Anda di halaman 1dari 20

PENYULUHAN KESEHATAN MASYARAKAT RUMAH SAKIT

(PKMRS)

PENYAKIT GINJAL KRONIK

DISUSUN OLEH:
Agni Khairani
C111 12 030
RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Inayah
dr. Mery
SUPERVISOR PEMBIMBING:
Prof. Dr. dr. Syarifuddin Rauf, Sp.A(K)

KEPANITERAAN KLINIK
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016

1. Pendahuluan
Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) merupakan masalah
kesehatan yang serius pada anak dengan morbiditas dan mortalitas yang semakin meningkat
serta menimbulkan masalah sosial ekonomi yang signifikan. Deteksi dan intervensi dini
sangat penting untuk memperlambat progresivitas penyakit dan menjaga kualitas hidup,
namun kesadaran masyarakat dan tenaga medis yang masih kurang sehingga pengobatan
sering terlambat.[1]
Penurunan fungsi ginjal terjadi secara berangsur-angsur dan irreversible yang akan
berkembang terus menjadi gagal ginjal terminal. Adanya kerusakan ginjal tersebut dapat
dilihat dari kelainan yang terdapat dalam darah, urin, pencitraan, atau biopsi ginjal. PGK
merupakan masalah kesehatan yang mendunia dengan angka kejadian yang terus meningkat,
mempunyai prognosis buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. Di negaranegara berkembang PGK lebih kompleks lagi masalahnya karena berkaitan dengan sosioekonomi dan penyakit-penyakit yang mendasarinya.[2]
Kualitas hidup anak dengan PGK lebih rendah dibandingkan anak sehat, baik secara fisik,
emosional, sosial, maupun prestasi belajar. Mereka sering merasa cemas, takut dan tertekan
sehingga mempengaruhi fungsi akademis di sekolah. Selain itu orangtua anak PGK hidup
dalam kecemasan, kelelahan fisik, ketidakpastian mengenai prognosis, dan masalah finansial.
[1]

Berkaitan dengan pentingnya pencegahan agar tidak jatuh ke penyakit ginjal kronik dan
mempertahankan fungsi ginjal yang tersisa agar tetap dalam keadaan steady state, maka
dalam refarat kali ini akan dibahas mengenai batasan dan klasifikasi, angka kejadian,
etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan pada penyakit ginjal kronik serta
pencegahannya.

2. Anatomi dan Fisiologi Ginjal


Ginjal terletak di ruang retroperitoneal antara vertebra torakal dua belas atau lumbal satu
dan lumbal empat. Panjang dan beratnya bervariasi yaitu lebih kurang 6 cm dan 24 gram
pada bayi lahir cukup bulan, sampai 12 cm atau lebih dari 150 gram pada orang dewasa. Pada
bayi baru lahir ginjal sering dapat diraba. Pada janin permukaan ginjal tidak rata, berlobuslobus yang kemudian akan menghilang dengan bertambahnya umur. Tiap ginjal terdiri atas 812 lobus yang berbentuk piramid. Ginjal mempunyai lapisan luar, yaitu korteks yang
mengandung glomerulus, tubulus proksimal dan distal yang berkelok-kelok dan duktus
koligens, serta lapisan dalam yaitu medula, yang mengandung bagian tubulus yang lurus,
ansa Henle, vasa rekta, dan duktus koligens terminal.[3]
Puncak piramid medula menonjol ke dalam disebut papil ginjal yang merupakan ujung
kaliks minor. Beberapa duktus koligens bermuara pada duktus papilaris Bellini yang
ujungnya di papil ginjal dan mengalirkan urin ke dalam kaliks minor. Karena ada 18-24
lubang muara duktus Bellini pada ujung papil maka daerah tersebut terlihat sebagai tapisan
beras dan disebut area kribrosa. Antara dua piramid terdapat jaringan kortes tempat
masukmya cabang-cabang arteri renalis disebut kolumna Bertini. Beberapa kaliks minor
membentuk kaliks mayor yang bersatu menjadi pelvis ginjal dan kemudian bermuara ke
dalam ureter. Ureter kanan dan kiri bermuara di kandung kemih yang juga disebut buli-buli
atau vesika urniaria. Urin dikeluarkan dari kandung kemih melalui uretra.[3]
Tiap ginjal mengandung lebih kurang 1 juta nefron (glomerulus dan tubulus yang
berhubungan dengannya). Pada manusia, pembentukan nefron selesai pada janin 35 minggu.
Nefron baru tidak dibentuk lagi setelah lahir. Perkembangan selanjutnya adalah hiperplasia
dan hipertrofi struktur yang sudah ada disertai maturasi fungsional. Perkembangan paling
cepat terjadi pada 5 tahun pertama setelah lahir. Oleh karena itu bila pada masa ini terjadi
gangguan misalnya infeksi saluran kemih atau refluks, maka hal ini dapat mengganggu
pertumbuhan ginjal.

