Anda di halaman 1dari 40

1

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Pada hakikatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti

seseorang telah melalui tiga tahap kehidupan yaitu masa anak, masa dewasa, dan
masa

tua

(Nugroho,

1992).

Menua

(menjadi

tua)

adalah

suatu

proses

menghilangnya secara perlahan lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri


dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang terjadi (Boedi,
2006).
Pemberian obat atau terapi untuk kaum lansia, memang banyak masalahnya,
karena beberapa obat sering beinteraksi. Kondisi patologi pada golongan usia lanjut,
cenderung membuat lansia mengkonsumsi lebih banyak obat dibandingkan dengan
pasien yang lebih muda sehingga memiliki risiko lebih besar untuk mengalami efek
samping dan interaksi obat yang merugikan (Anonim, 2004).
Penyakit pada usia lanjut sering terjadi pada banyak organ sehingga pemberian
obat sering terjadi polifarmasi. Polifarmasi berarti pemakaian banyak obat sekaligus
pada seorang pasien, lebih dari yang dibutuhkan secara logis-rasional dihubungkan
dengan diagnosis yang diperkirakan. Diantara demikian banyak obat yang ditelan
pasti terjadi interaksi obat yang sebagian dapat bersifat serius dan sering
menyebabkan hospitalisasi atau kematian. Kejadian ini lebih sering terjadi pada
pasien yang sudah berusia lanjut yang biasanya menderita lebih dari satu penyakit.
Penyakit utama yang menyerang lansia ialah hipertensi, gagal jantung, diabetes
mellitus, gangguan fungsi ginjal dan hati. Selain itu, juga terjadi keadaan yang sering
mengganggu lansia seperti gangguan fungsi kognitif, keseimbangan badan,
penglihatan

dan

pendengaran.

Semua

keadaan

ini

menyebabkan

lansia

memperoleh pengobatan yang banyak jenisnya (Darmansjah, 1994).

B. Tujuan Praktikum
1.

Untuk mengetahui cara memberikan pelayanan resep pada kasus pasien

2.

(Lanjut Usia)
Untuk mengetahui cara memberikan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi)

C.

pada penggunaan obat-obat (Lanjut Usia)


Manfaat

1. Mampu memberikan pelayanan resep dan non resep pada kasus pasien
lansia (Lanjut Usia)
2. Mampu memberikan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) pada
penggunaan obat-obat (Lanjut Usia)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.

Lansia

1.

Definisi Lansia
Menurut World Health Organisation (WHO), lansia adalah seseorang yang telah

memasuki usia 60 tahun keatas. Lansia merupakan kelompok umur pada manusia
yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya. Kelompok yang
dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu proses yang disebut Aging Process atau
proses penuaan.
Proses penuaan adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan tahapantahapan menurunnya berbagai fungsi organ tubuh, yang ditandai dengan semakin
rentannya tubuh terhadap berbagai serangan penyakit yang dapat menyebabkan
kematian misalnya pada sistem kardiovaskuler dan pembuluh darah, pernafasan,
pencernaan, endokrin dan lain sebagainya. Hal tersebut disebabkan seiring
meningkatnya usia sehingga terjadi perubahan dalam struktur dan fungsi sel,
jaringan, serta sistem organ. Perubahan tersebut pada umumnya mengaruh pada
kemunduran kesehatan fisik dan psikis yang pada akhirnya akan berpengaruh pada
ekonomi dan sosial lansia. Sehingga secara umum akan berpengaruh pada activity
of daily living (Fatmah, 2010).
2.

Batasan-Batasan Usia Lanjut


Batasan umur pada usia lanjut dari waktu ke waktu berbeda. Menurut World

Health Organitation (WHO) lansia meliputi :


a.

Usia pertengahan (middle age) antara usia 45 sampai 59 tahun

b.

Lanjut usia (elderly) antara usia 60 sampai 74 tahun

c.

Lanjut usia tua (old) antara usia 75 sampai 90 tahun

d.

Usia sangat tua (very old) diatas usia 90 tahun


Berbeda

dengan

WHO,

menurut

Depatemen

Kesehatan

RI

(2006)

pengelompokkan lansia meliputi :


a.

Virilitas (prasenium) yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan


kematangan jiwa (usia 55-59 tahun)

b.

Usia lanjut dini (senescen) yaitu kelompok yang mulai memasuki masa usia
lanjut dini (usia 60-64 tahun)

c.

Lansia berisiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit degeneratif (usia >65
tahun)

3.

Konsep Dasar Pemakaian Obat pada Lansia


Ada tiga faktor yang menjadi acuan dasar dalam pembuatan atau peresepan

obat pada lansia menurut Boedi, 2006 yaitu :

4.

a. Diagnosis dan patofisiologi penyakit


b. Kondisi organ tubuh
c. Farmakologi klinik obat
Diagnosis dan Patofisologi Penyakit
Setelah dokter mendiagnosis penyakit pasien, maka sebelum penentuan obat

yang dibeikan perlu dipertimbangkan kondisi organ tubuh serta farmakologi dari obat
yang akan diresepkan. Pada usia lanjut banyak hal-hal yang lainnya yang perlu
dipertimbangkan dalam pemilihan obat, karena pada golongan lansia berbagai
perubahan fisiologik pada organ dan sistema tubuh akan mempengaruhi tanggapan
tubuh terhadap obat. Adapun prinsip umum penggunaan obat pada usia lanjut :
a. Berikan obat hanya yang betul-betul diperlukan artinya hanya bila ada
indikasi yang tepat. Bila diperlukan efek plasebo berikan plasebo yang
sesungguhnya
b. Pilihlah
obat

yang

memberikan

rasio

manfaat

yang

paling

menguntungkandan tidak berinteraksi dengan obat yang lain atau penyakit


lainnya
c. Mulai pengobatan dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang biasa
diberikan pada orang dewasa yang masih muda.
d. Sesuaikan dosis obat berdasarkan dosis klinik pasien, dan bila perlu dengan
memonitor kadar plasma pasien. Dosis penuNjang yang tepat umumnya
lebih rendah.
e. Berikan regimen dosis yang sederhana dan sediaan obat yang mudah ditelan
untuk memelihara kepatuhan pasien
f. Periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien, dan hentikan obat
5.

yang tidak diperlukan lagi (Manjoer, 2004)


Farmakokinetik pada Lansia
Pada usia lanjut perubahan terjadi pada saluran cerna yang diduga mengubah

absorbsi obat, misalnya meningkatnya pH lambung, menurunnya aliran darah ke


usus akibat penurunan curah jantung dan perubahan waktu pengosongan lambung

dan gerak saluran cerna. Oleh karena itu, kecepatan dan tingkat absorbsi obat tidak
berubah pada usia lanjut, kecuali pada beberapa obat seperti fenotain, barbiturat,
dan prozasin (Bustami, 2001).
Pada distribusi obat terdapat hubungan antara penyebaran obat dalam cairan
tubuh dan ikatannya dengan protein plasma (biasanya dengan albumin, tetapi pada
beberapa obat dengan protein lain seperti asam alfa 1 protein), dengan sel darah
merah dan jaringan tubuh termasuk organ target. Pada usia lanjut terdapat
penurunan yang berarti pada massa tubuh tanpa lemak dan cairan tubuh total,
penambahan lemak tubuh dan penurunan albumin plasma. Penurunan albumin
sedikit sekali terjadi pada lansia yang sehat dapat lebih menjadi berarti bila terjadi
pada lansia yang sakit, bergizi buruk atau sangat lemah. Selain itu juga dapat
menyebabkan meningkatnya fraksi obat bebas dan aktif pada beberapa obat dan
kadang-kadang membuat efek obat lebih nyata tetapi eliminasi lebih cepat.
Munculnya efek obat sangat ditentukan oleh kecapatan penyerapan dan cara
penyebarannya. Durasi (lama berlangsungnya efek) lebih banyak dipengaruhi oleh
kecepatan ekskresi obat terutama oleh penguraian di hati yang biasanya membuat
obat menjadi lebih larut dalam air dan menjadi metabolit yang kurang aktif atau
dengan ekskresi metabolitnya oleh ginjal. Sejumlah obat sangat mudah diekskresi
oleh hati, antara lain melalui ambilan (uptake) oleh reseptor dihati dan melalui
metabolisme sehingga bersihannya tergantung pada kecepatan pengiriman ke hati
oleh darah. Pada usia lanjut, penurunan aliran darah ke hati dan juga kemungkinan
pengurangan ekskresi obat yang tinggi terjadi pada labetolol, lidokain, dan
propanolol.
Efek usia pada ginjal berpengaruh besar pada ekskresi beberapa obat.
Umumnya obat diekskresi melalui filtrasi glomerolus yang sederhana dan kecepatan
ekskresinya berkaitan dengan kecepatan filtrasi glomerolus (oleh karena itu
berhubungan juga dengan bersihan kreatinin). Misalnya digoksin dan antibiotik
golongan aminoglikosida. Pada usia lanjut, fungsi ginjal berkurang, begitu juga
dengan aliran darah ke ginjal sehingga kecepatan filtrasi glomerolus berkurang
sekitar 30 % dibandingkan pada orang yang lebih muda. Akan tetapi, kisarannya
cukup lebar dan banyak lansia yang fungsi glomerolusnya tetap normal. Fungsi
tubulus juga memburuk akibat bertambahnya usia dan obat semacam penicilin dan

litium, yang secara aktif disekresi oleh tubulus ginjal, mengalami penurunan faali
glomerolus dan tubulus (Bustami, 2001).
6.

