BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada hakikatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupan yaitu masa anak, masa dewasa, dan
masa
tua
(Nugroho,
1992).
Menua
(menjadi
tua)
adalah
suatu
proses
dan
pendengaran.
Semua
keadaan
ini
menyebabkan
lansia
B. Tujuan Praktikum
1.
2.
(Lanjut Usia)
Untuk mengetahui cara memberikan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi)
C.
1. Mampu memberikan pelayanan resep dan non resep pada kasus pasien
lansia (Lanjut Usia)
2. Mampu memberikan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) pada
penggunaan obat-obat (Lanjut Usia)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Lansia
1.
Definisi Lansia
Menurut World Health Organisation (WHO), lansia adalah seseorang yang telah
memasuki usia 60 tahun keatas. Lansia merupakan kelompok umur pada manusia
yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya. Kelompok yang
dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu proses yang disebut Aging Process atau
proses penuaan.
Proses penuaan adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan tahapantahapan menurunnya berbagai fungsi organ tubuh, yang ditandai dengan semakin
rentannya tubuh terhadap berbagai serangan penyakit yang dapat menyebabkan
kematian misalnya pada sistem kardiovaskuler dan pembuluh darah, pernafasan,
pencernaan, endokrin dan lain sebagainya. Hal tersebut disebabkan seiring
meningkatnya usia sehingga terjadi perubahan dalam struktur dan fungsi sel,
jaringan, serta sistem organ. Perubahan tersebut pada umumnya mengaruh pada
kemunduran kesehatan fisik dan psikis yang pada akhirnya akan berpengaruh pada
ekonomi dan sosial lansia. Sehingga secara umum akan berpengaruh pada activity
of daily living (Fatmah, 2010).
2.
b.
c.
d.
dengan
WHO,
menurut
Depatemen
Kesehatan
RI
(2006)
b.
Usia lanjut dini (senescen) yaitu kelompok yang mulai memasuki masa usia
lanjut dini (usia 60-64 tahun)
c.
Lansia berisiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit degeneratif (usia >65
tahun)
3.
4.
yang dibeikan perlu dipertimbangkan kondisi organ tubuh serta farmakologi dari obat
yang akan diresepkan. Pada usia lanjut banyak hal-hal yang lainnya yang perlu
dipertimbangkan dalam pemilihan obat, karena pada golongan lansia berbagai
perubahan fisiologik pada organ dan sistema tubuh akan mempengaruhi tanggapan
tubuh terhadap obat. Adapun prinsip umum penggunaan obat pada usia lanjut :
a. Berikan obat hanya yang betul-betul diperlukan artinya hanya bila ada
indikasi yang tepat. Bila diperlukan efek plasebo berikan plasebo yang
sesungguhnya
b. Pilihlah
obat
yang
memberikan
rasio
manfaat
yang
paling
dan gerak saluran cerna. Oleh karena itu, kecepatan dan tingkat absorbsi obat tidak
berubah pada usia lanjut, kecuali pada beberapa obat seperti fenotain, barbiturat,
dan prozasin (Bustami, 2001).
Pada distribusi obat terdapat hubungan antara penyebaran obat dalam cairan
tubuh dan ikatannya dengan protein plasma (biasanya dengan albumin, tetapi pada
beberapa obat dengan protein lain seperti asam alfa 1 protein), dengan sel darah
merah dan jaringan tubuh termasuk organ target. Pada usia lanjut terdapat
penurunan yang berarti pada massa tubuh tanpa lemak dan cairan tubuh total,
penambahan lemak tubuh dan penurunan albumin plasma. Penurunan albumin
sedikit sekali terjadi pada lansia yang sehat dapat lebih menjadi berarti bila terjadi
pada lansia yang sakit, bergizi buruk atau sangat lemah. Selain itu juga dapat
menyebabkan meningkatnya fraksi obat bebas dan aktif pada beberapa obat dan
kadang-kadang membuat efek obat lebih nyata tetapi eliminasi lebih cepat.
Munculnya efek obat sangat ditentukan oleh kecapatan penyerapan dan cara
penyebarannya. Durasi (lama berlangsungnya efek) lebih banyak dipengaruhi oleh
kecepatan ekskresi obat terutama oleh penguraian di hati yang biasanya membuat
obat menjadi lebih larut dalam air dan menjadi metabolit yang kurang aktif atau
dengan ekskresi metabolitnya oleh ginjal. Sejumlah obat sangat mudah diekskresi
oleh hati, antara lain melalui ambilan (uptake) oleh reseptor dihati dan melalui
metabolisme sehingga bersihannya tergantung pada kecepatan pengiriman ke hati
oleh darah. Pada usia lanjut, penurunan aliran darah ke hati dan juga kemungkinan
pengurangan ekskresi obat yang tinggi terjadi pada labetolol, lidokain, dan
propanolol.
Efek usia pada ginjal berpengaruh besar pada ekskresi beberapa obat.
Umumnya obat diekskresi melalui filtrasi glomerolus yang sederhana dan kecepatan
ekskresinya berkaitan dengan kecepatan filtrasi glomerolus (oleh karena itu
berhubungan juga dengan bersihan kreatinin). Misalnya digoksin dan antibiotik
golongan aminoglikosida. Pada usia lanjut, fungsi ginjal berkurang, begitu juga
dengan aliran darah ke ginjal sehingga kecepatan filtrasi glomerolus berkurang
sekitar 30 % dibandingkan pada orang yang lebih muda. Akan tetapi, kisarannya
cukup lebar dan banyak lansia yang fungsi glomerolusnya tetap normal. Fungsi
tubulus juga memburuk akibat bertambahnya usia dan obat semacam penicilin dan
litium, yang secara aktif disekresi oleh tubulus ginjal, mengalami penurunan faali
glomerolus dan tubulus (Bustami, 2001).
