BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kalium merupakan kation yang memiliki jumlah yang sangat besar dalam
tubuh, dimana sekitar 98% kalium tubuh berada pada intraselular. Kalium berfungsi
penting bagi tubuh dimana kalium terlibat dalam sintesis protein, pengeluaran hormon,
transpor cairan, perkembangan janin, serta kontraksi otot dan konduksi saraf. Rasio
kalium intraselular dan ekstraselular sangat penting dalam menentukan potensial
membran sel, sedikit perubahan saja pada kalium ekstraseluler dapat menimbulkan efek
yang cukup berarti terhadap fungsi kardiovaskular, neuromuskuler maupun sistem
tubuh lainnya, sehingga dibutuhkan suatu mekanisme yang menjaga keseimbangan
konsentrasi kalium ekstra-intraselular.1,2,3,4
Salah satu kondisi gangguan keseimbangan konsentrasi kalium ini adalah
hipokalemia. Hipokalemia merupakan salah satu gangguan elektrolit yang sering
ditemukan pada pasien rawat inap. Di Amerika, 21% dari pasien rawat inap didapati
mengalami hipokalemia, walaupun demikian hipokalemia yang bermakna secara klinik
(K+ serum <3mEq) hanya terjadi pada 45% dari para pasien ini. 5 Sedangkan kekerapan
pada pasien rawat jalan yang mendapat diuretik golongan thiazid sebesar 40%. 6 Di
Indonesia telah dilakukan beberapa penelitian terkait insidensi hipokalemia, antara lain:
1. Nasronudin menemukan bahwa angka kejadian hipokalemia, di bangsal
penyakit dalam divisi penyakit infeksi Rumah Sakit Dr. Sutomo, adalah sekitar
36,36% saat masuk rumah sakit dan meningkat menjadi 51% selama rawat
inap.7
2. Djoko Widodo, dkk mencatat angka kejadian hipokalemia, di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo, adalah sekitar 24% pada saat masuk rumah sakit dan
meningkat menjadi 55% selama rawat inap.8
Tabel 1. Comparasion of Serum Potassium Level at Admission and Discharge8
Patient Status
Normokalemia
Hypokalemia
Total
Admission
81
24
105
%
77,1
22,9
100
Discharge
50
55
105
%
47,6
52,4
100
B. TUJUAN
Menambah pemahaman terkait peran dan distribusi kalium dalam sistem
homeostasis tubuh, mekanisme pengaturan keseimbangan kalium intra-ekstraselular,
dan kondisi hipokalemia dari segi epidemiologi, etiologi, patofisiologi, dan terapi.
BAB II
FISIOLOGI KALIUM
6. Dikarenakan kalium bersifat basa, maka kalium juga berperan dalam menjaga
keseimbangan asam-basa tubuh.
http://www.mgwater.com/schroll.shtml
7. Kalium berperan dalam memonitor dan meregulasi hormone aldosteron, serta berperan
penting sebagai katalis dari berbagai macam enzim dalam tubuh.
8. Kalium penting bagi pertumbuhan normal tubuh dan pembentukan otot.
9. Bukti terbaru menyatakan bahwa intake kalium berperan dalam menurunkan tekanan
darah. Salah satu penjelasan yang mungkin bagi peran kalium ini adalah peningkatan
kalium akan berdampak pada peningkatan jumlah natrium yang diekskresi keluar
5
tubuh.
B. DISTRIBUSI KALIUM
Secara keseluruhan, tubuh manusia mengandung 50-55 mEq K+ per kilogram berat
badan, dimana 95 hingga 98% ditemukan pada intraselular (ICF; terutama di jaringan otot).
Konsentrasi K+ intrasel normal berkisar pada 140 mEq/L (range 100 -150 mEq/L), dan
konsentrasi ekstraselular (ECF) dijaga pada kisaran 4-5 mEq/L. Fluktuasi ringan dari
konsentrasi K+ ekstrasel dapat berakibat fatal, dan aritmia kordis dapat muncul bilamana
konsentrasi K+ dibawah 3,5 mEq/L atau diatas 5-5,5 mEq/L.7,8
Walaupun hanya 2% total kalium tubuh (70-100 mEq) berada dalam kompartemen
ekstraselular, namun kalium ektraselular ini berperan penting dalam menjaga potensi
6
membrane sel. Hal ini penting bagi eksitasi elektrik sel (aktivitas otot dan sistem saraf).
