Anda di halaman 1dari 26

BAB II

STUDI LITERATUR

A. Pengertian Berpikir Kritis


Salah satu kecakapan hidup (life skill) yang perlu dikembangkan melalui
proses pendidikan adalah keterampilan berpikir (Depdiknas, 2003). Kemampuan
seseorang untuk dapat berhasil dalam kehidupannya antara lain ditentukan oleh
keterampilan berpikirnya, terutama dalam upaya memecahkan masalah-masalah
kehidupan yang dihadapinya. Keterampilan berpikir dapat dibedakan menjadi
berpikir kritis dan berpikir kreatif. Kedua jenis berpikir ini disebut juga sebagai
keterampilan berpikir tingkat tinggi (Liliasari, 2000).
Ennis (1985) memberikan definisi berpikir kritis adalah berpikir reflektif
yang berfokus pada pola pengambilan keputusan tentang apa yang harus diyakini
dan harus dilakukan. Berdasarkan definisi tersebut, maka kemampuan berpikir
kritis menurut Ennis terdiri atas dua belas komponen yaitu: (1) merumuskan
masalah; (2) menganalisis argumen; (3) menanyakan dan menjawab pertanyaan;
(4) menilai kredibilitas sumber informasi; (5) melakukan observasi dan menilai
laporan hasil observasi; (6) membuat deduksi dan menilai deduksi; (7) membuat
induksi dan menilai induksi; (8) mengevaluasi; (9) mendefinisikan dan menilai
definisi; (10) mengidentifikasi asumsi; (11) memutuskan dan melaksanakan;
(12) berinteraksi dengan orang lain.
Kusumah (2008) berpendapat bahwa kemampuan berpikir kritis, sebagai
bagian dari kemampuan berpikir matematis, amat penting, mengingat dalam

15

kemampuan ini terkandung kemampuan memberikan argumentasi, menggunakan


silogisme,

melakukan

inferensi,

melakukan

evaluasi,

dan

kemampuan

menciptakan sesuatu dalam bentuk produk atau pengetahuan baru yang memiliki
ciri orisinalitas. Kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan untuk menghadapi
berbagai

permasalahan

dalam

kehidupan.

Seseorang

dapat

mengatur,

menyesuaikan proses berpikirnya untuk dapat mengambil keputusan secara tepat.


Menurut Costa (Maulana, 2007) ciri-ciri seseorang yang mempunyai
kemampuan berpikir kritis antara lain: mampu mendeteksi perbedaan informasi;
mampu mengumpulkan data untuk pembuktian faktual; mampu mengidentifikasi
atribut-atribut benda (seperti sifat, wujud dan sebagainya); mampu mendaftar
alternatif pemecahan masalah, alternatif ide, alternatif situasi; mampu membuat
hubungan yang berurutan antara satu masalah dengan masalah lainnya; mampu
menarik kesimpulan dan generalisasi dari data yang berasal dari lapangan; mampu
membuat prediksi dari informasi yang tersedia; mampu mengklasifikasi informasi
dan ide; mampu menginterpretasi dan membuat flow chart; mampu menganalisis
isi, menganalisis prinsip, menganalisis hubungan; mampu membandingkan dan
mempertentangkan yang kontras, dan mampu membuat konklusi yang valid.
Mengingat pentingnya kemampuan berpikir kritis dalam matematika,
perlu upaya yang terencana untuk mengembangkan kemampuan itu melalui
pembelajaran matematika di sekolah. Kusumah (2008) menyatakan kemampuan
berpikir kritis, sistematis, logis, kreatif, dan produktif dapat dikembangkan
melalui pembelajaran matematika di sekolah, yang menitikberatkan pada sistem,

16

struktur, konsep, prinsip, serta kaitan yang ketat antara suatu unsur dan unsur
lainnya.
Pembelajaran matematika yang mengembangkan kemampuan berpikir
kritis, merupakan bagian dari kegiatan pembelajaran pemecahan masalah,
implikasinya guru perlu (Depdiknas, 2006): (1) menyediakan lingkungan belajar
matematika yang merangsang timbulnya persoalan matematika, (2) membantu
siswa memecahkan persoalan matematika menggunkan caranya sendiri, (3)
membantu siswa mengetahui informasi yang diperlukan untuk memecahkan
persoalan matematika, (4) mendorong siswa untuk berpikir logis, konsisten,
sistematis dan mengembangkan sistem dokumentasi/catatan, (5) mengembangkan
kemampuan dan keterampilan untuk memecahkan persoalan, (6) membantu siswa
mengetahui bagaimana dan kapan menggunakan berbagai alat peraga/media
pendidikan matematika seperti: jangka, penggaris, kalkulator, dsb.
Dalam usaha meningkatkan kemampuan berpikir kritis, maka harus
memperhatikan fase-fase kemampuan berpikir kritis (Fahinu, 2007). Fase-fase
kemampuan berpikir kritis menurut Ennis (1996), yaitu: (1) Elementary
clarification (klarifikasi tingkat rendah), yaitu memusatkan pencapaian klarifikasi
umum suatu masalah melalui analisis argumentasi, pertanyaan atau jawaban. (2)
Basic support (pendukung dasar), yaitu memutuskan sumber yang kredibel,
membuat dan memutuskan hasil pengamatan sendiri; melibatkan informasi yang
berbeda, kesimpulan yang diterima, dan latar belakang pengetahuan. (3) Inference
(kesimpulan), yaitu membuat dan memutuskan kesimpulan secara induktif dan
deduktif. (4) Advence clarification (klarifikasi tingkat tinggi), yaitu membentuk

17

dan mendefinisikan terminologi, memutuskan dan mengevaluasi definisi,


menentukan konteks definisi berdasarkan alasan yang tepat. (5) Strategi dan
tactics (strategi dan cara-cara), yaitu berinteraksi dengan orang lain untuk
memutuskan

tindakan

yang

sesuai;

mendefinisikan

masalah,

menaksir

kemungkinan solusi dan mengkontruksi alternatif solusi; monitoring keseluruhan


proses pengambilan keputusan.