Interaksi Farmakokinetik
A. Fungsi Ginjal
Perubahan paling berarti saat memasuki usia lanjut ialah berkurangnya

fungsi ginjal dan menurunnya creatinine clearance, walaupun tidak terdapat penyakit
ginjal atau kadar kreatininnya normal. Hal ini menyebabkan ekskresi obat sering
berkurang, sehingga memperpanjang intensitas kerjanya. Obat yang mempunyai
half-life panjang perlu diberi dalam dosis lebih kecil bila efek sampingnya berbahaya.
Dua obat yang sering diberikan kepada lansia ialah glibenklamid dan digoksin.
Glibenklamid, obat diabetes dengan masa kerja panjang (tergantung besarnya
dosis) misalnya, perlu diberikan dengan dosis terbagi yang lebih kecil ketimbang
dosis tunggal besar yang dianjurkan produsen. Digoksin juga mempunyai waktuparuh panjang dan merupakan obat lansia yang menimbulkan efek samping
terbanyak di Jerman karena dokter Jerman memakainya berlebihan, walaupun
sekarang digoksin sudah digantikan dengan furosemid untuk mengobati payah
jantung sebagai first-line drug (Darmansjah, 1994).
Karena kreatinin tidak bisa dipakai sebagai kriteria fungsi ginjal, maka harus
digunakan nilai creatinine-clearance untuk memperkirakan dosis obat yang renaltoxic, misalnya aminoglikoside seperti gentamisin. Penyakit akut seperti infark
miokard dan pielonefritis akut juga sering menyebabkan penurunan fungsi ginjal dan
ekskresi obat.
Dosis yang lebih kecil diberikan bila terjadi penurunan fungsi ginjal,
khususnya bila memberi obat yang mempunyai batas keamanan yang sempit.
Alopurinol dan petidin, dua obat yang sering digunakan pada lansia dapat
memproduksi metabolit aktif, sehingga kedua obat ini juga perlu diberi dalam dosis
lebih kecil pada lansia.
B. Fungsi Hati
Hati memiliki kapasitas yang lebih besar daripada ginjal, sehingga
penurunan fungsinya tidak begitu berpengaruh. Ini tentu terjadi hingga suatu batas.
Batas ini lebih sulit ditentukan karena peninggian nilai ALT tidak seperti penurunan
creatinine-clearance. ALT tidak mencerminkan fungsi tetapi lebih merupakan marker
kerusakan sel hati dan karena kapasitas hati sangat besar, kerusakan sebagian sel
dapat diambil alih oleh sel-sel hati yang sehat. ALT juga tidak bisa dipakai sebagai

parameter kapan perlu membatasi obat tertentu. Hanya anjuran umum bisa
diberlakukan bila ALT melebihi 2-3 kali nilai normal sebaiknya mengganti obat
dengan yang tidak dimetabolisme oleh hati. Misalnya pemakaian methylprednisolon,
prednison dimetabolisme menjadi prednisolon oleh hati. Hal ini tidak begitu perlu
untuk dilakukan bila dosis prednison normal atau bila hati berfungsi normal.
Kejenuhan metabolisme oleh hati bisa terjadi bila diperlukan bantuan hati untuk
metabolisme dengan obat-obat tertentu. First-pass effect dan pengikatan obat oleh
protein (protein-binding) berpengaruh penting secara farmakokinetik. Obat yang
diberikan oral diserap oleh usus dan sebagian terbesar akan melalui Vena porta dan
langsung masuk ke hati sebelum memasuki sirkulasi umum. Hati akan melakukan
metabolisme obat yang disebut first-pass effect dan mekanisme ini dapat
mengurangi kadar plasma hingga 30% atau lebih. Kadar yang kemudian ditemukan
dalam plasma merupakan bioavailability suatu produk yang dinyatakan dalam
prosentase dari dosis yang ditelan. Obat yang diberikan secara intra-vena tidak akan
melalui hati dahulu tapi langsung masuk dalam sirkulasi umum. Karena itu untuk
obat-obat tertentu yang mengalami first-pass effect dosis IV sering jauh lebih kecil
daripada dosis oral.
Protein-binding juga dapat menimbulkan efek samping serius. Obat yang
diikat banyak oleh protein dapat digeser oleh obat lain yang berkompetisi untuk
ikatan dengan protein seperti aspirin, sehingga kadar aktif obat pertama meninggi
sekali dalam darah dan menimbulkan efek samping. Warfarin, misalnya, diikat oleh
protein (albumin) sebanyak 99% dan hanya 1% merupakan bagian yang bebas dan
aktif. Proses redistribusi menyebabkan 1% ini dipertahankan selama obat bekerja.
Bila kemudian diberi aspirin yang 80-90% diikat oleh protein, aspirin menggeser
ikatan warfarin kepada protein sehingga kadar warfarin-bebas naik mendadak, yang
akhirnya menimbulkan efek samping perdarahan spontan. Aspirin sebagai
antiplatelet juga akan menambah intensitas perdarahan. Hal ini juga dapat terjadi
pada aspirin yang mempunyai waktu-paruh plasma hanya 15 menit. Sebagian besar
mungkin tidak berpengaruh secara klinis, tetapi untuk obat yang batas keamanannya
sempit dapat membahayakan penderita (Boestami, 2001)
7.

Farmakodinamik pada Lansia


Farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Respon seluler pada

lansia secara keseluruhan akan menurun. Penurunan ini sangat menonjol pada

respon homeostatik yang berlangsung secara fisiologis. Pada umumnya obat-obat


yang cara kerjanya merangsang proses biokimia selular, intensitas pengaruhnya
akan menurun misalnya agonis untuk terapi asma bronkial diperlukan dosis yang
lebih besar, padahal jika dosisnya besar maka efek sampingnya akan besar juga
sehingga index terapi obat menurun. Sedangkan obat-obat yang kerjanya
menghambat proses biokimia seluler, pengaruhnya akan terlihat bila mekanisme
regulasi homeostatis melemah (Boedi, 2006).
8.

Interaksi Farmakodinamik
Interkasi farmakodinamik pada usia lanjut dapat menyebabkan respons reseptor

obat dan target organ berubah, sehingga sensitivitas terhadap efek obat menjadi
lain. Ini menyebabkan kadang dosis harus disesuaikan dan sering harus dikurangi.
Misalnya opiod dan benzodiazepin menimbulkan efek yang sangat nyata terhadap
susunan saraf pusat. Benzodiazepin dalam dosis normal dapat menimbulkan rasa
ngantuk dan tidur berkepanjangan. Antihistamin sedatif seperti klorfeniramin (CTM)
juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil (tablet 4 mg memang terlalu besar) pada
lansia.
Mekanisme terhadap baroreseptor biasanya kurang sempurna pada usia lanjut,
sehingga obat antihipertensi seperti prazosin, suatu 1 adrenergic blocker, dapat
menimbulkan hipotensi ortostatik; antihipertensi lain, diuretik furosemide dan
antidepresan trisiklik dapat juga menyebabkannya (Darmansjah, 1994)
B.
1.

Penyakit Hipertensi
Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar dari 140

mmHg dan atau diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran
dengan selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup istirahat (tenang). Hipertensi
didefinisikan oleh Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment
of High Blood Pressure sebagai tekanan yang lebih tinggi dari 140 / 90 mmHg.
Hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya interaksi berbagai
faktor resiko yang dimiliki seseorang. Faktor pemicu hipertensi dibedakan menjadi
yang tidak dapat dikontrol seperti riwayat keluarga, jenis kelamin, dan umur. Faktor
yang dapat dikontrol seperti obesitas, kurangnya aktivitas fisik, perilaku merokok,
pola konsumsi makanan yang mengandung natrium dan lemak jenuh.

Hipertensi dapat mengakibatkan komplikasi seperti stroke, kelemahan


jantung, penyakit jantung koroner (PJK), gangguan ginjal dan lain-lain yang
berakibat pada kelemahan fungsi dari organ vital seperti otak, ginjal dan jantung
yang dapat berakibat kecacatan bahkan kematian.
Hipertensi atau yang disebut the silent killer yang merupakan salah satu
faktor resiko paling berpengaruh penyebab penyakit jantung (Soedirjo, 2008).

2.

Klasifikasi Hipertensi
Hipertensi dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu hipertensi sistolik,

hipertensi diastolik, dan hipertensi campuran. Hipertensi sistolik (isolated systolic


hypertension) merupakan peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan
tekanan diastolik dan umumnya ditemukan pada usia lanjut. Tekanan sistolik
berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri apabila jantung berkontraksi (denyut
jantung). Tekanan sistolik merupakan tekanan maksimum dalam arteri dan tercermin
pada hasil pembacaan tekanan darah sebagai tekanan atas yang nilainya lebih
besar.
Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) merupakan peningkatan tekanan
diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik, biasanya ditemukan pada anakanak dan dewasa muda. Hipertensi diastolik terjadi apabila pembuluh darah kecil
menyempit secara tidak normal, sehingga memperbesar tahanan terhadap aliran
darah yang melaluinya dan meningkatkan tekanan diastoliknya. Tekanan darah
diastolik berkaitan dengan tekanan arteri bila jantung berada dalam keadaan
relaksasi di antara dua denyutan. Hipertensi campuran merupakan peningkatan
pada tekanan sistolik dan diastolik.
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya,
disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95 % kasus. Banyak faktor
yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan
saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan
Na dan Ca intraselular, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko, seperti
2.

obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia.


Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus.
Penyebab spesifiknya diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal,

10

hipertensi vaskular renal dan sindrom Cushing, koartasio aorta, hipertensi yang
berhubungan dengan kehamilan, dan lain-lain (Smeltzer & Bare, 2002).
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII), klasifikasi
hipertensi pada orang dewasa dapat dibagi menjadi kelompok normal, prehipertensi,
hipertensi derajat I dan derajat II.
Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII (2003)
Klasifikasi Tekanan

Tekanan Darah

Tekanan Darah

Darah

Sistolik (mmHg)
< 120

Diastolik (mmHg)
< 80

Prehipertensi

120 139

80 89

Hipertensi derajat I

140 159

90 99

Hipertensi derajat II

160

100

Normal

Klasifikasi tekanan darah menurut WHO / ISH (2002)


Klasifikasi Tekanan
Darah
Hipertensi berat

Tekanan Darah
Sistolik (mmHg)
180

Tekanan Darah
Diastolik (mmHg)
110

Hipertensi sedang

160 179

100 109

Hipertensi ringan

140 159

90 99

Hipertensi perbatasan

120 149

90 94

Hipertensi sistolik perbatasan

120 149

< 90

Hipertensi sistolik terisolasi

> 140

< 90

Normotensi

< 140

< 90

Optimal

< 120

< 80

3.

Patofisiologi
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari

angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang peran


fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Selanjutnya oleh hormon, renin
(diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat
di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang
memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.

11

Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa
haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal
untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat
sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat
dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler
akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya,
volume darah meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.
Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron
merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk
mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl
(garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl
akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler
yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Patogenesis
dari hipertensi esensial merupakan multifaktorial dan sangat Universitas Sumatera
Utara komplek. Faktor-faktor tersebut merubah fungsi tekanan darah terhadap
perfusi jaringan yang adekuat meliputi mediator hormon, aktivitas vaskuler, volume
sirkulasi darah, kaliber vaskuler, viskositas darah, curah jantung, elastisitas
pembuluh darah dan stimulasi neural. Patogenesis hipertensi esensial dapat dipicu
oleh beberapa faktor meliputi faktor genetik, asupan garam dalam diet, tingkat stress
dapat berinteraksi untuk memunculkan gejala hipertensi. Perjalanan penyakit
hipertensi esensial berkembang dari hipertensi yang kadangkadang muncul menjadi
hipertensi yang persisten. Setelah periode asimtomatik yang lama, hipertensi
persisten berkembang menjadi hipertensi dengan komplikasi, dimana kerusakan
organ target di aorta dan arteri kecil, jantung, ginjal, retina dan susunan saraf pusat.
Progresifitas hipertensi dimulai dari prehipertensi pada pasien umur 10-30 tahun
(dengan meningkatnya curah jantung) kemudian menjadi hipertensi dini pada pasien
umur 20-40 tahun (dimana tahanan perifer meningkat) kemudian menjadi hipertensi
pada umur 30-50 tahun dan akhirnya menjadi hipertensi dengan komplikasi pada
usia 40-60 tahun (Sharma S et al, 2008 dalam Anggreini AD et al, 2009).
4.

Faktor-faktor Risiko Hipertensi


Faktor resiko terjadinya hipertensi antara lain:
a. Usia

12

Tekanan darah cenderung meningkat dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki


meningkat pada usia lebih dari 45 tahun sedangkan pada wanita meningkat
pada usia lebih dari 55 tahun.
b. Ras/etnik
Hipertensi bisa mengenai siapa saja. Bagaimanapun, biasa sering muncul pada
etnik Afrika Amerika dewasa daripada Kaukasia atau Amerika Hispanik.
c. Jenis Kelamin
Pria lebih banyak mengalami kemungkinan menderita hipertensi daripada
wanita.
d. Kebiasaan Gaya Hidup tidak Sehat
Gaya hidup tidak sehat yang dapat meningkatkan hipertensi, antara lain minum
minuman beralkohol, kurang berolahraga, dan merokok. Merokok merupakan
salah satu faktor yang berhubungan dengan hipertensi, sebab rokok
mengandung nikotin. Menghisap rokok menyebabkan nikotin terserap oleh
pembuluh darah kecil dalam paru-paru dan kemudian akan diedarkan hingga ke
otak. Di otak, nikotin akan memberikan sinyal pada kelenjar adrenal untuk
melepas epinefrin atau adrenalin yang akan menyempitkan pembuluh darah
dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan darah yang
lebih tinggi. Tembakau memiliki efek cukup besar dalam peningkatan tekanan
darah karena dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Kandungan
bahan kimia dalam tembakau juga dapat merusak dinding pembuluh darah.
Karbon monoksida dalam asap rokok akan menggantikan ikatan oksigen dalam
darah. Hal tersebut mengakibatkan tekanan darah meningkat karena jantung
dipaksa memompa untuk memasukkan oksigen yang cukup ke dalam organ
dan jaringan tubuh lainnya.Karbon monoksida dalam asap rokok akan
menggantikan ikatan oksigen dalam darah. Hal tersebut mengakibatkan
tekanan

darah

meningkat

karena

jantung

dipaksa

memompa

untuk

memasukkan oksigen yang cukup ke dalam organ dan jaringan tubuh lainnya.
e. Kurangnya aktifitas fisik
Aktivitas fisik sangat mempengaruhi stabilitas tekanan darah. Pada orang yang
tidak aktif melakukan kegiatan fisik cenderung mempunyai frekuensi denyut
jantung yang lebih tinggi. Hal tersebut mengakibatkan otot jantung bekerja lebih
keras pada setiap kontraksi. Makin keras usaha otot jantung dalam memompa
darah, makin besar pula tekanan yang dibebankan pada dinding arteri sehingga
meningkatkan tahanan perifer yang menyebabkan kenaikkan tekanan darah.

13

Kurangnya aktifitas fisik juga dapat meningkatkan risiko kelebihan berat badan
yang akan menyebabkan risiko hipertensi meningkat.
Studi epidemiologi membuktikan bahwa olahraga secara teratur memiliki efek
antihipertensi dengan menurunkan tekanan darah sekitar 6-15 mmHg pada
penderita hipertensi. Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan
hipertensi, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan
perifer yang akan menurunkan tekanan darah. Olahraga juga dikaitkan dengan
peran obesitas pada hipertensi.
5.

Diagnosis Hipertensi
Diagnosis hipertensi dengan pemeriksaan fisik paling akurat menggunakan

sphygmomanometer air raksa. Sebaiknya dilakukan lebih dari satu kali pengukuran
dalam posisi duduk dengan siku lengan menekuk di atas meja dengan posisi telapak
tangan menghadap ke atas dan posisi lengan sebaiknya setinggi jantung.
Pengukuran

dilakukan

dalam

keadaan

tenang.

Pasien

diharapkan

tidak

mengonsumsi makanan dan minuman yang dapat mempengaruhi tekanan darah


misalnya kopi, soda, makanan tinggi kolesterol, alkohol dan sebagainya. Pasien
yang terdiagnosa hipertensi dapat dilakukan tindakan lebih lanjut yakni :
a. Menentukan sejauh mana penyakit hipertansi yang diderita
Tujuan pertama program diagnosis adalah menentukan dengan tepat sejauh
mana penyakit ini telah berkembang, apakah hipertensinya ganas atau tidak,
b.
c.
d.

apakah arteri dan organ-organ internal terpengaruh, dan lain- lain.


Mengisolasi penyebabnya
Tujuan kedua dari program diagnosis adalah mengisolasi penyebab spesifiknya.
Pencarian faktor risiko tambahan.Aspek lain yang penting dalam pemeriksaan,
yaitu pencarian faktor-faktor risiko tambahan yang tidak boleh diabaikan.
Pemeriksaan dasar
Setelah terdiagnosis hipertensi maka akan dilakukan pemeriksaan dasar,
seperti kardiologis, radiologis, tes laboratorium, EKG (electrocardiography) dan

e.

rontgen.
Tes khusus
Tes yang dilakukan antara lain adalah : X- ray khusus (angiografi) yang
mencakup penyuntikan suatu zat warna yang digunakan untuk memvisualisasi
jaringan arteri aorta, renal dan adrenal. Memeriksa saraf sensoris dan perifer
dengan

suatu

alat

electroencefalografi

electrocardiography (ECG atau EKG).


6.