6.
Interaksi Farmakokinetik
A. Fungsi Ginjal
Perubahan paling berarti saat memasuki usia lanjut ialah berkurangnya
fungsi ginjal dan menurunnya creatinine clearance, walaupun tidak terdapat penyakit
ginjal atau kadar kreatininnya normal. Hal ini menyebabkan ekskresi obat sering
berkurang, sehingga memperpanjang intensitas kerjanya. Obat yang mempunyai
half-life panjang perlu diberi dalam dosis lebih kecil bila efek sampingnya berbahaya.
Dua obat yang sering diberikan kepada lansia ialah glibenklamid dan digoksin.
Glibenklamid, obat diabetes dengan masa kerja panjang (tergantung besarnya
dosis) misalnya, perlu diberikan dengan dosis terbagi yang lebih kecil ketimbang
dosis tunggal besar yang dianjurkan produsen. Digoksin juga mempunyai waktuparuh panjang dan merupakan obat lansia yang menimbulkan efek samping
terbanyak di Jerman karena dokter Jerman memakainya berlebihan, walaupun
sekarang digoksin sudah digantikan dengan furosemid untuk mengobati payah
jantung sebagai first-line drug (Darmansjah, 1994).
Karena kreatinin tidak bisa dipakai sebagai kriteria fungsi ginjal, maka harus
digunakan nilai creatinine-clearance untuk memperkirakan dosis obat yang renaltoxic, misalnya aminoglikoside seperti gentamisin. Penyakit akut seperti infark
miokard dan pielonefritis akut juga sering menyebabkan penurunan fungsi ginjal dan
ekskresi obat.
Dosis yang lebih kecil diberikan bila terjadi penurunan fungsi ginjal,
khususnya bila memberi obat yang mempunyai batas keamanan yang sempit.
Alopurinol dan petidin, dua obat yang sering digunakan pada lansia dapat
memproduksi metabolit aktif, sehingga kedua obat ini juga perlu diberi dalam dosis
lebih kecil pada lansia.
B. Fungsi Hati
Hati memiliki kapasitas yang lebih besar daripada ginjal, sehingga
penurunan fungsinya tidak begitu berpengaruh. Ini tentu terjadi hingga suatu batas.
Batas ini lebih sulit ditentukan karena peninggian nilai ALT tidak seperti penurunan
creatinine-clearance. ALT tidak mencerminkan fungsi tetapi lebih merupakan marker
kerusakan sel hati dan karena kapasitas hati sangat besar, kerusakan sebagian sel
dapat diambil alih oleh sel-sel hati yang sehat. ALT juga tidak bisa dipakai sebagai
parameter kapan perlu membatasi obat tertentu. Hanya anjuran umum bisa
diberlakukan bila ALT melebihi 2-3 kali nilai normal sebaiknya mengganti obat
dengan yang tidak dimetabolisme oleh hati. Misalnya pemakaian methylprednisolon,
prednison dimetabolisme menjadi prednisolon oleh hati. Hal ini tidak begitu perlu
untuk dilakukan bila dosis prednison normal atau bila hati berfungsi normal.
Kejenuhan metabolisme oleh hati bisa terjadi bila diperlukan bantuan hati untuk
metabolisme dengan obat-obat tertentu. First-pass effect dan pengikatan obat oleh
protein (protein-binding) berpengaruh penting secara farmakokinetik. Obat yang
diberikan oral diserap oleh usus dan sebagian terbesar akan melalui Vena porta dan
langsung masuk ke hati sebelum memasuki sirkulasi umum. Hati akan melakukan
metabolisme obat yang disebut first-pass effect dan mekanisme ini dapat
mengurangi kadar plasma hingga 30% atau lebih. Kadar yang kemudian ditemukan
dalam plasma merupakan bioavailability suatu produk yang dinyatakan dalam
prosentase dari dosis yang ditelan. Obat yang diberikan secara intra-vena tidak akan
melalui hati dahulu tapi langsung masuk dalam sirkulasi umum. Karena itu untuk
obat-obat tertentu yang mengalami first-pass effect dosis IV sering jauh lebih kecil
daripada dosis oral.
Protein-binding juga dapat menimbulkan efek samping serius. Obat yang
diikat banyak oleh protein dapat digeser oleh obat lain yang berkompetisi untuk
ikatan dengan protein seperti aspirin, sehingga kadar aktif obat pertama meninggi
sekali dalam darah dan menimbulkan efek samping. Warfarin, misalnya, diikat oleh
protein (albumin) sebanyak 99% dan hanya 1% merupakan bagian yang bebas dan
aktif. Proses redistribusi menyebabkan 1% ini dipertahankan selama obat bekerja.
Bila kemudian diberi aspirin yang 80-90% diikat oleh protein, aspirin menggeser
ikatan warfarin kepada protein sehingga kadar warfarin-bebas naik mendadak, yang
akhirnya menimbulkan efek samping perdarahan spontan. Aspirin sebagai
antiplatelet juga akan menambah intensitas perdarahan. Hal ini juga dapat terjadi
pada aspirin yang mempunyai waktu-paruh plasma hanya 15 menit. Sebagian besar
mungkin tidak berpengaruh secara klinis, tetapi untuk obat yang batas keamanannya
sempit dapat membahayakan penderita (Boestami, 2001)
7.
lansia secara keseluruhan akan menurun. Penurunan ini sangat menonjol pada
Interaksi Farmakodinamik
Interkasi farmakodinamik pada usia lanjut dapat menyebabkan respons reseptor
obat dan target organ berubah, sehingga sensitivitas terhadap efek obat menjadi
lain. Ini menyebabkan kadang dosis harus disesuaikan dan sering harus dikurangi.
