R. Farley pada tahun 1955 memberikan dimensi untuk daerah kerja pada
gambar 2.1 yang telah dikutip dan dikembangkan secara meluas. (R.R. Parley,
General Motors Engineering Journal, Vol. 2, no. 6, 1955, 20-25).
Para pengarang berikutnya menyadari bahwa tidaklah realistis jika kedudukan
siku diasumsikan supaya tetap, sehingga batas-batas tersebut tidak berupa
lengkungan-lengkungan. Mereka juga percaya bahwa para pekerja cenderung
duduk alau berdiri tidak dekat dengan pinggiran bangku. Mereka menjelaskan
batas dengan sebuah persamaan yang meliputi pengukuran statis dari panjang

II-2

lengan dan posisi bahu. Dengan mengukur 80 orang yang ditampilkan dengan
batasan-batasan seperti yang ada dalam gambar diatas.

Gambar 2.1 Batasan-Batasan Daerah Kerja Oleh R.R. Farley

Hal ini menunjukkan daerah-daerah Farley yang sangat konservatif.


Sedangkan penggunaan daerah-daerah Farley akan mengarah pada pekerjaan yang
sangat dekat dengan operator, hal tersebut menimbulkan masalah tentang ruang
untuk peralatan, bangku kerja dan material-meterial.

Gambar 2.2 Batasan-Batasan Daeah Kerja Normal Untuk 5, 50, dan 95 Persentil
Dikembangkan Oleh S. Konz dan S.C. Goel (Sumber: AIIE Transactions March 1969, P. 70)

Kurva Konz dan Goel hanya menerapkan daerah kerja normal, tetapi daerahdaerah jangkauan maksimum dapat dibuat dari kumpulan data yang lain, seperti
contohnya, diagram yang ada dalam gambar 2.2, yang didapat dari sumber
Eastman Kodak Company. Data ini menggunakan bagian depan dari tubuh
sebagai titik referensi yang sesuai untuk perancangan kerja bangku.

II-3

Gambar 2.3 Luasan Jangkauan Pada Saat Berdiri


(Sumber: Eastman Kodak Company, Ergonomic Design For People at Work, 1983)

Beberapa data yang diukur oleh M.I. Bulloch menggunakan salah satu
datanya untuk menunjukkan pusat dari interseksi tempat duduk dan sandarannya.
Efek dari pembatasan daerah tempat duduk tersebut ditunjukkan dengan baik pada
gambar 2.3. Pengukuran-pengukuran sejenis dilakukan oleh E. Nowak (1978).
Determination of the Spatial Reach Area of the Arms for workplate design
purposes, Ergonomics, 1978, V21, P.493 menggunakan pusat dan belakang
tempat duduk pada permukaan bahu sebagai referensinya. Data sejenis diterapkan
untuk perancangan tempat duduk kendaraan pada daerah kerja horisontalnya.
Perhatikan juga kumpulan data dari H. Dreyfuss dan N. Diffrient.
Jelasnya, kerja seharusnya dibatasi sampai dengan wilayah kerja normal jika
mungkin hindarkan kebutuhan untuk menaikkan lengan sebisa mungkin. Gambar
2.4 dibawah ini akan menjelaskan batasan-batasan jangkauan fungsional dalam
suatu area kerja yang horisontal untuk 1 individu, menunjukkan pengaruh dari
sebuah tempat duduk (SRP = Seat Reference Point). (M.I. Bullocch, 1974)

II-4

Gambar 2.4 Batasan-Batasan Jangkauan Fungsional dalam suatu area kerja yang horisontal
untuk 1 individu, menunjukkan pengaruh dari sebuah tempat duduk (SRP = Seat Reference
Point) (Sumber: M.I. Bullocch, 1974)

Dimensi stasiun kerja industri dibagi menjadi dua yaitu dimensi stasiun kerja
untuk operator duduk dan dimensi stasiun kerja untuk operator berdiri. Operasi
industri yang biasanya dilakukan dalam keadaan duduk ditujukan untuk
meningkatkan prooduktivitas pekerja dengan memaksimasi gerakan efektif,
mengurangi kelelahan pekerja, dan meningkatkan stabilitas pekerja. Dalam
perancangan stasiun kerja duduk, tinggi meja kerja yang disarankan adalah sekitar
2 inchi di bawah siku.

