Anda di halaman 1dari 50

BAB IV

PERCOBAAN III
KONTROL SUHU
4.1 Tujuan Percobaan
Tujuan dari percobaan kontrol suhu ialah :
1.

Memahami karakteristik sensor J-TC thermocouple, NTC (Negative


Temperature Coefficient), Platinum Pt 100.

2.

Memahami dasar-dasar penguat operasional dan aplikasinya.

3.

Memahami aplikasi dan pengaturan sederhana sistem kontrol loop


tertutup (close loop) dengan on-off controller

4.

Memahami mekanisme dan aplikasi pengaturan sederhana sistem


kontrol loop tertutup (close loop) dengan proporsional kontroler

4.2 Dasar Teori


4.2.1 On-Off Controller
Pada dasarnya, On-off controller merupakan sistem kontrol loop tertutup.
Dalam sistem kontrol dua posisi, elemen penggerak hanya mempunyai dua posisi
tetap, yang dalam beberapa hal, benar- benar merupakan posisi on dan off.
Kontrol dua posisi atau on-off controller relatif

sederhana dan murah, oleh

karenanya banyak digunakan dalam sistem kontrol industri maupun rumahrumah.


Sinyal kesalahan penggerak, yang merupakan selisih antara sinyal masukan
dan sinyal umpan balik diumpankan ke kontroller. Keluaran kontroller
diumpankan ke plant untuk memperkecil kesalahan dan membuat agar keluaran
sistem mendekati harga yang diinginkan. Sistem kontrol umpan balik bisa
digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4.1 Sistem Kontrol Loop Tertutup

Misal sinyal keluaran kontroller adalah m(t) dan sinyal kesalahan penggerak
adalah e(t). Pada kontrol dua posisi, sinyal m(t) akan tetap pada harga maksimum
atau minimumnya, bergantung pada kesalahan penggerak, positif atau negatif,
sedemikian rupa sehingga :
M(t) = M1untuk e(t)>0 . . . . . disebut error positif
M(t) = M2 untuk e(t)<0 . . . . disebut error negatif
Dimana M1 dan M2 adalah konstanta. Harga minimum, M2, biasanya nol,
atau M1. Kontroller dua posisi biasanya berupa perangkat listrik, salah satu
contoh yang digunakan secara luas dengan penggerak selenoid listrik.
Gambar 4.2 (a) dan (b) menunjukkan diagram blok kontroller dua posisi.
Daerah harga sinyal penggerak antara posisi on dan off disebut celah diferensial
(differential gap).Suatu celah differensial ditunjukkan pada gambar 4.2 (b). Celah
diferensial ini menyebabkan keluaran kontroller m(t) tetap pada harga sekarang
sampai sinyal kesalahan penggerak bergeser sedikit dari harga nol. Pada beberapa
kasus, celah diferensial ini disebabkan oleh gesekan yang tidak diinginkan adanya
celah diferensial untuk mencegah operasi mekanisme on-off yang terlalu sering.

M1

M1

m
M2

M2

Celah
diferensial
(a)

(b)

Gambar 4.2 (a) Diagram Blok Kontroller on-off. (b) Diagram blokon-off dengan celah diferensial

Dari gambar 4.2, dapat dilihat bahwa amplitudo osilasi keluaran dapat
diperkecil dengan memperkecil celah diferensial. Akan tetapi hal ini akan
menyebabkan kenaikan angka switching on-off permenit sehingga akan
memperpendek umur ketahanan komponen. Besar celah diferensial harus
ditentukan berdasarkan beberapa pertimbangan seperti ketelitian yang diperlukan
dan umur komponen.
H(t)

Celah diferensial

T
Gambar 4.3 Respon output pada sistem kontrol on-off

Pada percobaan on-off controller, on-off controller digunakan untuk


mengatur temperatur sehingga didapatkan kestabilan di sekitar temperatur
referensi yang digunakan.
4.2.2

Proporsional Kontroler
Pada dasarnya, proporsional kontroler merupakan penguat dengan

penguatan yang dapat diatur. Apabila dibandingkan dengan On-Off controller,


proporsional kontroler relatif lebih cepat mencapai tegangan referensi, sehingga
waktu transient menjadi lebih cepat.

Kp

Gambar 4.4 Proporsional Kontroler

Misal sinyal keluaran kontroller adalah m(t) dan sinyal kesalahan penggerak
adalah e(t). Pada proporsional kontroler, sinyal m(t) bergantung pada kesalahan
penggerak, sedemikian rupa sehingga :
m(t) = Kp. e(t)
Akan tetapi, hasil keluaran dari proporsional kontroler melenceng dari
tegangan referensi yang diharapkan. Dalam penggunaan proporsional kontroler,
semakin besar tegangan referensi yang diinginkan, semakin besar pula penguatan
yang digunakan.

4.2.3

Sensor
Sensor adalah peralatan yang digunakan untuk mengubah suatu besaran fisik

menjadi besaran listrik, sehingga keluarannya dapat dianalisa dengan rangkaian


listrik tertentu. Hampir seluruh peralatan elektronik yang ada memiliki sensor di
dalamnya. Pada saat ini, sensor telah dibuat dengan ukuran sangat kecil hingga
orde nanometer dimana hal ini menjadikan sensor sangat memudahkan pemakaian
dan menghemat energi.
Adapun sensor terklasifikasi ke dalam dua jenis besar sensor, yaitu sensor
fisika dan sensor kimia. Sensor fisika merupakan jenis sensor yang mendeteksi
suatu besaran berdasarkan hukum-hukum fisika, seperti sensor cahaya, suara,
gaya, kecepatan, percepatan, maupun sensor suhu. Sedangkan jenis sensor kimia
merupakan sensor yang mendeteksi jumlah suatu zar kimia dengan jalan

mengubah besaran kimia menjadi besaran listrik dimana di dalamnya dilibatkan


beberapa reaksi kimia, seperti misalnya pada sensor pH, sensor oksigen, sensor
ledakan, serta pada sensor gas.
Sensor merupakan sebuah tipe dari transducer yang mengindikasi secara
langsung dengan atau tanpa penguat dan pengolah sinyal yang terbentuk dalam
satu sistem pengindra, seperti halnya sebuah thermometer air raksa yang dapat
membaca manusia. Sensor lain dapat dipasangkan dengan sebuah indikator
ataupun display, dalam keadaan ini misalnya pada sebuah thermocouple.
Kebanyakan

sensor

merupakan

sensor

kelistrikan

maupun

peralatan

elektroniknya, meskipun tipe-tipe sensor lainnya juga tetap ada dan bertahan.
Sensor digunakan dalam kehidupan sehari-hari, dimana aplikasinya mencakup
automobile, mesin, kedokteran, indistri, robot, maupun aerospace. Dalam
lingkungan sistem pengendali dan robotika, sensor memberikan kesamaan yang
menyerupai mata, pendengaran, hidung, maupun lidah yang kemudian akan diolah
oleh kontroller sebagai otaknya.
Sensor memiliki banyak macam dan bentuk sesuai kegunaan yang
dibutuhkan. Adapun macam macam sensor diantaranya ialah :
1. Sensor Kedekatan (proximity)
Sensor Kedekatan (proximity) merupakan sensor atau saklar yang
dapat mendeteksi adanya target yang merupakan jenis logam dengan tanpa
adanya kontak fisik.
2. Sensor Magnet
Sensor Magnet atau disebut juga relai buluh, adalah alat yang akan
terpengaruh medan magnet dan akan memberikan perubahan kondisi pada
keluaran.
3. Sensor Sinar
Sensor sinar terdiri dari 3 kategori. Fotovoltaic atau sel solar
adalah alat sensor sinar yang mengubah energi sinar langsung menjadi

energi listrik, dengan adanya penyinaran cahaya akan menyebabkan


pergerakan elektron dan menghasilkan tegangan.
4. Sensor Efek Hall
Sensor Efek-Hall dirancang untuk merasakan adanya objek magnetis
dengan perubahan posisinya. Perubahan medan magnet yang terus
menerus menyebabkan timbulnya pulsa yang kemudian dapat ditentukan
frekuensinya, sensor jenis ini biasa digunakan sebagai pengukur
kecepatan.