Gambar 1. Anatomi ginjal[4]


Tiap nefron terdiri atas glomerulus dan kapsula Bowman, tubulus proksimal, ansa Henle,
dan tubulus distal. Glomerulus bersama kapsula Bowman juga disebut badan Malpigi.
Meskipun ultrafiltrasi plasma terjadi di glomerulus tetapi peranan tubulus dalam
pembentukan urin tidak kalah pentingnya dalam pengaturan malieu internal.[3]
Ginjal adalah organ ekskresi. Fungsi utama ginjal adalah menjaga keseimbangan internal
dengan jalan menjaga komposisi cairan ektraselular. Untuk melaksanakan hal itu sejumlah
besar cairan difiltrasi di glomerulus dan kemudian direabsorpsi dan disekresi di sepanjang
nefron sehinggan zat-zat yang berguna diserap kembali dan sisa-sisa metabolisme
dikeluarkan sebagai urin, sedangkan air ditahan sesuai dengan kebutuhan tubuh kita. Volume
cairan yang tersaring masuk ke glomerulus sebanyak 125 ml per menit atau 180 liter per hari.
Fungsi utama ginjal terdiri atas:[3]

Fungsi Ekskresi
o Ekskresi sisa metabolisme
o Regulasi volume cairan tubuh
o Menjaga keseimbangan asam basa
Fungsi Nonekskresi
o Partisipasi dalam eritropoesis
o Pengaturan tekanan darah
o Keseimbangan kalsium dan fosfor

3.

Definisi dan Klasifikasi PGK


Penyakit Ginjal Kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan terminologi yang

dikeluarkan oleh The National Kidney Foundations Kidney Disease and Outcome Quality
Initiative (NKF-KDOQI) pada tahun 2002. Penyakit ginjal kronik merupakan penyakit ginjal
dengan kerusakan ginjal selama minimal tiga bulan dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG) atau penurunan LFG (<60 ml/menit/1,73m) minimal tiga bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.[1] Batasan penyakit ginjal kronik yaitu:[5]
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau
tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
Pemeriksaan histopatologi
Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria
Pemeriksaan radiologi
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan dengan atau tanpa
kerusakan ginjal.
NKF-KDOQI membagi PGK dalam lima stadium yaitu:[5]

Stadium 1: kerusakan ginjal dengan LFG normal (90 mL/menit/1,73 m)

Stadium 2: kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan (60-89 mL/menit/1,73


m)

4.

Stadium 3: penurunan LFG sedang (30-59 mL/menit/1,73 m)

Stadium 4: penurunan LFG berat (15-29 mL/menit/1,73 m)

Stadium 5: gagal ginjal terminal (LFG < 15 mL/menit/1,73 m)

Epidemiologi
Rerata angka kejadian PGK pada anak di dunia adalah 12,1 kasus per 1.000.000 anak.

Angka kejadian di Indonesia sendiri belum dapat dipastikan namun data dari tujuh rumah
sakit pendidikan dokter spesialis anak menyatakan bahwa 2% dari 2889 anak yang dirawat
dengan penyakit ginjal di tahun 1984-1988 menderita penyakit ginjal kronis.[6,7]
Berdasarkan data dari The North American Pediatric Renal Transplant Cooperative
Study (NAPRTCS), sebanyak 551 pasien berusia 2-17 tahun diperkirakan memiliki GFR < 75