B. Indikator Kemampuan Berpikir Kritis


Menurut Ennis (1985) indikator kemampuan berpikir kritis dibagi
menjadi 5 kelompok yaitu: (1) memberikan penjelasan sederhana (elementary
clarification), (2) membangun keterampilan dasar (basic support), (3) membuat
kesimpulan (inferring), (4) membuat penjelasan lebih lanjut (advanced
clarification), (5) mengatur strategi dan taktik (strategies and tactics). Kelima
indikator tersebut diuraikan lebih lanjut dalam tabel (Mulyati, 2007) sebagai
berikut :
Tabel. 2.1 Indikator Kemampuan Berpikir Kritis.
Kemampuan
Berpikir
Kritis

Sub Kemampuan
Berpikir kritis

1.Memberikan 1. Memfokuskan
penjelasan
pertanyaan
sederhana
2. Menganalisis
argumen

Penjelasan

a. Mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaan


b.Mengidentifikasi kriteria-kriteria untuk
mempertimbangkan jawaban yang mungkin
c. Menjaga kondisi pikiran
a. Mengidentifikasi kesimpulan
b.Mengidentifikasi alasan yang dinyatakan
(eksplisit)
c.Mengidentifikasi alasan yang tidak dinyatakan
(inplisit)
d.Mengidentifikasi ketidakrelevanan dan
kerelevanan
e.Mencari persamaan dan perbedaan
f. Mencari struktur dari
suatu argumen

18

3. Bertanya dan
menjawab pertanyaan
yang membutuhkan
penjelasan

2.Membangun 4. Mempertimbangkan
keterampilan
kredibilitas (kriteria
dasar
suatu sumber)

5. Mengobservasi dan
mempertimbangkan
hasil observasi

3.Membuat
kesimpulan

4. Membuat
penjelasan
lebih lanjut

5. Mengatur
strategi dan
taktik

6. Melakukan dan
mempertimbangkan
deduksi
7. Melakukan dan
mempertimbangkan
induksi
8. Membuat dan
mempertimbangkan
nilai keputusan

9. Mendefinisikan
istilah dan
mempertimbangkan
nilai keputusan

10.Mengidentifikasi
istilah dan
mempertimbangkan
definisi
11.Memutuskan suatu
tindakan

12.Berinteraksi dengan
orang lain

g. Merangkum
a. Mengapa
b. Apa intinya, apa artinya
c. Apa contohnya, apa yang bukan contoh
d. Bagaimana menerapkannya dalam kasus tersebut
e .Perbedaan apa yang membedakannya
f. Akankah anda menyatakan lebih dari itu
a. Ahli
b. Tidak adanya konflik interest
c. Kesepakatan antar sumber
d. Reputasi
e. Menggunakan prosedur yang ada
f. Mengetahui resiko
g. Kemampuan memberi alasan
h. Kebiasaan hati-hati
a. Ikut terlibat dalam menyimpulkan
b. Dilaporkan oleh pengamat sendiri
c. Mencatat hal-hal yang diinginkan
d. Penguatan dan kemungkinan penguatan
e. Kondisi akses yang baik
f. Penggunaan teknologi kompeten
g.Kepuasan observer atas kredibilitas kriteria
a. Kelompok yang logis
b. Kondisi yang logis
c. Interpretasi pernyataan
a. Membuat generalisasi
b. Membuat kesimpulan dan hipotesis
a. Latar belakang fakta
b. Konsekuensi
c. Penerapan prinsip-prinsip
d. Memikirkan alternatif
e. Menyeimbangkan, memutuskan
Ada tiga dimensi:
a. Bentuk: sinonim, klasifikasi, rentang, ekspresi
yang sama, operasional, contoh dan non contoh
b. Strategi definisi (tindakan mengidentifikasi
persamaan)
c. Konten (isi)
a. Penalaran secara implisit
b. Asumsi yang diperlukan, rekonstruksi argumen

a. Mendefinisikan masalah
b. Menyeleasaikan kriteria untuk membuat solusi
c. Merumuskan alternatif yang memungkinkan
d. Memutuskan hal-hal yang akan dilakukan secara
tentatif
f. Mereview
g. Memonitor implementasi

19

Dari kelima indikator yang diungkapkan oleh Ennis, untuk kepentingan


penelitian, penulis hanya menggunakan tiga indikator, yaitu: (1) memberikan
penjelasan sederhana (elementary clarification) dengan memfokuskan pertanyaan,
menganalisis argument, serta bertanya dan menjawab pertanyaan yang
membutuhkan penjelasan; (2) Membangun keterampilan dasar (basic support),
dengan mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi; (3) Membuat
kesimpulan (inferring).