5. Sensor Ultrasonik
Sensor ultrasonik bekerja berdasarkan prinsip pantulan gelombang
suara, dimana sensor ini menghasilkan gelombang suara yang kemudian
menangkapnya

kembali

dengan

perbedaan

waktu

sebagai

dasar

penginderaannya.
6. Sensor Tekanan
Sensor tekanan - sensor ini memiliki transduser yang mengukur
ketegangan kawat, dimana mengubah tegangan mekanis menjadi sinyal
listrik. Dasar penginderaannya pada perubahan tahanan pengantar
(transduser)

yang

berubah

akibat

perubahan

panjang

dan

luas

penampangnya.
7. Sensor Kecepatan (RPM)
Proses penginderaan sensor kecepatan merupakan proses kebalikan
dari suatu motor, dimana suatu poros/object yang berputar pada suatui
generator akan menghasilkan suatu tegangan yang sebanding dengan
kecepatan putaran object.

8. Sensor Penyandi (Encoder)


Sensor Penyandi (Encoder) digunakan untuk mengubah gerakan linear
atau putaran menjadi sinyal digital, dimana sensor putaran memonitor
gerakan putar dari suatu alat.
9. Sensor Suhu
Pada percobaan ini menggunakan sensor untuk mendeteksi suhu,
yaitusensor suhu. Terdapat 4 jenis utama sensor suhu yang umum
digunakan, yaitu thermocouple (T/C), resistance temperature detector
(RTD), termistor dan IC sensor. Thermocouple pada intinya terdiri dari
sepasang transduser panas dan dingin yang disambungkan dan dilebur
bersama, dimana terdapat perbedaan yang timbul antara sambungan
tersebut dengan sambungan referensi yang berfungsi sebagai pembanding.
Resistance Temperature Detector (RTD) memiliki prinsip dasar pada
tahanan listrik dari logam yang bervariasi sebanding dengan suhu.
Kesebandingan

variasi

ini

adalah

presisi

dengan

tingkat

konsisten/kestabilan yang tinggi pada pendeteksian tahanan. Platina adalah


bahan yang sering digunakan karena memiliki tahanan suhu, kelinearan,
stabilitas dan reproduksibilitas. Termistor adalah resistor yang peka
terhadap panas yang biasanya mempunyai koefisien suhu negatif, karena
saat suhu meningkat maka tahanan menurun atau sebaliknya. Jenis ini
sangat peka dengan perubahan tahan 5% per C sehingga mampu
mendeteksi perubahan suhu yang kecil. Sedangkan IC Sensor adalah
sensor suhu dengan rangkaian terpadu yang menggunakan chipsilikon
untuk kelemahan penginderanya. Mempunyai konfigurasi output tegangan
dan arus yang sangat linear.
Pada plant kontrol suhu digunakan beberapa sensor suhu seperti :
1.

J-TC Thermocouple
Sensor Thermocouple terdiri dari dua logam yang didekatkan yang apabila
terpapar oleh kalor dengan suhu tertentu akan menghasilkan beda potensial.
Termokopel Suhu didefinisikan sebagai jumlah dari energi panas dari sebuah
objek atau sistem. Perubahan suhu dapat memberikan pengaruh yang cukup

signifikan terhadap proses ataupun material pada tingkatan molekul (Wilson,


2005). Prinsip kerja termokopel secara sederhana berupa dua buah kabel dari
jenis logam yang berbeda ujungnya, hanya ujungnya saja, disatukan (dilas).
Titik penyatuan ini disebut hot junction. Prinsip kerjanya memanfaatkan
karakteristik hubungan antara tegangan (volt) dengan temperatur. Setiap jenis
logam, pada temperatur tertentu memiliki tegangan tertentu pula. Pada
temperatur yang sama, logam A memiliki tegangan yang berbeda dengan
logam B, terjadilah perbedaan tegangan (kecil sekali, miliVolt) yang dapat
dideteksi. Seperti gambar dan perumusan di bawah ini :

Gambar 4.5 Termokopel

Dalam perancangan serta penggolongan dari termokopel sendiri sudah


diatur oleh Instrument Society of America (ISA).Jenis J (Iron -constantan)
memiliki jangkauanlebih terbatas daripada tipe K (-40C sampai 750C),
tetapisensitivitas yang lebih tinggidari sekitar 50V/C [2] point curiebesi
(770 C) [8] menyebabkan perubahan halus dalam karakteristik, yang
menentukan batas suhu atas. Karakteristik termokopel digambarkan pada
grafik dibawah ini :

Gambar 4.6 Karakteristik Sensor J-TC

2. NTC (Negative Temperature Coefficient)


NTC merupakan sensor yang mengubah besaran suhu menjadi hambatan.
Termistor NTC digunakan sebagai termometer hambatan dalam pengukuran
temperatur rendah dari orde 10 K. Termistor NTC juga dapat digunakan
sebagai pembatas arus-arus masuk perangkat dalam rangkaian catu daya. Pada
awalnya resistensi yang lebih tinggi yang mencegah arus besar mengalir di
turn-on, dan kemudian panas dan menjadi jauh lebih rendah untuk
membolehkan perlawanan aliran arus yang lebih tinggi selama operasi normal.
Termistor NTC secara teratur digunakan dalam aplikasi otomotif. Contohnya
yaitu memonitor hal-hal seperti suhu pendingin dan / atau minyak suhu di
dalam mesin dan memberikan data ke ECU dan, secara tidak langsung, ke
panel kontrol. Kebanyakan pada material penyusun termistor biasa
mengandung unsur unsur oksida. Oksida ini sebenarnya mempunyai
resistansi

yang

sangat

tinggi,

tetapi

dapat

diubah

menjadi

bahan

semikonduktor dengan menambahkan beberapa unsur lain yang mempunyai


valensi yang berbeda disebut dengan doping dan pengaruh dari resistansinya
dipengaruhi perubahan temperatur yang diberikan. Thermistor logam oksida
digunakan dalam daerah 200K sampai 700K. Untuk digunakan pada
temperatur yang sangat tinggi, thermistor dibuat dari Al2O3 , BeO , MgO.
Contoh perubahaan Nilai Resistansi Thermistor NTC saat terjadinya
perubahan suhu disekitarnya. Thermistor NTC tersebut bernilai 10k pada
suhu ruangan (25C), tetapi akan berubah seiring perubahan suhu
disekitarnya. Pada -40C nilai resistansinya akan menjadi 197.388k, saat
kondisi suhu di 0C nilai resistansi NTC akan menurun menjadi 27.445k,
pada suhu 100C akan menjadi 0.976k dan pada suhu 125C akan menurun
menjadi 0.532k. Jika digambarkan, maka Karakteristik Thermistor NTC
tersebut adalah seperti gambar 4.7.

Gambar 4.7 Karakteristik Thermistor NTC

3. Platinum Pt 100
Platinum Pt 100 pada plant kontrol suhu memiliki fungsi yang hampir
sama dengan sensor NTC, dimana letak perbedaannya adalah pada bahan
pembuatan sensor. Platinum Pt 100 dibuat dari platinum dengan resistansi
nominal 100 pada suhu 0 C.PT100 merupakan salah satu jenis sensor suhu
yang terkenal dengan keakurasiannya. PT100 termasuk golongan RTD
(Resistive Temperature Detector) dengan koefisien suhu positif, yang berarti
nilai resistansinya naik seiring dengan naiknya suhu. PT100 terbuat dari
logam platinum. Oleh karenanya namanya diawali dengan PT. Disebut
PT100 karena sensor ini dikalibrasi pada suhu 0C pada nilai resistansi 100
ohm. Ada juga PT1000 yang dikalibrasi pada nilai resistansi 1000 ohm pada
suhu 0C.
Prinsip kerja RTD adalah sebagai berikut Ketika suhu elemen RTD
meningkat, resistansi elemen juga meningkat, Arus listrik akan mengalir
melalui elemen RTD (elemen resistor). Didalam RTD terdapat RTDs yang
berguna seperti Tranduser listrik yang mengkonversi perubahan suhu untuk
sinyal tegangan oleh pengukuran resistansi.