mL/min per 1.73 m2. Persentase dari penelitian Cohort NAPRTCS menunjukkan angka 19%,
17%, 33%, dan 31% pada masing-masing anak berusia 0-1 tahun, 2-5 tahun 6-12 tahun, dan
lebih dari 12 tahun. Prevalens CKD pada anak dilaporkan kira-kira 18.5-58.3 per satu juta
anak.[2]
Penelitian di India melaporkan terdapat 5.3% anak dengan PGK yang terdapat di rumah
sakit rujukan. Data dari Itali menyebutkan insidens rata-rata 12.1 kasus per tahun pada
populasi yang tergantung umur (rentang usia 8.8-13.9 tahun). Sebesar 70% anak dengan
PGK berkembang menjadi end stage renal disease (ESRD) sebelum usia 20 tahun. Anak
dengan ESRD memiliki 10-year survival rate 80% dan angka mortalitas 30 kali dibandingkan
anak tanpa ESRD. Penyebab kematian pada anak-anak tersebut paling sering akibat penyakit
kardiovaskular, yang diikuti oleh penyakit infeksi. Penyebab kematian kardiovaskular dapat
dibedakan menjadi henti jantung (25%), stroke (16%), iskemi miokardium (14%), edema
paru (12%), hiperkalemi (11%), dan sebesar 22% sisanya akibat aritmia. [2] Penelitian
multisenter di Turki melaporkan insidens PGK mencapai 10,9 kasus per satu juta anak,
dengan mayoritas stadium V (32,5%), stadium IV (29,8%), dan stadium III (25,8%).7 Sekitar
68% anak dengan PGK berkembang menjadi GGT (gagal ginjal terminal) pada usia 20 tahun.
Anak dengan GGT mempunyai angka kelangsungan hidup sekitar 3% pada usia 20 tahun.
Penyebab kematian paling sering adalah penyakit kardiovaskular diikuti dengan infeksi.[1]
5.

Etiologi
Penyebab PGK paling sering pada anak umur di bawah lima tahun adalah kelainan

kongenital ginjal dan saluran kemih, termasuk displasia ginjal, hipoplasia ginjal, dan uropati
obstruktif akibat katup uretra posterior. Pada anak berumur di atas lima tahun, PGK paling
sering disebabkan oleh penyakit yang didapat, seperti glomerulonefritis dan infeksi saluran
kemih.[7] Tabel berikut menampilkan persentase penyebab penyakit ginjal kronik menurut
North American Pediatric Renal Trials and Collaborative Studies (NAPRTCS):[8]
Distributions by diagnosis

Number

Percent Male

Percent white

Percent black

Percent other

Total

6,405

64

61

19

20

Primary diagnosis
Obstructive uropathy

1,385

86

61

21

17

Aplastic/hypoplastic/dysplastic kidney

1,125

62

62

17

21

Other

913

58

63

16

21

FSGS

557

57

40

39

21

Distributions by diagnosis

Number

Percent Male

Percent white

Percent black

Percent other

Reflux nephropathy

536

53

74

20

Polycystic disease

257

55

74

11

15

Prune belly

185

97

62

23

15

Renal infarct

155

53

66

13

21

Unknown

168

52

47

20

32

HUS

134

58

81

11

SLE nephritis

96

25

27

41

32

Cystinosis

97

48

92

Familial nephritis

99

86

61

12

27

Pyelo/interstitial nephritis

87

39

64

20

16

Medullary cystic disease

82

50

84

Chronic GN

76

50

43

29

28

MPGN-type I

67

61

48

19

33

Bergers (IgA) nephritis

64

63

64

16

20

Congenital nephrotic syndrome

68

46

46

12

43

Idiopathic crescentic GN

46

48

52

24

24

Henoch-Schnlein nephritis

40

65

78

20

MPGN-type II

29

72

79

17

Membranous nephropathy

33

48

30

39

30

Other systemic immunologic disease

25

32

40

32

28

Wilms tumor

28

54

57

21

21

Wegeners granulomatosis

17

76

94

Sickle cell nephropathy

13

62

92

Diabetic GN

11

50

36

45

18

Oxalosis

67

83

17

Drash syndrome

100

67

33

6.

FSGS= focal segmental glomerulosclerosis, HUS =hemolytic uremic syndrome, SLE=systemic lupus
erythematosus, GN =glomerulonephritis, MPGN =membranoproliferative GN, IgA =immunoglobulin A

Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik yang pada awalnya tergantung pada penyakit yang

mendasarinya, dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Terdapat dua pendekatan teoritis untuk menjelaskan gangguan fungsi ginjal pada PGK. Sudut
pandang tradisional mengatakan bahwa semua unit nefron yang telah diserang penyakit
namun dalam stadium berbeda-beda, dapat benar-benar rusak atau berubah strukturnya.
Misalnya lesi organik pada medula akan merusak susunan anatomik ansa henle dan vasa
recta, atau pompa klorida pada pars asendens ansa henle akan mengganggu proses aliran
balik pemekatan. Pendekatan kedua, yang diterima sekarang, dikenal dengan nama Hipotesis
Bricer atau hipotesis nefron utuh, yaitu bahwa bila nefron terserang pernyakit, maka seluruh

unitnya akan hancur, namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal. Hal ini
menerangkan pola adaptasi fungsional ginjal berupa kemampuan mempertahankan
homeostasis dengan cara sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi dalam usahanya
melaksanakan seluruh beban kerja ginjal.[1,9]
Lebih kurang 1 juta nefron terdapat pada masing-masing ginjal dan semuanya
berkontribusi terhadap laju filtrasi glomerulus. Tanpa memandang penyebab kerusakan
ginjal, nefron-nefron, ginjal pada awalnya mampu mempertahankan laju filtrasi glomerulus
dengan cara hiperfiltrasi dan hipertrofi kompensatori dari nefron-nefron yang masih sehat.
Kemampuan adaptasi ini terus berlangsung sampai ginjal mengalami kelelahan dan akan
tampak peningkatan kadar ureum dan kreatinin dalam plasma. Peningkatan kadar kreatinin
plasma dari nilai dasar 0,6 mg/dl menjadi 1,2 mg/dl, meskipun masih dalam rentang normal,
sebetulnya hal ini merepresentasikan adanya penurunan fungsi ginjal sebesar 50%.[9]
Mekanisme progresivitas gagal ginjal kronik yang paling meyakinkan adalah teori
adaptasi. Dalam teori ini dikemukakan bahwa sebagai akibat berkurangnya sejumlah nefron,
maka nefron-nefron yang tersisa akan mengalami serangkaian perubahan baik secara
fungsional maupun morfologik. Adapun perubahan-perubahan tersebut berupa peningkatan
aliran plasma glomerulus, peningkatan tekanan kapiler intraglomerulus, peningkatan laju
filtrasi glomerulus, kemudian terjadi hipertrofi glomerulus. Perubahan-perubahan ini yang
merupakan perubahan hemodinamik adalah suatu upaya yang dilakukan ginjal untuk
mempertahankan keseimbangan homeostasis. Namun ternyata berakibat buruk terhadap
nefron yang tersisa, oleh karena setelah beberapa waktu akan timbul kerusakan pada
glomerulus, tubulus maupun jaringan intestisial yang berlanjut terus sampai akhirnya terjadi
fibrosis yang luas dan hilangnya struktur dari nefron. Pada tahap ini fungsi ginjal sangat
minimal.

Gambar 2. Peran faktor-faktor yang terlibat dalam progresivitas kerusakan ginjal. [9]

Mekanisme dari perubahan hemodinamik mengakibatkan terjadi perubahan struktur yang


menuju kepada pembentukan jaringan fibrotik, diduga akibat faktor-faktor berupa protein
preload, keadaan hipoksia, dan stres atau rangsangan mekanik:[9]
1. Protein Preload
Perubahan hemodinamik yang dialami nefron berupa peningkatan aliran darah
glomerulus dan tekanan intrakapiler glomerulus menyebabkan meningkatnya protein
dalam filtrat glomerulus. Meningkatnya jumlah protein yang difiltrasi oleh glomerulus
juga disebabkan oleh mengingkatnya permeabilitas kapiler glomerulus. Ukuran pori-pori
pada membran kapiler glomerulus membesar atas pengaruh Angiotensin II lokal yang
terbentuk akibat kerusakan lapisan endotel kapiler glomerulus oleh perubahan
hemodinamik. Selain protein, beberapa makromolekul juga meningkat dalam ultrafiltrat.