C. Pendekatan Metakognitif
Metakognisi merupakan suatu istilah yang berawal dari penelitian bidang
psikologi yang diperkenalkan oleh Flavell pada tahun 1976 dan menimbulkan
banyak perdebatan pada pendefinisiannya (Mulbar, 2007). Namun demikian,
pengertian metakognisi yang dikemukakan oleh para peneliti bidang psikologi,
pada umumnya memberikan penekanan pada kesadaran berpikir seseorang
tentang proses berpikirnya sendiri. Wellman (1985) dalam Mulbar (2007)
menyatakan bahwa: Metakognisi sebagai suatu bentuk kognisi, atau proses
berpikir dua tingkat atau lebih yang melibatkan pengendalian terhadap aktivitas
kognitif. Karena itu, metakognisi dapat dikatakan sebagai berpikir seseorang
tentang berpikirnya sendiri atau kognisi seseorang tentang kognisinya sendiri.
Selain itu, metakognisi melibatkan pengetahuan dan kesadaran seseorang tentang
aktivitas kognitifnya sendiri atau segala sesuatu yang berhubungan dengan
aktivitas kognitifnya.

20

Pengertian metakognisi yang dikemukakan oleh para pakar di atas pada


hakekatnya memberikan penekanan pada kesadaran berpikir seseorang tentang
proses berpikirnya sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan kesadaran berpikir
seseorang adalah kesadaran seseorang tentang apa yang diketahui dan apa yang
akan dilakukan. Metakognisi dibagi menjadi dua komponen, yaitu: pengetahuan
metakognitif dan keterampilan metakognitif. Pengetahuan metakognitif berkaitan
dengan pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan
kondisional.

Keterampilan

metakognitif

berkaitan

dengan

keterampilan

perencanaan, keterampilan prediksi, keterampilan monitoring, dan keterampilan


evaluasi.
Menurut Suherman dkk (2001), metakognitif ialah suatu bentuk
kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dilakukan dapat
terkontrol secara optimal. Metakognitif merupakan kata sifat dari metakognisi,
Istilah tersebut berkaitan dengan

apa yang diketahui oleh seseorang tentang

dirinya sebagai individu yang belajar dan bagaimana

mengontrol serta

menyesuaikan prilakunya. Siswa perlu menyadari akan kelebihan dan kekurangan


yang dimilikinya. Metakognisi adalah suatu bentuk kemampuan untuk melihat
pada diri sendiri sehingga apa yang dilakukan dapat terkontrol secara optimal.
Dengan kemampuan seperti ini seseorang dimungkinkan memiliki kemampuan
tinggi dalam pemecahan masalah, karena dalam setiap langkah yang dikerjakan
senantiasa muncul pertanyaan: Apa yang saya kerjakan?, Mengapa saya
mengerjakan ini?, Hal apa yang bisa membantu saya dalam menyelesaikan

21

masalah ini? Menurut Hetler, Child, dan Walberge (Nindiasari, 2004), kegiatan
metakognitif dibagi dalam tiga kelompok yaitu:
1. Kesadaran (kemampuan seseorang untuk mengenali informasi baik
eksplisit maupun implisit);
2. Pengaturan (bertanya pada diri sendiri dan menjelaskan dengan kata-kata
sendiri untuk menstimulasi pemahaman);
3. Regulasi (membandingkan dan membedakan jawaban yang lebih masuk
akal dalam memecahkan masalah);
Guru dalam pembelajaran dengan pendekatan metakognitif di dalam
kelas harus berusaha mengajari siswa untuk merencanakan, memantau, dan
merevisi pekerjaan mereka sendiri termasuk tidak hanya membuat siswa sadar
tentang apa yang mereka tahu tapi juga apa yang bisa mereka lakukan ketika
mereka gagal untuk memahami. Dengan demikian guru harus terfokus dalam
mengembangkan kemampuan siswa untuk memecahkan soal serta rasa percaya
diri siswa di dalam kemampuan memecahkan soal (Nindiasari, 2004).
Pembelajaran dengan pendekatan metakognitif ini penting untuk
mengembangkan kemampuan siswa dalam mempelajari strategi kognitif seperti
bertanya pada diri sendiri, memperluas aplikasi-aplikasi strategi tersebut dan
mendapatkan pengendalian kesadaran atas diri mereka. Pengertian strategi
kognitif (Nindiasari, 2004) adalah, Penggunaan keterampilan-keterampilan
intelektual secara tepat oleh seseorang dalam mengorganisasi aturan-aturan ketika
menanggapi dan menyelesaikan soal, sedangkan strategi kognitif metakognitif
adalah mengontrol seluruh aktivitas belajarnya, bila perlu memodifikasi strategi