Gambar 2.5 Area Kerja Horizontal Normal dan Maksimum

II-5

Gambar 2.6 Area Kerja Vertikal Normal dan Maksimum

Keterangan
G : tebal tubuh

: tinggi popliteal duduk

J : panjang lengan bawah

: tinggi tubuh duduk

H : siku ke siku

: tinggi bahu

K : panjang lengan

: tinggi mata

I : tebal paha

: proyeksi bahu ke siku

M : tinggi siku
Pada posisi berdiri untuk operator tidak begitu disukai, tetapi sering
diperlukan. Hal ini terutama untuk pekerjaan yang memerlukan :
1.

Penanganan yang sering untuk objek yang berat

2.

Jangkauan jauh yang sering dilakukan

3.

Mobilitas untuk bergerak di sekitar stasiun kerja


Untuk perancangan stasiun kerja berdiri, data antropometri yang dibutuhkan

adalah:
E : tinggi bahu

A : tinggi tubuh

L : tinggi siku

C : tinggi mata

II-6

Gambar 2.7 Area Kerja Vertikal Normal dan Maksimum

2.2 Keselamatan dan Kesehatan Kerja


Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan faktor yang paling
penting dalam pencapaian sasaran tujuan proyek. Hasil yang maksimal dalam
kinerja biaya, mutu dan waktu tiada artinya bila tingkat keselamatan kerja
terabaikan. Indikatornya dapat berupa tingkat kecelakaan kerja yang tinggi, seperti
banyak tenaga kerja yang meninggal, cacat permanen serta instalasi proyek yang
rusak, selain kerugian materi yang besar Husen (2009).
Menurut Hutagaol (2012), penyebab kecelakaan kerja dapat digolongkan
menjadi 2 yakni:
1. Penyebab Langsung (Immediate Causes)
Penyebab langsung kecelakaan adalah suatu keadaan yang biasanya bisa dilihat
dan di rasakan langsung, yang dibagi dalam 2 kelompok, yaitu:
a. Tindakan-tindakan tidak aman (unsafe acts), yaitu perbuatan berbahaya dari
manusia yang dalam beberapa hal dapat disebabkan oleh:
1) Cacat tubuh yang tidak terlihat (bodily defect).
2) Keletihan dan kelesuan (fatigue and boredom).
3) Sikap dan tingkah laku yang tidak aman.
4) Terbatasnya pengetahuan.

II-7

b. Kondisi yang tidak aman (unsafe condition), yaitu keadaan yang akan
menyebababkan kecelakaan, terdiri dari:
1) Mesin, peralatan, dan bahan.
2) Lingkungan dan proses pekerjaan.
3) Sifat dan cara bekerja.
2. Penyebab Dasar (Basic causes)
a. Penyebab dasar (basic causes), terdiri dari 4 faktor yaitu:
1) Faktor manusia/personal (personal factor).
2) Kurangnya kemampuan fisik, mental dan psikologi.
3) Kurangnya/ lemahnya pengetahuan dan skill.
4) Motivasi yang tidak cukup/ salah.
b. Faktor kerja/lingkungan kerja (job work enviroment factor)
1) Faktor fisik, yaitu kebisingan, radiasi, penerangan, iklim, dan lain-lain.
2) Faktor kimia, yaitu debu, uap logam, asap, gas, dan seterusnya.
3) Faktor biologi, yaitu bakteri, virus, parasit, dan serangga
4) Ergonomi dan psikososial.
Sedangkan menurut Ashfal (1999) proses kecelakaan kerja 88% disebabkan
oleh tindakan tindakan tidak aman (unsafe act) sebesar 10% dan kondisi yang
lingkungan kerja tidak aman (unsafe condition) dan 2 % merupakan faktor alam
(act of God). Berbagai tujuan dari penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(K3) adalah sebagai berikut (Ramli, 2010):
1. Meningkatkan efektifitas perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang
terencana, terukur, terstruktur, dan terintegrasi.
2. Mencegah dan mengurangi kecelakaan kerjadan penyakit akibat kerja dengan
melibatkan unsur manajemen, pekerja/buruh, dan/atau serikat pekerja/serikat
buruh.
3. Serta menciptakan tempat kerja yang aman,nyaman, dan efisien untuk
mendorong produktivitas.
Adapun metode-metode yang digunakan dalam Keselamatan dan Kesehatan
Kerja yaitu:
1. Hazard Identification and Risk Assessment (HIRA) yaitu merupakan suatu
proses mengidentifikasi bahaya, mengukur, mengevaluasi risiko yang muncul