Ekuasi Ernst, yang dapat digunakan untuk mengkalkulasi postensial membrane,
menunjukan bahwa potensial membrane adalah fungsi dari rasio kalium ektraselular
terhadap konsentrasi kalium intraselular. Oleh karena kalium ektraselular berkisar pada 4
mEq/l dan konsentrasi intraselular intestinal lebih dari 100 mEq/L, maka dapat dilihat
bahwa perubahan kecil konsentrasi kalium ektraselular dapat secara signifikasn mengubah
potensial membrane. Lebih jauh lagi, oleh karena dalam kuantitas kecil dari kalium
normalnya berada dalam cairan ektraselular, pembuangan dari ion kalium tambahan pada
ektraselular dapat secara signifikan mengubah konsentrasi kalium ektraselular dengan efek
samping pada fungsi neuromuscular.
Konsentrasi kalium ektraselular, harus dijaga pada range yang sangat sempit.
Prinsip ini berlaku pada perubahan konsentrasi kalium akibat intake kalium sehari-hari.
Rata-rata intake kalium per hari adalah sekitar 70-100 mEq. Untuk menjaga homeostasis
kalium (menjaga total kalium tubuh pada level normal dan konstan), maka 70-100 mEq
kalium harus dibuang dari tubuh setiap hari. Mekanisme ini dilakukan melalui ekskresi
renal. Dalam kondisi keseimbangan kalium negtral, intake kalium per hari sama dengan laju
ekskresi kalium per hari, yang dimana utamanya terdapat dalam urine. Hanya sebagian
kecil kalium yang disekresikan melalui usus.
Pada manusia, range sempit dari konsentrasi kalium ekstraselular harus dijaga oleh
mekanisme renal dan ekstrarenal. Mekanisme renal berperan utama dalam eliminasi kalium dari
tubuh, menggunakan sistem pump-leak kompleks yang melibatkan baik mekanisme transport
7
pasif maupun aktif (energy consuming enzyme Na+, K+, ATPase yang memompa Na+ keluar
dan K+ kedalam sel dalam rasio 3:2). Enzim Na+K+ATPase juga terdapat di jaringan nonrenal
(mekanisme ekstrarenal) yang penting dalam regulasi cepat konsentrasi kalium ektrarenal,
karena enzim ini menggeser K+ langsung ke intrasel. Dalam mekanisme ekstrarenal, enzim ini
dipengaruhi oleh banyak hormon, khususnya insulin dan katekolamin. 8,9
Berikut akan dibahas masing-masing mekanisme yang meregulasi konsentrasi kalium
dalam tubuh manusia: 9
1. Mekanisme Ekstra-renal (Internal Balance)
Oleh karena makanan biasanya diasup dalam bentuk bolus, maka terdapat pemasukan kalium
yang signifikan secara tiba-tiba ke dalam tubuh. Jika kalium dibiarkan berada pada ruang
ektraselular, hiperkalemia beserta efek sampingnya pada fungsi neuromuscular akan terjadi.
Proses pengantaran kalium menuju ruang intraselular disebut sebagai keseimbangan internal.
Proses ini mencegah makanan yang kemudian dapat menyebabkan hiperkalemia. Regulator
utama pemasukan kalium menuju ruang intraselular setelah intake kalium adalah insulin.
Pengasuapan makanan, yang mengandung kalium, mencetuskan pelepasan insulis. Faktor lain
yang terlibat dalam mekanisme keseimbangan internal meliputi: 1) Osmolatlitas, peningkatan
osmolalitas pada ruang ektraselular menyebabkan pergerakan cairan dari kompartemen
intracellular. Kalium akan keluar dari sel melalui efek tarikan cairan, 2) perubahan pH: asidosis
metabolic dengan anion gap normal berakibat masuknya ion hidrogen ke kompartemen
intraselular guna mem-buffer intrasel, sebagai gantinya kalium keluar dari kompartemen
intrasel.
Namun kejadian ini hanya berdampak kecil, dimana hanya merubah konsentrasi
kalium ektraselular < 1mEq/l. Asidosis metabolic dengan peningkatan gap anion plasma
memiliki efek yang minimal terhadap keseimbangan kalium internal. Pada gangguan ini, ion
hydrogen memasuki kompartemen intrasel untuk mem-buffer diikuti oleh anion asam, pada
kondisi ini tidak terjadi pertukaran ion hydrogen-kalium. Gangguan asam-basa respirasi juga
memiliki efek yang minimal terhadap keseimbangan kalium internal. 3) Aldosteron memiliki
efek ringan untuk mendorong pemasukan kalium ke intrasel. 4) Aktivasi reseptor beta-1
8
mendorong kalium menuju ruang intrasel.