Perbandingan antara suhu dengan tahanan yang dibaca, dapat juga dihitung
dengan menggunakan persamaan [17], yaitu :
Rt = Ro(1+At+Bt^2)
Ket :
Rt = Tahanan listrik pada temperature t (Ohm)
Ro = Tahanan listrik pada temperature 0 (Ohm) = 100(PT100)
A = 3,9083 x 10^(-3)
B = -5,775 x 10^(-7)
T = Suhu

Hubungan RTD dengan jembatan weatstone adalah seperti gambar di bawah


ini :

Gambar 4.8 Hubungan RTD dengan Jembatan Weatstone

Menurut keakurasiannya, terdapat dua jenis PT100, yakni Class-A dan


Class-B. PT100 Class-A memiliki akurasi 0,06 ohm dan PT100 Class-B
memiliki akurasi 0,12 ohm. Keakurasian ini menurun seiring dengan naiknya
suhu. Akurasi PT100 Class-A bisa menurun hingga 0,43 ohm (1,45C) pada
suhu 600C, dan PT100 Class-B bisa menurun hingga 1,06 ohm (3,3C)
pada suhu 600C.
PT100 tipe DIN (Standard Eropa) memiliki resolusi 0,385 ohm per 1C.
Jadi resistansinya akan naik sebesar 0,385 ohm untuk setiap kenaikan suhu
1C. Untuk mengukur suhu secara elektronik menggunakan sensor suhu
PT100, maka kita harus mengeksitasinya dengan arus yang tidak boleh
melebihi nilai 1mA. Hal ini karena jika dialiri arus melebihi 1 mA, maka akan
timbul efek self-heating. Jadi, seperti layaknya komponen resistor, maka
kelebihan arus akan diubah menjadi panas. Akibatnya hasil pengukuran
menjadi tidak sesuai lagi.
Aplikasi sensor PT100 temperatur untuk RTD temperatur controller filling
machine dan sealbar.Dan sensor ini dapat digunakan pada rentang suhu -50o C
sampai 400o C.

Gambar 4.9 Sensor Platinum Pt100

4.2.4 Penguat
Penguat atau amplifier pada dasarnya adalah suatu rangkaian yang
digunakan untuk mengubah suatu besaran. Dalam percobaan ini amplifier
diidentikkan dengan penguatan sinyal listrik. Amplifier dapat dibedakan menjadi
beberapa macam tergantung dari penggolongan masing-masing. Adapun penguat
yang digunakan dalam percobaan ini adalah Operasional Amplifier dan Loop
Amplifier.
4.2.4.1 OP-AMP
Op-Amp merupakan suatu penguat berperolehan tinggi dikopel-langsung,
yang

umpan

baliknya

ditambahkan

untuk

mengendalikan

karakteristik

keseluruhan. Op-Amp digunakan untuk membentuk fungsi-fungsi linier yang


bermacam-macam dan sering disebut sebagai analog .
Nama penguat operasional telah diberikan kepada penguat gain-tinggi yang
dirancang untuk melaksanakan tugas-tugas matematis seperti penjumlahan,
pengurangan, perkalian dan pembagian. Semuanya bekerja dengan tegangan
tinggi sampai setinggi 300V, tetapi sanggup menyelesaikan berbagai perhitungan.
Op-Amp adalah suatu penguat berperolehan tinggi dikopel-langsung, yang umpan
baliknya ditambahkan untuk mengendalikan karakteristik keseluruhan. Op-Amp
digunakan untuk membentuk fungsi-fungsi linier yang bermacam-macam dan
sering disebut sebagai analog .
Terminal- terminal Op-Amp yaitu:
1. Terminal catu daya.
Op-Amp membutuhkan catu daya +V dan V yang keduanya dihubungkan
ke supply daya.
2. Terminal keluaran
Ujung tegangan keluaran Vo diukur terhadap ground, karena dalam sebuah
Op-Amp hanya ada satu terminal keluaran. Batas keluaran Vo disebut tegangan
kejenuhan positif (+Vsat) dan batas bawahnya disebut tegangan kejenuhan negatif
(-Vsat).

3. Terminal- terminal masukan


Dalam Op-Amp terdapat masukan bertanda (-) yang kemudian disebut
masukan inverting dan yang bertanda (+) disebut masukan non inverting.
Tegangan keluaran Vo tergantung pada perbedaan tegangan kedua terminal
tersebut.
Penguat operasional ini banyak digunakan dalam berbagai aplikasi karena
beberapa keunggulan yang dimiliki, seperti penguatan yang tinggi, impedansi
masukan tinggi, impedansi keluaran yang rendah dan lain sebagainya. Sebuah OpAmp yang ideal memiliki beberapa karakteristik khusus, yaitu :
1.

Resistansi masukan Ri = tak terhingga

2.

Resistansi keluaran Ro = 0.

3.

Perolehan tegangan Av = - tak terhingga.

4.

Lebar pita = tak terhingga.

5.

Vo = 0 kalau V1 = V2 tidak tergantung pada besarnya V1.

6.

Karakteristiknya tidak tergantung pada temperatur.


Bentuk dasar penguat operasi adalah suatu blok dengan dua masukan, satu
keluaran dan dicatu secara simetris, seperti diperlihatkan gambar 4.12.

masukan
inverting

VCC

keluaran

masukan
noninverting
VEE
(a)

(b)

Gambar 4.10 (a) Simbol penguat operasi, (b)IC LM741

Catu daya pada Op-Amp diberikan lewat jalur V CC dan VEE, catu positif
melalui VCC dan catu negatif melalui VEE.Adanya catu simetris ini memungkinkan
tegangan keluaran Vout berayun positif maupun negatif terhadap jalur ground
(netral, nol volt) Pencatuan asimetris masih dimungkinkan dengan konsekuensi
timbulnya beberapa keterbatasan.
Tegangan keluaran bersifat kebalikan dari tegangan masukan inverting
(membalik). Bila tegangan masukan inverting positif (+), tegangan akan
cenderung

negatif (-), begitu pula sebaliknya. Masukan non inverting (tak

membalik) berlawanan sifat dari masukan inverting. Polaritas tegangan keluaran


cenderung mengikuti polaritas masukan noninverting ini. Untuk alasan ini,
masukan (-) nya disebut masukan pembalik dan masukan (+)nya disebut tak
membalik.
Op-amp yang lazin mempunyai rin yang tinggi, A yang tinggi, dan r out yang
rendah. Untuk op-amp yang ideal maka impedansi masuk tak terhingga, bati
tegangan tak terhingga, dan impedansi keluar nol. Rangkaian Op-Amp terdiri dari
dua macam, yaitu rangkaian inverting amplifier dan non-inverting amplifier.
Rangkaian inverting amplifier merupakan salah satu dari rangkaian opampyang paling luas digunakan. Rangkaian ini terdiri dari sebuah penguat yang
gain rangkaian tertutupnya dari Ei ke Vo yang ditentukan oleh Rf dan Ri dan dapat
memperkuat isyarat AC dan DC.

Gambar 4.11 Inverting Amplifier

Rangkaian inverting amplifier adalah salah satu dari rangkaian op-amp yang
paling luas digunakan. Rangkaian itu merupakan sebuah penguat yang gain
rangkaian tertutupnya dari Ei ke Vo ditentukan oleh Rf dan Ri yang dapat
memperkuat isyarat AC dan DC. Untuk memahami kerja rangkaian diperlihatkan
pada gambar :
Pada inverting amplifier, bila tegangan masukan lebih rendah dari tegangan
acuan Vref, tegangan keluaran akan mendekati tegangan catu positif. Sebaliknya
bila tegangan masukan lebih tinggi dari tegangan acuan Vref, tegangan keluaran
akan mendekati tegangan catu negatif. Secara grafis, koinsidensi masukan
keluaran diperlihatkan pada gambar 4.12.

Vreff
Input

Vcc

Output

VEE

Gambar 4.12 Koisidensi input-output

Dimana pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa :


1.

Tegangan Ed antara masukan (+) dan masukan (-) pada dasarnya nol.

2.