Misalnya opiod dan benzodiazepin menimbulkan efek yang sangat nyata terhadap
susunan saraf pusat. Benzodiazepin dalam dosis normal dapat menimbulkan rasa
ngantuk dan tidur berkepanjangan. Antihistamin sedatif seperti klorfeniramin (CTM)
juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil (tablet 4 mg memang terlalu besar) pada
lansia.
Mekanisme terhadap baroreseptor biasanya kurang sempurna pada usia lanjut,
sehingga obat antihipertensi seperti prazosin, suatu 1 adrenergic blocker, dapat
menimbulkan hipotensi ortostatik; antihipertensi lain, diuretik furosemide dan
antidepresan trisiklik dapat juga menyebabkannya (Darmansjah, 1994)
B.
1.
Penyakit Hipertensi
Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar dari 140
mmHg dan atau diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran
dengan selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup istirahat (tenang). Hipertensi
didefinisikan oleh Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment
of High Blood Pressure sebagai tekanan yang lebih tinggi dari 140 / 90 mmHg.
Hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya interaksi berbagai
faktor resiko yang dimiliki seseorang. Faktor pemicu hipertensi dibedakan menjadi
yang tidak dapat dikontrol seperti riwayat keluarga, jenis kelamin, dan umur. Faktor
yang dapat dikontrol seperti obesitas, kurangnya aktivitas fisik, perilaku merokok,
pola konsumsi makanan yang mengandung natrium dan lemak jenuh.
2.
Klasifikasi Hipertensi
Hipertensi dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu hipertensi sistolik,
10
hipertensi vaskular renal dan sindrom Cushing, koartasio aorta, hipertensi yang
berhubungan dengan kehamilan, dan lain-lain (Smeltzer & Bare, 2002).
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII), klasifikasi
hipertensi pada orang dewasa dapat dibagi menjadi kelompok normal, prehipertensi,
hipertensi derajat I dan derajat II.
Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII (2003)
Klasifikasi Tekanan
Tekanan Darah
Tekanan Darah
Darah
Sistolik (mmHg)
< 120
Diastolik (mmHg)
< 80
Prehipertensi
120 139
80 89
Hipertensi derajat I
140 159
90 99
Hipertensi derajat II
160
100
Normal
Tekanan Darah
Sistolik (mmHg)
180
Tekanan Darah
Diastolik (mmHg)
110
Hipertensi sedang
160 179
100 109
Hipertensi ringan
140 159
90 99
Hipertensi perbatasan
120 149
90 94
120 149
< 90
> 140
< 90
Normotensi
< 140
< 90
Optimal
< 120
< 80
3.
Patofisiologi
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari
11
Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa
haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal
untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat
sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat
dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler
akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya,
volume darah meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.
Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron
merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk
mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl
(garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl
akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler
yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Patogenesis
dari hipertensi esensial merupakan multifaktorial dan sangat Universitas Sumatera
Utara komplek. Faktor-faktor tersebut merubah fungsi tekanan darah terhadap
perfusi jaringan yang adekuat meliputi mediator hormon, aktivitas vaskuler, volume
sirkulasi darah, kaliber vaskuler, viskositas darah, curah jantung, elastisitas
pembuluh darah dan stimulasi neural. Patogenesis hipertensi esensial dapat dipicu
oleh beberapa faktor meliputi faktor genetik, asupan garam dalam diet, tingkat stress
dapat berinteraksi untuk memunculkan gejala hipertensi. Perjalanan penyakit
hipertensi esensial berkembang dari hipertensi yang kadangkadang muncul menjadi
hipertensi yang persisten. Setelah periode asimtomatik yang lama, hipertensi
persisten berkembang menjadi hipertensi dengan komplikasi, dimana kerusakan
organ target di aorta dan arteri kecil, jantung, ginjal, retina dan susunan saraf pusat.
Progresifitas hipertensi dimulai dari prehipertensi pada pasien umur 10-30 tahun
(dengan meningkatnya curah jantung) kemudian menjadi hipertensi dini pada pasien
umur 20-40 tahun (dimana tahanan perifer meningkat) kemudian menjadi hipertensi
pada umur 30-50 tahun dan akhirnya menjadi hipertensi dengan komplikasi pada
usia 40-60 tahun (Sharma S et al, 2008 dalam Anggreini AD et al, 2009).
4.
12
darah
meningkat
karena
jantung
dipaksa
memompa
untuk
memasukkan oksigen yang cukup ke dalam organ dan jaringan tubuh lainnya.
e. Kurangnya aktifitas fisik
Aktivitas fisik sangat mempengaruhi stabilitas tekanan darah. Pada orang yang
tidak aktif melakukan kegiatan fisik cenderung mempunyai frekuensi denyut
jantung yang lebih tinggi. Hal tersebut mengakibatkan otot jantung bekerja lebih
keras pada setiap kontraksi. Makin keras usaha otot jantung dalam memompa
darah, makin besar pula tekanan yang dibebankan pada dinding arteri sehingga
meningkatkan tahanan perifer yang menyebabkan kenaikkan tekanan darah.
13
Kurangnya aktifitas fisik juga dapat meningkatkan risiko kelebihan berat badan
yang akan menyebabkan risiko hipertensi meningkat.
Studi epidemiologi membuktikan bahwa olahraga secara teratur memiliki efek
antihipertensi dengan menurunkan tekanan darah sekitar 6-15 mmHg pada
penderita hipertensi. Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan
hipertensi, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan
perifer yang akan menurunkan tekanan darah. Olahraga juga dikaitkan dengan
peran obesitas pada hipertensi.