Komplikasi Hipertensi

(EEG),

alat

ini

menyerupai

14

Hipertensi yang terjadi dalam kurun waktu yang lama akan berbahaya sehingga
menimbulkan komplikasi. Komplikasi tersebut dapat menyerang berbagai target
organ tubuh yaitu otak, mata, jantung, pembuluh darah arteri, serta ginjal. Sebagai
dampak terjadinya komplikasi hipertensi, kualitas hidup penderita menjadi rendah
dan kemungkinan terburuknya adalah terjadinya kematian pada penderita akibat
komplikasi hipertensi yang dimilikinya.
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab
kerusakan organ-organ tersebut dapat melalui akibat langsung dari kenaikan
tekanan darah pada organ, atau karena efek tidak langsung, antara lain adanya
autoantibodi terhadap reseptor angiotensin II, stress oksidatif, down regulation, dan
lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas
terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ target, misalnya
kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi transforming growth
factor- (TGF-).
Umumnya, hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Kerusakan organ-organ yang umum ditemui pada
pasien hipertensi adalah:

Jantung
hipertrofi ventrikel kirI,angina atau infark miokardium serta gagal jantung
Otak
stroke atau transient ishemic attack
Penyakit ginjal kronis
Penyakit arteri perifer
Retinopati
7. Pengobatan Hipertensi
Kelas obat utama yang digunakan untuk mengendalikan tekanan darah adalah :
a.
Diuretik
Diuretik menurunkan tekanan darah dengan menyebabkan diuresis.
Pengurangan volume plasma dan Stroke Volume (SV) berhubungan dengan dieresis
dalam penurunan curah jantung (Cardiac Output, CO) dan tekanan darah pada
akhirnya. Penurunan curah jantung yang utama menyebabkan resitensi perifer. Pada
terapi diuretik pada hipertensi kronik volume cairan ekstraseluler dan volume plasma
hampir kembali kondisi pretreatment.
a.
Thiazide

15

Thiazide adalah golongan yang dipilih untuk menangani hipertensi, golongan


lainnya efektif juga untuk menurunkan tekanan darah. Penderita dengan fungsi ginjal
yang kurang baik Laju Filtrasi Glomerolus (LFG) diatas 30 mL/menit, thiazide
merupakan agen diuretik yang paling efektif untuk menurunkan tekanan darah.
Dengan menurunnya fungsi ginjal, natrium dan cairan akan terakumulasi maka
diuretik jerat Henle perlu digunakan untuk mengatasi efek dari peningkatan volume
dan natrium tersebut. Hal ini akan mempengaruhi tekanan darah arteri. Thiazide
menurunkan tekanan darah dengan cara memobilisasi natrium dan air dari dinding
arteriolar yang berperan dalam penurunan resistensi vascular perifer.
b.
Diuretik Hemat Kalium
Diuretik Hemat Kalium adalah anti hipertensi yang lemah jika digunakan
tunggal. Efek hipotensi akan terjadi apabila diuretik dikombinasikan dengan diuretik
hemat kalium thiazide atau jerat Henle. Diuretik hemat kalium dapat mengatasi
kekurangan kalium dan natrium yang disebabkan oleh diuretik lainnya.
c.
Antagonis Aldosteron
Antagonis Aldosteron merupakan diuretik hemat kalium juga tetapi lebih
berpotensi sebagai antihipertensi dengan onset aksi yang lama (hingga 6 minggu
dengan spironolakton).
d.
Beta Blocker
Mekanisme hipotensi beta bloker tidak diketahui tetapi dapat melibatkan
menurunnya curah jantung melalui kronotropik negatif dan efek inotropik jantung dan
inhibisi pelepasan renin dan ginjal.

Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol merupakan kardioselektif pada


dosis rendah dan mengikat baik reseptor 1 daripada reseptor 2. Hasilnya
agen tersebut kurang merangsang bronkhospasmus dan vasokontruksi serta
lebih aman dari non selektif bloker pada penderita asma, penyakit obstruksi
pulmonari

kronis

(COPD),

diabetes

dan

penyakit

arterial

perifer.

Kardioselektivitas merupakan fenomena dosis ketergantungan dan efek akan

e.

hilang jika dosis tinggi.


Acebutolol, carteolol, penbutolol, dan pindolol memiliki aktivitas intrinsik
simpatomimetik (ISA) atau sebagian aktivitas agonis reseptor .
Inhibitor Enzim Pengubah Angiotensin (ACE-inhibitor)
ACE membantu produksi angiotensin II (berperan penting dalam regulasi

tekanan darah arteri). ACE didistribusikan pada beberapa jaringan dan ada pada
beberapa tipe sel yang berbeda tetapi pada prinsipnya merupakan sel endothelial.
Kemudian, tempat utama produksi angiotensin II adalah pembuluh darah bukan

16

ginjal. Pada kenyataannya, inhibitor ACE menurunkan tekanan darah pada penderita
dengan aktivitas renin plasma normal, bradikinin, dan produksi jaringan ACE yang
penting dalam hipertensi.
f.
Penghambat Reseptor Angiotensin II (ARB)
Angiotensin II digenerasikan oleh jalur renin-angiotensin (termasuk ACE) dan
jalur alternatif yang digunakan untuk enzim lain seperti chymases. Inhibitor ACE
hanya

menutup

jalur

renin-angiotensin,

ARB

menahan

langsung

reseptor

angiotensin tipe I, reseptor yang memperentarai efek angiotensin II. Tidak seperti
inhibitor ACE, ARB tidak mencegah pemecahan bradikinin.
g.
Antagonis Kalsium
CCB menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos dengan menghambat
saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan sehingga mengurangi masuknya
kalsium ekstra selluler ke dalam sel. Relaksasai otot polos vasjular menyebabkan
vasodilatasi dan berhubungan dengan reduksi tekanan darah. Antagonis kanal
kalsium dihidropiridini dapat menyebbakan aktibasi refleks simpatetik dan semua
golongan ini (kecuali amilodipin) memberikan efek inotropik negative.
Verapamil menurunkan denyut jantung, memperlambat konduksi nodus AV,
dan menghasilkan efek inotropik negative yang dapat memicu gagal jantung pada
penderita lemah jantung yang parah. Diltiazem menurunkan konduksi AV dan denyut
jantung dalam level yang lebih rendah daripada verapamil.
h.
Alpha blocker
Prasozin, Terasozin dan Doxazosin merupakan penghambat reseptor 1 yang
menginhibisi katekolamin pada sel otot polos vascular perifer yang memberikan efek
vasodilatasi. Kelompok ini tidak mengubah aktivitas reseptor 2 sehingga tidak
menimbulkan efek takikardia.
i.
VASO-dilator langsung
Hedralazine dan Minokxidil menyebabkan relaksasi langsung otot polos
arteriol. Aktivitasi refleks baroreseptor dapat meningkatkan aliran simpatetik dari
pusat fasomotor, meningkatnya denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan renin.
Oleh karena itu efek hipotensi dari vasodilator langsung berkurang pada penderita
yang juga mendapatkan pengobatan inhibitor simpatetik dan diuretik.
j.
Inhibitor Simpatetik Postganglion
Guanethidin dan guanadrel mengosongkan norepinefrin dari terminal
simpatetik postganglionik dan inhibisi pelepasan norepinefrin terhadap respon
stimulasi saraf simpatetik. Hal ini mengurangi curah jantung dan resistensi vaskular
perifer.

17

8.

Penatalaksanaan hipertensi pada lansia


Banyak penelitian menunjukkan bahwa pentingnya terapi hipertensi pada

lanjut usia, dimana terjadi penurunan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit
kardiovaskuler dan serebrovaskuler (Kuswardhani, 2006). Terapi pada pasien usia
lanjut meliputi terapi norfamakologis dan farmakologis. Terapi non farmakologis
harus dilaksanakan oleh semua pasien hipertensi dengan tujuan menurunkan
tekanan darah dan mengendalikan faktor-faktor resiko serta penyakit penyerta
lainnya. Terapi non farmakologis terdiri dari:

Menghentikan merokok

Menurunkan berat badan

Menurunkan konsumsi alkohol berlebih

Latihan fisik (olahraga)

Menurunkan asupan garam

Meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak


(Yogiantoro, 2009).

C.
1.

Penyakin Jantung
Defenisi Penyakit Jantung Koroner
Menurut WHO, penyakit jantung koroner (Coronary Heart Disease) adalah

ketidaksanggupan jantung akut maupun kronik, yang timbul karena kekurangan


suplai darah pada miokardium sehubungan dengan proses penyakit pada sistem
nadi koroner. Dalam Internasional Classification Disease (1993) disebutkan bentukbentuk umum PJK adalah Angina Pectoris, Ischemic Heart Disease, Acute Miocard
Infarction, dan Sudden Death.
2.
Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner
Otot Jantung diberi oksigen dan nutrisi yang diangkut oleh darah melalui
arteri-arteri koroner utama yang bercabang menjadi sebuah jaringan pembuluh lebih
kecil yang efisien. 16 14 Timbulnya PJK walaupun tampak mendadak, sebenarnya
melalui perangsangan lama (kronik). Terjadinya PJK berkaitan dengan suatu
gangguan yang mengenai pembuluh darah yang disebut arteriosklerosis. Hal ini
berarti terjadi kekakuan dan penyempitan lubang pembuluh darah yang akan
menyebabkan gangguan atau kekurangan suplai darah untuk otot jantung. Keadaan
ini akan menimbulkan apa yang disebut iskemia miokard. Gangguan pada arteri