II-8

dari sebuah bahaya, lalu menghitung kecukupan dari tindakan pengendalian


yang ada dan memutuskan apakah risiko yang ada dapat diterima atau tidak
(Helmidadang, 2012).
Proses identifikasi menggunakan HIRA adalah sebagai berikut:
1) Penguraian jenis pekerjaan, jenis kegiatan di urutkan berdasarkan urutan
proses produksi yang diberikan oleh perusahaan. Urutan pekerjaan
dilakukan dengan mengelompokan beberapa kegiatan.
2) Identifikasi potensi bahaya, potensi bahaya dapat dilakukan dengan
melakukan pengamatan langsung di lantai produksi, pengamatan dilakukan
untuk keseluruhan kegiatan yang dilakukan di lantai produksi tersebut.
3) Penilaian keparahan dilakukan proses penilaian risiko dengan
memperhatikan aspek penting keparahan (Severity). Penilaian keparahan
dibagi kedalam 4 kategori yaitu catastropic, critical, marginal, neglicable.
Severity diukur berdasarkan dampak terjadinya kecelakaan. Penilaian
keparahan menggunakan tabel klasifikasi tingkat keparahan bahaya yang
dapat dilihat pada Tabel 2.1
4) Penilaian frekuensi, pada tahap ini dilakukan proses tingkat keseringan
terjadinya kecelakaan atau kemungkinan munculnya bahaya dengan
menggunakan tabel klasifikasi paparan bahaya yang dapat dilihat pada Tabel
2.2
5) Menghitung besar nilai risiko yang dihasilkan dari sumber bahaya dapat
diperoleh dengan menghitung nilai Risk Rating Number (RRN).
Perhitungan Risk Rating Number dengan menggunakan rumus:
RISK RATING NUMBER = LO x DPH ....................................................(1)
Keterangan:
LO = likelihood of occurance atau contact with hazzard (Frequency)
DPH = Degree of possible harm (severity)

Description
Catastrophic
Critical

Marginal

Tabel 2.1 Klasifikasi Tingkat Keparahan Bahaya


Categor
Score
Definition
y
Mishap
I
4
Kematian atau kehilangan sistem
II
3
Luka berat yang menyebabkan cacat permanen
Penyakit akibat kerja yang parah
Kerusakan sistem yang berat
III

Luka sedang, hanya membutuhkan perawatan medis


Penyakit akibat kerja yang ringan
Kerusakaan sebagian sistem

II-9

Neglicable

Description
Frequent
Probabie
Occasional
Remote
Improbable

IV

Luka ringan yang hanya membutuhkan pertolongan


pertama
Kerusakan sebagian kecil sistem

Tabel 2.2 Klasifikasi Frekuensi Paparan Bahaya


Level
Score
Specific Individual Item
A
5
Sering terjadi, berulang kali dalam sistem
B
4
Terjadi beberapa kali dalam siklus sistem
C
3
Terjadi kadang-kadang dalam siklus sistem
Tidak pernah terjadi, tetapi mungkin terjadi dalam siklus
D
2
sistem
Tidak mungkin, dapat diasumsikan tidak akan pernah
E
1
terjadi dalam sistem

6) Indeks risiko bahaya, penilaian terhadap risiko diberikan nilai tertentu


dengan mengkombinasikan tingkat kegawatan yang dapat terjadi maupun
dari tingkat frekuensi terjadi bahaya dan risiko yang ditimbulkan dengan
menggunakan kriteria usulan yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Indeks Risiko Bahaya
1A, 1B, 1C, 2A, 2B, 3A
1D, 2C, 2D, 3B, 3C
1E, 2E, 3D, 3E, 4A, 4B
4C, 4D, 4E

Tabel 2.3 Indeks Risiko Bahaya


Kriteria Usulan
Tidak dapat diterima
Tidak diinginkan (membutuhkan keputusan aktivitas manajemen)
Dapat diterima dengan peninjauan oleh aktivitas manajemen
Dapat diterima tanpa peninjauan manajemen