Setelah makan, absorbsi kalium di saluran pencernaan terjadi sangat cepat dan
langsung didistribusikan antara plasma dan kompartemen intraselular. Beberapa sistem
berinteraksi untuk meregulasikan pergerakan kalium transelular. Sistem-sistem tersebut
antara lain:
a. Insulin
Konsentrasi kalium serum yang tinggi meningkatkan kadar insulin. Ikatan
hormone insulin dengan reseptor insulin menyebabkan hiperpolarisasi membrane sel
yang memfasilitasi uptake kalium di hati, lemak, otot skeletal, dan jantung. Insulin juga
mengaktifkan enzim Na+K+ATPase yang menyebab- kan uptake kalium ke intrasel.
b. Katekolamin
Katekolamin dan methylxanthines dapat menstimulasi reseptor -adrenergic
sehingga terjadi uptake kalium ke hati dan otot. Efek ini diperkuat oleh cyclic
adenosine monophosphate (cAMP) yang diaktivasi oleh enzim Na+K+ATPase,
menyebabkan influs kalium ke dalam sel dan pengeluaran natrium sebagai gantinya.
Agen terapetik seperti teofilin mempotensiasi reseptor
menghambat degradasi cAMP.
-adrenergic dengan
c. Aldosteron
Walaupun mineralcorticoid ini memfasilitasi uptake kalium ke otot, bukti signifikansi
klinisnya dari efek ini masih kurang.
d. Asam-basa
Asidosis inorganic (cont: hydrochloric acid) memfasilitasi pergerakan kalium dari ICF
ke ECF. Proton memasuki sel, sedangkan ion inorganic yang impermeant tidak,
sehingga terjadi peningkatan muatan positif di ICF. Peningkatan ini mendorong
pergerakan kalium ke luar sel. Karena ion organik (cont: laktat, ketoacid) lebih sulit
memasuki sel, maka peningkatan kalium serum (ECF) tidak terjadi pada asidosis
organik.
e. Tonisitas
Hiperglikemi menyebabkan cairan kaya kalium keluar dari sel, sehingga meningkatkan
konsentrasi kalium ECF. Pada kebanyakan kasus, peningkatan insulin memodulasi dan
membalikan efek peningkatan tonisitas ekstraselular ini, namun ketika insulin tidak
10
dapat ditingkatkan (DM tipe 1) atau hiperglikemia terjadi secara cepat (cont. pada
pemberian glukosa 50%), terjadi hiperkalemia. Pemberian manitol yang cepat juga
menyebabkan hiperkalemia.
11
filtration rate. When GFR is maintained at normal levels during conditions of decreased renal
blood flow, a greater percentage of plasma reaching the glomerulus is becoming glomerular
filtrate. This is described as an increased filtration fraction. Filtration fraction equals
GFR/renal
plasma flow. Since normal glomerular filtration rate is 120 ml per minute and normal renal
plasma flow is approximately 600 ml per minute, the normal filtration fraction is 0.2, or 20%.
Filtration fraction increases during the process of glomerular autoregulation. During
autoregulation, the plasma leaving the glomerulus at the efferent arteriole has decreased
hydrostatic pressure and increased oncotic pressure. The efferent arteriole subsequently
becomes the peritubular capillaries surrounding the proximal tubule. The Starling forces
within
these capillaries, decreased hydrostatic pressure and increased oncotic pressure, lead to
greatly
augmented proximal tubular reabsorption. Conclusion: proximal tubular reabsorption is
enhanced during conditions of glomerular autoregulation. The net result of enhanced
proximal
tubular reabsorption is decreased delivery of sodium and tubular fluid to the distal nephron,
including the cortical collecting duct. This significantly impairs the potassium secretory
process.
3) Aldosterone deficiency or resistance to the effects of aldosterone at the tubular level:
Adrenal
insufficiency would lead to both decreased cortisol and aldosterone production.
Hyporeninemic
hypoaldosteronism leads to decreased aldosterone because of decreased rrenin and,
therefore,
decreased production of angiotensin II , which is a primary stimulus for aldosterone secretion
from the zona glomerulosa of the adrenal gland.
Aldosterone resistance is typically seen in conditions which lead to direct tubular damage to
the
cortical collecting duct. The most common example would be obstructive uropathy. Kidney
diseases leading to chronic interstitial damage with tubular damage could also lead to
aldosterone resistance: analgesic nephropathy, allergic interstitial nephritis, polycystic
kidney
12
disease,etc.
Drug effects: Aldosterone can be inhibited by the competitive antagonist, spironolactone. It
can
also be inhibited by drugs which block the sodium channel in the luminal membrane of the
cortical
collecting duct (amiloride and trimterene). Angiotensive converting enzyme inhibitors and
angiotensin II receptor antagonist may also lead to impaired aldosterone production.
Trimethoprim and cyclosporine may also directly impair potassium secretion. Potassium
secretion by the cortical collecting duct will be impaired aldosterone deficiency, aldosterone
deficiency, or the drug related inhibition of the effects of aldosterone.
Prolonged heparin usage can directly impair adrenal aldosterone production. Beta 1 receptor
antagonists may have a mild effect to impair the rennin angiotensin aldosterone system.
