Erlin Rosalina,SE
NIM: 1420532039
A.
Pengertian Etika
Kata etika memiliki beberapa makna, Websters Collegiate Dictionary yang dikutip
oleh Ronald Duska dalam buku Accounting Ethics memberi empat makna dasar dari kata
etika, yaitu:
1.
Suatu disiplin terhadap apa yang baik dan buruk dan dengan tugas moral serta
kewajiban.
2.
3.
4.
Sedangkan menurut Bertens etika dapat juga didefinisikan sebagai nilai-nilai dan
norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Dari pengertian diatas mengisyaratkan bahwa etika memiliki
peranan penting dalam melegitimasi segala perbuatan dan tindakan yang dilihat dari
sudut pandang moralitas yang telah disepakati oleh masyarakat.
Dalam prakteknya, terkadang penerapan nilai etika hanya dilakukan sebatas
persetujuan atas standar moral yang telah disepakati untuk tidak dilanggar. Norma moral
yang menjadi standar masyarakat untuk menentukan baik buruknya perilaku dan tindakan
seseorang, terkadang hanya dianggap suatu aturan yang disetujui bersama tanpa
dipertimbangkan mengapa aturan-aturan moral tersebut harus kita patuhi. Untuk itu,
pemikiran-pemikiran yang lebih mendalam mengenai alasan-alasan mengapa kita perlu
berperilaku yang etis sesuai dengan norma-norma moral yang telah disepakati,
melahirkan suatu bentuk teori etika yang menyediakan kerangka untuk memastikan benar
tidaknya keputusan moral kita.
Beberapa alasan mempelajari etika menurut Ronald Duska :
1.Beberapa kepercayaan moral yang dipegang mungkin tidak cukup karena itu hanya
kepercayaan sederhana tentang isu-isu komplek. Pelajaran etika dapat membantu
seseorang memecahkan isu yang komplek tersebut, dengan melihat apa yang prinsipprinsip katakan tentang kasus itu.
2 Etika dapat menyediakan pengertian yang mendalam bagaimana menimbang dan
memutuskan terhadap konflik prinsip dan menunjukan mengapa tindakan tertentu lebih
dibutuhkan dari pada yang lain.
3.Cerminan etika dapat membuat kita lebih berpengetahuan dan teliti dalam masalah-
masalah moral.
4.Alasan yang penting untuk mempelajari etika adalah untuk mengerti keadaan dan
mengapa opini-opini kita berharga. Contohnya ketika tanggung jawab ke keluarga
berbenturan dengan tanggung jawab kita terhadap pekerjaan dan bagaimana jalan
keluarnya.
5.Alasan terakhir dalam mempelajari etika adalah untuk belajar mengidentifikasi prinsip
mengidentifikasi prinsip-prinsip dasar etika yang dapat diaplikasikan pada tindakan.
Menurut ilmu pengetahuan, etika dibagi menjadi dua (Duska Duska), yaitu:
1. EtikaUmum
2. Etika Khusus
Socrates yakin bahwa orang akan berbuat benar apabila ia mengetahui apa yang
baik baginya. Perbuatan salah akibat kurang cerahnya pengertian diri manusian.
Ia mau mengantar orang agar mengerti diri sendiri dan dengan demikian lepas
dari kedangkalannya.
5.Plato (427-348 SM)
Realitas yang sebenarnya bersifat rohani (jiwa) dan disebutnya idea. Puncak
kesadaran filosofis tertinggi dalam idea ini adalah idea yang baik. Idea yang baik
adalah Sang Baik itu sendiri dan Sang Baik ini adalah tujuan dari segala yang
ada, yaitu Yang Ilahi.
C.
Menurut De George, ada tiga pandangan umum yang dianut. Pandangan pertama
adalah norma etis berbeda antara 1 tempat dengan tempat lainnya. Artinya perusahaan
harus mengikuti norma dan aturan moral yang berlaku di negara tempat perusahaan
tersebut beroperasi. Yang menjadi persoalan adalah anggapan bahwa tidak ada nilai dan
norma moral yang bersifat universal yang berlaku di semua negara dan masyarakat,
bahwa nilai dan norma moral yang berlaku di suatu negara berbeda dengan yang berlaku
di negara lain. Oleh karena itu, menurut pandangan ini norma dan nilai moral bersifat
relatif. Ini tidak benar, karena bagaimanapun mencuri, merampas, dan menipu dimanapun
juga akan dikecam dan dianggap tidak etis.