7) Prioritas risiko menggunakan tabel peta prioritas risiko yang dapat dilihat
pada tabel berikut.
RRN
0.1 s/d 0.3
0.4 s/d 4
6 s/d 9
10<

Tabel 2.4 Peta Prioritas Risiko


PRIORITAS
Prioritas paling rendah
Prioritas rendah/risiko rendah
Prioritas menengah/risiko yang signifikan
Prioritas utama/dibutuhkan tindakan secepatnya

8) Setelah diketahui tingkat risiko yang dihasilkan maka dapat dibuat tabel
HIRA.
2. FTA merupakan teknik untuk meng-identifikasikan kegagalan (failure) dari
suatu sistem. FTA berorientasi pada fungsi atau yang lebih dikenal dengan top
down approach karena analisa ini berawal dari system level (top) dan
meneruskannya ke bawah (Priyanta, 2000).
3. FMEA merupakan suatu metode yang bertujuan untuk mengevaluasi desain
sistem dengan mempertimbangkan bermacam-macam mode kegagalan dari
sistem yang terdiri dari komponen-komponen dan menganalisa pengaruh-

II-10

pengaruhnya terhadap keandalan sistem tersebut. Dengan penelusuran


pengaruh-pengaruh kegagalan komponen sesuai dengan level sistem, item-item
khusus yang kritis dapat dinilai dan tindakan tindakan perbaikan diperlukan
untuk memperbaiki desain dan mengeliminasi atau mereduksi probabilitas dari
mode-mode kegagalan yang kritis. (Davidson John, 1988)
2.3 Display
Display merupakan bagian dari lingkungan yang perlu memberi informasi
kepada pekerja agar tugas-tugasnya menjadi lancar (Sutalaksana,1979). Arti
informasi disini cukup luas, menyangkut semua rangsangan yang diterima oleh
indera manusia baik langsung maupun tidak langsung. Informasiinformasi yang
dibutuhkan sebelum membuat display, diantaranya:
1. Tipe teknologi yang digunakan untuk menampilkan informasi.
2. Rentang total dari variabel mengenai informasi mana yang akan ditampilkan.
3. Ketepatan dan sensitivitas maksimal yang dibutuhkan dalam pengiriman
informasi.
4. Kecepatan total dari variabel yang dibutuhkan dalam pengiriman informasi.
5. Minimasi kesalahan dalam pembacaan display.
6. Jarak normal dan maksimal antara display dan pengguna display.
7. Lingkungan dimana display tersebut digunakan.
Display berfungsi sebagai Sistem Komunikasi yang menghubungkan
fasilitas kerja maupun mesin kepada manusia, contoh dari display diantaranya
adalah jarum speedometer, keadaan jalan raya memberikan informasi langsung ke
mata, peta yang menggambarkan keadaan suatu kota. Jalan raya merupakan
contoh dari display langsung, karena kondisi lingkungan jalan bisa langsung
diterima oleh pengemudi. Jarum penunjuk speedometer merupakan contoh
display tidak langsung karena kecepatan kendaraan diketahui secara tak langsung
melalui jarum speedometer sebagai pemberi informasi (Sutalaksana, 1979).
Agar display dapat menyajikan informasi-informasi yang diperlukan
manusia dalam melaksanakan pekerjaannya, maka display harus dirancang dengan
baik. Perancangan display yang baik adalah bila dapat menyampaikan informasi
selengkap

