(PKMRS)
DISUSUN OLEH:
Agni Khairani
C111 12 030
RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Inayah
dr. Mery
SUPERVISOR PEMBIMBING:
Prof. Dr. dr. Syarifuddin Rauf, Sp.A(K)
KEPANITERAAN KLINIK
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
1. Pendahuluan
Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) merupakan masalah
kesehatan yang serius pada anak dengan morbiditas dan mortalitas yang semakin meningkat
serta menimbulkan masalah sosial ekonomi yang signifikan. Deteksi dan intervensi dini
sangat penting untuk memperlambat progresivitas penyakit dan menjaga kualitas hidup,
namun kesadaran masyarakat dan tenaga medis yang masih kurang sehingga pengobatan
sering terlambat.[1]
Penurunan fungsi ginjal terjadi secara berangsur-angsur dan irreversible yang akan
berkembang terus menjadi gagal ginjal terminal. Adanya kerusakan ginjal tersebut dapat
dilihat dari kelainan yang terdapat dalam darah, urin, pencitraan, atau biopsi ginjal. PGK
merupakan masalah kesehatan yang mendunia dengan angka kejadian yang terus meningkat,
mempunyai prognosis buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. Di negaranegara berkembang PGK lebih kompleks lagi masalahnya karena berkaitan dengan sosioekonomi dan penyakit-penyakit yang mendasarinya.[2]
Kualitas hidup anak dengan PGK lebih rendah dibandingkan anak sehat, baik secara fisik,
emosional, sosial, maupun prestasi belajar. Mereka sering merasa cemas, takut dan tertekan
sehingga mempengaruhi fungsi akademis di sekolah. Selain itu orangtua anak PGK hidup
dalam kecemasan, kelelahan fisik, ketidakpastian mengenai prognosis, dan masalah finansial.
[1]
Berkaitan dengan pentingnya pencegahan agar tidak jatuh ke penyakit ginjal kronik dan
mempertahankan fungsi ginjal yang tersisa agar tetap dalam keadaan steady state, maka
dalam refarat kali ini akan dibahas mengenai batasan dan klasifikasi, angka kejadian,
etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan pada penyakit ginjal kronik serta
pencegahannya.
Fungsi Ekskresi
o Ekskresi sisa metabolisme
o Regulasi volume cairan tubuh
o Menjaga keseimbangan asam basa
Fungsi Nonekskresi
o Partisipasi dalam eritropoesis
o Pengaturan tekanan darah
o Keseimbangan kalsium dan fosfor
3.
dikeluarkan oleh The National Kidney Foundations Kidney Disease and Outcome Quality
Initiative (NKF-KDOQI) pada tahun 2002. Penyakit ginjal kronik merupakan penyakit ginjal
dengan kerusakan ginjal selama minimal tiga bulan dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG) atau penurunan LFG (<60 ml/menit/1,73m) minimal tiga bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.[1] Batasan penyakit ginjal kronik yaitu:[5]
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau
tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
Pemeriksaan histopatologi
Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria
Pemeriksaan radiologi
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan dengan atau tanpa
kerusakan ginjal.
NKF-KDOQI membagi PGK dalam lima stadium yaitu:[5]
4.
Epidemiologi
Rerata angka kejadian PGK pada anak di dunia adalah 12,1 kasus per 1.000.000 anak.