18

menyebabkan terjadinya penyakit jantung koroner. Penyakit ini berkaitan dengan


gangguan duplai darah otot jantung sehingga jantung mengalami kekurangan darah
dengan segala manifestasinya. Gambaran klinik adanya PJK dapat berupa angina
pektoris, miokard infark, payah jantung ataupun mati mendadak. Pada umumnya
gangguan suplai darah arteri coronaria dianggap berbahaya bila terjadinya
penyempitan 10%, atau lebih pada pangkal atau cabang utama coronaria.
Penyempitan yang kurang dari 50% kemungkinan belum menandakan gangguan
yang berarti. Keadaan ini tergantung pada beratnya arterioskleorosis dan luasnya
gangguan jantung dan apakah serangan tersebut masih lama atau baru.
3.
Pencegahan Penyakit Jantung Koroner
Untuk pencegahan terhadap penyakit jantung koroner dapat meliputi 4 tingkat
upaya : 2.6.1. Pencegahan Primordial Yaitu upaya untuk mencegah munculnya
faktor predisposisi terhadap PJK dalam suatu wilayah dimana belum tampak adanya
factor yang menjadi resiko PJK. Tujuannya adalah untuk menghindari terbentuknya
pola hidup sosial ekonomi dan kultural yang mendorong peningkatan resiko
penyakit.
Upaya primordial penyakit jantung koroner dapat berupa Kebijaksanaan
Nasional Nutrisi dalam sektor agrokultural, industri makanan,impor dan ekspor
makanan, penanganan konprehensif rokok, pencegahan hipertensi dan promosi
aktivitas fisik/olah raga.
Pencegahan Primer 28 Yaitu upaya awal untuk mencegah PJK sebelum
seseorang menderita PJK. Dilakukan dengan pendekatan komunitas berupa
penyuluhan faktor-faktor risiko PJK terutama pada kelompok resiko tinggi,
pencegahan

ditujukan

kepada

pencegahan

terhadap

berkembang

proses

aterosklerosis. Upaya-upaya pencegahan yang dapat dilakukan pada pencegahan


ini antara lain :
a.
Mengontrol kolesterol darah. Yaitu dengan cara mengidentifikasi jenis
b.

makanan
Mengontrol tekanan darah. Banyak kasus tekanan darah tinggi tidak dapat
disembuhkan. Keadaan ini berasal dari suatu kecenderungan genetik yang
bercampur dengan faktor resiko seperti stres, kegemukan, terlalu banyak
konsumsi garam dan kurang gerak badan. Upaya pengendalian yang dapat
dilakukan adalah mengatur diet, menjaga berat badan, menurunkan stres dan
melakukan olah raga. yang kaya akan kolesteror kemudian mengurangi
konsumsinya serta mengkonsumsi serat yang larut (soluble fiber).

19

c.

Berhenti merokok.
Selain itu juga dilakukan intervensi dengan obat-obatan. Intervensi dengan

obat-obatan
Aspirin Obat yang paling banyak diberikan, tujuannya adalah mengencerkan

darah agar tidak cepat membeku.


Beta Blocker Obat yang menghambat kerja adrenalin agar tidak meresap ke
dalam jantung dan pembuluh darah, untuk mengurangi risiko terulangnya

serangan jantung sehingga mampu menurunkan angka kematian. (


Penghambat ACE ACE (Angiotensin Converting Enzyme) adalah suatu enzim
yang meningkatkan jumlah angiotensin dalam darah. Angiotensin membuat
pembuluh darah berkerut hingga tubuh dapat menahan garam dan air lebih
banyak daripada yang normal. Dengan menurunkan tingkat angiotensin,
penghambat ACE berasil menurunkan tingkat angiotensin, penghambat ACE
berhasil menurunkan jumlah penderita serangan jantung dan kegagalan

jantung
Statin Obat yang berfungsi untuk menurunkan jumlah kolesterol yang dibuat
dalam tubuh khususnya di hati, dan membantu agar pembuluh nadi tidak

menyempit kembali.
GTN Obat ini digunakan bila penderita merasa nyeri di dada, bentuk obat ada
yang berupa spray untuk disemprot atau bentuk tablet. Obat ini sering
diberikan pada penderita PJK yang baru keluar dari rumah sakit.

20

BAB III
TELAAH RESEP
A. Resep

Apotek Simulasi Farma


Jurusan Farmasi Poltekkes Palembang
Jl. Ismail Marzuki No. 5341/171 Palembang
Telp (0711) 352671
Apoteker : Mona Rahmi Rulianti, M. Farm, Apt

Salinan Resep
Nomor

Dari Dokter

: dr.ZP, SPd

Tetulis tanggal

: 17 Oktober 2016

Pro

: Tn. Hamdani (60 th)


R

Furosemid
S1dd1

No.X

KSR
S2dd1

No.X

Amlodipin
S1dd1

No.X

det
det
det

Palembang, 25 Oktober 2016


P.C.C

B. Salinan

Resep

Apoteker
Mona Rahmi Rulianti, M. Farm, Apt
SIPA No. 503/IPA/0276/KPPT/2014

21

C.

Deskripsi Obat pada Resep


1. Furosemid
Dibuat oleh : PT Indofarma

Golongan:

22

Komposisi
Tiap tablet mengandung furoseide 40 mg
Cara kerja obat
Furosemide menghambat reasorbsi air dan elektrolit sebagai hasil utama
yang kerjanya pada simpul henle. Furosemide memperlihatkan diuresis
(natrium) tergantung pada dosis yang diberikan.
Efek diuretik furosemide mulai bekerja sampai 1 jam setelah pemberian
secara oral dan mencapai maksimum dalam waktu 1 sampai 2 jam. Efek
diuresis bertahan sekitar 4 sampai 6 jam. Berbeda dengan golongan thiazide,
furosemide dapat diperoleh efek pada keadaan keadaan walaupun filtrasi
glomerulus sangat menurun.
Indikasi
- Udema yang disebabkan oleh payah jantung, sirosis hati, penyakit ginjal
termasuk sindrom nefrotik
- Hipertensi ringan sampai sedang dalam bentuk tunggal atau kombinasi
Dosis
Untuk udema
Dewasa : dosis awal : 20 - 80 mg sebagai dosis tunggal jika diperlukan dapat
diulang dengan dosis sama 6- 8 jam kemudian. Dosis dapat ditingkatkan 2040 mg setiap 6-8 jam sampai tercapai diuresis yang diharapkan. Kemudian
dosis diberikan 1-2 kali/hari. Dosis dapat ditingkatkan sampai 600mg/hari
pada pasien dengan keadaan udema yang parah.
Anak-anak : dosis awal : 1-2 mg/kgBB sebagai dosis tunggal jika respon
yang diharapkan tidak tercapai dosis dapat ditingkatkan 1-2mg/kgBB setiap
6-8 jam sampai tercapai diuresis yang diharapkan. Dosis maksimal
6mg/kgBB untuk pemeliharaan, dosis dikurangi sampai tingkat minimum
efektif untuk pemeliharaan.
Untuk hipertensi

23

Dewasa : 40mg, 2 kali sehari dosis disesuaikan dengan keadaan


penderita.
Peringatan dan perhatian
Jangan mengendarai kendaraan bermotor atau menjalankan mesin berat
Hati-hati pemberian pada penderita defisiensi elektrolit
Pemberian pada wanita hamil dan menyesui hanya jika benar-benar
diperlukan dan hanya untuk jangka pendek
Pada overdosis dapat terjadi dehidrasi atau kekurangan elektrolit
khususnya pada orang tua
Pemakaian jangka lama dengan takaran pemakaian yang besar
disarankan melakukan pemeriksaan laboratorium
Jika terjadi peningkatan azotemia dan oliguria saat pengobatan penyakit
ginjal yang berat hentikan pengobatan
Efek samping
Gangguan pada saluran pencernaan seperti mual, diare, pankreatilis,
jaundice, anoreksia, iritasi oral dan gaster, muntah, kejang, dan konstipas
Reaksi hipersensitivitas sitemik vaskulis, intertisial nefritis alergi,
necrotizing, angitis
Reaksi saluran saraf pusat, tinitus dan gangguan pendengaran, parestisia,
vertigo,pusing dan sakit kepala.
Reaksi Hematologi: trombositopenia, anemia hemolitik,leukopenia dan
anemia
Reaksi dermatologik: dermatis eksoliatif, eritema multiforma purpura,
fotosinsetivitas,urtikaria, rash, purtus
Kontraindikasi
Anuria
Hipersensitif terhadap furosemid atau sulfonilamid
Interaksi obat
Furosemid meningkatkan ototoksik antibiotika aminoglikosida terutama
pada keadaan gagal ginjal
Dengan probenesid akan menghambat sekresi tubuli furosemid

24

Meningkatkan risiko toksisitas salisilat dan litium


Overdosis
Tanda dan gejala: dehidrasi, pengurangan volume darah, hipotensi,
ketidakseimbangan elektrolit, hipokalemia, dan akalosis hipokloromik. Gejala
overdosis dapat ditanggulangi dengan menggantikan cairan dan elektrolit
yang hilang secara berlebihan
Penyimpanan
Simpan dalam wadah tertutup rapat, terlindungi dari cahaya, ditempat sejuk (
15-20 C) dan kering
2. Amlodipin
PT Hexpharm Jaya

Golongan :

Indikasi
Penanganan pertama pada hipertensi dan dapat digunakan sebagai agent
pengatur tekanan darah pada kebanyakan pasien
Dosis Hipertensi
Dewasa: Awalnya, 5 mg sekali sehari meningkat menjadi 10 mg sekali sehari
jika diperlukan.
Anak: 6-17 tahun Awalnya, 2,5 mg sekali sehari, meningkat menjadi 5 mg
sekali sehari jika diperlukan.
Lansia: Awalnya, 2,5 mg sekali sehari.
Kontraindikasi
Hipotensi berat, syok (termasuk syok kardiogenik), obstruksi saluran keluar
ventrikel kiri (mis aorta stenosis), gagal jantung hemodinamik tidak stabil
setelah MI akut.
Peringatan
Khusus Pasien gagal jantung. Hati dan ginjal penurunan, tua. Kehamilan dan
menyusui
Efek samping

25

Mengantuk, pusing, sakit kepala, pergelangan kaki bengkak, edema,


pembilasan, kelelahan, jantung berdebar, sakit perut, mual. Jarang,
kebingungan, ruam, hiperplasia gingiva, kram otot, dyspnoea.
Overdosis
Gejala overdosis: berlebihan perifer vasodilatasi

ditandai hipotensi dan

mungkin takikardia refleks. pengobatan: pengobatan simtomatik dan suportif.