mungkin

tanpa

banyak

kesalahan

dari

manusia

yang

II-11

menerimanya.Menurut Sutalaksana (1996), display yang baik harus dapat


menyampaikan pesan tertentu sesuai dengan tulisan atau gambar yang dimaksud.
Berikut ini adalah ciri ciri dalam pembuatan display yang baik dan benar:
1. Dapat menyampaikan pesan.
2. Bentuk atau gambar menarik dan menggambarkan kejadian.
3. Menggunakan warna-warna mencolok dan menarik perhatian.
4. Proporsi gambar dan huruf memungkinkan untuk dapat dilihat/dibaca.
5. Menggunakan kalimat-kalimat pendek.
6. Menggunakan huruf yang baik sehingga mudah dibaca.
7. Realistis sesuai dengan permasalahan.
8. Tidak membosankan.
Ukuran display bervariasi mulai dari yang berukuran kecil sampai yang
berukuran besar. Tetapi umumnya berukuran sebesar kalender. Display yang
berbentuk rambu-rambu berbahaya, biasanya dipasang pada dinding, pintu masuk
atau pada tiang-tiang. Display ini berbentuk seperti rambu-rambu lalu lintas
(berbentuk bulat, segitiga, segiempat atau belah ketupat). Peran ergonomi sangat
penting dalam membuat rancangan display yang memiliki daya sambung yang
tinggi dengan pembaca. Display harus mampu memberikan informasi yang jelas.
Konsep Human Centered Design sangat kuat dalam pembuatan display dan
poster karena terkait dengan sifat-sifat manusia sebagai penglihat dan pemaham
isyarat. Menurut Nurmianto (1991) untuk membuat atau menentukan suatu
display ada 3 hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan display. Dibawah ini
adalah kriteria dasar dalam pembuatan display, yaitu sebagai berikut:
1. Pendeteksian
Kemampuan dasar dari display untuk dapat diketahui keberadaannya atau
fungsinya. Pada visual display harus dapat dibaca, contohnya petunjuk umum
penggunaan roda setir pada mobil dan untuk auditory display harus bisa
didengar, contohnya bel kebakaran.
2. Pengenalan
Tahap pendeteksian selanjutnya pesan dari display tersebut harus bisa dibaca
ataupun didengar oleh panca indera manusia.
3. Pemahaman

II-12

Pembuatan display tidak cukup hanya memenuhi 2 kriteria diatas, display


yang baik harus dapat dipahami dengan sebaik mungkin sesuai dengan pesan
yang disampaikan oleh display tersebut. Menurut Barrier pemahaman
terhadap display dibagi menjadi 2 level yaitu:
a. Kata-kata atau simbol yang digunakan dalam display mungkin terlalu sulit
untuk dipahami oleh pengguna atau pekerja, contohnya VELOCITY dan
COOLANT mungkin kurang bisa dipahami daripada SPEED dan
WATER.
b. Pemahaman mungkin menjadi lebih sulit apabila pengguna memiliki
kesulitan dalam memahami kata-kata dasar.
Visual display sebaiknya tidak menggunakan lebih dari 5 warna. Hal ini
berkaitan dengan adanya beberapa kelompok orang yang memiliki gangguan
penglihatan atau mengalami kekurangan dan keterbatasan penglihatan pada
matanya. Warna merah dan hijau sebaiknya tidak digunakan bersamaan begitu
pula warna kuning dan biru. Menurut Bridger, R.S(1995) terdapat beberapa
kelebihan dan kekurangan dalam penggunaan warna pada pembuatan display,
diantaranya:
Tabel 2.5 Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Warna pada Pembuatan Display
Kelebihan
Kekurangan
Tanda untuk data spesifik
Informasi lebih mudah diterima
Mengurangi tingkat kesalahan
Lebih natural

Tidak bermanfaat bagi buta warna


Menyebabkan fatique
Membingungkan
Menimbulkan reaksi

Memberi dimensi lain

Informal

Informasi pada visual display dapat diberikan dalam bentuk kode warna.
Indera mata sangat sensitif terhadap warna biru-hijau-kuning, tetapi sangat
tergantung juga pada kondisi terang dan gelap.
Ada beberapa arti penggunaan warna pada sebuah display. Berikut adalah arti
penggunaan warnanya:
1. Merah menunjukkan Larangan
2. Biru menunjukkan Petunjuk
3. Kuning menunjukkan Perhatian