Angka kejadian di Indonesia sendiri belum dapat dipastikan namun data dari tujuh rumah
sakit pendidikan dokter spesialis anak menyatakan bahwa 2% dari 2889 anak yang dirawat
dengan penyakit ginjal di tahun 1984-1988 menderita penyakit ginjal kronis.[6,7]
Berdasarkan data dari The North American Pediatric Renal Transplant Cooperative
Study (NAPRTCS), sebanyak 551 pasien berusia 2-17 tahun diperkirakan memiliki GFR < 75
mL/min per 1.73 m2. Persentase dari penelitian Cohort NAPRTCS menunjukkan angka 19%,
17%, 33%, dan 31% pada masing-masing anak berusia 0-1 tahun, 2-5 tahun 6-12 tahun, dan
lebih dari 12 tahun. Prevalens CKD pada anak dilaporkan kira-kira 18.5-58.3 per satu juta
anak.[2]
Penelitian di India melaporkan terdapat 5.3% anak dengan PGK yang terdapat di rumah
sakit rujukan. Data dari Itali menyebutkan insidens rata-rata 12.1 kasus per tahun pada
populasi yang tergantung umur (rentang usia 8.8-13.9 tahun). Sebesar 70% anak dengan
PGK berkembang menjadi end stage renal disease (ESRD) sebelum usia 20 tahun. Anak
dengan ESRD memiliki 10-year survival rate 80% dan angka mortalitas 30 kali dibandingkan
anak tanpa ESRD. Penyebab kematian pada anak-anak tersebut paling sering akibat penyakit
kardiovaskular, yang diikuti oleh penyakit infeksi. Penyebab kematian kardiovaskular dapat
dibedakan menjadi henti jantung (25%), stroke (16%), iskemi miokardium (14%), edema
paru (12%), hiperkalemi (11%), dan sebesar 22% sisanya akibat aritmia. [2] Penelitian
multisenter di Turki melaporkan insidens PGK mencapai 10,9 kasus per satu juta anak,
dengan mayoritas stadium V (32,5%), stadium IV (29,8%), dan stadium III (25,8%).7 Sekitar
68% anak dengan PGK berkembang menjadi GGT (gagal ginjal terminal) pada usia 20 tahun.
Anak dengan GGT mempunyai angka kelangsungan hidup sekitar 3% pada usia 20 tahun.
Penyebab kematian paling sering adalah penyakit kardiovaskular diikuti dengan infeksi.[1]
5.
Etiologi
Penyebab PGK paling sering pada anak umur di bawah lima tahun adalah kelainan
kongenital ginjal dan saluran kemih, termasuk displasia ginjal, hipoplasia ginjal, dan uropati
obstruktif akibat katup uretra posterior. Pada anak berumur di atas lima tahun, PGK paling
sering disebabkan oleh penyakit yang didapat, seperti glomerulonefritis dan infeksi saluran
kemih.[7] Tabel berikut menampilkan persentase penyebab penyakit ginjal kronik menurut
North American Pediatric Renal Trials and Collaborative Studies (NAPRTCS):[8]
Distributions by diagnosis
Number
Percent Male
Percent white
Percent black
Percent other
Total
6,405
64
61
19
20
Primary diagnosis
Obstructive uropathy
1,385
86
61
21
17
Aplastic/hypoplastic/dysplastic kidney
1,125
62
62
17
21
Other
913
58
63
16
21
FSGS
557
57
40
39
21
Distributions by diagnosis
Number
Percent Male
Percent white
Percent black
Percent other
Reflux nephropathy
536
53
74
20
Polycystic disease
257
55
74
11
15
Prune belly
185
97
62
23
15
Renal infarct
155
53
66
13
21
Unknown
168
52
47
20
32
HUS
134
58
81
11
SLE nephritis
96
25
27
41
32
Cystinosis
97
48
92
Familial nephritis
99
86
61
12
27
Pyelo/interstitial nephritis
87
39
64
20
16
82
50
84
Chronic GN
76
50
43
29
28
MPGN-type I
67
61
48
19
33
64
63
64
16
20
68
46
46
12
43
Idiopathic crescentic GN
46
48
52
24
24
Henoch-Schnlein nephritis
40
65
78
20
MPGN-type II
29
72
79
17
Membranous nephropathy
33
48
30
39
30
25
32
40
32
28
Wilms tumor
28
54
57
21
21
Wegeners granulomatosis
17
76
94
13
62
92
Diabetic GN
11
50
36
45
18
Oxalosis
67
83
17
Drash syndrome
100
67
33
6.
FSGS= focal segmental glomerulosclerosis, HUS =hemolytic uremic syndrome, SLE=systemic lupus
erythematosus, GN =glomerulonephritis, MPGN =membranoproliferative GN, IgA =immunoglobulin A
Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik yang pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Terdapat dua pendekatan teoritis untuk menjelaskan gangguan fungsi ginjal pada PGK. Sudut
pandang tradisional mengatakan bahwa semua unit nefron yang telah diserang penyakit
namun dalam stadium berbeda-beda, dapat benar-benar rusak atau berubah strukturnya.