5.
Diagnosis Hipertensi
Diagnosis hipertensi dengan pemeriksaan fisik paling akurat menggunakan
sphygmomanometer air raksa. Sebaiknya dilakukan lebih dari satu kali pengukuran
dalam posisi duduk dengan siku lengan menekuk di atas meja dengan posisi telapak
tangan menghadap ke atas dan posisi lengan sebaiknya setinggi jantung.
Pengukuran
dilakukan
dalam
keadaan
tenang.
Pasien
diharapkan
tidak
e.
rontgen.
Tes khusus
Tes yang dilakukan antara lain adalah : X- ray khusus (angiografi) yang
mencakup penyuntikan suatu zat warna yang digunakan untuk memvisualisasi
jaringan arteri aorta, renal dan adrenal. Memeriksa saraf sensoris dan perifer
dengan
suatu
alat
electroencefalografi
Komplikasi Hipertensi
(EEG),
alat
ini
menyerupai
14
Hipertensi yang terjadi dalam kurun waktu yang lama akan berbahaya sehingga
menimbulkan komplikasi. Komplikasi tersebut dapat menyerang berbagai target
organ tubuh yaitu otak, mata, jantung, pembuluh darah arteri, serta ginjal. Sebagai
dampak terjadinya komplikasi hipertensi, kualitas hidup penderita menjadi rendah
dan kemungkinan terburuknya adalah terjadinya kematian pada penderita akibat
komplikasi hipertensi yang dimilikinya.
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab
kerusakan organ-organ tersebut dapat melalui akibat langsung dari kenaikan
tekanan darah pada organ, atau karena efek tidak langsung, antara lain adanya
autoantibodi terhadap reseptor angiotensin II, stress oksidatif, down regulation, dan
lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas
terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ target, misalnya
kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi transforming growth
factor- (TGF-).
Umumnya, hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Kerusakan organ-organ yang umum ditemui pada
pasien hipertensi adalah:
Jantung
hipertrofi ventrikel kirI,angina atau infark miokardium serta gagal jantung
Otak
stroke atau transient ishemic attack
Penyakit ginjal kronis
Penyakit arteri perifer
Retinopati
7. Pengobatan Hipertensi
Kelas obat utama yang digunakan untuk mengendalikan tekanan darah adalah :
a.
Diuretik
Diuretik menurunkan tekanan darah dengan menyebabkan diuresis.
Pengurangan volume plasma dan Stroke Volume (SV) berhubungan dengan dieresis
dalam penurunan curah jantung (Cardiac Output, CO) dan tekanan darah pada
akhirnya. Penurunan curah jantung yang utama menyebabkan resitensi perifer. Pada
terapi diuretik pada hipertensi kronik volume cairan ekstraseluler dan volume plasma
hampir kembali kondisi pretreatment.
a.
Thiazide
15
kronis
(COPD),
diabetes
dan
penyakit
arterial
perifer.
e.
tekanan darah arteri). ACE didistribusikan pada beberapa jaringan dan ada pada
beberapa tipe sel yang berbeda tetapi pada prinsipnya merupakan sel endothelial.
Kemudian, tempat utama produksi angiotensin II adalah pembuluh darah bukan
16
ginjal. Pada kenyataannya, inhibitor ACE menurunkan tekanan darah pada penderita
dengan aktivitas renin plasma normal, bradikinin, dan produksi jaringan ACE yang
penting dalam hipertensi.
f.
Penghambat Reseptor Angiotensin II (ARB)
Angiotensin II digenerasikan oleh jalur renin-angiotensin (termasuk ACE) dan
jalur alternatif yang digunakan untuk enzim lain seperti chymases. Inhibitor ACE
hanya
menutup
jalur
renin-angiotensin,
ARB
menahan
langsung
reseptor
angiotensin tipe I, reseptor yang memperentarai efek angiotensin II. Tidak seperti
inhibitor ACE, ARB tidak mencegah pemecahan bradikinin.
g.
Antagonis Kalsium
CCB menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos dengan menghambat
saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan sehingga mengurangi masuknya
kalsium ekstra selluler ke dalam sel. Relaksasai otot polos vasjular menyebabkan
vasodilatasi dan berhubungan dengan reduksi tekanan darah. Antagonis kanal
kalsium dihidropiridini dapat menyebbakan aktibasi refleks simpatetik dan semua
golongan ini (kecuali amilodipin) memberikan efek inotropik negative.
Verapamil menurunkan denyut jantung, memperlambat konduksi nodus AV,
dan menghasilkan efek inotropik negative yang dapat memicu gagal jantung pada
penderita lemah jantung yang parah. Diltiazem menurunkan konduksi AV dan denyut
jantung dalam level yang lebih rendah daripada verapamil.
h.
Alpha blocker
Prasozin, Terasozin dan Doxazosin merupakan penghambat reseptor 1 yang
menginhibisi katekolamin pada sel otot polos vascular perifer yang memberikan efek
vasodilatasi. Kelompok ini tidak mengubah aktivitas reseptor 2 sehingga tidak
menimbulkan efek takikardia.
i.
VASO-dilator langsung
Hedralazine dan Minokxidil menyebabkan relaksasi langsung otot polos
arteriol. Aktivitasi refleks baroreseptor dapat meningkatkan aliran simpatetik dari
pusat fasomotor, meningkatnya denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan renin.
Oleh karena itu efek hipotensi dari vasodilator langsung berkurang pada penderita
yang juga mendapatkan pengobatan inhibitor simpatetik dan diuretik.
j.