22

yang biasa digunakan untuk mencapai tujuan. Bila diterapkan dalam belajar, anak
bertanya pada dirinya sendiri untuk menguji pemahamannya tentang materi yang
dipelajari.
Kesadaran metakognitif mempengaruhi siswa untuk mempelajari
bagaimana, kapan, dan mengapa ia menggunakan strategi kognitif. Pembelajaran
dengan pendekatan metakognitif ini mengarahkan perhatian siswa pada sesuatu
yang relevan dan membimbing mereka untuk memilih strategi yang cocok untuk
menyelesaikan soal-soal. Menurut Mayer (Nindiasari, 2004) pendekatan
metakognitif dalam menyelesaikan soal matematika dapat diupayakan dengan
empat proses yaitu translation (terjemahan), integration (integrasi), planning and
monitoring (perencanaan dan pencatatan), solution execution (kegiatan menjawab
soal).
Menurut Suherman dkk (2001), pembelajaran dengan pendekatan
metakognitif dapat diupayakan melalui cara dimana anak dituntut untuk
mengobservasi tentang apa yang mereka ketahui dan kerjakan, dan untuk
mereflefsikan tentang apa yang dia observasi. Beberapa hal yang dapat dilakukan
guru untuk menolong anak mengembangkan kesadaran metakognisinya antara
lain melalui kegiatan-kegiatan berikut ini:
1. Ajukan pertanyaan yang berfokus pada apa dan mengapa seperti apa yang
kamu lakukan saat mengerjakan soal ini?, Kesalahan apa yang sering
kamu lakukan dalam mengerjakan soal seperti ini?, Mengapa?, Apa
yang kamu lakukan jika kamu menghadapi jalan buntu dalam
menyelesaikan suatu masalah?, Apakah cara ini dapat membantu

23

kamu?, Mengapa kamu harus memeriksa kembali pekerjaan yang sudah


selesai?, Pemecahan masalah apa yang menurut kamu paling
mudah/sukar?, Mengapa?.
2. Kembangkan

berbagai

aspek

pemecahan

masalah

yang

dapat

meningkatkan prestasi anak, seperti: suatu masalah dapat diselesaikan


dalam beberapa alternatif penyelesaian, masalah tertentu memerlukan
waktu lama untuk diselesaikan, dan tidak selamanya masalah itu memuat
informasi yang lengkap.
3. Dalam proses pemecahan suatu masalah, anak harus secara nyata
melakukannya secara mandiri atau berkelompok sehingga mereka
merasakan langsung liku-liku proses untuk menuju pada suatu
penyelesaian.
Sedangkan menurut Elawar (Nindiasari, 2004), pembelajaran dengan
pendekatan metakognitif dapat diupayakan melalui tiga tahap yaitu:
1. Diskusi Awal
Guru memberikan contoh pada siswa, bagaimana menyelesaikan soal di papan
tulis dengan menggunakan model Mayer. Siswa dibimbing untuk bertanya pada
diri sendiri dalam menyelesaikan soal tersebut.
contohnya:
a.

Apakah saya memahami semua kata dalam soal ini?

b.

Apakah saya mempunyai semua informasi untuk menyelesaikannya?

c.

Apakah saya mengetahui bagaimana saya harus mengatur informasi ini?

d.

Apakah saya tahu bagaimana menghitung penyelesaiannya?

24

(waktu 15 menit)
2. Kemandirian
Siswa bekerja sendiri dan guru berkeliling kelas, memberikan pengaruh timbal
balik (feedback) secara individual.
(waktu 20 menit)
3. Penyimpulan
Penyimpulan yang dilakukan oleh siswa merupakan rekapitulasi dari apa yang
telah dilakukan di kelas. Contoh pertanyaan yang ditanyakan oleh guru:
a.

Apa yang kamu pelajari hari ini?

b.

Apa yang kamu pelajari tentang diri kamu sendiri dalam menyelesaikan
soal matematika?

(waktu 15 menit)
Menurut Kramarski dan Mevarech (Nindiasari, 2004) pembelajaran
dengan pendekatan metakognitif dapat dilakukan dengan metode improve yang
didasarkan pada kesadaran bertanya pada diri sendiri, melalui penggunaan
pertanyaan

metakognitif yang dipokuskan pada:

(1) pemahaman masalah

(contoh: apa masalah di atas?); (2) mengembangkan hubungan antara pengetahuan


yang lalu dan sekarang (contoh: apakah persamaan/perbedaan antara masalah
yang sekarang dengan masalah yang telah kamu selesaikan? Mengapa?)
(3) menggunakan strategi penyelesaikan permasalahan yang tepat (contoh: apa
strategi/taktik/prinsip yang tepat untuk menyelesaikan masalah itu, dan mengapa?)
(4) merefleksikan proses dan solusi (contoh: apa kesalahan yang telah saya
lakukan? Apakah solusi tersebut masuk akal?).

25

D. Hubungan antara Pendekatan Metakognitif dan Kemampuan Berpikir


Kritis

Ketika siswa mampu merancang, memantau, dan merefleksikan proses


belajar mereka secara sadar, pada hakekatnya, mereka sedang membangun
keterampilan dasar dengan mengobservasi dan mempertimbangkan hasil
observasi, mempertimbangkan kredibilitas suatu sumber, mengatur strategi dan
taktik, membuat penjelasan lebih lanjut dan pada akhirnya membuat kesimpulan.
Sebagai contoh, ketika siswa dihadapkan pada sebuah soal matematika yang
belum mereka kenal sebelumnya dan belum mereka ketahui cara penyelesaiannya.
Apa yang harus dilakukan siswa ketika mereka akan menghadapi soal seperti itu?
Pendekatan metakognitif menekankan kepada kesadaran siswa dalam menentukan
strategi yang akan digunakan dan merefleksi diri dari setiap tindakan yang telah
dilakukan. Dengan mengatur strategi dan taktik, mengumpulkan berbagai sumber
yang kredibel, mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi, membuat
kesimpulan dan membuat penjelasan lebih lanjut. Indikator kemampuan seperti itu
adalah indikator dari kemampuan berpikir kritis. Menurut Ennis (1996) indikator
kemampuan berpikir kritis adalah: (1) memberikan penjelasan sederhana, (2)
membangun keterampilan dasar, (3) membuat kesimpulan, (4) membuat
penjelasan lebih lanjut, (5) mengatur strategi dan taktik.
Metakognitif diartikan sebagai suatu aspek dari berpikir kritis yang
mencakup kemampuan siswa untuk mengembangkan sebuah cara yang sistematik
selama

memecahkan

masalah

dan

membayangkan

serta

mengevaluasi

produktivitas dari proses berpikir (Nindiasari, 2004). Kemampuan metakognitif

26

merupakan bagian dari kemampuan berpikir kritis, meningkatnya kemampuan


metakognitif berarti meningkatnya kemampuan berpikir kritis.