Arus yang dialirkan antara terminal (+) dan (-) dapat diabaikan.
Dalam gambar tegangan positif Ei diterapkan melalui tahanan masukan Ri

kemasukan (-) op-amp. Umpan balik negatif dibust oleh tahanan umpan balik Rf.
Tegangan antara masukan (+) dan (-) nya pada dasarnya sama dengan 0V.
karenanya, terminal masukan (-)juga 0V,juga potensial ground yang berada pada
masukan (-)nya. Karena ujung Ri yang satu ada di Ei dan yang lain ada di 0V,
penurunan tegangan melalui Ri adalah Ei. Arus I yang melalui Ri didapat dari
hukum Ohm:
I = Vi/Ri ................................................(4.1)
Seluruh arus masukan I mengalir melalui Rf, karena jumlah yang dialirkan
oleh terminal masukan (-)nya dapat diabaikan,maka penurunan tegangan yang
melalui Rf:
VRf = (Vi/Ri).Rf.(4.2)
Dari gambar ujung Rf dan RL beban terhubung, tegangan dari hubungan ini
ke ground adalah Vo. Ujung Rf dan RL yang lain ke ground, karenanya Vo
menyamai VRf. Untuk memperoleh polaritas Vo,diingatkan bahwa ujung kiri dari

Rf memaksa ujung kanan Rf menjadi negatif. Karenanya, Vo negatif bila Ei


positif, sehingga persamaan Vo:
Vo = 0- (Vi/Ri)Rf...................................(4.3)
Sehingga gain tegangannya:
A = -Rf...................................................(4.4)
Tanda minus dalam persamaan diatas menandakan bahwa polaritas keluaran
Vo terbalik terhadap Ei. Sehingga rangkaian tersebut dinamakan pengaut
pembalik.
Pada rangkaian inverting amplifier ini sinyal keluaran yang dihasilkan akan
mempunyai beda fasa sebesar 180 dari sinyal masukannya.
Untuk memahami kerja rangkaian ini diajukan dua pemisalan sebagai
berikut:
1.

Tegangan Positif yang diterapkan ke masukan pembalik


Dari gambar tegangan positif

Ei

diterapkan melalui tahanan masukan

Ri

kemasukan (-) penguat operasional. Umpan-balik negatif dibuat oleh tahanan


umpan balik

Rf

. Tegangan masukan (+) dan (-) pada dasarnya sama dengan 0V.

Oleh karena itu, terminal masukan (-) juga 0V juga potensial ground yang ada
pada masukan negatifnya. Untuk alasan ini masukan negatifnya dikatakan ada
pada ground semu.
Karena ujung
tegangan melalui

Ri

Ri

yang satu ada di

adalah

Ei

Ei

dan yang ada di 0V, penurunan

Arus I yang melalui


I

Ri

Ri

didapat dari hukum ohm.

Ei
Ri (4.5)

meliputi resistansi dari pembangkit isyaratnya. Seluruh arus yang

masukan I mengalir melalui

Ri

, karena jumlah yang dialirkan oleh terminal

masukan (-) dapat diabaikan. Yang perlu diperhatikan disini adalah arus yang

melalui

Rf

Ri

ditentukan oleh

dan

operasional-nya .Tegangan yang melaui

Ei

bukan oleh

Rf

adalah:

VR f I x R f

Tegangan keluaran
menjadi negatif apabila

Vo

Ei

Rf

Vf

atau

Ei
Rf
Ri
(4.6)

sama dengan tegangan yang melalui

Rf

Vo

, dan

menjadi positif diperoleh persamaan untuk


Vo Ei

penguat

Vo

akan

Rf
Ri ..(4.7)

Akhirnya dengan melihat ulang definisi penguatan (gain) untai/ikal tertutup


dari penguat tersebut adalah

ACL

, persamaan (4.7) dapat dituliskan kembali

menjadi persamaan (4.8) sebagai berikut :


ACL

Rf
Vo

Vin
Ri (4.8)

dengan satu catatan, bahwa tanda minus menunjukkan polaritas


terhadap
2.

Ei

Vo

terbalik

dengan alasan inilah penguat ini dikatakan penguat pembalik.

Arus Beban dan Arus Keluaran

V
Arus beban IL yang mengalir melaui R L hanya ditentukan oleh R L dan o
saja . Persamaan arus beban dan arus keluarannya adalah:
Io = I + IL(4.9)
Sedangkan penguat tak membalik atau non-inverting amplifier merupakan
sebuah penguat yang tidak dapat membalik, yaitu tegangan keluaran Vo
mempunyai polaritas yang sama dengan tegangan masukan Ei, tahanan masukan
dari penguat pembalik adalah Ri, tahanan masukan dari penguat tak-pembalik luar
biasa besarnya, biasanya melebihi 100 Mohm.

Gambar 4.13 Non inverting Amplifier

Pada noninverting amplifier, berlaku kebalikan dengan kondisi pada


inverting amplifier, yaitu apabila tegangan masukan lebih rendah dari tegangan
acuan Vref, tegangan keluaran akan mendekati tegangan catu negatif. Sebaliknya
bila tegangan masukan lebih tinggi dari tegangan acuan Vref, tegangan keluaran
akan mendekati tegangan catu positif.

Vreff

Input

Vcc

Output

VEE
Gambar 4.14 Koinsidensi input-output

Karena tegangan Ed antara masukan (+) dan (-) dari Op-Amp adalah nol
kedua masukan tersebut berada pada potensial X yang sama. Karenanya Ei
tampak melintasi Ri, Ei menyebabkan arus I mengalir seperti diberikan oleh I =
Ei/Ri. Arah I tergantung pada polaritas Ei.
Karenanya I mengalir melalui Rf dan penurunan tegangan melintasi Rf
dinyatakan oleh Vri dan dinyatakan sebagai:
VRf = I (Rf) ................................................(4.10)

Tegangan Vo didapat dengan menambah penurunan tegangan yang melintas


Ri yaitu Ei ketegangan yang melintasi Rf yaitu VRf :
Vo = ( 1 + Rf/Ri) Vi...................................(4.11)
Sehingga gain tegangannya adalah :
A = 1 + Rf/Ri............................................(4.12)
Persamaan tersebut memperlihatkan bahwa gain tegangan dari sebuah
penguat tak pembalik menyamai besarnya gain sebuah penguat pembalik (Rf/Ri)
Operational Amplifier atau penguat operasional memiliki setidaknya dua ragam
kerja dasar, yaitu ragam kerja saturasi dan ragam kerja linear. Ragam kerja
saturasiatau ragam kerja umpan balik positif, hanya mengenal dua keadaan, yaitu
tegangan keluaran mendekati catu positif dan tegangan keluaran mendekati catu
negatif. Ekpresi matematis yang sesuai untuk keadaan ini adalah:

Vout VCC |Vinv VNI ; Vout VEE |Vinv VNI ;


Ragam kerja saturasi merupakan dasar dari pembanding tegangan atau
komparator.

Pada

aplikasi

ini

penguat

operasional

digunakan

untuk

membandingkan tegangan yang berubah terhadap waktu dengan suatu level


tegangan yang besarnya tetap sebagai acuan (refference), sehingga tegangan
keluaran hanya akan berubah jika tegangan input telah melewati level refference.
Oleh karena itu pada ragam kerja saturasi penguat operasional dapat digunakan
sebagai elemen pengingat (multivibrator). Salah satu rangkaian yang termasuk
dalam ragam kerja saturasi adalah pembanding dengan hysterisis (Schmitttrigger).

(a)

(b)

Gambar 4.15 (a)Komparator dengan hysterisis; (b)Koinsidensi input outputnya

Rangkaian pembanding dengan hysterisis diatas mengambil ground sebagai


titik acuan (reference). Besarnya hysterisis dapat bergantung pada nilai R1 dan
R2, secara matematis untuk rangkaian gambar 4.15 berlaku persamaan
persamaan berikut :
VUT

R1
Vsat
R1 R 2

VLT

R1
(Vsat )
R1 R 2

VHYST = VUT - VLT ..........................................(4.13)


Sedangkan pada ragam kerja linier tidak hanya dikenal dua keadaan
keluaran sebagaimana ragam kerja saturasi, tegangan keluaran dapat bernilai
berapapun dalam range VCC dan VEE. Konfigurasi ragam kerja linier meliputi
penguat proporsional, derivator dan integrator.
4.2.4.2 Penguat Differensial
Rangkaian dasar penguat differensial ditunjukkan pada gambar. Hubungan
antara input dan output ditunjukkan pada persamaan berikut ini.

V0 (V2 V1 )

R1
| R1 R 2; R 3 R 4
R2

Gambar 4.16 Penguat differensial

4.2.4.3 Loop Amplifier


Penguat ini digunakan untuk memberikan penguatan dalam proses kontrol.
Penguatan dapat

dirubah dengan memutar P6. Namun penguat ini hanya

berfungsi untuk mode proporsional kontrol.