Inhibitor Simpatetik Postganglion
Guanethidin dan guanadrel mengosongkan norepinefrin dari terminal
simpatetik postganglionik dan inhibisi pelepasan norepinefrin terhadap respon
stimulasi saraf simpatetik. Hal ini mengurangi curah jantung dan resistensi vaskular
perifer.
17
8.
lanjut usia, dimana terjadi penurunan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit
kardiovaskuler dan serebrovaskuler (Kuswardhani, 2006). Terapi pada pasien usia
lanjut meliputi terapi norfamakologis dan farmakologis. Terapi non farmakologis
harus dilaksanakan oleh semua pasien hipertensi dengan tujuan menurunkan
tekanan darah dan mengendalikan faktor-faktor resiko serta penyakit penyerta
lainnya. Terapi non farmakologis terdiri dari:
Menghentikan merokok
C.
1.
Penyakin Jantung
Defenisi Penyakit Jantung Koroner
Menurut WHO, penyakit jantung koroner (Coronary Heart Disease) adalah
18
ditujukan
kepada
pencegahan
terhadap
berkembang
proses
makanan
Mengontrol tekanan darah. Banyak kasus tekanan darah tinggi tidak dapat
disembuhkan. Keadaan ini berasal dari suatu kecenderungan genetik yang
bercampur dengan faktor resiko seperti stres, kegemukan, terlalu banyak
konsumsi garam dan kurang gerak badan. Upaya pengendalian yang dapat
dilakukan adalah mengatur diet, menjaga berat badan, menurunkan stres dan
melakukan olah raga. yang kaya akan kolesteror kemudian mengurangi
konsumsinya serta mengkonsumsi serat yang larut (soluble fiber).
19
c.
Berhenti merokok.
Selain itu juga dilakukan intervensi dengan obat-obatan. Intervensi dengan
obat-obatan
Aspirin Obat yang paling banyak diberikan, tujuannya adalah mengencerkan
jantung
Statin Obat yang berfungsi untuk menurunkan jumlah kolesterol yang dibuat
dalam tubuh khususnya di hati, dan membantu agar pembuluh nadi tidak
menyempit kembali.
GTN Obat ini digunakan bila penderita merasa nyeri di dada, bentuk obat ada
yang berupa spray untuk disemprot atau bentuk tablet. Obat ini sering
diberikan pada penderita PJK yang baru keluar dari rumah sakit.
20
BAB III
TELAAH RESEP
A. Resep
Salinan Resep
Nomor
Dari Dokter
: dr.ZP, SPd
Tetulis tanggal
: 17 Oktober 2016
Pro
Furosemid
S1dd1
No.X
KSR
S2dd1
No.X
Amlodipin
S1dd1
No.X
det
det
det
B. Salinan
Resep
Apoteker
Mona Rahmi Rulianti, M. Farm, Apt
SIPA No. 503/IPA/0276/KPPT/2014
21
C.
Golongan:
22
Komposisi
Tiap tablet mengandung furoseide 40 mg
Cara kerja obat
Furosemide menghambat reasorbsi air dan elektrolit sebagai hasil utama
yang kerjanya pada simpul henle. Furosemide memperlihatkan diuresis
(natrium) tergantung pada dosis yang diberikan.
Efek diuretik furosemide mulai bekerja sampai 1 jam setelah pemberian
secara oral dan mencapai maksimum dalam waktu 1 sampai 2 jam. Efek
diuresis bertahan sekitar 4 sampai 6 jam. Berbeda dengan golongan thiazide,
furosemide dapat diperoleh efek pada keadaan keadaan walaupun filtrasi
glomerulus sangat menurun.
Indikasi
- Udema yang disebabkan oleh payah jantung, sirosis hati, penyakit ginjal
termasuk sindrom nefrotik
- Hipertensi ringan sampai sedang dalam bentuk tunggal atau kombinasi
Dosis
Untuk udema
Dewasa : dosis awal : 20 - 80 mg sebagai dosis tunggal jika diperlukan dapat
diulang dengan dosis sama 6- 8 jam kemudian. Dosis dapat ditingkatkan 2040 mg setiap 6-8 jam sampai tercapai diuresis yang diharapkan. Kemudian
dosis diberikan 1-2 kali/hari. Dosis dapat ditingkatkan sampai 600mg/hari
pada pasien dengan keadaan udema yang parah.
Anak-anak : dosis awal : 1-2 mg/kgBB sebagai dosis tunggal jika respon
yang diharapkan tidak tercapai dosis dapat ditingkatkan 1-2mg/kgBB setiap
6-8 jam sampai tercapai diuresis yang diharapkan. Dosis maksimal
6mg/kgBB untuk pemeliharaan, dosis dikurangi sampai tingkat minimum
efektif untuk pemeliharaan.
Untuk hipertensi
23
24
Golongan :
Indikasi
Penanganan pertama pada hipertensi dan dapat digunakan sebagai agent
pengatur tekanan darah pada kebanyakan pasien
Dosis Hipertensi
Dewasa: Awalnya, 5 mg sekali sehari meningkat menjadi 10 mg sekali sehari
jika diperlukan.
Anak: 6-17 tahun Awalnya, 2,5 mg sekali sehari, meningkat menjadi 5 mg
sekali sehari jika diperlukan.
Lansia: Awalnya, 2,5 mg sekali sehari.
Kontraindikasi
Hipotensi berat, syok (termasuk syok kardiogenik), obstruksi saluran keluar
ventrikel kiri (mis aorta stenosis), gagal jantung hemodinamik tidak stabil
setelah MI akut.
Peringatan
Khusus Pasien gagal jantung. Hati dan ginjal penurunan, tua. Kehamilan dan
menyusui
Efek samping
25
CYP3A4 inhibitor
simvastatin dapat
otot
polos
vaskular
dan
otot
jantung.