E. Teori Van Hiele


Dua tokoh pendidikan matematika dari Belanda, yaitu Pierre Van Hiele
dan isterinya, Dian Van Hiele-Geldof, pada tahun 1957 mengajukan suatu teori
mengenai proses perkembangan yang dialami para siswa dalam mempelajari
matematika khususnya geometri. Dalam teori yang mereka kemukakan, mereka
berpendapat bahwa dalam mempelajari geometri para siswa mengalami
perkembangan kemampuan berpikir dengan melalui tahap-tahap sebagai berikut
(Suherman dkk, 2001):
1. Tahap Visualisasi
Tahap ini disebut juga tahap pengenalan. Pada tahap ini, siswa memandang
sesuatu bangun geometri sebagai suatu keseluruhan. Pada tahap ini siswa
belum memperhatikan komponen-komponen dari masing-masing bangun.
Dengan demikian meskipun pada tahap ini siswa sudah mengenal nama
sesuatu bangun, siswa belum mengamati ciri-ciri bangun dari bangun itu.
Sebagai contoh, pada tahap ini siswa tahu bahwa suatu bangun bernama
persegipanjang, tetapi ia belum menyadari ciri-ciri dari bangun yang bernama
persegipanjang tersebut. Pengenalan bentuk geometri merujuk kepada bentuk
prototif seperti bentuk pintu, bola dan tanda-tanda. Saran pembelajaran untuk
tahap pengenalan (math.youngzones.org) adalah: pemisahan terhadap bentukbentuk contoh dan non contoh, mencari bentuk yang tersembunyi, menyusun
kedalam bentuk yang lain dan tangrams.

27

Sumber gambar: wikimedia.org

Gambar 2.1
Tangrams

2. Tahap Analisis
Pada tahap ini siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri
berdasarkan sifat-sifat dari masing-masing bangun tersebut dan siswa sudah
mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri. Dengan
kata lain, pada tingkat ini siswa sudah bisa menganalisis bagian-bagian yang
ada pada suatu bangun dan mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh bangun
tersebut. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa
suatu bangun merupakan persegipanjang. Ia telah mengetahui bahwa terdapat
dua pasang sisi yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling sejajar.
Dalam tahap ini anak belum mampu mengetahui hubungan yang terkait
antara suatu benda geometri dengan benda geometri lainnya. Misalnya, siswa

28

belum mampu mengetahui bahwa bujursangkar adalah persegipanjang, bahwa


bujursangkar adalah belah ketupat dan sebagainya. Saran pembelajaran untuk
tahap analisis (math.youngzones.org) adalah: mengidentifikasi sifat-sifat
bentuk geometri dengan cara melipat, mengukur dan mencari kesimetrian;
membuat titi-titik lipatan, memotong dan meramalkan bentuknya; meyortir
dan menggambar; geoboard.

Squares

Not squares

Sumber gambar: math.youngzones.org

Gambar 2.2
Menyortir Bentuk Geometri

3. Tahap Pengurutan (Deduksi Informal)


Pada tahap ini, siswa sudah bisa memahami hubungan antara ciri yang
satu dengan ciri yang lain pada suatu bangun. Pada tahap ini anak sudah mulai
mampu melaksanakan penarikan kesimpulan, yang kita kenal dengan sebutan
berpikir deduktif. Namun kemampuan ini belum berkembang secara penuh.
Anak pada tahap ini sudah mulai mampu mengurutkan. Misalnya ia sudah
mengenali bahwa bujursangkar adalah jajargenjang , bahwa belah ketupat
adalah layang-layang. Pola pikir anak pada tahap ini masih belum mampu
menerangkan mengapa diagonal suatu persegipanjang itu sama panjang. Anak

29

mungkin belum memahami bahwa belah ketupat dapat dibentuk dari dua
segitiga yang kongruen. Saran pembelajaran untuk tahap pengurutan
(math.youngzones.org)

adalah:

menyatakan

hubungan

secara

lisan,

memberikan tugas-tugas open-ended.

Logically Ordered Relationships


Sumber gambar: math.youngzones.org

Gambar 2.3
Menyatakan Hubungan

4. Tahap Deduksi
Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif,
yakni penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal
yang bersifat khusus. Demikian pula ia telah mengerti betapa pentingnya
peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, disamping unsur-unsur yang
didefinisikan. Misalnya anak sudah mulai memahami dalil. Selain itu, pada
tahap ini anak sudah mulai mampu menggunakan aksioma atau postulat yang
digunakan dalam pembuktian.