4.2.4.4 Summing Amplifier


Untuk menjumlah dua atau lebih masukan makan menggunakan summing
amplifier, dengan membalik beberapa masukan, masing-masing mempunyai bati
tegangan satu. Karena semua tahanannya berharga sama, makin setiap masukan
mempunyai bati tegangan satu.

Gambar 4.17 Impedansi masuk dan rangkaian keluar Thevenin

Dari gambar, VTH = A (V1 V2)


Op-amp yang lazim mempunyai rin yang tinggi, A yang tinggi, dan r out yang
rendah. Untuk op-amp yang ideal maka impedansi masuk tak terhingga, bati
tegangan tak terhingga, dan impedansi keluar nol.
4.2.5

PWM (Pulse Width Modulation)


PWM (Pulsa width modulation) adalah suatu cara modulasi, dimana

gelombang pembawa yang digunakan terdiri dari pulsa-pulsa segi empat yang
berulang-ulang, dengan lebar pulsa yang dapat diubah-ubah oleh amplitudo dari
sinyal informasi.
PWM dipergunakan dalam pengaturan tegangan, tegangan beban diatur
dengan cara mengatur duty cycle dari gelombang kotak yang disupplykan ke basis
dari switching transistor.
Untuk mengukur duty cycle dapat digunakan rumus :

DutyCycle

SiklusAktif
x100%
SiklusTota l
..(4.14)

Adapun prinsip dasar PWM ditunjukkan pada Gambar 4.19 di bawah ini.

Gambar 4.18 Blok Sederhana PWM

Masukan pada PWM adalah sinyal-sinyal segi empat, dimana hal ini dapat
diamati dari tampilan osiloskop sebagai berikut:

Siklus Aktif

Siklus total

Gambar 4.19 Duty Cycle

e(t)
em
0

+V0

-V0

Gambar 4.20 Output PWM

PWM diperoleh dengan mengumpankan sinyal segitiga e(t) dan sinyal


modulasi em(t) ke sebuah komparator. Lebar pulsa dari sinyal menggambarkan
informasi atau besar sinyal dari modulasi.
Bila sinyal segitiga e(t) lebih besar dari em(t) maka keluaran komparator
e0=Vo yang merupakan nilai dari saturasi komparator. Bula e(t) kurang dari em(t)
maka keluarannya e0=-Vo.

Bila em(t)=0, lebar pulsa sama dengan siklus kerja yang berubah secara
linear terhadap em(t) dan besarnya akan mencapai 50%. Besarnya siklus kerja
dirumuskan :

4.2.6

V0 em
x100%
2V0
.........................(4.15)

Transistor Sebagai Saklar


B
C

DC

Kontroler

heater
sensor

Suatu

relay

dalam

rangkaian on-off kontroler biasanya tidak dikendalikan langsung melalui


rangkaian on-off kontroler melainkan melalui suatu rangkaian transistor seperti
pada Gambar. Fungsi dari relay adalah untuk menghubungkan dua rangkaian yang
tidak terhubung langsung.

Gambar 4.21 Diagram Pengatur Suhu

Pada rangkaian tersebut digunakan transistor NPN.

Rangkaian on-off

kontroler disambungkan pada basis transistor melaui sebuah resistor dan dioda.
Bila rangkaian on-off kontroler level tegangannya

tinggi maka akan

menggerakkan basis transistor. Akibatnya antara kolektor dan emiter seakan-akan


terhubung singkat sehingga tegangan pada kolektor menuju ground. Relay yang
dihubung seri dengan emiter tegangan Vcc +12V dan kolektor akan ikut teraliri
arus sehingga relayon mengakibatkan PWM driver tidak dicatu oleh sumber AC.
Bila rangkaian on-off kontroler level tegangannya menuju ground maka
basis dioda tidak ditrigger. Akibatnya antara kolektor dengan emiter seakan-akan
terhubung buka, sehingga tegangan pada kolektor tidak dapat menuju ground.

Dengan kata lain tak ada arus yang lewat koil relay sehingga relayoff dan PWM
driver tercatu daya dari sumber AC.
Bisa juga disebut Driver Transistor yaitu penggunaan transistor sebagai
saklar, yang ketika basis transistor ini dibias, maka akan mengalir arus dari
kolektor ke emitor, dan arus ini digunakan untuk memicu relai yang
mengubungkan tegangan jala-jala dengan PWM yang mensuplay mesin pemanas.
Rangkaian driver transistor ini adalah sebagai berikut :
VC +12 volt

N
O

R
E
L
E

Rangkaian On
Off
Controller

NC

Elemen
Pemanas
DC

Gambar 4.22 Rangkaian driver transistor

Ketika ada arus yang masuk dari kontroller ke basis transistor, maka
transistor akan On, sehingga akan memicu relay, yang tadinya berada pada
normally close setelah terpicu menjadi open. Ketika tidak ada arus memicu
transistor ini (arus basis = 0),maka transistor akan Off sehingga posisi rellay akan
kembali pada posisi NC.
Berikut plant pengatur suhu :

Gambar 4.23 Plant sensor suhu

Percobaan ini memakai blok pengatur suhu yang bagian-bagiannya meliputi:


1. Oven atau pemanas
Terdiri dari lempengan alumunium yang sudah dilengkapi dengan elemen
pemanas dan sensor. Elemen pemanas ( 25W/12 ohm) ini dapat disuplai oleh
rangkaian driver power supply dengan mode AC maupun DC.
2. Sensor
Sensor adalah suatu alat yang berfungsi merubah suatu besaran fisis (suhu,
tekanan, dan lain-lain) menjadi besaran listrik (tegangan, arus, dan
hambatan). Sensor pada plant yang digunakan, terdiri dari JTC thermocouple,
NTC (Negative Temperature Coefficient), dan Platinum Pt 100. JTC adalah
sensor yang mengubah suatu besaran suhu menjadi tegangan. JTC dibuat dari
dua sambungan bahan metallic yang yang berlainan jenis. Sambungan
tersebut

dikomposisikan

dengan

campuran

kimia

tertentu

sehingga

menghasilkan beda potensial antar sambungan yang berubah terhadap suhu.


NTC adalah sensor yang dibuat dari campuran bahan semikonduktor yang
dapat menghasilkan hambatan intrinsik yang berubah terhadap temperatur.
Sensor suhu jenis NTC merubah besaran suhu menjadi hambatan. Platinum Pt
100 adalah sensor ini dibuat dari bahan platinum dengan resistansi nominal
100 pada suhu 00 C. Sensor jenis ini merubah besaran suhu menjadi
hambatan.
3. Pengkondisian Sinyal
Blok ini berfungsi menguatkan sinyal dari sensor yang masih lemah.
Disamping itu, pengkondisi sinyal juga berfungsi merubah besaran keluaran
sensor menjadi tegangan dengan ratio 10 mV/0C.
4. Generator Frekuensi
Generator frekuensi berfungsi memberikan referensi suhu yang diinginkan
dengan memutar potensiometer. Generator frekuensi menghasilkan tegangan
yang berubah yang berubah terhadap perubahan hambatan potensiometer.
Untuk merubah menjadi suhu, digunakan ratio 10 mV/0C.

5. Summing Node
Blok ini berfungsi membandingkan suhu yang diinginkan dengan suhu
pemanas atau dalam hal ini tegangan ini tegangan referensi dengan tegngan
output pengkondisi sinyal yang merupakan hasil pengukuran sensor.
6. Loop Amplifier
Blok ini berfungsi memberikan penguatan dalam proses kontrol.
Penguatan ini dapat dirubah dengan memutar potensiometer. Penguatan ini
hanya berfungsi untuk mode proporsional kontrol.
7. Burst Controller
Blok ini berfungsi mengatur disipasi daya yang akan disalurkan ke
pemanas. Pada plant ini digunakan PWM (Pulse Width Modullation).
8. DC dan AC Power driver
Blok ini berfungsi mengalirkan arus DC/AC dari sumber tegangan ke
elemen pemanas.

4.3
1.