Pandangan kedua adalah bahwa nilai dan norma moral sendiri paling benar dalam
arti tertentu mewakili kubu moralisme universal, yaitu bahwa pada dasarnya norma dan
nilai moral berlaku universal, dan karena itu apa yang dianggap benar di negara sendiri
harus diberlakukan juga di negara lain (karena anggapan bahwa di negara lain prinsip itu
pun pasti berlaku dengan sendirinya). Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa
moralitas menyangkut baik buruknya perilaku manusia sebagai manusia, oleh karena itu
sejauh manusia adalah manusia, dimanapun dia berada prinsip, nilai, dan norma moral itu
akan tetap berlaku.
Pandangan ketiga adalah immoralis naif. Pandangan ini menyebutkan bahwa tidak
ada norma moral yang perlu diikuti sama sekali.
Utilitarisme
Utilitarisme berasal dari kata Latin utilis yang berarti bermanfaat. Menurut teori ini,
suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi menfaat itu harus menyangkut
bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Menurut suatu
perumusan terkenal, dalam rangka pemikiran utilitarisme (utilitarianism) kriteria untuk
menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah the greatest happiness of the greatest
number, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar.
Terlepas dari daya tariknya, teori utilitarianisme juga mempunyai kelemahan, antara lain:
a) Manfaat merupakan konsep yang kompleks sehingga penggunaannya sering
menimbulkan kesulitan. Masalah konsep manfaat ini dapat mencakup persepsi dari
manfaat itu sendiri yang berbeda-beda bagi tiap orang dan tidak semua manfaat
yang dinilai dapat dikuantifikasi yang berujung pada persoalan pengukuran
manfaat itu sendiri.
b) Utilitarianisme tidak mempertimbangkan nilai suatu tindakan itu sendiri, dan hanya
memperhatikan akibat dari tindakan itu. Dalam hal ini utilitarianisme dianggap
tidak memfokuskan pemberian nilai moral dari suatu tindakan, melainkan hanya
terfokus aspek nilai konsekuensi yang ditimbulkan dari tindakan tersebut. Sehingga
dapat dikatakan bahwa utilitarianisme tidak mempertimbangkan motivasi
seseorang melakukan suatu tindakan.
c) Kesulitan untuk menentukan prioritas dari kriteria etika utilitarianisme itu sendiri,
apakah lebih mementingkan perolehan manfaat terbanyak bagi sejumlah orang atau
jumlah terbanyak dari orang-orang yang memperoleh manfaat itu walaupun
manfaatnya lebih kecil.
d) Utilitarianisme hanya menguntungkan mayoritas. Dalam hal ini suatu tindakan
dapat dibenarkan secara moral sejauh tindakan tersebut menguntungkan sebagian
besar orang, walaupun mungkin merugikan sekelompok minoritas. Dengan
demikian, utilitarianisme dapat dikatakan membenarkan ketidakadilan, yaitu bagi
kelompok yang tidak memperoleh manfaat.
2. Deontologi
Deontologi sendiri lebih melepaskan sama sekali moralitas dari konsekuensi
perbuatan. Aliran besar pemikiran etika kedua adalah deontologi. Tokoh besar aliran ini
adalah Immanuel Kant (1724-1804) (Ludigdo, 2007), sehingga disebut juga sebagai
Kantianisme. Deontologi ( Deontology) berasal dari kata dalam Bahasa Yunani yaitu :
deon yang artinya adalah kewajiban. Dalam suatu perbuatan pasti ada konsekuensinya,
dalam hal ini konsekuensi perbuatan tidak boleh menjadi pertimbangan. Perbuatan
menjadi baik bukan dilihat dari hasilnya melainkan karena perbuatan tersebut wajib
dilakukan. Deontologi menekankan perbuatan tidak dihalalkan karena tujuannya. Tujuan
yang baik tidak menjadi perbuatan itu juga baik.
3. Teori Hak
Dalam pemikiran moral dewasa ini barangkali teori hak ini adalah pendekatan yang
paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku.