Amlodipine
dapat
26
Pasien usia lanjut dan pasien dengan gangguan fungsi hati didapatkan
peningkatan AUC sekitar 40-60%, sehingga diperlukan pengurangan dosis
pada awal terapi dan pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat.
Penyimpanan
Simpan antara 15-30 C
Penyimpanan
Simpan antara 15-30 C
3. KSR
Dibuat oleh: PT. Merck Tbk
Golongan:
Kandungan
Tiap tablet mengandung Pottasium klorida 600 mg
Indikasi / Kegunaan
Pengobatan dan pencegahan spesifik hipokalemia (sebagai suplemen
kalium)
Dosis / Cara Penggunaan
KSR diberikan secara rutin dengan dosis rata-rata.1-2 tab 2-3 kali sehari
Edukasi : tablet KSR harus ditelan utuh dengan sedikit air sebaiknya
digunakan bersamaan makanan
Kontraindikasi
gagal ginjal, dehidrasi akut, hiperkalemia, dengan adanya obstruksi pada
saluran pencernaan (misalnya, akibat kompresi kerongkongan akibat
pelebaran atrium kiri atau dari stenosis usus) KSR bisa menimbulkan ulserasi
atau perforasi.
Peringatan
KSR dapat menyebabkan muntah yang parah, nyeri perut yang parah atau
perut kembung, atau perdarahan gastrointestinal.
Tindakan Pencegahan Khusus
Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, perawatan khusus harus
dilakukan ketika meresepkan garam kalium karena risiko hiperkalemia. Untuk
itu kadar Elektrolit pada pasien itu harus selalu dipantau. KSR harus dihindari
pada pasien dengan gagal jantung kongestif, terutama sedang dalam
pengobatan dengan digitalis, di antaranya hipokalemia
27
misalnya, mual,
muntah, sakit perut, diare. Jika efek samping KSR ini terjadi maka dalam hal
ini, pengurangan dosis atau penarikan obat mungkin diperlukan.
Interaksi obat
KSR dapat
dengan
inhibitor ACE,
siklosporin,
diuretik
hemat
kalium
misalnya,
D. Penyelesaian Resep
28
Pada lembar resep terdapat 2 nama obat dagang yang diresepkan. dan 1 obat
generik Pertama furosemid Tab sebanyak 10 tablet ,obat ini di indikasikan untuk
mengobati udema dan hipertensi ringan dalam resep ini dikombinasikan dengan
amlodipine, Amlodipin di indikasikan untuk mengbati penyakit hipetensi. Furosemid,
antihipertensi golongan loop diuretic sedangkan Amlodipin, antihipertensi golongan
pemblok kanal kalsium (CCB). Dari segi dosis, umumnya furosemid diberikan sekali
sehari (40 mg/hari), yaitu pada pagi hari. Namun dalam kasus ini, pasien menerima
furosemid 40 mg Dosis tersebut masih berada pada dosis yang dianjurkan. Waktu
pemberian furosemid juga masih aman, yaitu pada pagi dan siang hari, sehingga
resiko terjadinya diuresis nokturnal masih dapat dihindarkan. (Dipiro; 233-236).
Amlodipine yang diberikan dengan dosis 10 mg sehari juga aman untuk pasien
Karena sesuai dengan dosis maksimum pemberian amlodipine yakni 1xsehari 10 mg
Untuk obat ketiga yaitu KSR/ kalium klorida berfungsi untuk Pengobatan dan
pencegahan spesifik hipokalemia dikarenakan furosemid merupakan diuretik yang
boros kalium, sehingga dapat memicu terjadinya hypokalemia (Dipiro,1997).
Disamping
kemungkinan
terjadinya
hipokalemia,
pengguna
furosemid
juga
= 10 tab
10 tablet
= 10
10 tablet
= 10
10 tablet
%Dosis Lazim
1x = 40/40x100% = 100%
1hr = 40/40x100%=100%
2.
Dosis Pakai
Dosis Lazim
1 x = 40 mg
1x = 40 mg
1 h = 40 mg
1 hr = 40 mg
KSR ( Kalium Klorida) Tab
%Dosis Lazim
-
3.
Dosis Pakai
Dosis Lazim
1 x = 5 mg
1 h = 5 mg
Amlodipin Tab
Dosis Pakai
Dosis Maksimum
%Dosis Maksimum
29
1 x = 10 mg
1 h = 10 mg
1 hr = 10 mg
1hr = 10/10x100%=100%
yang
dibutuhkan
tersedia,
dilakukan
pemberian
harga
dan
4.
dari apoteker.
Resep diberi nomor urut resep, selanjutnya nomor resep tersebut
5.
6.
7.
8.
kebenaran kuitansi.
Obat diserahkan kepada pasien sesuai dengan nomor resep lalu pasien
diberi informasi tentang cara pemakaian obat, efek samping obat dan
informasi lain yang diperlukan pasien serta berikan KIE (Komunikasi,
9.
30
H.
I.
Aturan Pakai
1. Furiosemide tab
Satu kali sehari satu tablet sesudah makan
2. KSR tab
Satu kali sehari satu tablet sesudah makan
3. Amiodipin tab
Satu kali sehari satu tablet sesudah makan
Efek Samping Obat
1. Furosemid tab
Efek samping :
Gangguan pada saluran pencernaan seperti mual, diare, pankreatilis,
jaundice, anoreksia, iritasi oral dan gaster, muntah, kejang, dan konstipas
2. KSR tab
Efek samping :
Persiapan kalium oral dapat memprovokasi gastrointestinal gangguan
misalnya, mual, muntah, sakit perut, diare
3. Amlodipin tab
Efek samping :
Mengantuk, pusing, sakit kepala, pergelangan kaki bengkak, edema,
pembilasan, kelelahan, jantung berdebar, sakit perut, mual. Jarang,
kebingungan, ruam, hiperplasia gingiva, kram otot, dyspnoea.