Pengujian alat
Alat dan bahan
1. Modul praktikum B3510-A

2. Power supply
3. Jumper
4. Multimeter digital
5. Stopwatch
6. Kipas Angin (Pendingin).
2.

Cara kerja

Gambar 4.24 Rangkaian Percobaan Kontrol Suhu

Sebelum memulai praktikum, pastikan dulu power supply sudah pada range
yang dibutuhkan, kalibrasi terlebih dahulu alat ukur yang akan digunakan, serta
pastikan kondisi jumper terhubung dengan baik. Setelah selesai menyusun
rangkaian, sebelum menghubungkan dengan catu daya, cek kembali dan minta
asisten untuk memastikan bahwa rangkaian telah benar.

4.3.2.1 Karakteristik Sensor


1. Menyusun rangkaian sesuai petunjuk.

2. Mengatur potensiometer P5 pada posisi minimal, ukur tegangan


referensinya. Catat tegangan keluaran pada sensor JTC dengan
menghubungkan terminal out1 dengan multimeter.
3. Memutar P5 dengan kenaikan konstan (ukur V

reff

dengan multimeter),

lalu catat tegangan sensor. Lakukan langkah ini sebanyak 5 kali.


4. Melakukan langkah 2 sampai dengan langkah 3 untuk kondisi P5 turun
secara konstan.
5. Melakukan langkah 2 sampai dengan langkah 4 untuk NTC dan Pt 100.
4.3.2.2 On-Off Kontroler
1.

Menyusun rangkaian seperti gambar 4.24.

2.

Memposisikan SW1 pada mode on-off.

3.

Memutar P5 hingga LED menyala dan mencatat tegangan


referensinya.

4.

Menunggu hingga LED padam, kemudian mencatat nilai


tegangan transisi ONOFF.

5.

Mencatat tegangan OFFON saat LED menyala kembali.

6.

Mengulangi langkah 1 s/d 6 untuk tegangan referensi yang


berbeda.

4.3.2.3 Plant Proporsional Kontroler


1.

Menyusun rangkaian seperti gambar 4.24.

2.

Memastikan SW1 pada posisi proporsional dan


gain P6 pada posisi minimal.

3.

Mengukur dan mencatat tegangan referensi yang


ditentukan

(sampai lampu indikator menyala).

4.

Matikan Powersupply

5.

Siapkan Stopwatch untuk menghitung waktu.

6.

Nyalakan

Powersupply

bersamaan

dengan

menyalakan waktu Stopwatch


7.

Tunggu hingga lampu indikator berkedip,


bersamaan dengan memberhentikan waktu hitungan pada Stopwatch

8.

Mengukur dan mencatat tegangan keluaran


pengkondisi

sinyal dengan

menghubungkan

terminal

out pada

pengkondisi sinyal dengan multimeter.


9.

Melakukan langkah 3 sampai dengan langkah 8


untuk gain pada posisi medium dan maksimal.

4.3.2

Data Percobaan

a. Karakteristik Sensor
Tabel 4.1 Karakteristik Sensor pada saat Kenaikan Konstan

V ref

V Sensor (V)
NTC

J-TC

(V)
3,04
4
5

4,21
4,15
4,13

Pt 100

3,8
3,73
3,78

3,64
3,56
3,82

Tabel 4.2 Karakteristik Sensor pada saat Penurunan Konstan

V ref

V Sensor (V)
NTC

J-TC

(V)
5
4
3,04

4,13
4,15
4,21

Pt 100

3,78
3,73
3,8

3,82
3,56
3,64

b. On-Off Kontroler
Tabel 4.3 On-Off Kontroler

Vref (V)

Transisi ON

OFF

Transisi OFF

4,88
4,79
4,88
4,43
4,4
4,43

5
4,96

ON

4,59
3,65
4,59
3,3
3,23
3,3

c. Plant Proporsional Kontroler


Tabel 4.4 Plant Proporsional Kontroler

V ref (V)

Gain (P6)

Voutput (V)

Waktu (s)

V overshoot =

Maksimal

2,78

13

Vref-Vout
1,38

4,16

Medium
Minimal

3,98
4,05

31
31

0,08
0,11

4.4 Analisa dan pembahasan


4.4.1 Karakteristik Sensor
4.4.1.1 Sensor J-TC
Dari data percobaan tentang sensor J-TC didapatkan selisih antara
tegangan referensi dengan tegangan sensor.
Tabel 4.5 Selisih tegangan referensi dengan tegangan sensor pada J-TC untuk kenaikan konstan

V referensi (V)

V Sensor (V)

Selisih (V)

3,04

4,21

1,17

4,15

0,15

4,13

0,87

Rata-rata selisih dari sensor J-TC sebesar :

Adapun grafik perbandingan antara tegangan keluaran dan tegangan referensi


sensor JTC untuk tegangan maju :

Grafik perbandingan kenaikan V referensi dengan V sensor JTC tegangan maju


4.25
4.2
V sensor (V)

4.15
4.1
4.05
2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5
V ref (V)

Gambar 4.25 Grafik perbandingan tegangan sensor J-TC dan tegangan reference untuk tegangan
maju

Grafik perbandingan kenaikan selisih V referensi dan V sensor JTC tegangan maju
1.5
1
selisih V referensi
dan V sensor (V) 0.5
0
4 4.14.24.34.44.54.64.74.84.9 5
V ref (V)
Gambar 4.26 Grafik hubungan selisih tegangan Sensor J-TC dengan tegangan reference untuk
tegangan maju
Tabel 4.6 Selisih tegangan referensi dengan tegangan sensor pada J-TC untuk penurunan konstan

V referensi (V)

V sensor (V)

Selisih (V)

4,13

0,87

4,15

0,15

3,04

4,21

1,17

Rata-rata selisih dari sensor J-TC sebesar :

Adapun grafik perbandingan antara tegangan keluaran dan tegangan


referensi sensor JTC untuk penurunan konstan:

Grafik perbandingan penurunan V referensi dengan V sensor JTC tegangan mundur


4.25
4.2
V sensor (V)

4.15
4.1
4.05
2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5
V ref (V)

Gambar 4.27 Grafik perbandingan tegangan sensor J-TC dan tegangan reference untuk tegangan

Mundur

Grafik perbandingan penurunan V referensi dan V sensor JTC tegangan mundur


1.5
1
selisih V referensi
dan V sensor (V) 0.5
0
0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5
V ref (V)
Gambar 4.28 Grafik hubungan selisih tegangan Sensor J-TC dengan tegangan reference untuk
tegangan mundur

4.4.1.2 Sensor NTC


Tabel 4.7 Selisih tegangan referensi dengan tegangan sensor pada NTC untuk kenaikan konstan

V referensi (V)

V Sensor (V)

Selisih (V)

3,04

3,8

0,76

3,73

0,27

3,78

1,22

Rata-rata selisih dari sensor NTC sebesar :

Adapun grafik perbandingan antara tegangan keluaran dan tegangan


referensi sensor NTC untuk kenaikan konstan:

Grafik perbandingan kenaikan V referensi dengan V sensor NTC tegangan maju


3.85
3.8
V sensor (V)

3.75
3.7
3.65
2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5
V ref (V)

Gambar 4.29 Grafik perbandingan tegangan sensor NTC dan tegangan reference untuk
tegangan maju

Grafik perbandingan selisih V referensi dengan V sensor NTC tegangan maju


1.5
1
selisih V referensi
dan V sensor (V) 0.5
0
2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5
V ref (V)
Gambar 4.30 Grafik hubungan selisih tegangan Sensor NTC dengan tegangan reference untuk
tegangan maju
Tabel 4.8 Selisih tegangan referensi dengan tegangan sensor pada NTC untuk penurunan konstan

V referensi (V)

V sensor (V)

Selisih (V)

3,78

1,22

3,73

0,27

3,04

3,8

0,76

Rata-rata selisih dari sensor NTC sebesar :

Adapun grafik perbandingan antara tegangan keluaran dan tegangan


referensi sensor NTC untuk penurunan konstan:

Grafik perbandingan penurunan V referensi dengan V sensor NTC


3.85
3.8
V sensor (V)

3.75
3.7
3.65
2.5

3.5

4.5

5.5

V ref (V)
Gambar 4.31 Grafik perbandingan tegangan sensor NTC dan tegangan reference untuk tegangan
mundur

