Ternyata masalah tidak berhenti menggelayuti keluargaku. Pemilik tanah yang kudiami
meninggal. Istrinya tidak memiliki pilihan lain selain menjual tanahnya. Betapa hancurnya hati
keluargaku mengetahui hal itu. Ayahku berusaha mencari pinjaman kemana-mana, tapi hasilnya
nihil. Saat itu adlah saat pertama kulihat ayah menagis. Ia menitikkan air mata di depan rumah.
Menangis dengan semua keadaan ini. Tuhan, bagaimana dengan anakku atau istriku? Mereka
tidak biasa hidup begini menderitanya. Jika Engkau memberikan semua padaku aku masih bisa
mengatasinya. Tapi kenapa harus mereka juga? kata ayahku disela-sela tangisannya. Aku
menangis di pelukan ibu. Ibuku berusaha untuk tersenyum tapi itu gagal.
Disaat yang sangat mengharukan itu seseorang datang dan mengetok pintu warung kami.
Seorang pelanggan, kata ibuku seraya mengusap air mata dan beranjak keluar. Ternyata orang
itu adalah seorang pelajar di salah satu Universitas lokal yang terletak tidak jauh dari rumahku.
Ibu bolehkah saya meminta nasi? Uang bekal saya sudah habis. Tidak usah lauknya, hanya
sedikit nasi putih kata pemuda itu. Ia dik tunggu sebentar akhirnya ibuku menyetujuinya dan
dengan senyum yang dibuat-buat setulus mungkin, ia mengambilkan pemuda itu nasi.
Sore harinya ayahku datang dari pekerjaanya sebagai kuli bangunan. Saat itu dengan
lugunya aku bertanya, Ibu kenapa ibu member pemuda itu nasi? Kita kan hidup susah. Lagipula
ia tidak akan memberi kita apa-apa kan? Ibuku hanya tersenyum dan menghidangkan makan
malam. Tanpa pernah sekalipun menjawab pertanyaanku.
Paginya kulihat pemuda itu datang kembali, dan pergi dengan membawa plastik yang
berisi nasi dan lauk pauk hasil masakan ibuku. Akupun berangkat ke sungai untuk mencari
kerang dan barang bekas untuk kujual. Itulah kebiasaan baruku di wilayah ini. Sekolahku
berjalan terus, anehnya prestasiku di sekolah biasa-biasa saja. Tidak seperti cerita-cerita
mengharukan yang pernah aku dengar. Pernah pula aku berpikir, apakah keahlianku? Apakah
kejutan yang akan Tuhan berikan kepadaku? Tapi semua itu langsung aku format dari otakku.
Buat apa aku memikirkan sesuatu jauh ke depan, buat makan besok saja aku tidak tahu.
Aku terbangun karena cahaya mentari yang menembus rumah baruku. Ya kami pindah
lagi. Sekarang kami tingal di pinggir sungai. Tapi Tuhan masih memberi tempat pada ibuku
untuk membuka warung nasi . Warung nasi ibu bertambah ramai karena di samping tempat itu
dibangun sebuah kos-kosan. Akupun sering diminta ibu menjaga warung. Sesuatu yang selalu
membuatku kesal adalah pemuda itu. Selain makan di warungku, ia pula membawa sebungkus
nasi untuk bekalnya.
Suatu hari ketika kami bertiga berkumpul bersama di warung untuk menghabiskan sore
hari bersama, pemuda itu datang lagi. Tapi ia kelihatan sangat berbeda. Ia bolak-balik di depan
warung seperti orang resah. Ia pun tidak berkata apa-apa, tidak seperti biasanya. Malam harinya
ketika ibu menutup warung dan bersiap-siap untuk pulang, aku menemukan secarik kertas
bertuliskan TERIMA KASIH. Aku berikan kertas itu pada ibu. Ibu tersenyum dan mengatakan
bahwa kertas ini sengaja ditinggalkan oleh pemuda itu.
Setelah tamat SMA, aku memilih bekerja di luar kota besama pamanku. Aku ingin
membahagiakan ayah dan ibu walau harus berpisah untuk sementara. Di tempat baruku, aku
dikenal sebagai orang rajin sehingga baru satu bulan bekerja aku sudah mendapat tempat yang
lebih baik. Aku berkunjung ke rumah dengan gajih pertamaku. Orang tuaku begitu senang dan
kami merayakannya bertiga dengan makan malam bersama. Aku lalu bertanya pada ibuMana
orang itu bu? Kenapa ia idak pernah datang lagi? Sejak surat yang kau temukan, ia tidak
pernah datang kesini lagi jawab ibuku. Pekerjaanku yang membaik membuat kehidupan
ekonomiku terus meningkat.
Aku masih berkutat dengan pekerjaanku, dengan angka-angka yang berkaitan satu
dengan lainnya. Tidak ada pilihan lain selain berusaha yang terbaik. Karena kinerjaku, atasan
menawariku tawaran yang sangat fantastis. Aku diperintahkan untuk memepertaruhkan jabatanku
demi mendapatkan suatu jabatan yang lebih tinggi. Atasanku percaya bahwa aku bisa melewati
tes masuk tersebut. Akupun setuju untuk mengambil resiko tersebut demi orang tuaku
Aku segera bersiap ke tempat tes masuk pekerjaan tersebut. Pelamar terlihat tidak begitu
banyak. Hampir seluruh pertanyaan dapat kujawab dengan pasti pada tes tulis. Saat jam istitahat
kuhabiskan waktu istirahatku dengan membaca Koran hari itu. Perlahan kufokuskan pada
seorang sosok yang sepertinya melekat di otakku. sepertinya aku mengetahui orang ini,
pikirku. Tapi belum sempat mengingat, aku tercengang melihat berita yang tertulis rapi di bawah
foto orang itu. Seorang pengusaha sukses membangun villa di kawasan sungai bantui di daerah
pesisir barat Surakarta. Aku hanya menggeleng-geleng Dasar pengusaha , mentang-mentang
kaya, rakyat miskin kena batunya. kataku kepada salah seorang teman yang sama-sama
melamar di perusahaan itu. Bukannya kau berasal dari daerah itu Nan? Tanyanya menyelidik.