Keduanya bersifat toksik dan menimbulkan kerusakan pada sel epitel tubulus. Protein
dalam filtrat glomerulus akan direabsorbsi oleh sel epitel tubulus proksimal, lalu
mengalami proses endositosis (baik melalui reseptor atau secara konstitusional) untuk
kemudian mengalami degradasi oleh lisosom menjadi asam-asam amino. Apabila jumlah
protein yang mengalami proses ini meningkat terus maka di dalam sel tubulus akan
terjadi kongesti organel dan pembengkakan oleh lisosom lalu pecah sehingga sitoplasma
sel dan enzim lisosom memasuki ruang interstisial dan menimbulkan kerusakan melalui
reaksi inflamasi.
2. Keadaan Hipoksia
Pada ginjal yang mengalami kerusakan, terjadi hipertrofi dari nefron yang masih
baik. Selain itu terjadi peningkatan metabolisme dengan akibat membutuhkan lebih
banyak lagi oksigen. Kerusakan struktur sebagai akibat reaksi inflamasi dan peningkatan
matriks ekstraselular dapat menyebabkan obliterasi dari pembuluh darah kapiler
peritubular sehingga mengganggu vaskularisasi dan suplai oksigen dan menyebabkan
terjadinya suatu keadaan hipoksia. Keadaan hipoksia merupakan suatu stimulasi bagi
ekspresi gen-gen yang mengkode pembentukan beberapa growth factor seperti vascular
endothelial growth factor (VEGF), platelet derived growth factor (PDGF) dan TGF-.
Peptida-peptida ini berperan pada berbagai proses seperti proliferasi dan hipertrofi sel,
sintesis dan degradasi matriks-matriks, stimulasi dan respons inflamasi dan pengaturan
tonus dinding vaskular.
3. Stres Mekanik
Perubahan

hemodinamik

pada

sejumlah

nefron

menimbulkan

beban

mekanik/regangan pada sel dinding vaskular, tubuler maupun jaringan mesangial. Secara
invitro dapat dibuktikan bahwa rangsangan mekanik/stres mekanik terhadap sel-sel
mesangial meningkatkan sintesis dari TGF-. Pada gagal ginjal kronik ketiga faktor ini
dapat berperan sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam menimbulkan progresivitas.
Laju filtrasi glomerulus < 30 ml/m/1,73 m2 dan proteinuria berat merupakan prediktor
independen terjadinya progresivitas menuju gagal ginjal terminal.
7. Manifestasi Klinis

Gejala klinis yang timbul pada PGK merupakan manifestasi dari:[10]

Kegagalan tubuh dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.


Penumpukan metabolit toksis yang disebut toksin uremik.
Kurangnya hormon ginjal seperti eritropeietin dan bentuk aktif vitamin D (1,25

dihidroksi vitamin D3).


Abnormalitas respons

end

organ

terhadap

hormon

endogen

(hormon

pertumbuhan).
Perubahan homeostasis cairan merupakan tanda awal dari kehilangan nefron, mencakup
penurunan kemampuan untuk memaksimalkan konsentrasi urin. Hal ini membawa ke
keadaan isostenuria dan diuresis osmotik dengan beban ekskresi dari volume urin yang lebih
besar untuk mengeluarkan sisa-sisa produk. Secara klinis, hal ini menimbulkan gejala
nokturia dan poliuria yang tidak sensitif terhadap pengaruh vasopresin. Akibat dari beban
ekskresi yang lebih besar, setiap asupan cairan yang dibatasi dapat menyebabkan dehidrasi
dan penurunan fungsi ginjal. Ekskresi cairan dipelihara secara baik sampai LFG mencapai
10-15 ml/m/1,73m2 . Di bawah nilai ini, retensi cairan dan natrium menyebabkan hipertensi
dan edema.[9,10]
Dengan

berkurangnya

LFG

yang

progresif

pada

pasien

PGK,

ginjal

akan

mempertahankan keseimbangan natrium dengan meningkatkan ekskresi natrium oleh nefron


yang masih baik. Bila adaptasi ini tidak terjadi, akan timbul retensi natrium. Meningkatnya
ekskresi natrium ini disebabkan karena meningkatnya rejeksi tubular dengan akibat
meningkatnya fraksi ekskresi natrium (FENa). Peningkatan masukan natrium yang tiba-tiba
dapat menimbulkan perubahan volume ekstraselular dengan segala akibatnya. Sebaliknya
pasien PGK tidak mampu menurunkan ekskresi natrium pada saat diberikan diet dengan
retriksi natrium. Bila diberikan restriksi garam secara tiba-tiba pada pasien GGK akan
menimbulkan penurunan volume cairan ekstraselular, perfusi ginjal dan laju filtrasi
glomerulus. Gejala-gejala yang dtimbulkan akibat retensi natrium antara lain meliputi
perubahan status mental, kelemahan, defisit neurologis fokal, penurunan kesadaran, dan
sering mengeluh haus.[9,10]
Kapasitas ginjal dalam mengeksresikan kalium dipelihara sampai LFG menurun dibawah
10 ml/menit/1,73m2. Keseimbangan kalium pada pasien GGK dipertahankan dengan