Grafik perbandingan penurunan selisih V referensi dan V sensor NTC


1.5
1
selisih V referensi
dan V sensor (V) 0.5
0
2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5
V ref (V)
Gambar 4.32 Grafik hubungan selisih tegangan Sensor NTC dengan tegangan reference untuk
tegangan mundur

4.4.1.3 Sensor Pt 100


Tabel 4.9 Selisih tegangan referensi dengan tegangan sensor pada Pt untuk kenaikan konstan

V referensi (V)

V Sensor (V)

Selisih (V)

3,04

3,64

0,6

3,56

0,44

3,82

1,18

Rata-rata selisih dari sensor Pt100 sebesar :

Adapun grafik perbandingan antara tegangan keluaran dan tegangan


referensi sensor Pt100 untuk kenaikan konstan:

Grafik perbandingan kenaikan V referensi dengan V sensor Pt 100 tegangan maju


3.9
3.8
3.7
V sensor (V) 3.6
3.5
3.4
2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5
V ref (V)
Gambar 4.33 Grafik perbandingan tegangan sensor Pt-100 dan tegangan reference untuk tegangan
maju

Grafik perbandingan selisih V referensi dan V sensor Pt 100 tegangan maju


1.5
1
selisih V referensi
dan V sensor (V) 0.5
0
2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5
V ref (V)
Gambar 4.34 Grafik hubungan selisih tegangan Sensor Pt-100 dengan tegangan reference untuk
tegangan maju
Tabel 4.10 Selisih tegangan referensi dengan tegangan sensor pada Pt untuk penurunan konstan

V referensi (V)

V sensor (V)

Selisih (V)

3,82

1,18

3,56

0,44

3,04

3,64

0,6

Rata-rata selisih dari sensor Pt 100 sebesar :

Adapun grafik perbandingan antara tegangan keluaran dan tegangan


referensi sensor Pt 100 untuk penurunan konstan:

Grafik perbandingan penurunan V referensi dengan V sensor Pt 100 tegangan mundur


4
3.8
V sensor (V)

3.6
3.4
2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5
V ref (V)

Gambar 4.35 Grafik perbandingan tegangan sensor Pt-100 dan tegangan reference untuk tegangan
mundur

Grafik perbandingan kenaikan V referensi dan V sensor Pt 100 tegangan mundur


1.5
1
selisih V referensi
dan V sensor (V) 0.5
0
2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5
V ref (V)
Gambar 4.36 Grafik hubungan selisih tegangan Sensor Pt-100 dengan tegangan reference untuk
tegangan mundur

Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa selisih nilai V referensi dan
V sensor paling besar dimiliki oleh sensor NTC, hal ini karena sensor NTC
memiliki V keluaran yang paling besar dibanding sensor J-TC dan Pt 100.
Penyimpangan yang terjadi antara tegangan output sensor dengan
tegangan referensi merupakan suatu toleransi yang pada umumnya dimiliki oleh
setiap komponen elektronik. Toleransi ini akan berbeda-beda pada setiap sensor
sesuai dengan karakteristik yang dimiliki.
Rata-rata selisih sensor J-TC :

V
Rata-rata selisih sensor NTC :

Rata-rata selisih sensor Pt-100

Berikut adalah grafik karakteristik sensor-sensor yang digunakan dalam


percobaan :
4.5
4
V sensor (V)

JTC

3.5

NTC

3
2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5

Pt 100

Vref (V)
Gambar 4.37 Perbandingan grafik tegangan sensor J-TC, NTC, dan Pt100 dengan V referensi
pada kenaikan konstan

4.5
4
V sensor (V)

JTC

3.5

NTC

3
2.8 3 3.2 3.4 3.6 3.8 4 4.2

Pt 100

Vref (V)
Gambar 4.38 Perbandingan grafik tegangan sensor J-TC, NTC, dan Pt100 dengan V referensi
pada penurunan konstan

Dari data di atas, didapatkan nilai rata rata error setiap sensor J-TC
dengan tegangan maju senilai 0.73 V dan tegangan mundur senilai 0.73V
Sedangkan sensor NTC memiliki tegangan maju senilai 0.75 V dan tegangan
mundur senilai 0,75 V. Untuk sensor Pt-100 dengan tegangan maju senilai 0,74 V
dan tegangan mundur senilai 0,74 V.
Dari hasil perhitungan dapat diketahui bahwa sensor yang memiliki keakuratan yang paling tinggi saat tegangan referensi maju adalah sensor NTC
dengan nilai rata rata 0,75 V. Sedangkan pada saat tegangan referensi mundur
sensor yang mempunyai ke-akuratan yang paling tinggi tetap sensor NTC dengan

rata rata0,75. Jadi, untuk secara keseluruhan yang memiliki kinerja yang paling
baik adalah sensor NTC dengan total rata rata 0,75. Dan paling buruk ialah JTC
dengan total rata-rata 0,73.
Dari analisis diatas dapat diketahui bahwa sensor NTC memiliki kinerja dan
ketepatan yang lebih baik diantara sensor yang lain saat tegangan referensi maju.
Selain itu, sensor NTC juga memiliki kinerja dan ketepatan yang lebih baik
diantara sensor yang lain saat tegangan referensi mundur. Hal tersebut dapat
dilihat pada nilai selisih antara tegangan referensi dan tegangan sensor.
4.4.2

On-Off Kontroler
Percobaan ini dilakukan dengan mengamati dan mengukur tegangan pada

saat kontroler mengalami masa peralihan tanggapan atau transisi dari onoff dan
dari offon. Atau dengan kata lain percobaan ini digunakan untuk mengamati
penyimpangan tegangan output dari tegangan referensi.
Secara teori, on-off kontroler mengubah tanggapan suatu sistem tepat pada
saat tegangan output sama dengan tegangan referensi. Misalnya saja dalam
percobaan ini, pertama kontroler dalam posisi on untuk menyalakan pemanas.
Kemudian jika suhu/tegangan pemanas telah sama dengan tegangan referensi,
maka kontroler akan mengubah tanggapan menjadi off sehingga pemanas akan
mati. Saat tegangan mulai turun dan kemudian tepat sama dengan tegangan
referensi, maka kontroler akan mengubah lagi menjadi posisi on dan seterusnya.
Proses tersebut dapat digambarkan dengan tabel dan grafik berikut.
Tabel 4.11 Percobaan On-Off kontroller

Vref (V)

Transisi ON
OFF
Transisi OFF
4,88
4,59
5
4,79
3,65
4,88
4,59
4,43
3,3
4,96
4,4
3,23
4,43
3,3
Rata rata nilai tegangan transisi On Off untuk V Ref 5 V :

Rata rata nilai tegangan transisi Off On untuk V Ref 5 V :

ON

Rata rata nilai tegangan transisi On Off untuk V Ref 4,96 V :

Rata rata nilai tegangan transisi Off On untuk V Ref 4,96 V :

V Ref (V)
4,88
4,59

Gambar 4.39 Grafik On-Off Kontroler referensi 5 V Pertama

V Ref (V)
4,79
3,65

Gambar 4.40 Grafik On-Off Kontroler referensi 5 V Kedua

V Ref (V)
4,88
4,59

Gambar 4.41 Grafik On-Off Kontroler referensi 5 V Ketiga

V Ref (V)
4,43
3,3

Gambar 4.42 Grafik On-Off Kontroler referensi 4,96 V Pertama

V Ref (V)
4,4
3,23

Gambar 4.43 Grafik On-Off Kontroler referensi 4,96 V Kedua

V Ref (V)
4,43
3,3

Gambar 4.44 Grafik On-Off Kontroler referensi 4,96 V Ketiga

Dari tabel 4.11 dapat dilihat bahwa untuk tegangan referensi 5 V pada baris
pertama, mula-mula kontroller dalam posisi on untuk menyalakan pemanas
hingga tegangan referensi yang ditentukan. Kemudian pada saat tegangan
mencapai nilai rata-rata 4,88 V, controller akan mati (Off) karena telah melampaui
batas tegangan referensi sehingga suhunya akan menjadi turun. Pada saat
suhu/tegangan pemanas telah jauh di bawah tegangan referensi nilai rata-rata
tegangan 4,59 V maka kontroller akan kembali menyala (On), begitu seterusnya
sehingga diperoleh grafik seperti gambar 4.39. Dari gambar 4.39 juga didapatkan
celah antara tegangan referensi adalah 0,52 V.
Dan pada tegangan referensi 5 V baris kedua, mula-mula kontroller dalam
posisi on untuk menyalakan pemanas hingga tegangan referensi yang ditentukan.
Kemudian pada saat tegangan mencapai nilai rata-rata 4,79 V, controller akan mati
(Off) karena telah melampaui batas tegangan referensi sehingga suhunya akan
turun. Pada saat suhu/tegangan pemanas telah jauh di bawah tegangan referensi
nilai rata-rata tegangan 3,65 V maka kontroller akan kembali menyala (On),
begitu seterusnya sehingga diperoleh grafik seperti gambar 4.40 dan 4.41. Dari
gambar 4.40 dan 4.41 juga didapatkan celah antara tegangan referensi adalah 0,48
V.
Sedangkan untuk tegangan referensi 4,96 V pertama, mula-mula kontroller
dalam posisi on untuk menyalakan pemanas hingga tegangan referensi yang
ditentukan. Kemudian pada saat tegangan mencapai nilai rata-rata 4,43 V,
controller akan mati (Off) karena telah melampaui

batas tegangan referensi

sehingga suhunya akan turun. Pada saat suhu/tegangan pemanas telah jauh di

bawah tegangan referensi nilai rata-rata tegangan 3,3 V maka kontroller akan
kembali menyala (On), begitu seterusnya sehingga diperoleh grafik seperti
gambar 4.42. Dari gambar 4.42 juga didapatkan celah antara tegangan referensi
adalah 0,48 V.
Kemudian ketika tegangan referensi 4,96 V kedua, mula-mula kontroller
dalam posisi on untuk menyalakan pemanas hingga tegangan referensi yang
ditentukan. Kemudian pada saat tegangan mencapai nilai rata-rata 4,4 V,
controller akan mati (Off) karena telah melampaui batas tegangan referensi
sehingga suhunya akan turun. Pada saat suhu/tegangan pemanas telah jauh di
bawah tegangan referensi nilai rata-rata tegangan 3,23 V maka kontroller akan
kembali menyala (On), begitu seterusnya sehingga diperoleh grafik seperti
gambar 4.43 dan 4.44. Dari gambar 4.43 dan 4.44 juga didapatkan celah antara
tegangan referensi adalah 0,49 V.
Dari analisis di atas, dapat diketahui bahwa perbedaan celah tegangan
referensi untuk keduanya tidak berbeda jauh sehingga sensor dapat dikatakan
dalam keadaan baik. Perbedaan pengukuran disebabkan beberapa faktor, seperti
suhu ruangan tidak stabil dan ketidaktelitin dalam pengukuran.
Pada on-off kontroller, grafik keluaran yang ditunjukkan pada range antara
tegangan minimum dan tegangan maksimum semakin lama semakin mendekati
tegangan referensinya. Namun grafik keluaran tidak dapat stabil pada tegangan
referensinya. Dan apabila dibandingkan dengan proporsional kontroler, on-off
kontroler relatif lebih lambat mencapai tegangan referensi sehingga waktu
transient menjadi lebih lama.
4.4.3

Proporsional Kontroler
Pada dasarmya, kontroler proporsional merupakan penguat dengan

penguatan yang dapat diatur. Jadi percobaan ini dilakukan dengan memberikan
variasi penguatan pada sistem untuk melihat pengaruhnya pada sistem kontrol
suhu. Berikut adalah tabel dan grafik hasil percobaan.

Tabel 4. 12 Data Percobaan Proporsional Kontroler

V ref (V)
4,16

Gain (P6)
Maksimal
Medium
Minimal

Voutput (V)
2,78
3,98
4,05

Waktu (s)
13
31
31

V overshoot
1,38
0,08
0,11

0 . 408
04,16
. 400

Vref

4,05
0 . 250

t
5 min
31
detik18 dtk
Gambar 4.45 Grafik Proporsional Kontroler Gain Minimal pada V Ref 4,16V
V

Vref

4,16
3,98

t
31
detik
Gambar 4. 46 Grafik Proporsional Kontroler Gain Medium pada V Ref 4,16V

4.16
2,78

Vref

t
13 detik
Gambar 4. 47 Grafik Proporsional Kontroler Gain Maksimum pada V Ref 4,16V

Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa hasil keluaran dari


proporsional kontroler dengan gain minimal, medium dan maksimum tidak sesuai
dengan teori. Teori menyatakan semakin besar gain, semakin cepat respon dari
sistem. Pada penguatan maksimum, diperoleh waktu yang paling cepat
dibandingkan dengan penguatan minimum, apalagi penguatan medium, akan
tetapi pada penguatan medium waktu yang dihasilkan respon sistem lebih lambat
dibandingkan waktu yang dihasilkan sistem dengan gain minimum, hal ini
disebabkan karena sebelum melakukan percobaan ke gain medium pemanas
didinginkan dahulu, maka waktu yang dihasilkan menjadi lebih lama
dibandingkan sistem dengan gain minimum.
Dan apabila dibandingkan dengan on-off kontroler, proporsional kontroler
relatif lebih cepat mencapai tegangan referensi sehingga waktu transient menjadi
lebih cepat. Dari percobaan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam penggunaan
proporsional kontroler, semakin besar tegangan referensi yang diinginkan semakin
besar pula penguatan yang digunakan.

4.5 Penutup
4.5.1 Kesimpulan
1.

Dari ketiga sensor suhu yang dicobakan, sensor NTC memberikan


pembacaan suhu yang lebih baikdibanding dua sensor lainnya (NTC dan JTC) yang dicobakan dengan rata-rata 0,75 dan 0,74. Dan yang memberikan
pembacaan suhu paling buruk adalah sensor JTC dengan rata-rata 0,73.

2.

Pada on-off kontroller, tegangan keluaran yang ditunjukkan pada range


antara tegangan minimum dan tegangan maksimum semakin lama semakin
mendekati tegangan referensinya. Namun tegangan keluaran tidak dapat
stabil pada tegangan referensinya. Artinya, pada kontrol on-off hanya bisa
menstabilkan suhu disekitar suhu yang diharapkan, tidak bisa tepat pada
suhu yang dimaksud.

3.

Pada percobaan on-off kontroller celah differensial terbesar pada


percobaan 1 dengan Vref = 5.

4.

Pada percobaan on-off kontroller sistem yang dihasilkan lebih lamban


dibandingkan pada percobaan proporsional kontroller.

5.

Pada percobaan kontroller proporsional respon yang dihasilkan sistem


dengan waktu tercepat adalah jika penguatan maksimum dengan waktu yang
dihasilkan 13 detik.

6.

Pada percobaan proporsional kontroller waktu yang dihasilkan sistem


dengan gain minimum lebih cepat dari gain medium, hal ini dikarenakan
saat percobaan dengan gain medium pemanas didinginkan terlebih dahulu.

7.

Proporsional kontroler relatif lebih cepat mencapai tegangan referensi


sehingga waktu transient menjadi lebih cepat.

8.

Pengaruh gain dalam pengontrolan suhu dengan kontrol proporsional


adalah memperlambat pencapaian referensi, sehingga suhu yang diharapkan
dicapai lebih lambat.

9.

Pengaruh gain pada percobaan proporsional kontroller semakin besar


gain sistem semakin tidak stabil.

10.

Perbandingan antara kontrol suhu dengan on-off kontroler dan


proporsional kontroler terletak pada pencapaian kestabilan. Pada on-off
kontroler keluaran tidak bisa tepat dengan referensi, namun sistem yang
digunakan

jauh

lebih

sederhana.

Kontroler

proporsional

mampu

menghasilkan output sama seperti referensi yang diharapkan. Dalam


kontroler proporsional sinyal keluaran sebanding dengan sinyal masukan,
dengan konstanta kesebandingan Kp. Nilai keluaran selalu dibandingkan
dengan masukan sehingga error menjadi nol dan referensi sama dengan
keluaran.
4.5.2
1.

Saran
Untuk memperoleh karakteristik on-off yang lebih baik
dapat digunakan rangkaian integrator pada rangkaian histerisis, akan tetapi
harus dipikirkan kembali cara untuk penalaan range pengaturan.

2.

Sebaiknya kontroler on-off hanya digunakan pada plantplant yang bersifat lamban dan tidak membutuhkan presisi tinggi.

Anda mungkin juga menyukai