Severe
digoxin toxicity may impair the sodium potassium ATPase.
Potassium secretion by the cortical collecting duct will be impaired by aldosterone deficiency,
tubular resistance to the effects of aldosterone, or to drug related inhibition of the effects of
aldosterone.
Ekskresi urinari kalium merupakan hasil dari perbedaan antara kalium yang
disekresi dan kalium yang direabsorbsi di nefron distal. Kalium secara bebas difiltrasi di
glomerulus. Lebih dari 50% kalium yang difiltrasi direabsorbsi kembali oleh tubulus
kontortus proximal (proximal convulted tubule) melalui jalur paraselular. Pada tubulus
Henle desensus konsentrasi kalium meningkat. Pada tubulus Henle asensus, kotransporter
Na-K-2Cl mereabsorsi kalium. Ketika cairan mencapai tubulus kontortus distal, hanya
More than half ofterutama
filtered potassium
passively reabsorbtersisa 10-15% kalium yang terfiltrasi. Kalium disekresikan
oleh isprincipal
cell di
bed by the end of the proximal convolted tubule (PCT).
Potassium is then added to tubular fluid in the descending limb
cortical collecting tubule dan outer medullary
collecting
of Henles
loop (seetubule.
below). Kalium juga diresorbsi di
The major site of active potassium reabsorption is the
thick ascending limb of the loop of Henle (TAL), so that, by the
collecting tubule melalui efek kerja sel intercalacted.
end of the distal convoluted tubule (DCT),only 10% to 15% of
filtered potassium remains in the tubule lumen.
Potassium is secreted mainly by the principal cells of the
cortical collecting duct (CCD) and outer medullary collecting
duct (OMCD). Potassium reabsorption occurs via the intercalated cells of the medullary collecting duct (MCD). Urinary potassium represents the difference between potassium secreted and
potassium reabsorbed.
During states of total body potassium depletion, potassium
reabsorption is enhanced. Reabsorbed potassium initially enters
the medullary interstitium, but then it is secreted into the pars
recta (PR) and descending limb of the loop of Henle (TDL).
The physiologic role of medullary potassium recycling
may be to minimize potassium backleak out of the collecting
tubule lumen or to enhance renal potassium secretion during
states of excess total body potassium.
The percentage of filtered potassium remaining in the
tubule lumen is indicated in the corresponding nephron
segment.
13
14
1) Meningkatkan jumlah dan aktivitas apical amiloride sensitive ENaCs pada
connecting tubule dan cortical connecting duct pada tubulus distalis. Hal ini
meningkatkan resorbsi sodium sehingga menciptakan muatan negatif dalam lumen
dan memaksa ekskresi kalium ke lumen tubulus.
2) Meningkatkan aktifitas Na-K-ATPase basolateral.
c. Asupan diet kalium
Peningkatan dan penurunan intake kalium secara tak langsung akan berdampak
pada peningkatan atau penurunan kalium urin. Adaptasi ginjal terhadap intake tinggi
kalium dimediasi oleh peningkatan sekeresi aldosteon dan melalui peningkatan
aktivitas Na-K-ATPase pada nefron distal. Sebagai respon terhadap restriksi kalium,
aktivitas mineralokortikoid dikurangi, sehingga menyebabkan hambatan dalam sekresi
kalium.
d. Anion non-absorbable
Peningkatan pada anion non-absorbable (cont. bikarbonat, hippurat, dan betahidroksibutirat) menjebak kalium yang tersekresi pada lumen tubulus dan membatasi
reabsorbsi kalium di medullary collecting duct. Hal ini menyebabkan pengeluaran
kalium ginjal yang dapat berlanjut pada deplesi kalium berat.
e. WNK kinase
WNK kinase merupakan serangkaian enzim yang (baru-baru ini) diketahui meregulasi
ekskresi kalium. WNK4 menurunkan aktivitas dari transport NaCl pada tubulus distal
dan menurunkan jumlah saluran kalium di cortical collecting tubule. Efek keseluruhan
dari WNK4 ini adalah retensi kalium.
15
defek molecular dari kelainan genetik yang berkaitan dengan metabolisme kalium.
Tergantung pada diet, normal intake kalium dapat bervariasi antara 50-500 mEq/hari.
Intake buah-buahan, sayur, dan gandum mengandung banyak kalium, dan kebalikannya intake
tinggi lemak memberikan asupan kalium rendah.