Misalnya lesi organik pada medula akan merusak susunan anatomik ansa henle dan vasa
recta, atau pompa klorida pada pars asendens ansa henle akan mengganggu proses aliran
balik pemekatan. Pendekatan kedua, yang diterima sekarang, dikenal dengan nama Hipotesis
Bricer atau hipotesis nefron utuh, yaitu bahwa bila nefron terserang pernyakit, maka seluruh
unitnya akan hancur, namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal. Hal ini
menerangkan pola adaptasi fungsional ginjal berupa kemampuan mempertahankan
homeostasis dengan cara sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi dalam usahanya
melaksanakan seluruh beban kerja ginjal.[1,9]
Lebih kurang 1 juta nefron terdapat pada masing-masing ginjal dan semuanya
berkontribusi terhadap laju filtrasi glomerulus. Tanpa memandang penyebab kerusakan
ginjal, nefron-nefron, ginjal pada awalnya mampu mempertahankan laju filtrasi glomerulus
dengan cara hiperfiltrasi dan hipertrofi kompensatori dari nefron-nefron yang masih sehat.
Kemampuan adaptasi ini terus berlangsung sampai ginjal mengalami kelelahan dan akan
tampak peningkatan kadar ureum dan kreatinin dalam plasma. Peningkatan kadar kreatinin
plasma dari nilai dasar 0,6 mg/dl menjadi 1,2 mg/dl, meskipun masih dalam rentang normal,
sebetulnya hal ini merepresentasikan adanya penurunan fungsi ginjal sebesar 50%.[9]
Mekanisme progresivitas gagal ginjal kronik yang paling meyakinkan adalah teori
adaptasi. Dalam teori ini dikemukakan bahwa sebagai akibat berkurangnya sejumlah nefron,
maka nefron-nefron yang tersisa akan mengalami serangkaian perubahan baik secara
fungsional maupun morfologik. Adapun perubahan-perubahan tersebut berupa peningkatan
aliran plasma glomerulus, peningkatan tekanan kapiler intraglomerulus, peningkatan laju
filtrasi glomerulus, kemudian terjadi hipertrofi glomerulus. Perubahan-perubahan ini yang
merupakan perubahan hemodinamik adalah suatu upaya yang dilakukan ginjal untuk
mempertahankan keseimbangan homeostasis. Namun ternyata berakibat buruk terhadap
nefron yang tersisa, oleh karena setelah beberapa waktu akan timbul kerusakan pada
glomerulus, tubulus maupun jaringan intestisial yang berlanjut terus sampai akhirnya terjadi
fibrosis yang luas dan hilangnya struktur dari nefron. Pada tahap ini fungsi ginjal sangat
minimal.
Gambar 2. Peran faktor-faktor yang terlibat dalam progresivitas kerusakan ginjal. [9]
Keduanya bersifat toksik dan menimbulkan kerusakan pada sel epitel tubulus. Protein
dalam filtrat glomerulus akan direabsorbsi oleh sel epitel tubulus proksimal, lalu
mengalami proses endositosis (baik melalui reseptor atau secara konstitusional) untuk
kemudian mengalami degradasi oleh lisosom menjadi asam-asam amino. Apabila jumlah
protein yang mengalami proses ini meningkat terus maka di dalam sel tubulus akan
terjadi kongesti organel dan pembengkakan oleh lisosom lalu pecah sehingga sitoplasma
sel dan enzim lisosom memasuki ruang interstisial dan menimbulkan kerusakan melalui
reaksi inflamasi.
2. Keadaan Hipoksia
Pada ginjal yang mengalami kerusakan, terjadi hipertrofi dari nefron yang masih
baik. Selain itu terjadi peningkatan metabolisme dengan akibat membutuhkan lebih
banyak lagi oksigen. Kerusakan struktur sebagai akibat reaksi inflamasi dan peningkatan
matriks ekstraselular dapat menyebabkan obliterasi dari pembuluh darah kapiler
peritubular sehingga mengganggu vaskularisasi dan suplai oksigen dan menyebabkan
terjadinya suatu keadaan hipoksia. Keadaan hipoksia merupakan suatu stimulasi bagi
ekspresi gen-gen yang mengkode pembentukan beberapa growth factor seperti vascular
endothelial growth factor (VEGF), platelet derived growth factor (PDGF) dan TGF-.
Peptida-peptida ini berperan pada berbagai proses seperti proliferasi dan hipertrofi sel,
sintesis dan degradasi matriks-matriks, stimulasi dan respons inflamasi dan pengaturan
tonus dinding vaskular.