Sebuah vasokonstriktor mungkin bermanfaat dalam memulihkan tonus
pembuluh darah dan BP. Ca glukonat IV dapat digunakan untuk
membalikkan efek dari Ca channel blokade. bilas lambung mungkin berguna
dalam beberapa kasus.
Konsentrasi obat Interaksi plasma mungkin meningkat
(mis antijamur azole, ritonavir). terapi bersamaan

CYP3A4 inhibitor
simvastatin dapat

meningkatkan risiko miopati termasuk rhabdomyolysis. Dapat meningkatkan


siklosporin kadar plasma dan conivaptan.
Mekanisme kerja
Amlodipine menghambat influks (masuknya) ion kalsium melalui membran
ke dalam otot polos vaskular dan otot jantung, sehingga mempengaruhi
kontraksi

otot

polos

vaskular

dan

otot

jantung.

Amlodipine

dapat

menghambat influks ion kalsium secara selektif, di mana sebagian besar


mempunyai efek pada sel otot polos vaskular . .
Farmakokinetik:
Penyerapan: Amlodipine diabsorpsi secara bertahap pada pemberian per
oral. Konsentras dalam plasma akan tercapai dalam waktu 6-12 jam.
Bioavailabilitas amlodipine sekitar 64-90%, dan tidak dipengaruhi makanan.
Ikatan dengan protein plasma sekitar 93%.
Waktu paruh amlodipine sekitar 30-50 jam, dan kadar amlodipine dalam
plasma darah akan tercapai setelah 7-8 hari. Amlodipine dimetabolisme di
hati secara luas (sekitar 90%) dan diubah menjadi metabolit inaktif, dengan
10% bentuk awal serta 60% metabolit diekskresi melalui urin.
Pola farmakokinetik amlodipine tidak berubah pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal, sehingga tidak perlu dilakukan penyesuaian dosis

26

Pasien usia lanjut dan pasien dengan gangguan fungsi hati didapatkan
peningkatan AUC sekitar 40-60%, sehingga diperlukan pengurangan dosis
pada awal terapi dan pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat.
Penyimpanan
Simpan antara 15-30 C
Penyimpanan
Simpan antara 15-30 C
3. KSR
Dibuat oleh: PT. Merck Tbk

Golongan:

Kandungan
Tiap tablet mengandung Pottasium klorida 600 mg
Indikasi / Kegunaan
Pengobatan dan pencegahan spesifik hipokalemia (sebagai suplemen
kalium)
Dosis / Cara Penggunaan
KSR diberikan secara rutin dengan dosis rata-rata.1-2 tab 2-3 kali sehari
Edukasi : tablet KSR harus ditelan utuh dengan sedikit air sebaiknya
digunakan bersamaan makanan
Kontraindikasi
gagal ginjal, dehidrasi akut, hiperkalemia, dengan adanya obstruksi pada
saluran pencernaan (misalnya, akibat kompresi kerongkongan akibat
pelebaran atrium kiri atau dari stenosis usus) KSR bisa menimbulkan ulserasi
atau perforasi.
Peringatan
KSR dapat menyebabkan muntah yang parah, nyeri perut yang parah atau
perut kembung, atau perdarahan gastrointestinal.
Tindakan Pencegahan Khusus
Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, perawatan khusus harus
dilakukan ketika meresepkan garam kalium karena risiko hiperkalemia. Untuk
itu kadar Elektrolit pada pasien itu harus selalu dipantau. KSR harus dihindari
pada pasien dengan gagal jantung kongestif, terutama sedang dalam
pengobatan dengan digitalis, di antaranya hipokalemia

27

Selama penggunaan KSR, pemeriksaan laboratorium kadar elektrolit serum


harus dilakukan secara berkala.
Efek samping
KSR dapat mengakibatkan gangguan gastrointestinal

misalnya, mual,

muntah, sakit perut, diare. Jika efek samping KSR ini terjadi maka dalam hal
ini, pengurangan dosis atau penarikan obat mungkin diperlukan.
Interaksi obat
KSR dapat
dengan

meningkatkan risiko hiperkalemia jika digunakan bersamaan

inhibitor ACE,

siklosporin,

diuretik

hemat

kalium

misalnya,

spironolactone, triamterene atau amilorid.


Penyimpanan
Simpan di tempat yang kering, di bawah 25 C.
Deskripsi
KSR mengandung potasium

klorida diformulasikan untuk tablet dengan

tujuan penggunaan lepas lambat .


Setiap tab dilapisi film release mengandung kalium klorida 600 mg yang
setara dengan 8 mEq setiap kalium (K) dan klorida (Cl-).
Mekanisme kerja
KSR merupakan tablet yang dikehendaki untuk obat yang tujuanya lepas
lambat dan baru bekerja selama 6 jam menghalangi konsentrasi tinggi kalium
klorida terhadap area lokal dari dinding usus yang mungkin mengganggu
atau merusak mukosa. KSR

memberikan toleransi terhadap kondisi

lambung yang maksimal dan penyerapan efektif untuk pengobatan semua


jenis kekurangan kalium, apakah hipokloremik atau hipokalemik alkalosis.
KSR tidak mengubah fungsi ginjal normal; dapat digunakan pada semua
kelompok umur; menggantikan anion klorida penting dan kalium, dan
mencegah alkalosis hipokloremik.

D. Penyelesaian Resep

28

Pada lembar resep terdapat 2 nama obat dagang yang diresepkan. dan 1 obat
generik Pertama furosemid Tab sebanyak 10 tablet ,obat ini di indikasikan untuk
mengobati udema dan hipertensi ringan dalam resep ini dikombinasikan dengan
amlodipine, Amlodipin di indikasikan untuk mengbati penyakit hipetensi. Furosemid,
antihipertensi golongan loop diuretic sedangkan Amlodipin, antihipertensi golongan
pemblok kanal kalsium (CCB). Dari segi dosis, umumnya furosemid diberikan sekali
sehari (40 mg/hari), yaitu pada pagi hari. Namun dalam kasus ini, pasien menerima
furosemid 40 mg Dosis tersebut masih berada pada dosis yang dianjurkan. Waktu
pemberian furosemid juga masih aman, yaitu pada pagi dan siang hari, sehingga
resiko terjadinya diuresis nokturnal masih dapat dihindarkan. (Dipiro; 233-236).
Amlodipine yang diberikan dengan dosis 10 mg sehari juga aman untuk pasien
Karena sesuai dengan dosis maksimum pemberian amlodipine yakni 1xsehari 10 mg
Untuk obat ketiga yaitu KSR/ kalium klorida berfungsi untuk Pengobatan dan
pencegahan spesifik hipokalemia dikarenakan furosemid merupakan diuretik yang
boros kalium, sehingga dapat memicu terjadinya hypokalemia (Dipiro,1997).
Disamping

kemungkinan

terjadinya

hipokalemia,

pengguna

furosemid

juga

berpeluang mengalami kekurangan kadar ion-ion lainnya, akibat peningkatan


urinasi, seperti natrium (hiponatremia), magnesium (hipomagnesemia), serta
kemungkinan terjadinya gout. (BNF 57; 76)
E. Perhitungan bahan
1. Furosemide
Di ambil furosemide tab sebanyak
2. KSR
Diambil ksr tab sebanyak
3. Amlodipin
Diambil amilodipin tab sebanyak
F. Perhitungan dosis
1. Furosemide Tab

= 10 tab
10 tablet
= 10
10 tablet
= 10
10 tablet

%Dosis Lazim
1x = 40/40x100% = 100%
1hr = 40/40x100%=100%

2.

Dosis Pakai
Dosis Lazim
1 x = 40 mg
1x = 40 mg
1 h = 40 mg
1 hr = 40 mg
KSR ( Kalium Klorida) Tab

%Dosis Lazim
-

3.

Dosis Pakai
Dosis Lazim
1 x = 5 mg
1 h = 5 mg
Amlodipin Tab
Dosis Pakai

Dosis Maksimum

%Dosis Maksimum

29

1 x = 10 mg
1 h = 10 mg

1 hr = 10 mg

1hr = 10/10x100%=100%

G. Cara Pengerjaan Resep


1. TTK menerima resep dari pasien, kemudian memeriksa kelengkapan dan
2.

keabsahan resep tersebut.


Kemudian TTK memeriksa ada atau tidaknya obat dalam persediaan. Bila
obat

yang

dibutuhkan

tersedia,

dilakukan

pemberian

harga

dan

memberitahukannya kepada pasien. Setelah pasien setuju segera dilakukan


pembayaran atas obat pada bagian kasir. Alamat dan nomor telepon pasien
dicatat. Bila obat hanya diambil sebagian maka petugas membuat salinan
resep untuk pengambilan sisanya. Bagi pasien yang memerlukan kuitansi
3.

maka dapat pula dibuatkan kuitansi.