meningkatkan ekskresi renal dan ekstrarenal. Ekskresi renal dicapai dengan meningkatkan
fraksi ekskresi pada nefron yang masih berfungsi. Sedangkan ekskresi ekstrarenal terutama
melalui sekresi epitel kolon dan dikeluarkan melaui feses yaitu sebanyak 75%. Hiperkalemia
umumnya terjadi ketika LFG kurang dari 20-25 ml/menit/1,73m 2 karena penurunan
kemampuan ginjal untuk mengeluarkan kalium. Hal ini dapat terlihat lebih cepat pada
penderita yang mengkonsumsi diit kaya kalium atau jika kadar aldosteron serum rendah.
Tanda-tanda hiperkalemia meliputi kelemahan otot yang dapat menjadi paralisis flaksid;
hipoventilasi apabila melibatkan otot-otot pernapasan, serta palpitasi akibat aritmia. Pada
gagal ginjal, terjadi gangguan kemampuan ginjal untuk mengekskresikan H + sehingga
mengakibatkan asidosis metabolik dengan ditandai penurunan pH dan kadar HCO3 plasma.
Gejala asidosis metabolik meliputi pernapasan cepat dengan peningkatan voume tidal
(pernapasan Kussmaul), nyeri kepala, letargi sampai ke stupor maupun koma.[9,10]
Anemia pada gagal ginjal kronik disebabkan karena defisiensi hormon eritropoietin
dengan gambaran morfologi eritrosit normokrom normositer. Eritropoietin diproduksi oleh
sel kortikal interstitial di sekitar tubulus proksimal (peritubular) yang berfungsi untuk
pematangan sel darah merah di sumsum tulang. Anemia pada pasien GGK juga dapat
disebabkan oleh defisiensi besi akibat malnutrisi atau kehilangan darah kronik akibat
perdarahan saluran cerna tersembunyi (occult bleeding); masa hidup sel darah merah menjadi
pendek karena toksin uremik, toksisitas aluminium yang berkaitan dengan penggunaan fosfat
binder; juga anemia dapat terjadi karena kehilangan darah iatrogenik selama hemodialisis
atau pengambilan darah untuk pemeriksaan darah.[9,10]
Ginjal merupakan organ yang bertanggung jawab terhadap produksi kalsitriol yang
merupakan bentuk metabolik paling aktif dari vitamin D. Osteodistrofi ginjal umumnya
terjadi oleh karena hiperfosfatemia, hipokalsemia dan akibat peningkatan hormon paratiroid.
Gejala klinis osteodistrofi ginjal antara lain gangguan pertumbuhan, gangguan bentuk tulang,
fraktur spontan dan nyeri tulang. Apabila disertai gejala rakitis yang jelas akan timbul
hipotonia umum, lemah otot, dan nyeri otot. Pada pemeriksaan radiologi dan histologi
ditemukan gambaran osteomalasia dan osteofibrosis.[9,10]
Hipertensi pada umumnya simptomatik, tidak jarang dipakai sebagai gambaran skaring
parenkim ginjal akibat refluk nefropati misalnya sehingga berakibat PGK. Hipertensi dan

gagal ginjal kronik memiliki kaitan yang erat. Hipertensi mungkin merupakan penyakit
primer dan menyebabkan kerusakan pada ginjal, sebaliknya penyakit ginjal kronik dapat
menyebabkan hipertensi melalui mekanisme retensi natrium dan air dan pengaruh vasopresor
dari sistem renin angiotensin. Gagal jantung kongestif akibat hipertensi yang tidak dikelola
dengan baik atau kelebihan cairan dan natrium, tidak akan terjadi sampai tahap lanjut PGK,
namun pada beberapa anak dapat terlihat gejala yang membutuhkan terapi diuretik atau
dialisis. Klinis yang dapat timbul meliputi lemah, sesak, dan distensi vena jugular.[9,10]
8.

Diagnosis
Langkah diagnosis penyakit ginjal kronik dilakukan sebagaimana diagnosis pada

umumnya yaitu melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Pada
anamnesis dicari ada riwaya penyakit ginjal dan saluran kemih (penyebab terbanyak PGK
adalah glomerulonefritis dan infeksi saluran kemih). Gejala PGK tidak spesifik seperti sakit
kepala, lelah, letargi, gangguan pertumbuhan, anoreksia, muntah, polidipsi, poliuria,
oligouria, dan edema.[11]
Pada pemeriksaan fisis, dapat ditemukan berbagai kelainan yang bersifat kegagalan
multiorgan akibat sindro uremik. Anak sering tampak pucat, lemah, dan mengalami
gangguan kesadaran. Tekanan darah tinggi, pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul) dan
edema juga sering ditemukan. Pada keadaan lanjut dapatditemukan kelainan bentuk tulang,
gangguan pertumbuhan (perawakan pendek), gangguan perdarahan, gangguan neurologi,
atau gangguan jantung.[11]
Gejala dan tanda yang tidak spesifik menuntut dilakukannya pemeriksaan penunjang
untuk mengkonfirmasi diagnosis. Ureum dan kreatinin serum meningkat pada PGK. LFG
dapat dihiting dengan rumus Schwartz atau dengan pemeriksaan klirens kreatinin dan klirens
ureum. Rumus Schwartz untuk menghitung nilai LFG dari kreatinin serum yaitu sebagai
berikut:[11]
LFG=

kL
Pkr

Keterangan:

L = panjang badan dalam cm


Pkr = kreatinin serum (mg/dl)
k = konstanta, terkait daya ekskresi kreatinin per unit luas permukaan tubuh.
o Bayi: k=0,45
o Anak sampai umur 13 tahun: k=0,55
o Remaja usia 13-21 tahun: laki-laki k=0,7; perempuan k=0,57.[11]

Pada penyakit ginjal kronis dapat ditemukan hiperkalemia, hiponatremia, asidosis,


hipokalsemia, hiperfosfatemia, dan peningkatan kadar asam urat. Pasien dengan proteinuria
berat dapat mengalami hipoalbuminemia. Hitung darah lengkap menunjukkan anemia
normokromik, normositik.Kadar kolesterol dan trigliserida serum biasa meningkat. Urinalisis
menunjukkan hematuria dan proteinuria pada anak dengan penyakit ginjal kronis yang
disebabkan glomerulonefritis, sementara displasia ginjal menghasilkan urin dengan
abnormalitas minimal.[6]
Pemeriksaan pencitraan yang diperlukan ialah foto toraks untuk melihat pembesaran
jantung dan edema paru, foto tangan untuk melihat usia tulang, foto tulang panjang untuk
melihat tanda osteodistrofi, serta foto KUB untuk menilai ginjal dan saluran kemih.
Ultrasonografi ginjal diperlukan untuk mencari etiologi dan menyingkirakan adanya
obstruksi saluran kemih. Pemeriksaan EKG diperlukan untuk menilai keadaan jantung seperti
hipertrofi ventrikel dan aritmia.[11]
9. Tata Laksana
Secara umum tata laksana PGK terdiri dari memperlambat perburukan fungsi ginjal,
mencegah dan mengobati komplikasi, serta mengganti fungsi ginjal dengan dialisis dan
transplantasi bila terindikasi. Pasien PGK perlu diterapi di pusat kesehatan dengan pelayanan
multidisiplin yang mencakup pelayanan medis, sosial, nutrisi, dan psikologi. Pemantauan
klinis dan laboratorium dilakukan secara teratur. Pemeriksaan darah meliputi hemoglobin,
ureum, kreatinin, albumin, elektrolit, dan alkalin fosfatase.[1]
Perlu

dicegah

progresifitas

anemia

dan

anemia

yang

berkelanjutan,

maka

direkomendasikan untuk memeriksa hemoglobin secara berkala apabila hematokrit dalam


rentang 33%-36% dan hemoglobin dalam rentang 11,0-12,0 g/dL (NKF-KDOQI). Bila
memungkinkan dapat diberi recombinant human erythropoeitin 50-150 ug/kgBB/kali 3 kali