Sebetulnya teori hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi, karena hak berkaitan
dengan kewajiban. Maka, teori hak pun cocok diterapkan dengan suasana demokratis.
Dalam arti, semua manusia dari berbagai lapisan kehidupan harus mendapat perlakuan
yang sama. Seperti yang diungkapkan Immanuel Kant, bahwa manusia meruapakan suatu
tujuan pada dirirnya (an end in itself). Karena itu manusia harus selalu dihormati sebagai
suatu tujuan sendiri dan tidak pernah boleh diperlakukan semata-mata sebagai sarana
demi tercapainya suatu tujuan lain (Bertens, 2000).
4.
Teori Keutamaan
Teori tipe terakhir ini adalah teori keutamaan (virtue) yang memandang sikap atau
akhlak seseorang. Dalam etika dewasa ini terdapat minat khusus untuk teori keutamaan
sebagai reaksi atas teori-teori etika sebelumnya yang terlalu berat sebelah dalam
mengukur perbuatan dengan prinsip atau norma. Keutamaan bisa didefinisikan sebagai
berikut : disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk
bertingkah laku baik secara moral, misalnya : Kebijaksanaan, Keadilan, Kerendahan hati,
Suka bekerja keras.
E. Teori Etika Religius (Nonkognitivisme)
Pemikir besar Eropa dari kalangan kristen adalah Thomas Aquinas (1225-1274).
Menurut Aquinas, Tuhan adalah tujuan akhir manusia, karena Ia adalah nilai tertinggi dan
universal, dan karenanya kebahagiaan manusia tercapai apabila ia memandang Tuhan.
Etika keagamaan tradisional didasarkan pada keyakinan terhadap tuhan dan
semesta moral. Sejumlah aliran eksistensialisme religius kontemporer menolak teisme
tradisional. Umumnya menolak bentuk supernaturalisme dan otoritarianisme. Sebagai
gantinya landasan non teistik disampaikan dalam etika tillich; atau teologi radikal yang
melihat agama secara sekuler karena "Tuhan telah mati" membuat etika lebih bersifat
humanistik dan universal, serta eksesistensial.
Bagi etika keagamaan tradisional, Tuhan dianggap sebagai kebajikan (St.Agustine),
atau tebatasi oleh kebajikan (Plato), dan merupakan sumber dan pendukung
semuanilai.Etika relijius tradisional pada dasarnya bersifat deontologis, yakni
mendasarkan penekanan pada masalah tugas, kewajiban, atau memahami kebenaran
dalam bertindak. Etika bersifat agapistik, yakni berdasar pada cinta Tuhan dan sesama
manusia, meskipun unsur deontologis dan areteiki dapat ditemukan didalamnya, termasuk
unsur otoritarianisme dan supernaturalisme.
Dalam perspektif religius pemikiran etika cenderung melepaskan kepelikan
dialektika atau metodologis dan memusatkan pada usaha untuk mengeluarkan spirit
moralitas islam denga cara lebih langsung berakar pada AL-Quran dan Sunnah. Dalam
topik ini pengetahuan dan perbuatan menjadi unsur pencapain kebahagiaan. Sumber
utama pengetahuan adalah Tuhan yang telah menganugerahkannya kepada manusia
melalui berbagai cara (Ludigdo, 2007).
F.
Bisnis dapat diartikan sebagai kegiatan memproduksi dan menjual barang dan jasa
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kegiatan bisnis terjadi karena keinginan untuk
saling memenuhi kebutuhan hidup masing-masing manusia, dan masing-masing pihak
tentunya memperoleh keuntungan dari proses tersebut. Tidak dapat disangkal bahwa
pada umumnya orang berpendapat bahwa bisnis adalah untuk mencari keuntungan
sebesar-besarnya. Untuk memaksimumkan keuntungan tersebut, maka tidak dapat
dihindari sikap dan perilaku yang menghalalkan segala cara yang sering tidak dibenarkan
oleh norma moral.
Kalau memaksimalkan keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan,
dengan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Mengapa begitu? Jika
keuntungan menjadi satu-satunya tujuan, semuanya dikerahkan dan dimanfaatkan
demi tercapainya tujuan itu, termasuk juga karyawan yang bekerja dalam
perusahaan. Akan tetapi, memperalat karyawan karena alasan apa saja berarti tidak
menghormati mereka sebagai manusia. Dengan itu dilanggar suatu prinsip etis yang
paling mendasar kita selalu harus menghormati martabat manusia.
Di satu pihak perlu diakui, bisnis tanpa tujuan profit bukan bisnis lagi. Di lain
pihak keuntungan tidak boleh dimutlakkan. Keuntungan dalam bisnis merupakan
suatu pengertian yang relatif. Ronald Duska (1997) dalam Bertens (2000), mencoba
untuk merumuskan relativitas tersebut dengan menegaskan bahwa kita harus
membedakan antara purpose (maksud) dan motive. Maksud bersifat obyektif,
sedangkan motivasi bersifat subyektif. Keuntungan tidak merupakan maksud bisnis.
Maksud bisnis adalah menyediakan produk atau jasa yang bermanfaat untuk
masyarakat. Keuntungan hanya sekadar motivasi untuk mengadakan bisnis. Oleh
karena itu, bisnis menjadi tidak etis, kalau perolehan untung dimutlakkan dan segi
moral dikesampingkan.
Keuntungan memungkinkan bisnis hidup terus, tetapi tidak menjadi tujuan
terakhir bisnis itu sendiri. Oleh karenanya tidak bisa dikatakan lagi bahwa profit
merupakan satu-satunya tujuan bagi bisnis. Beberapa cara untuk melukiskan
relativitas keuntungan dalam bisnis, dengan tidak mengabaikan perlunya (Bertens,
2000), adalah sebagai berikut:
1.
2.
keuntungan
adalah
pertanda
yang
menunjukkan
4.
bahwa
produk
atas
Kejujuran
Kejujuran secara umum diakui sebagai keutamaan pertama dan paling penting yang
harus dimiliki pelaku bisnis. Orang yang memiliki keutamaan kejujuran tidak akan
berbohong atau menipu dalam transaksi bisnis. Pepatah kuno caveat emptor yaitu
hendaklah pembeli berhati-hati. Pepatah ini mengajak pembeli untuk bersikap kritis untuk
menghindarkan diri dari pelaku bisnis yang tidak jujur. Kejujuran memang menuntut
adanya keterbukaan dan kebenaran, namun dalam dunia bisnis terdapat aspek-aspek
tertentu yang tetap harus menjadi rahasia. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa setiap
informasi yang tidak benar belum tentu menyesatkan juga.
b.
Fairness
Fairness adalah kesediaan untuk memberikan apa yang wajar kepada semua orang
dan dengan wajar yang dimaksudkan apa yang bisa disetujui oleh semua pihak yang
terlibat dalam suatu transaksi.
c.
Kepercayaan
Keuletan
Keutamaan keempat adalah keuletan, yang berarti pebisnis harus bertahan dalam
banyak situasi yang sulit. Ia harus sanggup mengadakan negosiasi yang terkadang seru
tentang proyek atau transaksi yang bernilai besar. Ia juga harus berani mengambil risiko
kecil ataupun besar, karena perkembangan banyak faktor tidak diramalkan sebelumnya.
Ada kalanya ia juga tidak luput dari gejolak besar dalam usahanya. Keuletan dalam bisnis
itu cukup dekat dengan keutamaan keberanian moral.
Selanjutnya, empat keutamaan yang dimiliki orang bisnis pada taraf perusahaan, yaitu:
a.
Keramahan
Keramahan tidak merupakan taktik bergitu saja untuk memikat para pelanggan,
tapi menyangkut inti kehidupan bisnis itu sendiri, karena keramahan itu hakiki untuk
setiap hubungan antar-manusia. Bagaimanapun juga bisnis mempunyai segi melayani
sesama manusia.
b.
Loyalitas
Loyalitas berarti bahwa karyawan tidak bekerja semata-mata untuk mendapat gaji,
tetapi juga mempunyai komitmen yang tulus dengan perusahaan. Ia adalah bagian dari
perusahaan yang memiliki rasa ikut memiliki perusahaan tempat ia bekerja.
c.
Kehormatan
10
d.
Rasa Malu
11
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
A.Sonny Keraf. 1998 . Etika Bisnis. Pustaka Filsafat. Penerbit Kanisius. Jakarta
12