J.
Cara Penyimpanan
Cara penyimpanan untuk dua jenis obat ini sama , yaitu :
1. Jauhkan dari jangkauan anak-anak.
2. Simpan di tempat yang sejuk, kering terlindung dari cahaya
3. Periksa kondisi obat secara berkala. Jangan lupa juga untuk mengecek
tanggal kadaluarsa.
K.
Etiket
1. Furosemid
31
2.
3.
Pagi
Siang
Sore
Malam
Sesudah Makan
Suapan Pertama
Amlodipin
APOTIK SIMULASI FARMA
Jurusan Farmasi Poltekkes Palembang
Jl. Ismail Marzuki No.5341/171 Telp (0711) 352071 Palembang
Apoteker : Mona Rahmi Rulianti, M.Farm, Apt
SIPA No. 503/IPA/0276/KPPT/2014
No.R/ Nama : Tuan Hamdani (60 th) Tanggal: 25 Oktober 2016
Satu kali sehari satu Tab / Capsul /Bungkus
Sendok makan (15ml)
Sendok teh (5ml)
Sebelum Makan
Bersama Makanan
Pagi
Siang
Sore
Malam
Sesudah Makan
Suapan Pertama
KSR
32
L. Perhitungan Harga
HNA = HJA + Tuslah + Emballase
BAB IV
SKENARIO
Pemeran
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Gita Mayleni
Monika Septiana M
Mellysa
Khodijah Shafaria
Meisindri Wahyuni
M.Luffy Kuncoro
No
: Sebagai TTK 1
: Sebagai TTK 2
: Sebagai TTK 3
: Sebagai TTK 4
: Sebagai TTK 5
: Sebagai Pasien
Nama Obat
Jumlah
Item
Harga Obat
+PPN
Total Harga
Furosemid
10 tablet
Rp. 2.000,00-
Rp. 20.000,00-
KSR
10 tablet
Rp. 4.500,00-
Rp. 45.000,00-
Amlodipin
10 tablet
Rp. 15.000,00-
Rp. 150.000,00-
Tuslah
3 R/
Rp. 1.000,00-
Rp. 3.000,00-
Emballase
Total yang harus dibayar
Rp. 215.500,00-
Prolog
Disiang hari di tengah teriknya matahari salah satu apotek di kota Palembang
yaitu apotek Simulasi Farma beaktivittas seperit biasa. Beberapa pegawai di apotek
tersebut sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Tidak lama kemudian
datanglah seorang kakek tua yang ingin menebus obatnya di apotek tersebut.
33
TTK 1
Pasien
: iyo nak, bapak nak nebus obat. Ini nah resep nyo (menyerahkan
resep).
TTK 1
Pasien
: Iyo nak, namo bapak itu. Nah, la 60 tahun la tuo retinyo bapak ni.
TTK 1
: Hehe iya pak. Kami cek dulu ya pak obatnya tersedia atau tidak ?
Pasien
: iyo cek lah.sekalian cek ke hargonyo dulu yo nak. Bapak nih takut
duetnyo dk cukup
TTK 1
Pasien
: Mel ini ada resep, tolong cek yah ketersediaan dan harga obatnya.
TTK 3
ketersediaan obat.
TTK 3
: Dijah tolong bantu cek obat ini yah ada apa enggak.
TTK 4
: Oke mel.
TTK 4 dan TTK 5 mengecek ketersediaan obat yang diresepkan. Beberapa
: Mellysa.
TTK 3
: Iya Khodijah.
34
TTK 4
TTK 3
: Gita.
TTK 1
: Iya mel.
TTK 3
TTK 1
: Makasih mel.
TTK 1 memanggil pasien dan memeberitahukan ketersediaan obat dan
harganya.
TTK 1
: Bapak Hamdani.
Pasien
TTK 1
: obatnya ada semua pak di apotek kami, total harganya Rp. 204.000
Pasien
: Oh dak pulo mahal. Bapak kiro tadi sampai tigo ratusan. Maklum lah
nak, bapak ni baru inilah nebus resep biasonyo anak bapak, dio dak
biso lagi sibuk.
TTK 1
Pasien
TTK 1
TTK 2
: Iya git.
TTK 2 menyerahkan nomor antrian kepada pasien dan mempersilahkan
Pasien
: Iyo nak.
35
: Mellysa.
TTK 3
TTK 1
TTK 3
: Okey.
TTK 3 membuat kertas kerja lalu mengintruksikan kepada TTK 4 dan TTK 5
untuk mengerjakannya.
TTK 3
: Dijah, mei tolong kerjain resep ini yah (sambil menyerahkan kertas
kerja).
TTK 4 dan 5
: Baik mellysa.
: Mellysa.
TTK 3
: Iya khodijah.
TTK 4
: Ini mel obat nya sudah selesai. Jangan lupa di cek ulang yah etiket
dan jumlah
obat nya.
TTK 3
: Gita.
TTK 1
: Ya mellysa.
TTK 3
36
TTK 1
: Terimakasih Mellysa.
TTK 1 memanggil pasien dan menyerahkan obat tersebut.
TTK 1
Pasien
TTK 1
Paisen
: Iyo iyo, maafkelah nak. Tau lah dewek mun la tuo ni, pendengaran la
teganggu.
TTK 1
Pasien
: Nah mano pulok nomor tadi, ini nah ini nah (menyerahkan nomor
antrian yang
sudah di gulung-gulung oleh pasien).