Bila obat tidak tersedia obat bisa diganti dengan merk dagang lain yang
mengandung zat aktif yang sama atas persetujuan pasien dan untuk
mengganti obat-obat khusus TTK wajib menelpon dokter dan meminta acc

4.

dari apoteker.
Resep diberi nomor urut resep, selanjutnya nomor resep tersebut

5.

diserahkan ke pasien untuk mengambil obat pada bagian penyerahan obat.


Resep asli diserahkan ke bagian peracikan atau penyiapan obat. TTK pada
bagian peracikan atau penyiapan obat dan meracik, menyiapkan obat

6.
7.

sesuai dengan resep.


Setelah obat selesai disiapkan maka obat diberi etiket dan dikemas.
Sebelum obat diberikan dilakukan pemeriksaan kembali meliputi nomor
resep, nama pasien, kebenaran obat, jumlah dan etiketnya. Jika ada copy
resep dilakukan pemeriksaan salinan resep sesuai resep aslinya serta

8.

kebenaran kuitansi.
Obat diserahkan kepada pasien sesuai dengan nomor resep lalu pasien
diberi informasi tentang cara pemakaian obat, efek samping obat dan
informasi lain yang diperlukan pasien serta berikan KIE (Komunikasi,

9.

Informasi, dan Edukasi) kepada pasien.


Lembaran resep asli dikumpulkan menurut nomor urut dan tanggal resep

dan disimpan sekurang-kurangnya tiga tahun.


10. Pada setiap tahapannya, petugas apotek wajib membubuhkan paraf atas
apa saja yang dikerjakan pada resep tersebut, jika terjadi sesuatu dapat
dipertanggung jawabkan atas pekerjaan yang dilakukan.

30

H.

I.

Aturan Pakai
1. Furiosemide tab
Satu kali sehari satu tablet sesudah makan
2. KSR tab
Satu kali sehari satu tablet sesudah makan
3. Amiodipin tab
Satu kali sehari satu tablet sesudah makan
Efek Samping Obat
1. Furosemid tab
Efek samping :
Gangguan pada saluran pencernaan seperti mual, diare, pankreatilis,
jaundice, anoreksia, iritasi oral dan gaster, muntah, kejang, dan konstipas
2. KSR tab
Efek samping :
Persiapan kalium oral dapat memprovokasi gastrointestinal gangguan
misalnya, mual, muntah, sakit perut, diare
3. Amlodipin tab
Efek samping :
Mengantuk, pusing, sakit kepala, pergelangan kaki bengkak, edema,
pembilasan, kelelahan, jantung berdebar, sakit perut, mual. Jarang,
kebingungan, ruam, hiperplasia gingiva, kram otot, dyspnoea.

J.

Cara Penyimpanan
Cara penyimpanan untuk dua jenis obat ini sama , yaitu :
1. Jauhkan dari jangkauan anak-anak.
2. Simpan di tempat yang sejuk, kering terlindung dari cahaya
3. Periksa kondisi obat secara berkala. Jangan lupa juga untuk mengecek
tanggal kadaluarsa.

K.

Etiket

1. Furosemid

31

APOTIK SIMULASI FARMA


Jurusan Farmasi Poltekkes Palembang
Jl. Ismail Marzuki No.5341/171 Telp (0711) 352071 Palembang
Apoteker : Mona Rahmi Rulianti, M.Farm, Apt
SIPA No. 503/IPA/0276/KPPT/2014

2.

No.R/ Nama : Tuan Hamdani (60 th) Tanggal: 25 Oktober 2016


Satu kali sehari satu Tab / Capsul /Bungkus
Pagi
Sendok makan (15ml)
Siang
Sendok teh (5ml)
Sore
Malam
Sebelum Makan
Sesudah Makan
Bersama Makanan
Suapan Pertama

3.

Nama / Jumlah Obat : Furosemid 10 tablet


APOTIK
SIMULASI FARMA
Tanggal Kadaluarsa
:
Jurusan Farmasi Poltekkes Palembang
Jl. Ismail Marzuki No.5341/171 Telp (0711) 352071 Palembang
Apoteker : Mona Rahmi Rulianti, M.Farm, Apt
SIPA No. 503/IPA/0276/KPPT/2014
No. R/

Nama : Tuan Hamdani (60 th) Tanggal: 25 Oktober 2016

Satu kali sehari satu Tab / Capsul / Bungkus


Sendok makan (15 ml )
Sendok teh
( 5 ml )
Sebelum Makan
Bersama Makanan

Pagi
Siang
Sore
Malam

Sesudah Makan
Suapan Pertama

Nama / Jumlah Obat : KSR 10 tablet


Tanggal Kadaluarsa :

Amlodipin
APOTIK SIMULASI FARMA
Jurusan Farmasi Poltekkes Palembang
Jl. Ismail Marzuki No.5341/171 Telp (0711) 352071 Palembang
Apoteker : Mona Rahmi Rulianti, M.Farm, Apt
SIPA No. 503/IPA/0276/KPPT/2014
No.R/ Nama : Tuan Hamdani (60 th) Tanggal: 25 Oktober 2016
Satu kali sehari satu Tab / Capsul /Bungkus
Sendok makan (15ml)
Sendok teh (5ml)
Sebelum Makan
Bersama Makanan

Pagi
Siang
Sore
Malam
Sesudah Makan
Suapan Pertama

Nama / Jumlah Obat : Amlodipin 10 tablet


Tanggal Kadaluarsa :

KSR

32

L. Perhitungan Harga
HNA = HJA + Tuslah + Emballase

BAB IV
SKENARIO
Pemeran
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Gita Mayleni
Monika Septiana M
Mellysa
Khodijah Shafaria
Meisindri Wahyuni
M.Luffy Kuncoro
No

: Sebagai TTK 1
: Sebagai TTK 2
: Sebagai TTK 3
: Sebagai TTK 4
: Sebagai TTK 5
: Sebagai Pasien

Nama Obat

Jumlah
Item

Harga Obat
+PPN

Total Harga

Furosemid

10 tablet

Rp. 2.000,00-

Rp. 20.000,00-

KSR

10 tablet

Rp. 4.500,00-

Rp. 45.000,00-

Amlodipin

10 tablet

Rp. 15.000,00-

Rp. 150.000,00-

Tuslah

3 R/

Rp. 1.000,00-

Rp. 3.000,00-

Emballase
Total yang harus dibayar

Rp. 215.500,00-

Prolog
Disiang hari di tengah teriknya matahari salah satu apotek di kota Palembang
yaitu apotek Simulasi Farma beaktivittas seperit biasa. Beberapa pegawai di apotek
tersebut sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Tidak lama kemudian
datanglah seorang kakek tua yang ingin menebus obatnya di apotek tersebut.

33

TTK 1

: Selamat siang pak, selamat datang di apotek simulasi farma. Ada


yang bisa kami bantu? (Senyum Ramah)

Pasien

: iyo nak, bapak nak nebus obat. Ini nah resep nyo (menyerahkan
resep).

TTK 1

: saya lihat dulu ya pak resep nya (memvalidasi resep). Resepnya


untuk bapak Hamdani 60 tahun, benar pak?

Pasien

: Iyo nak, namo bapak itu. Nah, la 60 tahun la tuo retinyo bapak ni.

TTK 1

: Hehe iya pak. Kami cek dulu ya pak obatnya tersedia atau tidak ?

Pasien

: iyo cek lah.sekalian cek ke hargonyo dulu yo nak. Bapak nih takut
duetnyo dk cukup

TTK 1

: baiklah pak, sembari menunggu silahkan duduk dulu di sebelah


sana (menunjuk kearah ruang tunggu).

Pasien

: Oo iyo makaseh nak.


Setelah itu TTK 1 menyuruh TTK 3 untuk mengecek ketersediaan obat dan

menghitung harga obat.


TTK 1

: Mel ini ada resep, tolong cek yah ketersediaan dan harga obatnya.

TTK 3

: Oke Gita, tunggu sebentar yaa.


Dibagian dalam, TTK 3 bertanya kepada TTK 4 mengenai ada tidaknya

ketersediaan obat.
TTK 3

: Dijah tolong bantu cek obat ini yah ada apa enggak.

TTK 4

: Oke mel.
TTK 4 dan TTK 5 mengecek ketersediaan obat yang diresepkan. Beberapa

saat kemudian TTK 4 memanggil TTK 3 untuk memberitahukan ketersediaan obat.


TTK 4

: Mellysa.

TTK 3

: Iya Khodijah.

34

TTK 4

: Obat nya sudah di cek dan ada semua di apotek kita.

TTK 3

: Oke terimakasih yah.


TTK 3 menghitung harga obat lalu TTK 3 memberikan resep dengan TTK 1

dan memberitahu obat yang tersedia beserta harganya.


TTK 3

: Gita.

TTK 1

: Iya mel.

TTK 3

: Obat nya ada semua. Total harganya Rp. 204.000

TTK 1

: Makasih mel.
TTK 1 memanggil pasien dan memeberitahukan ketersediaan obat dan

harganya.
TTK 1

: Bapak Hamdani.

Pasien

: Iyo nak, jadi cakmno ?