Sembilan puluh persen (90%) total kalium tubuh berada pada cairan intraselular
(ICF; terutama pada jaringan otot), 10% pada cairan ekstraselular (ECF), dan kurang dari
1% berada di plasma. Rasio kalium ekstraselular terhadap kalium intraselular menentukan
potensial membrane. Perubahan akut pada konsentrasi kalium serum dan potensial
membrane menentukan derajat keparahan gejala klinis dan menjadi dasar temuan klinis
yang disebabkan oleh gangguan metabolism kalium. 8
Kenyataannya, 98% dari simpanan kalium tubuh (3000-4000 mEq) berada di dalam sel,
dan 2% sisanya (kira-kira 70 mEq) terutama terdapat di kompartemen ECF. Kadar K+ serum
normal adalah 3,55,5 mEq/L dan sangat berlawanan dengan kadar di dalam sel yang sekitar
160 mEq/L.7,8
Kalium merupakan bagian terbesar zat terlarut intrasel, sehingga berperan penting
dalam menahan cairan di dalam sel dan mempertahankan volume sel. Kalium ECF, meskipun
hanya merupakan bagian kecil dari kalium total, tetapi sangat berpengaruh dalam fungsi
neuromuskular. Perbedaan kadar K+ dalam kompartemen ICF dan ECF dipertahankan oleh
suatu pompa Na-K aktif yang terdapat di membrane sel.
Rasio kadar K+ ICF terhadap ECF adalah penentu utama potensial membrane sel pada
jaringan yang dapat tereksitasi, seperti otot jantung dan otot rangka. Potensial membrane
istirahat mempersiapkan pembentukan potensial aksi yang penting untuk fungsi saraf dan otot
yang normal. Kadar kalium ECF jauh lebih rendah dibanding dengan kadar di dalam sel,
16
sehingga sedikit perubahan pada kompartemen ECF akan mengubah rasio K+ secara bermakna.
Sebaliknya, hanya perubahan K+ ICF dalam jumlah besar yang dapat mengubah rasio ini secara
bermakna. Salah satu akibat dari hal ini adalah efek toksik dari hiperkalemia berat yang dapat
dikurangi kegawatannya dengan menginduksi pemindahan kalium dari ECF ke ICF. Selain
berperan penting dalam mempertahankan fungsi neuromuskuler yang normal, K+ adalah suatu
kofaktor yang penting dalam sejumlah proses metabolic.
Homeostasis K+ tubuh dipengaruhi oleh distribusi antara ECF dan ICF, juga
keseimbangan antara asupan dan pengeluarannya. Beberapa faktor hormonal dan
nonhormonal juga berperan penting dalam pengaturan ini, termasuk aldosteron,
katekolamin, insulin, dan variable asam-basa.
Pada orang dewasa yang sehat, asupan kalium harian adalah sekitar 50-100 mEq.
Sehabis makan, semua K+ yang diabsorpsi akan masuk ke dalam sel dalam beberapa menit;
setelah itu ekskresi K+ yang terutama terjadi melalui ginjal akan berlangsung beberapa jam
kemudian. Sebagian kecil (<20%) akan diekskresi melalui keringat dan feses. Dari saat
perpindahan K+ ke dalam sel setelah makan sampai terjadinya ekskresi K+ melalui ginjal
merupakan rangkaian mekanisme penting untuk mencegah terjadinya hiperkalemia yang
berbahaya.
Ekskresi K+ melalui ginjal dipengaruhi oleh aldosteron, Na+ yang mencapai
tubulus distal, dan laju pengeluaran urin. Sekresi aldosteron terangsang oleh jumlah Na+
yang mencapai tubulus distal dan peningkatan K+ serum diatas normal, dan tertekan bila
kadarnya menurun. Sebagian besar K+ yang difiltrasi oleh glomerulus akan direabsorbsi
pada tubulus proksimal. Aldosteron yang meningkat menyebabkan lebih banyak K+ yang
tersekresi ke dalam tubulus distal sebagai penukar bagi reabsorbsi Na+ atau H+. K+ yang
tersekresi akan diekskresikan dalam urin. Sekresi K+ dalam tubulus distal juga bergantung
pada arus pengaliran, sehingga peningkatan jumlah cairan yang terbentuk pada tubulus
distal (poliuria) juga akan meningkatkan ekskresi K+.
Keseimbangan asam basa dan pengaruh hormone mempengaruhi distribusi K+
antara ECF dan ICF. Asidosis cenderung untuk memindahkan kalium keluar dari sel,
17
sedangkan alkalosis cenderung memindahkan dari ECF ke ICF. Tingkat pemindahan ini
akan bertambah jika terjadi gangguan metabolism asam-basa, dan lebih berat pada alkalosis
dibandingkan dengan asidosis. Beberapa hormone juga berpengaruh terhadap perpindahan
K+ antara ICF dan ECF. Insulin dan epinefrin merangsang perpindahan K+ ke dalam sel.