3. Stres Mekanik
Perubahan
hemodinamik
pada
sejumlah
nefron
menimbulkan
beban
mekanik/regangan pada sel dinding vaskular, tubuler maupun jaringan mesangial. Secara
invitro dapat dibuktikan bahwa rangsangan mekanik/stres mekanik terhadap sel-sel
mesangial meningkatkan sintesis dari TGF-. Pada gagal ginjal kronik ketiga faktor ini
dapat berperan sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam menimbulkan progresivitas.
Laju filtrasi glomerulus < 30 ml/m/1,73 m2 dan proteinuria berat merupakan prediktor
independen terjadinya progresivitas menuju gagal ginjal terminal.
7. Manifestasi Klinis
end
organ
terhadap
hormon
endogen
(hormon
pertumbuhan).
Perubahan homeostasis cairan merupakan tanda awal dari kehilangan nefron, mencakup
penurunan kemampuan untuk memaksimalkan konsentrasi urin. Hal ini membawa ke
keadaan isostenuria dan diuresis osmotik dengan beban ekskresi dari volume urin yang lebih
besar untuk mengeluarkan sisa-sisa produk. Secara klinis, hal ini menimbulkan gejala
nokturia dan poliuria yang tidak sensitif terhadap pengaruh vasopresin. Akibat dari beban
ekskresi yang lebih besar, setiap asupan cairan yang dibatasi dapat menyebabkan dehidrasi
dan penurunan fungsi ginjal. Ekskresi cairan dipelihara secara baik sampai LFG mencapai
10-15 ml/m/1,73m2 . Di bawah nilai ini, retensi cairan dan natrium menyebabkan hipertensi
dan edema.[9,10]
Dengan
berkurangnya
LFG
yang
progresif
pada
pasien
PGK,
ginjal
akan
meningkatkan ekskresi renal dan ekstrarenal. Ekskresi renal dicapai dengan meningkatkan
fraksi ekskresi pada nefron yang masih berfungsi. Sedangkan ekskresi ekstrarenal terutama
melalui sekresi epitel kolon dan dikeluarkan melaui feses yaitu sebanyak 75%. Hiperkalemia
umumnya terjadi ketika LFG kurang dari 20-25 ml/menit/1,73m 2 karena penurunan
kemampuan ginjal untuk mengeluarkan kalium. Hal ini dapat terlihat lebih cepat pada
penderita yang mengkonsumsi diit kaya kalium atau jika kadar aldosteron serum rendah.
Tanda-tanda hiperkalemia meliputi kelemahan otot yang dapat menjadi paralisis flaksid;
hipoventilasi apabila melibatkan otot-otot pernapasan, serta palpitasi akibat aritmia. Pada
gagal ginjal, terjadi gangguan kemampuan ginjal untuk mengekskresikan H + sehingga
mengakibatkan asidosis metabolik dengan ditandai penurunan pH dan kadar HCO3 plasma.
Gejala asidosis metabolik meliputi pernapasan cepat dengan peningkatan voume tidal
(pernapasan Kussmaul), nyeri kepala, letargi sampai ke stupor maupun koma.[9,10]
Anemia pada gagal ginjal kronik disebabkan karena defisiensi hormon eritropoietin
dengan gambaran morfologi eritrosit normokrom normositer. Eritropoietin diproduksi oleh
sel kortikal interstitial di sekitar tubulus proksimal (peritubular) yang berfungsi untuk
pematangan sel darah merah di sumsum tulang. Anemia pada pasien GGK juga dapat
disebabkan oleh defisiensi besi akibat malnutrisi atau kehilangan darah kronik akibat
perdarahan saluran cerna tersembunyi (occult bleeding); masa hidup sel darah merah menjadi
pendek karena toksin uremik, toksisitas aluminium yang berkaitan dengan penggunaan fosfat
binder; juga anemia dapat terjadi karena kehilangan darah iatrogenik selama hemodialisis
atau pengambilan darah untuk pemeriksaan darah.[9,10]
Ginjal merupakan organ yang bertanggung jawab terhadap produksi kalsitriol yang
merupakan bentuk metabolik paling aktif dari vitamin D. Osteodistrofi ginjal umumnya
terjadi oleh karena hiperfosfatemia, hipokalsemia dan akibat peningkatan hormon paratiroid.