Bagai tersambar petir aku mendengar berita itu, betapa bodohnya diriku ini. Bagaimana aku bisa
lupa dengan tempat tinggalku sendiri? Setan apa yang merasuki pikiranku?
Tanpa pikir panjang kuberanjak dari ruangan itu, membuang semua harapan yang aku
idam-idamkan dari dulu. Yang hanya ada dalam pikiranku adalah sosok ayah dan ibu, dua orang
yang paling berperan dalam hidupku. Demi mereka berdua aku mengesampingkan teman dan
pergaulan. Demi mereka aku rela kerja lembur setiap hari. Mereka adalah satu-satunya alasan
aku hidup di dunia ini. Kayuhanku pada sepeda yang kupinjam dari salah satu temmanku
kupercepat. Semua orang pasti tidak menyangka bahwa aku tidak memiliki kendaraan satupun.
Alasannya tidak perlu kusampaikan lagi.
Semua pertanyaan dan prasangkaku dibayar lunas oleh sebuah gundukan tanah luas. Ya
aku terlambat,mereka telah meratakan semuanya dengan tanah. Badanku roboh ke tanah. Aku
tidak mampu berkata apa-apa lagi. Semuanya hancur berkeping-keping. Tempat semua memori
dan kenanganku mereka kubur dengan segundukan tanah. Jerit tangis di sekelilingku menarik
jiwaku untuk mencari kedua orang tuaku. Kuharap mereka tidak ikut tertimbun gundukan tanah
itu. Kalau hal itu sampai terjadi aku berjanji tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri seumur
hidupku ini.
Hal itu akan menjadi kenyataan ketika aku berjalan ke bekas rumahku yang sedah hancur.
Di sana pakaian ibu berserakan, bekas darah di mana-mana. Aku tak mampu berkata-kata lagi,
tubuhku dingin. Aku berjongkok,menyembah tanah yang ada di hadapanku. Kulepas semua
kekesalan dengan satu teriakan keras. Teriakan yang kugunakan mencurahkan semua hal ini. Aku
tidak akan pernah memaafkan diriku ini. Tetapi sebuah suara datang dari belakang.
Nanda, sudah besar kok masih nangis? Ini ibu nak. Sekuat tenaga kubalikkan badanku
seolah tidak percaya dengan semua hal yang aku lihat saat ini. Itu ibu! Tidak salah lagi, itu
memang dia. Lalu ini darah siapa? Pikirku berkecamuk dalam hati. Tapi segera aku bangun dari
peraduanku untuk memeluk ibu. Belum sempat aku menyentuh rambut gemulainya, bayangan
ibu menghilang. Semuanya berubah jadi gelap. Hanya kegelapan.
Aku terbangun berkat sebuah sentuhan di pipiku. Seorang suster sedang memeriksa luka
di pipiku. Ternyata aku pingsan setelah melihat bayangan ibuku.di tepi sungai itu.Permisi kata
sebuah suara dari luar pintu kamarku Silakan masuk pak jawab suster yang sedang menjagaku.
Seseorang memasuki kamarku, wajahnya kuperhatikan dengan seksama. Wajah itu begitu
familiar di mataku, dengan dasi dan jas mewahnya. Belum sempat aku mengingat orang itu, ia
menyapaku duluan. Bagaimana kondisimu nanda? Apakah kamu baik-baik saja? Iya pak saya
baik-baik saja. Maaf siapakah bapak ini?
Orang itu menjelaskan semuanya padaku. Bahwa ia adalah pemuda yang setiap hari
datang ke warung ibuku dan meminta nasi untuk dijadikannya bekal di sekolah. Sekarang ia
telah menjadi pemimpin sebuah perusahaan ternama. Aku begitu tak menyangka, kulayangkan
ingatan ini melewati waktu, kembali ke saat ia datang dan meminta nasi dari ibuku. Wajahnya
begitu lusuh dan tak bertenaga. Tetapi sekarang ia telah menjadi orang besar dengan usahanya
sendiri. Ternyata dengan cara itu Tuhan memberikannya kejutan dan kebahagiaan. Begitu aneh,
sangat sulit dipercaya.
Soal orang tuamu tenang saja. Mereka adalah pahlawan bagiku, maka dari itu
membalasnya merupakan suatu kewajiban bagiku paparnya melihat kekhaawatiran yang tersirat
di wajahku. Diapun menceritakan alasannya meratakan daerah tersebut. Ternyata daerah itu telah
menjadi sarang preman yang dijadikan sebagai tempat untuk tawuran dan kekerasan.Pantas tadi
aku melihat darah, pikirku dalam hati.
Aku dibawanya ke hotel tempat kedua orang tuaku, tentunya dengaan izin dokter. Aku
peluk ayah dan ibu dari belakang, aku menangis sejadi-jadinya. Betapa bahagianya hati ini,
melihat mereka sehat dan bahagia. Kami bertiga larut dalam tangisan dan percakapan panjang
malam itu, ditambah seorang pelanggan lama yang kembali lagi.