Sebaliknya, agonis alfa-adrenergik menghambat masuknya K+ ke dalam sel. Hal ini
berperan penting dalam klinik untuk menangani ketoasidosis diabetik.
Patofisiologi
Perpindahan Trans-selular
Hipokalemia bisa terjadi tanpa perubahan cadangan kalium sel. Ini disebabkan faktorfaktor yang merangsang berpindahnya kalium dari intravaskular ke intraseluler, antara
lain beban glukosa, insulin, obat adrenergik, bikarbonat, dsb. Insulin dan obat
katekolamin simpatomimetik diketahui merangsang influks kalium ke dalam sel otot.
Sedangkan aldosteron merangsang pompa Na+/K+ ATP ase yang berfungsi sebagai
antiport di tubulus ginjal. Efek perangsangan ini adalah retensi natrium dan sekresi
kalium 1.
Pasien asma yang dinebulisasi dengan albuterol akan mengalami penurunan kadar K
serum sebesar 0,20,4 mmol/L2,3, sedangkan dosis kedua yang diberikan dalam
waktu satu jam akan mengurangi sampai 1 mmol/L 3. Ritodrin dan terbutalin, yakni obat
penghambat kontraksi uterus bisa menurunkan kalium serum sampai serendah 2,5
mmol per liter setelah pemberian intravena selama 6 jam.
Teofilin dan kafein bukan merupakan obat simpatomimetik, tetapi bisa merangsang
pelepasan amina simpatomimetik serta meningkatkan aktivitas Na +/K+ ATP ase.
18
Hipokalemia berat hampir selalu merupakan gambaran khas dari keracunan akut
teofilin. Kafein dalam beberapa cangkir kopi bisa menurunkan kalium serum sebesar
0,4 mmol/L. Karena insulin mendorong kalium ke dalam sel, pemberian hormon ini
selalu menyebabkan penurunan sementara dari kalium serum. Namun, ini jarang
merupakan masalah klinik, kecuali pada kasus overdosis insulin atau selama
penatalaksanaan ketoasidosis diabetes.
19
Obat-obat lain yang bisa menyebabkan hipokalemia dirangkum dalam tabel:
20
Deplesi Kalium
Hipokalemia juga bisa merupakan manifestasi dari deplesi cadangan kalium tubuh.
Dalam keadaan normal, kalium total tubuh diperkirakan 50 mEq/kgBB dan kalium
plasma 3,5--5 mEq/L. Asupan K+ yang sangat kurang dalam diet menghasilkan deplesi
cadangan kalium tubuh. Walaupun ginjal memberi tanggapan yang sesuai dengan
mengurangi ekskresi K+, melalui mekanisme regulasi ini hanya cukup untuk mencegah
terjadinya deplesi kalium berat. Pada umumnya, jika asupan kalium yang berkurang,
derajat deplesi kalium bersifat moderat. Berkurangnya asupan sampai <10 mEq/hari
menghasilkan defisit kumulatif sebesar 250 s.d. 300 mEq (kira-kira 7-8% kalium total
tubuh) dalam 710 hari4. Setelah periode tersebut, kehilangan lebih lanjut dari ginjal
minimal. Orang dewasa muda bisa mengkonsumsi sampai 85 mmol kalium per hari,
21
sedangkan lansia yang tinggal sendirian atau lemah mungkin tidak mendapat cukup
kalium dalam diet mereka2.
Kehilangan K+ Melalui Jalur Ekstra-renal
Kehilangan melalui feses (diare) dan keringat bisa terjadi bermakna. Pencahar dapat
menyebabkan kehilangan kalium berlebihan dari tinja. Ini perlu dicurigai pada pasienpasien yang ingin menurunkan berat badan. Beberapa keadaan lain yang bisa
mengakibatkan deplesi kalium adalah drainase lambung (suction), muntah-muntah,
fistula, dan transfusi eritrosit.
Kehilangan K+ Melalui Ginjal
Diuretik boros kalium dan aldosteron merupakan dua faktor yang bisa menguras
cadangan kalium tubuh. Tiazid dan furosemid adalah dua diuretik yang terbanyak
dilaporkan menyebabkan hipokalemia
Implikasi Klinik pada Pasien Penyakit Jantung 2
Tidak mengherankan bahwa deplesi kalium sering terlihat pada pasien dengan CHF.
Ini membuat semakin bertambah bukti yang memberi kesan bahwa peningkatan
asupan kalium bisa menurunkan tekanan darah dan mengurangi risiko stroke.
Hipokalemia terjadi pada pasien hipertensi non-komplikasi yang diberi diuretik, namun
tidak sesering pada pasien gagal jantung bendungan, sindrom nefrotik, atau sirosis
hati. Efek proteksi kalium terhadap tekanan darah juga dapat mengurangi risiko stroke.