II-13

Menurut Bridger, R.S (1995) ada 4 (empat) prinsip dalam mendesain atau
merubah bentuk semula. Informasi yang menjadi suatu kreativitas dalam suatu
bentuk display. Display dapat didesain dengan ketentuan, antara lain:
1. Proximity
Jarak terhadap susunan display yang disusun secara bersama-sama dan
salingmemiliki dapat membuat suatu perkiraan atau pernyataan.
2. Similarity
Menyatakan bahwa item-item yang sama akan dikelompokkan bersama-sama
(dalam konsep warna, bentuk dan ukuran) bahwa pada sebuah display tidak
boleh menggunakan lebih dari 3 warna.
3. Symetry
Menjelaskan perancangan untuk memaksimalkan display artinya elemenelemen dalam perancangan display akan lebih baik dalam bentuk simetrikal.
Antara tulisan dan gambar harus seimbang.
4. Continuity
Menjelaskan sistem perseptual mengekstrakan informasi kualitatif menjadisatu
kesatuan yang utuh.
Terdapat beberapa rumus yang diperlukan untuk menghitung ukuran-ukuran
dalam membuat display. Ukuran-ukuran tersebut antara lain tinggi, lebar, tebal,
jarak antar huruf, dan beberapa ukuran spesifik lainnya. Berikut dibawah ini
adalah rumus-rumus yang biasa diperlukan dalam perancangan suatu display:
Jarak Visual (mm)
1. Tinggi huruf besar/angka dalam mm (H) = 200
2. Tinggi huruf kecil (h) =

2
H
3

2
H
3. Lebar huruf besar = 3
4. Lebar huruf kecil (h) =

2
h
3

5. Tebal huruf besar =

1
H
6

6. Tebal huruf kecil =

1
h
6

II-14

1
H
4

7. Jarak antara 2 huruf =

8. Jarak antara dua angka =

1
H
5

9. Jarak antara huruf dan angka =


10. Jarak antara 2 kata =

1
H
5

2
H
3

11. Jarak antara baris antar kalimat =

2
H
3

Tipe-tipe Display dikelompokan menjadi 3 bagian, berdasarkan tujuan,


lingkungan, informasi. Berdasarkan lingkungannya display terbagi dalam 2
macam. Berikut adalah tipe-tipe display berdasarkan lingkungannya yaitu:
1. Display Statis
Display yang memberikan informasi sesuatu yang tidak tergantung terhadap
waktu, contohnya: peta (informasi yang menggambarkan suatu kota).
2. Display Dinamis
Display yang menggambarkan perubahan menurut waktu dengan variabel,
contohnya: jarum speedometer.

Gambar 2.8 Peta

Gambar 2.9 Jarum Speedometer

Berdasarkan informasinya display terbagi dalam 3 macam. Berikut adalah


tipe-tipe display berdasarkan informasinya yaitu:

II-15

1. Display Kualitatif
Display yang merupakan penyederhanaan dari informasi yang semula
berbentuk data numerik, dan untuk menunjukkan informasi dari kondisi yang
berbeda pada suatu sistem, contohnya: informasi atau tanda OnOff pada
printer, DINGIN, NORMAL dan PANAS pada pembacaan temperatur.
2. Display Kuantitatif
Display yang memperlihatkan informasi numerik, (berupa angka, nilai dari
suatu variabel) dan biasanya disajikan dalam bentuk digital ataupun analog
untuk suatu visual display. Analog Indikator: Posisi jarum penunjuknya searah
dengan besarnya nilai atau sistem yang diwakilinya, analog indikator dapat
ditambahkan dengan menggunakan informasi kualitatif (misal merah berarti
berbahaya). Digital Indikator: Cocok untuk keperluan pencatatan dan dapat
menggunakan Electromecemichal Courtious.

Gambar 2.10 Tombol On-Off Printer

Gambar 2.11 Temperatur Digital

3. Display Representatif
Display Representatif biasanya berupa sebuah Working model atau mimic
diagram dari suatu mesin, salah satu contohnya adalah diagram sinyal
lintasan kereta api.

Gambar 2.12 Contoh WorkingModel

Gambar 2.13 Contoh Mimic Diagram

Berdasarkan panca indera display terbagi dalam 5 macam. Berikut adalah


tipe-tipe display berdasarkan panca indera yaitu:

II-16

1. Visual Display adalah display yang dapat dilihat dengan menggunakan indera
penglihatan yaitu mata.
2. Auditory display adalah display yang dapat didengar dengan menggunakan
indera pendengaran yaitu telinga.
3. Tactual display adalah display yang dapat disentuh dengan menggunakan
indera peraba yaitu kulit.
4. Taste display adalah display yang dapat dirasakan dengan menggunakan
indera pengecap yaitu lidah..
5. Olfactory display adalah display yang dapat dicium dengan menggunakan
indera penciuman yaitu hidung.

Anda mungkin juga menyukai