Gejala klinis osteodistrofi ginjal antara lain gangguan pertumbuhan, gangguan bentuk tulang,
fraktur spontan dan nyeri tulang. Apabila disertai gejala rakitis yang jelas akan timbul
hipotonia umum, lemah otot, dan nyeri otot. Pada pemeriksaan radiologi dan histologi
ditemukan gambaran osteomalasia dan osteofibrosis.[9,10]
Hipertensi pada umumnya simptomatik, tidak jarang dipakai sebagai gambaran skaring
parenkim ginjal akibat refluk nefropati misalnya sehingga berakibat PGK. Hipertensi dan
gagal ginjal kronik memiliki kaitan yang erat. Hipertensi mungkin merupakan penyakit
primer dan menyebabkan kerusakan pada ginjal, sebaliknya penyakit ginjal kronik dapat
menyebabkan hipertensi melalui mekanisme retensi natrium dan air dan pengaruh vasopresor
dari sistem renin angiotensin. Gagal jantung kongestif akibat hipertensi yang tidak dikelola
dengan baik atau kelebihan cairan dan natrium, tidak akan terjadi sampai tahap lanjut PGK,
namun pada beberapa anak dapat terlihat gejala yang membutuhkan terapi diuretik atau
dialisis. Klinis yang dapat timbul meliputi lemah, sesak, dan distensi vena jugular.[9,10]
8.
Diagnosis
Langkah diagnosis penyakit ginjal kronik dilakukan sebagaimana diagnosis pada
umumnya yaitu melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Pada
anamnesis dicari ada riwaya penyakit ginjal dan saluran kemih (penyebab terbanyak PGK
adalah glomerulonefritis dan infeksi saluran kemih). Gejala PGK tidak spesifik seperti sakit
kepala, lelah, letargi, gangguan pertumbuhan, anoreksia, muntah, polidipsi, poliuria,
oligouria, dan edema.[11]
Pada pemeriksaan fisis, dapat ditemukan berbagai kelainan yang bersifat kegagalan
multiorgan akibat sindro uremik. Anak sering tampak pucat, lemah, dan mengalami
gangguan kesadaran. Tekanan darah tinggi, pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul) dan
edema juga sering ditemukan. Pada keadaan lanjut dapatditemukan kelainan bentuk tulang,
gangguan pertumbuhan (perawakan pendek), gangguan perdarahan, gangguan neurologi,
atau gangguan jantung.[11]
Gejala dan tanda yang tidak spesifik menuntut dilakukannya pemeriksaan penunjang
untuk mengkonfirmasi diagnosis. Ureum dan kreatinin serum meningkat pada PGK. LFG
dapat dihiting dengan rumus Schwartz atau dengan pemeriksaan klirens kreatinin dan klirens
ureum. Rumus Schwartz untuk menghitung nilai LFG dari kreatinin serum yaitu sebagai
berikut:[11]
LFG=
kL
Pkr
Keterangan:
dicegah
progresifitas
anemia
dan
anemia
yang
berkelanjutan,
maka
seminggu sampai kadar Hb 10 gr/dl. Terapi besi oral sebaiknya diberikan jika kadar feritin
plasma di bawah 100 ng/mL, anjuran dosis 2-3 mg/kgbb/hari terbagi dalam 2-3 dosis. Zat
besi diberikan dalam keadaan perut kosong dan tidak diberikan bersamaan dengan pengikat
fosfat.[1,11]
Tata laksana hipertensi meliputi terapi non farmakologis dan farmakologis tetapi terapi
farmakologis menjadi pilihan utama. Meskipun sering diberikan antihipertensi multipel,
dianjurkan dimulai dengan obat tunggal dengan dosis rendah kemudian ditingkatkan secara
perlahan sampai tekanan darah terkontrol, kecuali pada pasien dengan hipertensi emergensi
dan urgensi yang membutuhkan penurunan tekanan darah dengan segera. Target tekanan
darah yang ingin dicapai adalah di bawah persentil 90 atau <130/80 mmHg. Obat ACE
inhibitors dan angiotensin II type 1 receptor blockers (ARBs ) merupakan pilihan pertama
karena mempunyai efek renoprotektif.[1]
Kelainan elektrolit diobati sesuai dengan gangguan yang terjadi. Target terapi asidosis
metabolik akibat PGK adalah menjaga bikarbonat serum dalam rentang 20-22 mEq/L dengan
memberikan suplemen natrium bikarbonat dosis awal 1-3 mEq/kgBB/hari. Hiperfosfatemia
ditata laksana dengan diet rendah fosfat, obat pengikat fosfat, mengontrol kadar hormon
paratiroid, bila perlu dilakukan dialisis. Diet rendah fosfat sulit dilakukan, sementara
hemodialisis tiga kali/minggu hanya mampu mengekskresi 900 mg fosfat, sehingga obat
pengikat fosfat paling banyak digunakan seperti kalsium karbonat (50 mg/kgBB/hari),
kalsium asetat, atau sevelamer.[1,11]
Tujuan terapi osteodistrofi renal pada PGK adalah mencegah deformitas tulang dan
normalisasi kecepatan pertumbuhan dengan intervensi diet rendah fosfat dan terapi
farmakologi berupa pengikat fosfat dan vitamin D. Terapi vitamin D dimulai ketika pasien
menderita PGK stadium tiga. Dosis dinaikkan secara bertahap, bergantung kepada kadar
fosfat serum dan kadar hormon paratiroid. Pasien dengan PGK stadium 2-4 mulai diberi
kalsitriol (vitamin D aktif) pada saat kadar 25-hidroksivitamin D >30ng/mL dan kadar
hormon paratiroid serum di atas nilai normal. Pada PGK stadium lima dan kadar hormon
paratiroid >300 pg/mL. Kalsitriol diberikan untuk menurunkan kadar hormon paratiroid
sampai kadar 200-300 pg/mL. Kalsitriol diberikan secara intermiten, baik melalui intravena
maupun oral.[1] enanganan dislipidemia pada anak dengan penyakit ginjal kronis dan LDL
puasa >100 mg/dl, intervensi gaya hidup, seperti latihan sedang, reduksi konsumsi lemak
jenuh dan kolesterol, direkomendasikan untuk 6 bulan pertama. Jika kadar LDL target tidak
dicapai (<100 mg/dl), terapi statin direkomendasikan untuk dimulai (dosis dewasa 10 mg per
hari per oral).[6]
Ketika anak menunjukkan tanda-tanda akut dalam gagal ginjal kronis, terapi pengganti
ginjal diperlukan untuk menyelamatkan nyawanya.Dialisis peritonealdalam bentuk CAPD
(continous ambulatory peritoneal dialysis) dapat digunakan pada anak sebelum transplantasi
ginjal dapat dilakukan. Tanda-tanda klinis yang perlu diperhatikan untuk segera memulai
dialisis adalah sindrom uremia yang nyata seperti muntah-muntah, kejang, penurunan
kesadaran hingga koma; kelebihan cairan yang menimbulkan gagal jantung, edema paru dan
hipertensi; dan asidosis yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian bikarbonat intravena.
Dialisis juga dapat mulai dilakukan bila ditemukan kadar ureum darah 200-300 mg/dl atau
kreatinin 15 mg/dl, hiperkalemia 7 mEq/l, atau bikarbonat plasma 12 mEq/l.Hemodialisis
dapat dilakukan secara akut bila terjadi kelebihan cairan, seperti edema paru atau gagal
jantung kongestif, atau terjadi kondisi serius yang mengancam jiwa pasien, seperti
hiperkalemia, asidosis metabolik, hipo atau hipernatremia. Hemodialisis memiliki delapan
kali kemampuan dialisis peritoneal untuk mengeluarkan zat-zat terlarut dan empat kali
kemampuan dialisis peritoneal untuk mengeluarkan cairan. Sehingga hemodialisa lebih
cocok digunakan untuk kondisi yang memerlukan koreksi cepat. Penyakit ginjal kronis
stadium 5 merupakan indikasi untuk transplantasi. Meskipun demikian, tidak semua pasien
dengan penyakit ginjal kronis stadium 5 dapat menjadi kandidat untuk transplantasi ginjal.
Prosedur ini dapat terlalu berisiko bagi sebagian karena komorbiditas yang telah diderita
pasien atau karena kontraindikasi tertentu, seperti infeksi kronis yang akan dieksaserbasi oleh
imunosupresi. Kontraindikasi absolut bagi transplantasi ginjal adalah keganasan aktif,
terutama jika telah bermetastasis. Infeksi HIV dan potensi rekurensi penyakit ginjal juga
perlu dipertimbangkan dalam rencana transplantasi.[6]
10. Prognosis
Prognosis pasien dengan penyakit ginjal kronis adalah bervariasi menurut stadium dan
penatalaksanaan yang dilakukan. Dengan deteksi dan penatalaksanaan dini, morbiditas dan
mortalitas diharapkan dapat diturunkan. Kelangsungan hidup anak penderita gagal ginjal
terminal semakin meningkat setelah menjalani transplantasi. Angka mortalitas hanya 9% dan
5 year survival rate penderita yang mendapat transplantasi ginjal dari donor hidup sebesar
80,8% pada anak usia < 1 tahun, dan 97,4% pada anak usia 6-10 tahun.[9]
Prognosis pasien CKD berdasarkan data epidemiologi dan angka kematian meningkat
sejalan dengan fungsi ginjal yang memburuk. Penyebab kematian utama pada CKD adalah
penyakit kardiovaskular. Dengan adanya renal replacement therapy dapat meningkatkan
angka harapan hidup pada CKD stadium 5. Akan tetapi prosedur transplantasi ginjal dapat
menimbulkan komplikasi akibat pembedahan. CAPD meningkatkan angka harapan hidup
dan quality of life dibandingkan hemodialisis dan dialisis peritoneal.[2]
Meskipun tahapan PGK sekarang didefinisikan cukup baik, perjalanan alamiah dari tahap
awal penyakit cukup bervarasi dan sering tak terduga. Namun, data yang tersedia
menunjukkan perkembangan yang lebih lambat menuju ESRD pada pasien dengan gangguan
ginjal bawaan dibandingkan dengan pasien dengan penyakit glomerulus. Untuk alasan ini
proporsi relatif dari penyakit glomerular cukup tinggi pada kelompok pasien dengan stadium
lanjut PGK. Prognosis PGK juga dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko, beberapa di
antaranya (misalnya, obesitas, hipertensi, dan proteinuria) mungkin dapat dimodifikasi,
sedangkan yang lain, termasuk genetik, ras, usia, dan jenis kelamin, tidak dapat dimodifikasi.
[8]
11. Pencegahan
Dokter berperan dalam skrining pasien anak dengan risiko tinggi, mencegah kerusakan
ginjal, dan merubah perjalanan penyakit PGK dengan melakukan terapi awal dan
pengawasan progresifitas penyakit. Pencegahan ini memiliki 3 aspek penting yaitu
pencegahan primer, sekunder, dan tersier.[2]
12. Penutup
Penyakit ginjal kronik merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitias pada
anak. Jalan keluar terbaik adalah mencegah agar tidak terjadi penyakit ginjal kronik, yaitu
dengan deteksi dan intervensi dini penyebab penyakit primernya serta menghindari obatobatan nefrotoksik, juga dengan melakukan pola hidup yang baik seperti mengatur diet yang
benar serta olahraga teratur.
Apabila penyakit ginjal kronik telah terjadi, maka usaha yang dilakukan adalah
memperlambat penurunan fungsi ginjal selama mungkin dengan pengaturan nutrisi,
mengendalikan hipertensi dan kontrol secara teratur untuk memonitor perkembangan fungsi
ginjal. Prognosis pasien dengan penyakit ginjal kronis adalah bervariasi menurut stadium dan
penatalaksanaan yang dilakukan. Dengan deteksi dan penatalaksanaan dini, morbiditas dan
mortalitas diharapkan dapat diturunkan.
Referensi
1.
2.
3.
Alatas H. Anatomi dan Fisiologi Ginjal. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono P, Pardede S, editors.
Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002. page 112.
4.
Hansen JT. Netters Clinical Anatomy, Third Edition. 3rd ed. Philadelphia: Elsevier; 2014.
5.
National Kidney Foundation. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease:
Evaluation, Clasification and Stratification [Internet]. 2002. Available from: www.kdoqi.org
6.
Ervina L, Bahrun D, Lestari HI. Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik pada Anak. Maj Kedokt
Sriwij [Internet] 2015;(2):1449. Available from:
ejournal.unsri.ac.id/index.php/mks/article/download/2758/pdf
7.
Jaya HT, Pardede SO. Nutrisi pada Anak dengan Penyakit Ginjal Kronik. Cermin Dunia Kedokt
2014;41(2):949.
8.
Warady BA, Chadha V. Chronic kidney disease in children: The global perspective. Pediatr
Nephrol 2007;22(12):19992009.
9.
10.
Sekarwana N. Gagal Ginjal Kronik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono P, Pardede S, editors.
Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002. page 50930.
11.