Deplesi kalium telah dikaitkan dalam patogenesis dan menetapnya hipertensi esensial.
Sering terjadi salah tafsir tentang terapi ACE-inhibitor (misal Kaptopril). Karena obat ini
meningkatkan retensi kalium, dokter enggan menambah kalium atau diuretik hemat
kalium pada terapi ACE-inhibitor. Pada banyak kasus gagal jantung bendungan yang
22
diterapi dengan ACE-inhibitor, dosis obat tersebut tidak cukup untuk memberi
perlindungan terhadap kehilangan kalium.
Potensi digoksin untuk menyebabkan komplikasi aritmia jantung bertambah jika ada
hipokalemia pada pasien gagal jantung. Pada pasien ini dianjurkan untuk
mempertahankan kadar kalium dalam kisaran 4,5-5 mmol/L. Nolan dkk. mendapatkan
kadar kalium serum yang rendah berkaitan dengan kematian kardiak mendadak di
dalam uji klinik terhadap 433 pasien di UK.
Hipokalemia ringan bisa meningkatkan kecenderungan aritmia jantung pada pasien
iskemia jantung, gagal jantung, atau hipertrofi ventrikel kanan. Implikasinya,
seharusnya internist lebih "care" terhadap berbagai konsekuensi hipokalemia. Asupan
kalium harus dipikirkan untuk ditambah jika kadar serum antara 3,5--4 mmol/L. Jadi,
tidak menunggu sampai kadar < 3,5 mmol/L.
Derajat Hipokalemia
Hipokalemia moderat didefinisikan sebagai kadar serum antara 2,5--3 mEq/L,
sedangkan hipokalemia berat didefinisikan sebagai kadar serum < 2,5 mEq/L.
Hipokalemia yang < 2 mEq/L biasanya sudah disertai kelainan jantung dan
mengancam jiwa.
Hipokalemia pada Anak
Hipokalemia pada anak juga merupakan gangguan elektrolit yang lazim dijumpai dan
memiliki manifestasi beragam serta serius, seperti kelumpuhan otot, ileus paralitik,
kelumpuhan otot pernapasan, aritmia jantung, dan bahkan henti jantung. Dari suatu
kajian prospektif terhadap 1350 anak yang dirawat-inap6, diagnosis hipokalemia
dipikirkan pada setiap anak dengan diare akut dan kronik dengan gambaran klinik
23
leher terkulai, kelemahan anggota gerak, dan distensi abdomen. Sebanyak 38 anak
didiagnosis sebagai hipokalemia, dengan gejala bervariasi sebagai berikut:
Sebanyak 85% dari anak yang hipokalemia tersebut mengidap malnutrisi dan 50% di
antaranya dikategorikan malnutrisi berat. Berbagai etiologi hipokalemia mencakup
gastroenteritis akut dan kronik, renal tubular asidosis, bronkopneumonia, serta
penggunaan diuretik. Pemberian kalium oral (20 mEq/L) pada kasus ringan dan infus
intravena 40 mEq/L pada kasus berat, diketahui aman dan efektif mengatasi
hipokalemia.
Hipokalemia pada Pasien Bedah7
Hipokalemia lazim dijumpai pada pasien bedah. K + < 2,5 mmol/L berbahaya dan perlu
tatalaksana segera sebelum pembiusan serta pembedahan. Defisit 200400 mmol
perlu untuk menurunkan K+ dari 4 ke 3 mmol/L. Demikian juga defisit serupa
menurunkan K+ dari 3 ke 2 mmol/L.
Sebab-sebab
Meningkatnya influks K+ ke dalam sel: alkalosis, kelebihan insulin, B-agonis, stress, dan
hipotermia. Semuanya menyebabkan pergeseran K + ke dalam sel. Tidak akan ada
deplesi K+ sejati jika ini adalah satu-satunya penyebab.
Kehilangan berlebihan dari saluran cerna: muntah-muntah, diare, dan drainase adalah
gambaran khas seorang pasien sebelum dan setelah pembedahan abdomen.
Penyalahgunaan pencahar pada usia lanjut biasa dilaporkan dan bisa menyebabkan
hipokalemia pra-bedah.
24
ke urin. Mekanisme hipokalemia pada kehilangan cairan lambung bersifat kompleks.
Bila cairan lambung hilang berlebihan (muntah atau via pipa nasogastrik), NaHCO 3
yang meningkat diangkut ke tubulus ginjal. Na + ditukar dengan K+ dengan akibat
peningkatan ekskresi K+. Kehilangan K+ melalui ginjal sebagai respons terhadap
muntah adalah faktor utama yang menyebabkan hipokalemia. Ini disebabkan
kandungan K+ dalam sekresi lambung sedikit. Asidosis metabolik menghasilkan
peningkatan transpor H+ ke tubulus. H+ bersama K+ bertukar dengan Na+ , sehingga
ekskresi K+ meningkat.