TTK 1

: obatnya ada semua pak di apotek kami, total harganya Rp. 204.000

Pasien

: Oh dak pulo mahal. Bapak kiro tadi sampai tigo ratusan. Maklum lah
nak, bapak ni baru inilah nebus resep biasonyo anak bapak, dio dak
biso lagi sibuk.

TTK 1

: oh begitu ya pak, jadi obatnya langsung kami kerjakan ya pak ?

Pasien

: Iyo nak lajulah biar cepet.

TTK 1

: Mon, tolong nomor antriannya.

TTK 2

: Iya git.
TTK 2 menyerahkan nomor antrian kepada pasien dan mempersilahkan

pasien menunggu di ruang tunggu.


TTK 2

: Ini pak nomor antriannya, silahkan duduk dulu pak yah.

Pasien

: Iyo nak.

35

TTK 1 menyerahkan resep kepada TTK 3 dan meminta untuk mengerjakan


resep tersebut.
TTK 1

: Mellysa.

TTK 3

: Iya Gita, gimana obatnya jadi?

TTK 1

: Iya ini tolong yah, obat nya ditebus semua.

TTK 3

: Okey.
TTK 3 membuat kertas kerja lalu mengintruksikan kepada TTK 4 dan TTK 5

untuk mengerjakannya.
TTK 3

: Dijah, mei tolong kerjain resep ini yah (sambil menyerahkan kertas

kerja).
TTK 4 dan 5

: Baik mellysa.

Sembari menunggu TTK 3 membuat copy resep tersebut. Setelah beberapa


menit kemudian, semua obat atas nama Tn. Hamdani siap. TTK 4 menyerahkan
obat kepada TTK 3.
TTK 4

: Mellysa.

TTK 3

: Iya khodijah.

TTK 4

: Ini mel obat nya sudah selesai. Jangan lupa di cek ulang yah etiket
dan jumlah
obat nya.

TTK 3

: Oke terimakasih dijah.


TTK 3 mengecek kembali jumlah obat beserta etiketnya. Kemudian obat pun

diserahkan kembali ke TTK 1.


TTK 3

: Gita.

TTK 1

: Ya mellysa.

TTK 3

: Ini obat atas nama Tn. Hamdani sudah siap.

36

TTK 1

: Terimakasih Mellysa.
TTK 1 memanggil pasien dan menyerahkan obat tersebut.

TTK 1

: Nomor antrian 280

Pasien

: (Pasien tidak mendengar)

TTK 1

: Nomor antrian 280 atas nama Bapak Hamdani 60 tahun.

Paisen

: Iyo iyo, maafkelah nak. Tau lah dewek mun la tuo ni, pendengaran la
teganggu.

TTK 1

: Boleh saya minta nomor antriannya pak.

Pasien

: Nah mano pulok nomor tadi, ini nah ini nah (menyerahkan nomor
antrian yang
sudah di gulung-gulung oleh pasien).

TTK 1

: Baik pak, ini obat nya ada 3 ya pak. Semuanya digunakan 1 kali
sehari yah pak. Untuk obat furosemid dan amlodipin digunakan
setelah makan. Sedangkan obat KSR nya harus ditelan utuh dengan
sedikit air dan digunakan bersamaan makanan pak. Sebaiknya
dikonsumsi pada pagi hari yah pak.

Pasien

: Ngapo nak pagi hari nian?

TTK 1

: Gini pak, untuk obat ini yang furosemide. Nah efek samping obat ini,
kalau

dikonsumsi

akan

sering

buang

air

kecil.

Jadi

kalau

dikonsumsinya pada malam hari, akan mengganggu waktu tidur


bapak.
Pasien

: Oh iyo la bener pulok nak mak uji kau tuh. Kalo obat yang 2 ikok nyo
lagi itu untuk apo dek.

TTK 1

: Sebelumnya . Apa tadi tidak diberitahu oleh dokter pak

Pasien

: men uji dokter tadi penyakit uwong tuo dek. Ujinyo apo darah tinggi
mak itu

TTK 1

: iya pak jadi gini . Untuk 2 obat ini . Yg ini amlodipine pak
ini sama saja seperti furosemide. indikasinya untuk antihipertensi.
Untuk mengurangi tekanan darah bapak. Nah, tapi furosemide itu

37

seperti yang saya katakan tadi bisa menyebabkan sering buang air
kecil. Sehingga kadar kalium dalam tubuh bapak menjadi berkurang.
Dan akhirnya, bapak akan merasa lemas. Oleh karena itu,
diberikanlah KSR untuk menjaga kadar kalium dalam tubuh bapak
tetap stabil.
Pasien

: Oh mak itu. Ado efek samping nyo dak obat ini dek?

TTK 1

: Tentu saja ada pak, tapi bapak tidak perlu khawatir. Efek
sampingnya terkadang bapak akan merasa mual, lalu muntah, sakit
pinggang,diare dan sedikit pusing. Tapi itu belum tentu terjadi kok pak
efek samping nya pada diri bapak. Kalau nanti terjadi secara terusmenerus sebaiknya bapak langsung segera hubungi dokter saja.

Pasien

: Oh cak itu nak eh, walaupun dak ngerti nian tapi ado lah yang
nyangkut dikit dikit.

TTK 1

: Iya pak begitu. Nanti kalau tekanan darah nya sudah menurun,
segera hentikan penggunaan obat nya ya pak. Bisa bapak ulangi lagi
yang sudah saya jelaskan tadi.

Pasien

: Iyo nak, obat ini nih minum nyo 1 kali bae sehari waktu pagi hari
sudah sarapan eh jangan waktu malam agek laju nak buang air kecil
bae.

TTK 1

: Nah iya, benar sekali pak.

Pasien

: Iyo lah nak, tuo-tuo mak ini pinter bapak ni. Dulu juara terus waktu
sekolah.

TTK 1

: oh iya pak bapak kan tekanan darahnya tinggi ,ada baiknya bapak
mengurangi konsumsi daging makanan berlemak, kalo merokok
berhenti merokoknya pak dan kurangi konsumsi garam ya pak

Pasien

: lah banyak nian yo dek yang nk dikurangi

TTK 1

: hehe iya pak, kalo bisa mulai berolahraga dan banyak konsumsi
sayur dan buah ya pak

Pasien

: iyo gek kuusahake lah, Jadi, berapo tadi hargonyo nak?

TTK 1

: Harganya Rp. 204.000 Pak


TTK 1 meminta TTK 2 untuk menyerahkan obat kepada pasien.

38

TTK 1

: Mon, ini obatnya tolong dibungkusin yah.

TTK 2

: Iya git.
TTK 2 menyerah obat kepada pasien.

TTK 2

: Pak ini obatnya (menyerahkan obat), harganya Rp .

Pasien

: Ini nah duitnyo nak. (Menyerahkan uang

TTK 2

: Terimakasih pak, ini kembaliannya (menyerahkan uang kembalian

kepada
pasien)
Pasien

: Mokaseh nak.

TTK 2

: Sama-sama pak, semoga lekas sembuh

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, A.D., Waren, A., Situmorang, E., Asputra, H., Siahaan, S.S., 2009,
Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Kejadian Hipertensi Pada Pasien
yang Berobat di Poliklinik Dewasa Puskesmas Bangkinang Periode JanuariJuni 2008, Laporan Penelitian: Fakultas Kedokteran, Universitas Riau, 358.
Anonim,2006, Terapi pada Usia Lanjut (Geriatri).
http://pojokapoteker.blogspot.com/2008/12/terapi-pada-usia-lanjut geriatri.html
diakses tanggal 21 Oktober 2016
Anonim,

2004, Bagi

Kaum

Lansia

Obat

tidak

Selalu

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/01/index.htm..

Menjadi

Diakses

Sahabat

diakses

21

Oktober 2016
BNF, 2007, British National Formulary 54th Edition, BMJ Publishing Group, London
halaman 57-56
Bustami,Z.S. 2001. Obat Untuk Kaum Lansia. Edisi kedua. Penerbit ITB. Bandung

39

Darmojo-Boedi, Martono Hadi (editor). 2006. Buku Ajar Geriatri. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran UI. Jakarta
Darmansjah, Iwan, Prof. 1994. Jurnal Ilmiah : Polifarmasi pada Usia Lanjut. Diakses
diakses tanggal 21 Oktober 2016
Depkes RI :Jakarta Departemen kesehatan RI. 2006. Pedoman Tata Laksana Gizi
Usia Lanjut untuk Tenaga Kesehatan. Direktorat Gizi Masyarakat Dirjen Bina
Kesehatan Masyarakat Depkes RI. Jakarta
Fatimah, S. 2006. Buku Ajar Geriatri. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia :
Jakarta Fatmah. 2010. Gizi Usia Lanjut. Erlangga : Jakarta
Manjoer, Arif M, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, 12, Media Aesculapius, Jakarta.
National Institutes of Health, 2003. The Seventh Report of the Joint National
Committe on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood
Pressure. http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/hypertension/. Diakses

22

Oktober 2016
Nugroho, W. 1992. Perawatan Lanjut Usia. . Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC
Soedirjo. Hipertensi dan Klinis. Farmacia. Jakarta; 2008.
WHO. 2007.Hypertension Report. WHO Technical Report Series. Geneva;
WHO. (2000). WHO/ISH. Hypertension Guidlines. http://www.who.int. diakses 22
oktober 2016
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33564/4/Chapter%20II.pdf

40

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai