STUDI LITERATUR
15
melakukan
inferensi,
melakukan
evaluasi,
dan
kemampuan
menciptakan sesuatu dalam bentuk produk atau pengetahuan baru yang memiliki
ciri orisinalitas. Kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan untuk menghadapi
berbagai
permasalahan
dalam
kehidupan.
Seseorang
dapat
mengatur,
16
struktur, konsep, prinsip, serta kaitan yang ketat antara suatu unsur dan unsur
lainnya.
Pembelajaran matematika yang mengembangkan kemampuan berpikir
kritis, merupakan bagian dari kegiatan pembelajaran pemecahan masalah,
implikasinya guru perlu (Depdiknas, 2006): (1) menyediakan lingkungan belajar
matematika yang merangsang timbulnya persoalan matematika, (2) membantu
siswa memecahkan persoalan matematika menggunkan caranya sendiri, (3)
membantu siswa mengetahui informasi yang diperlukan untuk memecahkan
persoalan matematika, (4) mendorong siswa untuk berpikir logis, konsisten,
sistematis dan mengembangkan sistem dokumentasi/catatan, (5) mengembangkan
kemampuan dan keterampilan untuk memecahkan persoalan, (6) membantu siswa
mengetahui bagaimana dan kapan menggunakan berbagai alat peraga/media
pendidikan matematika seperti: jangka, penggaris, kalkulator, dsb.
Dalam usaha meningkatkan kemampuan berpikir kritis, maka harus
memperhatikan fase-fase kemampuan berpikir kritis (Fahinu, 2007). Fase-fase
kemampuan berpikir kritis menurut Ennis (1996), yaitu: (1) Elementary
clarification (klarifikasi tingkat rendah), yaitu memusatkan pencapaian klarifikasi
umum suatu masalah melalui analisis argumentasi, pertanyaan atau jawaban. (2)
Basic support (pendukung dasar), yaitu memutuskan sumber yang kredibel,
membuat dan memutuskan hasil pengamatan sendiri; melibatkan informasi yang
berbeda, kesimpulan yang diterima, dan latar belakang pengetahuan. (3) Inference
(kesimpulan), yaitu membuat dan memutuskan kesimpulan secara induktif dan
deduktif. (4) Advence clarification (klarifikasi tingkat tinggi), yaitu membentuk
17
tindakan
yang
sesuai;
mendefinisikan
masalah,
menaksir
Sub Kemampuan
Berpikir kritis
1.Memberikan 1. Memfokuskan
penjelasan
pertanyaan
sederhana
2. Menganalisis
argumen
Penjelasan
18
3. Bertanya dan
menjawab pertanyaan
yang membutuhkan
penjelasan
2.Membangun 4. Mempertimbangkan
keterampilan
kredibilitas (kriteria
dasar
suatu sumber)
5. Mengobservasi dan
mempertimbangkan
hasil observasi
3.Membuat
kesimpulan
4. Membuat
penjelasan
lebih lanjut
5. Mengatur
strategi dan
taktik
6. Melakukan dan
mempertimbangkan
deduksi
7. Melakukan dan
mempertimbangkan
induksi
8. Membuat dan
mempertimbangkan
nilai keputusan
9. Mendefinisikan
istilah dan
mempertimbangkan
nilai keputusan
10.Mengidentifikasi
istilah dan
mempertimbangkan
definisi
11.Memutuskan suatu
tindakan
12.Berinteraksi dengan
orang lain
g. Merangkum
a. Mengapa
b. Apa intinya, apa artinya
c. Apa contohnya, apa yang bukan contoh
d. Bagaimana menerapkannya dalam kasus tersebut
e .Perbedaan apa yang membedakannya
f. Akankah anda menyatakan lebih dari itu
a. Ahli
b. Tidak adanya konflik interest
c. Kesepakatan antar sumber
d. Reputasi
e. Menggunakan prosedur yang ada
f. Mengetahui resiko
g. Kemampuan memberi alasan
h. Kebiasaan hati-hati
a. Ikut terlibat dalam menyimpulkan
b. Dilaporkan oleh pengamat sendiri
c. Mencatat hal-hal yang diinginkan
d. Penguatan dan kemungkinan penguatan
e. Kondisi akses yang baik
f. Penggunaan teknologi kompeten
g.Kepuasan observer atas kredibilitas kriteria
a. Kelompok yang logis
b. Kondisi yang logis
c. Interpretasi pernyataan
a. Membuat generalisasi
b. Membuat kesimpulan dan hipotesis
a. Latar belakang fakta
b. Konsekuensi
c. Penerapan prinsip-prinsip
d. Memikirkan alternatif
e. Menyeimbangkan, memutuskan
Ada tiga dimensi:
a. Bentuk: sinonim, klasifikasi, rentang, ekspresi
yang sama, operasional, contoh dan non contoh
b. Strategi definisi (tindakan mengidentifikasi
persamaan)
c. Konten (isi)
a. Penalaran secara implisit
b. Asumsi yang diperlukan, rekonstruksi argumen
a. Mendefinisikan masalah
b. Menyeleasaikan kriteria untuk membuat solusi
c. Merumuskan alternatif yang memungkinkan
d. Memutuskan hal-hal yang akan dilakukan secara
tentatif
f. Mereview
g. Memonitor implementasi
19
C. Pendekatan Metakognitif
Metakognisi merupakan suatu istilah yang berawal dari penelitian bidang
psikologi yang diperkenalkan oleh Flavell pada tahun 1976 dan menimbulkan
banyak perdebatan pada pendefinisiannya (Mulbar, 2007). Namun demikian,
pengertian metakognisi yang dikemukakan oleh para peneliti bidang psikologi,
pada umumnya memberikan penekanan pada kesadaran berpikir seseorang
tentang proses berpikirnya sendiri. Wellman (1985) dalam Mulbar (2007)
menyatakan bahwa: Metakognisi sebagai suatu bentuk kognisi, atau proses
berpikir dua tingkat atau lebih yang melibatkan pengendalian terhadap aktivitas
kognitif. Karena itu, metakognisi dapat dikatakan sebagai berpikir seseorang
tentang berpikirnya sendiri atau kognisi seseorang tentang kognisinya sendiri.
Selain itu, metakognisi melibatkan pengetahuan dan kesadaran seseorang tentang
aktivitas kognitifnya sendiri atau segala sesuatu yang berhubungan dengan
aktivitas kognitifnya.
20
Keterampilan
metakognitif
berkaitan
dengan
keterampilan
mengontrol serta
21
masalah ini? Menurut Hetler, Child, dan Walberge (Nindiasari, 2004), kegiatan
metakognitif dibagi dalam tiga kelompok yaitu:
1. Kesadaran (kemampuan seseorang untuk mengenali informasi baik
eksplisit maupun implisit);
2. Pengaturan (bertanya pada diri sendiri dan menjelaskan dengan kata-kata
sendiri untuk menstimulasi pemahaman);
3. Regulasi (membandingkan dan membedakan jawaban yang lebih masuk
akal dalam memecahkan masalah);
Guru dalam pembelajaran dengan pendekatan metakognitif di dalam
kelas harus berusaha mengajari siswa untuk merencanakan, memantau, dan
merevisi pekerjaan mereka sendiri termasuk tidak hanya membuat siswa sadar
tentang apa yang mereka tahu tapi juga apa yang bisa mereka lakukan ketika
mereka gagal untuk memahami. Dengan demikian guru harus terfokus dalam
mengembangkan kemampuan siswa untuk memecahkan soal serta rasa percaya
diri siswa di dalam kemampuan memecahkan soal (Nindiasari, 2004).
Pembelajaran dengan pendekatan metakognitif ini penting untuk
mengembangkan kemampuan siswa dalam mempelajari strategi kognitif seperti
bertanya pada diri sendiri, memperluas aplikasi-aplikasi strategi tersebut dan
mendapatkan pengendalian kesadaran atas diri mereka. Pengertian strategi
kognitif (Nindiasari, 2004) adalah, Penggunaan keterampilan-keterampilan
intelektual secara tepat oleh seseorang dalam mengorganisasi aturan-aturan ketika
menanggapi dan menyelesaikan soal, sedangkan strategi kognitif metakognitif
adalah mengontrol seluruh aktivitas belajarnya, bila perlu memodifikasi strategi
22
yang biasa digunakan untuk mencapai tujuan. Bila diterapkan dalam belajar, anak
bertanya pada dirinya sendiri untuk menguji pemahamannya tentang materi yang
dipelajari.
Kesadaran metakognitif mempengaruhi siswa untuk mempelajari
bagaimana, kapan, dan mengapa ia menggunakan strategi kognitif. Pembelajaran
dengan pendekatan metakognitif ini mengarahkan perhatian siswa pada sesuatu
yang relevan dan membimbing mereka untuk memilih strategi yang cocok untuk
menyelesaikan soal-soal. Menurut Mayer (Nindiasari, 2004) pendekatan
metakognitif dalam menyelesaikan soal matematika dapat diupayakan dengan
empat proses yaitu translation (terjemahan), integration (integrasi), planning and
monitoring (perencanaan dan pencatatan), solution execution (kegiatan menjawab
soal).
Menurut Suherman dkk (2001), pembelajaran dengan pendekatan
metakognitif dapat diupayakan melalui cara dimana anak dituntut untuk
mengobservasi tentang apa yang mereka ketahui dan kerjakan, dan untuk
mereflefsikan tentang apa yang dia observasi. Beberapa hal yang dapat dilakukan
guru untuk menolong anak mengembangkan kesadaran metakognisinya antara
lain melalui kegiatan-kegiatan berikut ini:
1. Ajukan pertanyaan yang berfokus pada apa dan mengapa seperti apa yang
kamu lakukan saat mengerjakan soal ini?, Kesalahan apa yang sering
kamu lakukan dalam mengerjakan soal seperti ini?, Mengapa?, Apa
yang kamu lakukan jika kamu menghadapi jalan buntu dalam
menyelesaikan suatu masalah?, Apakah cara ini dapat membantu
23
berbagai
aspek
pemecahan
masalah
yang
dapat
b.
c.
d.
24
(waktu 15 menit)
2. Kemandirian
Siswa bekerja sendiri dan guru berkeliling kelas, memberikan pengaruh timbal
balik (feedback) secara individual.
(waktu 20 menit)
3. Penyimpulan
Penyimpulan yang dilakukan oleh siswa merupakan rekapitulasi dari apa yang
telah dilakukan di kelas. Contoh pertanyaan yang ditanyakan oleh guru:
a.
b.
Apa yang kamu pelajari tentang diri kamu sendiri dalam menyelesaikan
soal matematika?
(waktu 15 menit)
Menurut Kramarski dan Mevarech (Nindiasari, 2004) pembelajaran
dengan pendekatan metakognitif dapat dilakukan dengan metode improve yang
didasarkan pada kesadaran bertanya pada diri sendiri, melalui penggunaan
pertanyaan
25
memecahkan
masalah
dan
membayangkan
serta
mengevaluasi
26
27
Gambar 2.1
Tangrams
2. Tahap Analisis
Pada tahap ini siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri
berdasarkan sifat-sifat dari masing-masing bangun tersebut dan siswa sudah
mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri. Dengan
kata lain, pada tingkat ini siswa sudah bisa menganalisis bagian-bagian yang
ada pada suatu bangun dan mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh bangun
tersebut. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa
suatu bangun merupakan persegipanjang. Ia telah mengetahui bahwa terdapat
dua pasang sisi yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling sejajar.
Dalam tahap ini anak belum mampu mengetahui hubungan yang terkait
antara suatu benda geometri dengan benda geometri lainnya. Misalnya, siswa
28
Squares
Not squares
Gambar 2.2
Menyortir Bentuk Geometri
29
mungkin belum memahami bahwa belah ketupat dapat dibentuk dari dua
segitiga yang kongruen. Saran pembelajaran untuk tahap pengurutan
(math.youngzones.org)
adalah:
menyatakan
hubungan
secara
lisan,
Gambar 2.3
Menyatakan Hubungan
4. Tahap Deduksi
Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif,
yakni penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal
yang bersifat khusus. Demikian pula ia telah mengerti betapa pentingnya
peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, disamping unsur-unsur yang
didefinisikan. Misalnya anak sudah mulai memahami dalil. Selain itu, pada
tahap ini anak sudah mulai mampu menggunakan aksioma atau postulat yang
digunakan dalam pembuktian.
30
sudut-sudut-sudut,
sisi-sisi-sisi,
atau
sisi-sudut-sisi,
dapat
5. Tahap Akurasi
Dalam tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa pentingnya
ketepatan dari prisip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian.
Misalnya, ia mengetahui pentingnya aksioma-aksioma atau postulat-postulat
dari geometri Euclid. Tahap akuasi merupakan tahap berpikir yang tinggi,
rumit dan kompleks. Oleh karena itu tidak mengherankan jika tidak semua
anak, meskipun sudah duduk di bangku sekolah lanjutan atas, masih belum
sampai pada tahap berpikir ini. Saran pembelajaran untuk tahap akurasi
(math.youngzones.org) adalah: membentuk bukti formal, membandingkan
sistem geometri Euclid dan non Euclid.
Menurut Van Hiele, semua anak mempelajari geometri melalui tahaptahap tersebut, dengan urutan yang sama, dan tidak dimungkinkan adanya tahap
yang diloncati. Akan tetapi, kapan seseorang siswa mulai memasuki sesuatu tahap
yang baru tidak selalu sama antara siswa yang satu dengan siswa yang lain.
31
Tahap V
Tahap IV
Tahap III
Tahap II
Tahap I
Gambar 2.4
Hubungan antara Tahap-tahap Kemampuan Berpikir Van Hiele
Penjelasan dari Gambar 2.4 adalah jika kemampuan berpikir siswa
berada pada tahap V (tahap Akurasi), tahap tertinggi kemampuan berpikir
menurut Van Hiele, maka termasuk di dalamnya menguasai tahap IV (tahap
Deduksi), III (tahap Pengurutan), II (tahap Analisis) dan I (tahap Pengenalan).
Jika kemampuan berpikir siswa berada pada tahap IV (tahap Deduksi), maka
termasuk di dalamnya menguasai tahap III (tahap Pengurutan), II (tahap Analisis)
dan I (tahap Pengenalan). Jika kemampuan berpikir siswa berada pada tahap III
(tahap Pengurutan), maka termasuk di dalamnya menguasai tahap II (tahap
Analisis) dan I (tahap Pengenalan). Jika kemampuan berpikir siswa berada pada
tahap II (tahap Analisis), maka termasuk di dalamnya menguasai tahap I (tahap
Pengenalan).
32
33
Tahap ketiga adalah tahap pengurutan, pada tahap ini siswa sudah
mengenal bentuk-bentuk geometri dan memahami sifat-sifatnya juga ia sudah bisa
mengurutkan bentuk-bentuk geometri yang satu sama lain berhubungan. Kegiatan
pembelajaran untuk menilai kemampuan siswa pada tahap ini adalah dengan
menghubungkan antar bentuk geometri (Purniati, 2004), kegiatan ini untuk
menilai kemampuan siswa dalam mengidentifikasi dan menjelaskan hubungan
antar bentuk, sebagai contoh semua persegipanjang adalah jajargenjang. Hal ini
sejalan dengan ciri-ciri seorang anak yang mempunyai kemampuan berpikir kritis,
menurut Costa (Maulana 2007) antara lain: mampu membuat hubungan yang
berurutan antara satu masalah dengan masalah lainnya; Mampu menarik
kesimpulan dan generalisasi dari data yang berasal dari lapangan; mampu
mengklasifikasi informasi dan ide; mampu menganalisis hubungan; Mampu
membandingkan dan mempertentangkan.
Tahap ke-empat adalah tahap deduksi, pada tahap ini berpikir deduktif
siswa sudah mulai tumbuh tetapi belum berkembang dengan baik, siswa sudah
dapat memahami pentingnya unsur-unsur yang tidak didefinisikan, unsur-unsur
yang didefinisikan, aksioma atau postulat, dan dalil. Hal ini sejalan dengan ciriciri seorang anak yang mempunyai kemampuan berpikir kritis,
antara lain:
34
Tahap kelima adalah tahap keakuratan, pada tahap ini siswa sudah dapat
memahami bahwa adanya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi
suatu pembuktian. Pada tahap ini sejalan dengan ciri-ciri seorang anak yang
mempunyai kemampuan berpikir kritis, antara lain: mampu menganalisis isi,
menganalisis prinsip, menganalisis hubungan; mampu membandingkan dan
mempertentangkan yang kontras, dan mampu membuat konklusi yang valid.
tentang apa yang diketahui dan apa yang akan dilakukan. Sejalan dengan itu
Wilen & Phillips (1995) menyatakan bahwa metakognisi adalah kesadaran tentang
proses berpikir dan kemampuan mengontrol proses tersebut melalui perencanaan,
pemilihan strategi dan monitoring. Ketika seseorang dihadapkan pada suatu
permasalahan, pendekatan metakognitif menekankan untuk menyadari informasi
apa yang diketahui dari permasalahan tersebut kemudian menentukan strategi apa
yang akan dilakukan. Langkah-langkah tersebut sejalan dengan tahap-tahap
kemampuan berpikir menurut Van Hiele. Menurutnya semua anak mempelajari
geometri melalui tahap-tahap visualization, analysis, informal deduction,
formal deduction, dan rigor.(Crowley, 1985), dengan urutan yang sama, dan
tidak dimungkinkan adanya tahap yang diloncati. Tetapi, kapan seseorang siswa
35
mulai memasuki sesuatu tahap yang baru tidak selalu sama antara siswa yang satu
dengan siswa yang lain.
Ada kesamaan antara metakognitif dengan tahap-tahap kemampuan
berpikir menurut Van Hiele, yaitu kedua-duanya menekankan kepada kesadaran
tentang apa yang telah diketahui untuk mencapai tujuan pada tahap berikutnya.
Van Hiele sangat menekankan untuk melalui tahap-tahap tersebut secara
berurutan dan tidak ada yang diloncati.
Secara garis besar penulis gambarkan hubungan antara kemampuan
berpikir kritis, metakognitif dan kemampuan berpikir menurut Van Hiele seperti
pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5
Hubungan antara Berpikir Kritis, Metakognitif dan Teori Van Hiele
BERPIKIR KRITIS
METAKOGNITIF
VAN HIELE
36
siswa harus melalui tahap-tahap kematangan berpikir secara berurutan dan tidak
ada yang diloncati, berarti untuk mencapai level yang lebih tinggi seorang siswa
harus menguasai level sebelumnya. Dalam metakognitif level yang lebih tinggi
adalah kesadaran tentang apa yang akan dilakukan dan level sebelumnya adalah
kesadaran tentang apa yang diketahui.
(pemodelan oleh guru) yang meliputi: berpikir keras yang diperankan oleh
37
38
dengan
menggunakan
pendekatan
kontekstual
dapat
39