TTK 1
: Baik pak, ini obat nya ada 3 ya pak. Semuanya digunakan 1 kali
sehari yah pak. Untuk obat furosemid dan amlodipin digunakan
setelah makan. Sedangkan obat KSR nya harus ditelan utuh dengan
sedikit air dan digunakan bersamaan makanan pak. Sebaiknya
dikonsumsi pada pagi hari yah pak.
Pasien
TTK 1
: Gini pak, untuk obat ini yang furosemide. Nah efek samping obat ini,
kalau
dikonsumsi
akan
sering
buang
air
kecil.
Jadi
kalau
: Oh iyo la bener pulok nak mak uji kau tuh. Kalo obat yang 2 ikok nyo
lagi itu untuk apo dek.
TTK 1
Pasien
: men uji dokter tadi penyakit uwong tuo dek. Ujinyo apo darah tinggi
mak itu
TTK 1
: iya pak jadi gini . Untuk 2 obat ini . Yg ini amlodipine pak
ini sama saja seperti furosemide. indikasinya untuk antihipertensi.
Untuk mengurangi tekanan darah bapak. Nah, tapi furosemide itu
37
seperti yang saya katakan tadi bisa menyebabkan sering buang air
kecil. Sehingga kadar kalium dalam tubuh bapak menjadi berkurang.
Dan akhirnya, bapak akan merasa lemas. Oleh karena itu,
diberikanlah KSR untuk menjaga kadar kalium dalam tubuh bapak
tetap stabil.
Pasien
: Oh mak itu. Ado efek samping nyo dak obat ini dek?
TTK 1
: Tentu saja ada pak, tapi bapak tidak perlu khawatir. Efek
sampingnya terkadang bapak akan merasa mual, lalu muntah, sakit
pinggang,diare dan sedikit pusing. Tapi itu belum tentu terjadi kok pak
efek samping nya pada diri bapak. Kalau nanti terjadi secara terusmenerus sebaiknya bapak langsung segera hubungi dokter saja.
Pasien
: Oh cak itu nak eh, walaupun dak ngerti nian tapi ado lah yang
nyangkut dikit dikit.
TTK 1
: Iya pak begitu. Nanti kalau tekanan darah nya sudah menurun,
segera hentikan penggunaan obat nya ya pak. Bisa bapak ulangi lagi
yang sudah saya jelaskan tadi.
Pasien
: Iyo nak, obat ini nih minum nyo 1 kali bae sehari waktu pagi hari
sudah sarapan eh jangan waktu malam agek laju nak buang air kecil
bae.
TTK 1
Pasien
: Iyo lah nak, tuo-tuo mak ini pinter bapak ni. Dulu juara terus waktu
sekolah.
TTK 1
: oh iya pak bapak kan tekanan darahnya tinggi ,ada baiknya bapak
mengurangi konsumsi daging makanan berlemak, kalo merokok
berhenti merokoknya pak dan kurangi konsumsi garam ya pak
Pasien
TTK 1
: hehe iya pak, kalo bisa mulai berolahraga dan banyak konsumsi
sayur dan buah ya pak
Pasien
TTK 1
38
TTK 1
TTK 2
: Iya git.
TTK 2 menyerah obat kepada pasien.
TTK 2
Pasien
TTK 2
kepada
pasien)
Pasien
: Mokaseh nak.
TTK 2
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, A.D., Waren, A., Situmorang, E., Asputra, H., Siahaan, S.S., 2009,
Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Kejadian Hipertensi Pada Pasien
yang Berobat di Poliklinik Dewasa Puskesmas Bangkinang Periode JanuariJuni 2008, Laporan Penelitian: Fakultas Kedokteran, Universitas Riau, 358.
Anonim,2006, Terapi pada Usia Lanjut (Geriatri).
http://pojokapoteker.blogspot.com/2008/12/terapi-pada-usia-lanjut geriatri.html
diakses tanggal 21 Oktober 2016
Anonim,
2004, Bagi
Kaum
Lansia
Obat
tidak
Selalu
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/01/index.htm..
Menjadi
Diakses
Sahabat
diakses
21
Oktober 2016
BNF, 2007, British National Formulary 54th Edition, BMJ Publishing Group, London
halaman 57-56
Bustami,Z.S. 2001. Obat Untuk Kaum Lansia. Edisi kedua. Penerbit ITB. Bandung
39
Darmojo-Boedi, Martono Hadi (editor). 2006. Buku Ajar Geriatri. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran UI. Jakarta
Darmansjah, Iwan, Prof. 1994. Jurnal Ilmiah : Polifarmasi pada Usia Lanjut. Diakses
diakses tanggal 21 Oktober 2016
Depkes RI :Jakarta Departemen kesehatan RI. 2006. Pedoman Tata Laksana Gizi
Usia Lanjut untuk Tenaga Kesehatan. Direktorat Gizi Masyarakat Dirjen Bina
Kesehatan Masyarakat Depkes RI. Jakarta
Fatimah, S. 2006. Buku Ajar Geriatri. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia :
Jakarta Fatmah. 2010. Gizi Usia Lanjut. Erlangga : Jakarta
Manjoer, Arif M, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, 12, Media Aesculapius, Jakarta.
National Institutes of Health, 2003. The Seventh Report of the Joint National
Committe on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood
Pressure. http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/hypertension/. Diakses
22
Oktober 2016
Nugroho, W. 1992. Perawatan Lanjut Usia. . Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC
Soedirjo. Hipertensi dan Klinis. Farmacia. Jakarta; 2008.
WHO. 2007.Hypertension Report. WHO Technical Report Series. Geneva;
WHO. (2000). WHO/ISH. Hypertension Guidlines. http://www.who.int. diakses 22
oktober 2016
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33564/4/Chapter%20II.pdf
40
LAMPIRAN