30

Postulat pada pembuktian segitiga yang sama dan sebangun, seperti


postulat:

sudut-sudut-sudut,

sisi-sisi-sisi,

atau

sisi-sudut-sisi,

dapat

dipahaminya namun belum mengerti mengapa postulat tersebut benar dan


mengapa dapat dijadikan sebagai postulat dalam cara-cara pembuktian dua
segitiga yang sama dan sebangun (kongruen). Saran pembelajaran untuk tahap
deduksi (math.youngzones.org) adalah: menggambar dan mengkonstruksi
bentuk geometri dan menyusun bukti.

5. Tahap Akurasi
Dalam tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa pentingnya
ketepatan dari prisip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian.
Misalnya, ia mengetahui pentingnya aksioma-aksioma atau postulat-postulat
dari geometri Euclid. Tahap akuasi merupakan tahap berpikir yang tinggi,
rumit dan kompleks. Oleh karena itu tidak mengherankan jika tidak semua
anak, meskipun sudah duduk di bangku sekolah lanjutan atas, masih belum
sampai pada tahap berpikir ini. Saran pembelajaran untuk tahap akurasi
(math.youngzones.org) adalah: membentuk bukti formal, membandingkan
sistem geometri Euclid dan non Euclid.
Menurut Van Hiele, semua anak mempelajari geometri melalui tahaptahap tersebut, dengan urutan yang sama, dan tidak dimungkinkan adanya tahap
yang diloncati. Akan tetapi, kapan seseorang siswa mulai memasuki sesuatu tahap
yang baru tidak selalu sama antara siswa yang satu dengan siswa yang lain.

31

Hubungan antara kelima tahap kemampuan berpikir siswa dalam


geometri menurut teori Van Hiele dapat penulis gambarkan dengan Diagram
Venn sebagai berikut:

Tahap V
Tahap IV
Tahap III
Tahap II
Tahap I

Gambar 2.4
Hubungan antara Tahap-tahap Kemampuan Berpikir Van Hiele
Penjelasan dari Gambar 2.4 adalah jika kemampuan berpikir siswa
berada pada tahap V (tahap Akurasi), tahap tertinggi kemampuan berpikir
menurut Van Hiele, maka termasuk di dalamnya menguasai tahap IV (tahap
Deduksi), III (tahap Pengurutan), II (tahap Analisis) dan I (tahap Pengenalan).
Jika kemampuan berpikir siswa berada pada tahap IV (tahap Deduksi), maka
termasuk di dalamnya menguasai tahap III (tahap Pengurutan), II (tahap Analisis)
dan I (tahap Pengenalan). Jika kemampuan berpikir siswa berada pada tahap III
(tahap Pengurutan), maka termasuk di dalamnya menguasai tahap II (tahap
Analisis) dan I (tahap Pengenalan). Jika kemampuan berpikir siswa berada pada
tahap II (tahap Analisis), maka termasuk di dalamnya menguasai tahap I (tahap
Pengenalan).

32

F. Hubungan antara Teori Van Hiele dan Kemampuan Berpikir Kritis


Ciri-ciri seorang anak mencapai tahap pengenalan dari teori Van Hiele
(Ruseffendi, 1991) antara lain, siswa sudah mengenal bentuk-bentuk geometri,
seperti: segitiga, kubus, bola, lingkaran, dan lain-lain. Kegiatan pembelajaran
untuk menilai kemampuan siswa pada tahap ini adalah dengan kegiatan
memisahkan bentuk-bentuk geometri (Purniati, 2004). Kegiatan ini untuk menilai
apakah siswa tersebut memisahkan berdasarkan kemiripan, atau berpikir
berdasarkan sifat-sifat yang dimilikinya. Hal ini sejalan dengan ciri-ciri seorang
anak yang mempunyai kemampuan berpikir kritis, menurut Costa (Maulana 2007)
antara lain: mampu mendeteksi perbedaan informasi, mampu mengidentifikasi
atribut-atribut benda (seperti sifat, wujud dan sebagainya).
Tahap kedua dari perkembangan mental menurut Van Hiele adalah tahap
analisis. Pada tahap ini, siswa sudah dapat memahami sifat-sifat konsep atau
bentuk geometri (Ruseffendi, 1991). Kegiatan pembelajaran untuk menilai
kemampuan siswa pada tahap ini adalah dengan mendaftar sifat-sifat (Purniati,
2004), kegiatan ini untuk menilai kemampuan siswa dalam menggolongkan
kelompok bentuk-bentuk dalam hal sifat-sifat, dan juga pertanyaan panduan,
untuk melatih siswa dalam daerah ini. Hal ini sejalan dengan ciri-ciri seorang anak
yang mempunyai kemampuan berpikir kritis, menurut Costa (Maulana 2007)
antara lain: mampu mendeteksi perbedaan informasi; mampu mengumpulkan data
untuk pembuktian faktual; mampu mengidentifikasi atribut-atribut benda (seperti
sifat, wujud dan sebagainya).