Risiko
Kelemahan otot
Keram
Pendekatan Diagnostik
25
(19%) vs 12 (9%) kelompok pasien infark, p = .014 dan 56 (19%) vs 4 (5%) kelompok
hipertensi, p = .005, masing-masing. Pada analisis terhadap kelangsungan hidup,
kadar kalium yang lebih rendah ketika pasien masuk berkaitan dengan meningkatnya
risiko kematian.
Tatalaksana Hipokalemia
Untuk bisa memperkirakan jumlah kalium pengganti yang bisa diberikan, perlu
disingkirkan dulu faktor-faktor selain deplesi kalium yang bisa menyebabkan
hipokalemia, misalnya insulin dan obat-obatan. Status asam-basa mempengaruhi
kadar kalium serum.
Jumlah Kalium
Walaupun perhitungan jumlah kalium yang dibutuhkan untuk mengganti kehilangan
tidak rumit, tidak ada rumus baku untuk menghitung jumlah kalium yang dibutuhkan
pasien. Namun, 40100 mmol K+ suplemen biasa diberikan pada hipokalemia
moderat dan berat.
Pada hipokalemia ringan (kalium 33,5 mEq/L) diberikan KCl oral 20 mmol per hari
dan pasien dianjurkan banyak makan makanan yang mengandung kalium. KCL oral
kurang ditoleransi pasien karena iritasi lambung. Makanan yang mengandung kalium
cukup banyak dan menyediakan 60 mmol kalium 5.
Kecepatan Pemberian Kalium Intravena
Kecepatan pemberian tidak boleh dikacaukan dengan dosis. Jika kadar serum > 2
mEq/L, maka kecepatan lazim pemberian kalium adalah 10 mEq/jam dan maksimal 20
mEq/jam untuk mencegah terjadinya hiperkalemia. Pada anak, 0,51 mEq/kg/dosis
dalam 1 jam. Dosis tidak boleh melebihi dosis maksimum dewasa.
26
Pada kadar < 2 mEq/L, bisa diberikan kecepatan 40 mEq/jam melalui vena sentral dan
monitoring ketat di ICU. Untuk koreksi cepat ini, KCl tidak boleh dilarutkan dalam
larutan dekstrosa karena justru mencetuskan hipokalemia lebih berat.
Koreksi Hipokalemia Perioperatif
KCL biasa digunakan untuk menggantikan defisiensi K +, karena juga biasa disertai
defisiensi Cl-.
Jika penyebabnya diare kronik, KHCO3 atau kalium sitrat mungkin lebih sesuai.
Terapi oral dengan garam kalium sesuai jika ada waktu untuk koreksi dan tidak ada
gejala klinik.
Kalium iv
KCl sebaiknya diberikan iv jika pasien tidak bisa makan dan mengalami hipokalemia
berat.
Secara umum, jangan tambahkan KCl ke dalam botol infus. Gunakan sediaan siappakai dari pabrik. Pada koreksi hipokalemia berat (< 2 mmol/L), sebaiknya gunakan
NaCl, bukan dekstrosa. Pemberian dekstrosa bisa menyebabkan penurunan
sementara K+ serum sebesar 0,21,4 mmol/L karena stimulasi pelepasan insulin oleh
glukosa.
Infus yang mengandung KCl 0,3% dan NaCl 0,9% menyediakan 40 mmol K + /L. Ini
harus menjadi standar dalam cairan pengganti K+.
Volume besar dari normal saline bisa menyebabkan kelebihan beban cairan. Jika ada
aritmia jantung, dibutuhkan larutan K + yang lebih pekat diberikan melalui vena sentral
dengan pemantauan EKG. Pemantauan teratur sangat penting. Pikirkan masak-masak
sebelum memberikan > 20 mmol K+/jam.
27
Konsentrasi K+ > 60 mmol/L sebaiknya dihindari melalui vena perifer, karena cenderung
menyebabkan nyeri dan sklerosis vena.
Kesimpulan
Hipokalemia merupakan kelainan elektrolit yang cukup sering dijumpai dalam praktik
klinik, dan bisa mengenai pasien dewasa dan anak. Berbagai faktor penyebab perlu
diidentifikasi sebagai awal dari manajemen. Pemberian kalium bukanlah sesuatu yang
perlu ditakuti oleh para klinisi, seandainya diketahui kecepatan pemberian yang aman
untuk setiap derajat hipokalemia. Pemberian kalium perlu dipertimbangkan pada
pasien-pasien penyakit jantung, hipertensi, stroke, atau pada keadaan-keadaan yang
cenderung menyebabkan deplesi kalium.