33

Tahap ketiga adalah tahap pengurutan, pada tahap ini siswa sudah
mengenal bentuk-bentuk geometri dan memahami sifat-sifatnya juga ia sudah bisa
mengurutkan bentuk-bentuk geometri yang satu sama lain berhubungan. Kegiatan
pembelajaran untuk menilai kemampuan siswa pada tahap ini adalah dengan
menghubungkan antar bentuk geometri (Purniati, 2004), kegiatan ini untuk
menilai kemampuan siswa dalam mengidentifikasi dan menjelaskan hubungan
antar bentuk, sebagai contoh semua persegipanjang adalah jajargenjang. Hal ini
sejalan dengan ciri-ciri seorang anak yang mempunyai kemampuan berpikir kritis,
menurut Costa (Maulana 2007) antara lain: mampu membuat hubungan yang
berurutan antara satu masalah dengan masalah lainnya; Mampu menarik
kesimpulan dan generalisasi dari data yang berasal dari lapangan; mampu
mengklasifikasi informasi dan ide; mampu menganalisis hubungan; Mampu
membandingkan dan mempertentangkan.
Tahap ke-empat adalah tahap deduksi, pada tahap ini berpikir deduktif
siswa sudah mulai tumbuh tetapi belum berkembang dengan baik, siswa sudah
dapat memahami pentingnya unsur-unsur yang tidak didefinisikan, unsur-unsur
yang didefinisikan, aksioma atau postulat, dan dalil. Hal ini sejalan dengan ciriciri seorang anak yang mempunyai kemampuan berpikir kritis,

antara lain:

mampu mengumpulkan data untuk pembuktian faktual; mampu mendaftar


alternatif pemecahan masalah, alternatif ide, alternatif situasi; mampu menarik
kesimpulan mampu menganalisis isi, menganalisis prinsip, menganalisis
hubungan; dan mampu membuat konklusi yang valid.

34

Tahap kelima adalah tahap keakuratan, pada tahap ini siswa sudah dapat
memahami bahwa adanya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi
suatu pembuktian. Pada tahap ini sejalan dengan ciri-ciri seorang anak yang
mempunyai kemampuan berpikir kritis, antara lain: mampu menganalisis isi,
menganalisis prinsip, menganalisis hubungan; mampu membandingkan dan
mempertentangkan yang kontras, dan mampu membuat konklusi yang valid.

G. Hubungan antara Metakognitif dan Teori Van Hiele


Pengertian metakognisi pada hakekatnya memberikan penekanan pada
kesadaran berpikir seseorang tentang proses berpikirnya sendiri. Sedangkan yang
dimaksud dengan kesadaran berpikir seseorang

adalah kesadaran seseorang

tentang apa yang diketahui dan apa yang akan dilakukan. Sejalan dengan itu
Wilen & Phillips (1995) menyatakan bahwa metakognisi adalah kesadaran tentang
proses berpikir dan kemampuan mengontrol proses tersebut melalui perencanaan,
pemilihan strategi dan monitoring. Ketika seseorang dihadapkan pada suatu
permasalahan, pendekatan metakognitif menekankan untuk menyadari informasi
apa yang diketahui dari permasalahan tersebut kemudian menentukan strategi apa
yang akan dilakukan. Langkah-langkah tersebut sejalan dengan tahap-tahap
kemampuan berpikir menurut Van Hiele. Menurutnya semua anak mempelajari
geometri melalui tahap-tahap visualization, analysis, informal deduction,
formal deduction, dan rigor.(Crowley, 1985), dengan urutan yang sama, dan
tidak dimungkinkan adanya tahap yang diloncati. Tetapi, kapan seseorang siswa

35

mulai memasuki sesuatu tahap yang baru tidak selalu sama antara siswa yang satu
dengan siswa yang lain.
Ada kesamaan antara metakognitif dengan tahap-tahap kemampuan
berpikir menurut Van Hiele, yaitu kedua-duanya menekankan kepada kesadaran
tentang apa yang telah diketahui untuk mencapai tujuan pada tahap berikutnya.
Van Hiele sangat menekankan untuk melalui tahap-tahap tersebut secara
berurutan dan tidak ada yang diloncati.
Secara garis besar penulis gambarkan hubungan antara kemampuan
berpikir kritis, metakognitif dan kemampuan berpikir menurut Van Hiele seperti
pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5
Hubungan antara Berpikir Kritis, Metakognitif dan Teori Van Hiele
BERPIKIR KRITIS

METAKOGNITIF

VAN HIELE

Dari Gambar 2.5 di atas, jika kemampuan metakognitif seseorang tinggi,


maka kemampuan berpikir kritisnya juga tinggi. Jika kematangan berpikir
seseorang menurut Van Hiele pada level yang tinggi, maka kemampuan berpikir
kritisnya juga tinggi. Antara metakognitif dan teori Van Hiele mempunyai
kesamaan, yaitu kesamaan dalam hal pola pikir. Pada teori Van Hiele, seorang

36

siswa harus melalui tahap-tahap kematangan berpikir secara berurutan dan tidak
ada yang diloncati, berarti untuk mencapai level yang lebih tinggi seorang siswa
harus menguasai level sebelumnya. Dalam metakognitif level yang lebih tinggi
adalah kesadaran tentang apa yang akan dilakukan dan level sebelumnya adalah
kesadaran tentang apa yang diketahui.

H. Pendekatan Metakognitif dalam Mengajarkan Kemampuan Berpikir


Kritis
Menurut Wilen & Phillips (1995), metakognisi merujuk kepada apa yang
diketahui tentang proses berpikirnya (kesadaran tentang proses berpikir) dan
kemampuan untuk mengontrol proses tersebut melalui perencanaan, pemilihan
strategi dan monitoring. Pada dasarnya ada dua komponen dalam proses
metakognitif yaitu awareness (kesadaran) dan

action (tindakan). Kesadaran

(awareness) meliputi: kesadaran akan tujuan, kesadaran tentang apa yang


diketahui, kesadaran tentang apa yang perlu diketahui, kesadaran tentang apa yang
dibutuhkan. Tindakan (action) meliputi: tindakan perencanaan, tindakan
pengecekan, tindakan evaluasi, tindakan revisi dan tindakan remedial.
Pendekatan metakognitif dalam mengajarkan kemampuan berpikir kritis
(Wilen & Phillips, 1995) adalah melalui tahapan-tahapan: (1) ekplanation by the
teacher (penjelasan oleh guru) yang meliputi: memperkenalkan kemampuan
berpikir kritis, menunjukkan contoh dan non contoh, menggunakan latihan untuk
mempraktekkan kemampuan berpikir kritis. (2)

modeling by the teacher

(pemodelan oleh guru) yang meliputi: berpikir keras yang diperankan oleh

37

guru/ahli tentang: mengidentifikasi masalah dan penggunaan strategi, interpretasi


siswa tentang proses pemodelan, menunjukkan isyarat kekurangan dan perbaikan
dalam pemahaman. (3) modeling by the learner (pemodelan oleh siswa) yang
meliputi: berpikir keras yang diperankan oleh siswa dengan situasi yang berbeda,
membandingkan proses pemodelan baik yang dilakukan oleh guru ataupun yang
dilakukan oleh siswa, pemodelan sendiri secara diam-diam oleh masing-masing
siswa.

I. Penelitian yang Relevan


Beberapa penelitian terdahulu yang mengungkap permasalahan mengenai
berpikir kritis, penggunaan pembelajaran tahap-tahap Van Hiele dan penggunaan
pendekatan metakognitif, adalah penelitian-penelitian berikut ini. Dari hasil
penelitian Maulana (2007) diperoleh informasi bahwa kemampuan berpikir kritis
mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) relatif rendah. Namun setelah
diberikan perlakuan berupa pembelajaran matematika dengan pendekatan
metakognitif, ditemukan hasil berupa peningkatan kemampuan berpikir kritis pada
mahasiswa PGSD yang menjadi subyek penelitian tersebut.
Mayadiana (2005) diperoleh informasi bahwa kemampuan berpikir kritis
mahasiswa PGSD meningkat setelah diberikan perlakuan berupa pembelajaran
matematika dengan pendekatan diskursif, yaitu pembelajaran yang mendorong
keberanian bertanya, keberanian menjawab atau memberikan alasan.
Beberapa studi tentang berpikir kritis diantaranya adalah penelitian oleh
Syukur (2004) yang menyimpulkan bahwa pembelajaran matematika dengan

38

pendekatan open-ended dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa


SMU. Namun, tidak semua komponen kemampuan berpikir kritis siswa
meningkat; yang mengalami peningkatan hanya keterampilan kognitif. Diketahui
bahwa peningkatan keterampilan kognitif antara siswa kemampuan pandai,
sedang dan kurang tidak berbeda secara signifikan.
Studi Rohayati (2005) terhadap siswa SMP menemukan bahwa
pembelajaran

dengan

menggunakan

pendekatan

kontekstual

dapat

mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa dalam matematika walaupun


belum mencapai taraf yang optimal, yaitu baru mencapai taraf cukup. Selain itu,
sudah dilaksanakan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, terdapat
perbedaan kemampuan berpikir kritis diantara siswa kelompok atas dan siswa
kelompok bawah. Siswa kelompok atas berada pada kategori baik, sedangkan
siswa kelompok bawah berada pada kategori kurang.
Studi lain tentang pembelajaran geometri melalui tahap-tahap awal Van
Hiele diantaranya adalah penelitian oleh Purniati (2004) yang menyimpulkan
bahwa siswa yang pembelajaran geometrinya berdasarkan tahap-tahap awal Van
Hiele kemampuan komunikasi matematikanya lebih baik secara signifikan
dibandingkan dengan siswa yang pembelajaran geometrinya secara biasa. Respon
siswa dan guru terhadap pembelajaran geometri berdasarkan tahap-tahap awal
Van Hiele umumnya baik. Siswa merasa senang dan tertarik dan guru berminat
untuk menggunakan tahap-tahap awal Van Hiele pada pembelajaran geometri
selanjutnya. Sebaliknya, respon siswa terhadap soal-soal komunikasi matematik
umumnya kurang. Hal ini dikarenakan soal-soal komunikasi matematik

39

merupakan hal yang baru, sehingga siswa mengalami kesulitan dalam


menyelesaikannya.
Nindiasari (2004) melaporkan hasil penelitiannya mengenai pembelajaran
metakognitif untuk meningkatkan pemahaman dan koneksi matematik siswa SMU
ditinjau dari perkembangan kognitif siswa. Dari hasil penelitian tersebut tampak
bahwa pendekatan metakognitif dalam pembelajaran matematika berhasil
meningkatkan pemahaman dan kemampuan koneksi matematik siswa SMU
ditinjau dari perkembangan kognitif siswa.
Suzana (2003) mengenai upaya meningkatkan kemampuan pemahaman
dan penalaran matematik siswa SMU melalui pembelajaran dengan pendekatan
metakognitif, diperoleh hasil bahwa pendekatan metakognitif yang digunakan
dalam pembelajarn matematika dapat meningkatkan pemahaman dan penalaran
matematik siswa SMU.

Anda mungkin juga menyukai