seminggu sampai kadar Hb 10 gr/dl. Terapi besi oral sebaiknya diberikan jika kadar feritin
plasma di bawah 100 ng/mL, anjuran dosis 2-3 mg/kgbb/hari terbagi dalam 2-3 dosis. Zat
besi diberikan dalam keadaan perut kosong dan tidak diberikan bersamaan dengan pengikat
fosfat.[1,11]
Tata laksana hipertensi meliputi terapi non farmakologis dan farmakologis tetapi terapi
farmakologis menjadi pilihan utama. Meskipun sering diberikan antihipertensi multipel,
dianjurkan dimulai dengan obat tunggal dengan dosis rendah kemudian ditingkatkan secara
perlahan sampai tekanan darah terkontrol, kecuali pada pasien dengan hipertensi emergensi
dan urgensi yang membutuhkan penurunan tekanan darah dengan segera. Target tekanan
darah yang ingin dicapai adalah di bawah persentil 90 atau <130/80 mmHg. Obat ACE
inhibitors dan angiotensin II type 1 receptor blockers (ARBs ) merupakan pilihan pertama
karena mempunyai efek renoprotektif.[1]
Kelainan elektrolit diobati sesuai dengan gangguan yang terjadi. Target terapi asidosis
metabolik akibat PGK adalah menjaga bikarbonat serum dalam rentang 20-22 mEq/L dengan
memberikan suplemen natrium bikarbonat dosis awal 1-3 mEq/kgBB/hari. Hiperfosfatemia
ditata laksana dengan diet rendah fosfat, obat pengikat fosfat, mengontrol kadar hormon
paratiroid, bila perlu dilakukan dialisis. Diet rendah fosfat sulit dilakukan, sementara
hemodialisis tiga kali/minggu hanya mampu mengekskresi 900 mg fosfat, sehingga obat
pengikat fosfat paling banyak digunakan seperti kalsium karbonat (50 mg/kgBB/hari),
kalsium asetat, atau sevelamer.[1,11]
Tujuan terapi osteodistrofi renal pada PGK adalah mencegah deformitas tulang dan
normalisasi kecepatan pertumbuhan dengan intervensi diet rendah fosfat dan terapi
farmakologi berupa pengikat fosfat dan vitamin D. Terapi vitamin D dimulai ketika pasien
menderita PGK stadium tiga. Dosis dinaikkan secara bertahap, bergantung kepada kadar
fosfat serum dan kadar hormon paratiroid. Pasien dengan PGK stadium 2-4 mulai diberi
kalsitriol (vitamin D aktif) pada saat kadar 25-hidroksivitamin D >30ng/mL dan kadar
hormon paratiroid serum di atas nilai normal. Pada PGK stadium lima dan kadar hormon
paratiroid >300 pg/mL. Kalsitriol diberikan untuk menurunkan kadar hormon paratiroid
sampai kadar 200-300 pg/mL. Kalsitriol diberikan secara intermiten, baik melalui intravena
maupun oral.[1] enanganan dislipidemia pada anak dengan penyakit ginjal kronis dan LDL

puasa >100 mg/dl, intervensi gaya hidup, seperti latihan sedang, reduksi konsumsi lemak
jenuh dan kolesterol, direkomendasikan untuk 6 bulan pertama. Jika kadar LDL target tidak
dicapai (<100 mg/dl), terapi statin direkomendasikan untuk dimulai (dosis dewasa 10 mg per
hari per oral).[6]
Ketika anak menunjukkan tanda-tanda akut dalam gagal ginjal kronis, terapi pengganti
ginjal diperlukan untuk menyelamatkan nyawanya.Dialisis peritonealdalam bentuk CAPD
(continous ambulatory peritoneal dialysis) dapat digunakan pada anak sebelum transplantasi
ginjal dapat dilakukan. Tanda-tanda klinis yang perlu diperhatikan untuk segera memulai
dialisis adalah sindrom uremia yang nyata seperti muntah-muntah, kejang, penurunan
kesadaran hingga koma; kelebihan cairan yang menimbulkan gagal jantung, edema paru dan
hipertensi; dan asidosis yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian bikarbonat intravena.
Dialisis juga dapat mulai dilakukan bila ditemukan kadar ureum darah 200-300 mg/dl atau
kreatinin 15 mg/dl, hiperkalemia 7 mEq/l, atau bikarbonat plasma 12 mEq/l.Hemodialisis
dapat dilakukan secara akut bila terjadi kelebihan cairan, seperti edema paru atau gagal
jantung kongestif, atau terjadi kondisi serius yang mengancam jiwa pasien, seperti
hiperkalemia, asidosis metabolik, hipo atau hipernatremia. Hemodialisis memiliki delapan
kali kemampuan dialisis peritoneal untuk mengeluarkan zat-zat terlarut dan empat kali
kemampuan dialisis peritoneal untuk mengeluarkan cairan. Sehingga hemodialisa lebih
cocok digunakan untuk kondisi yang memerlukan koreksi cepat. Penyakit ginjal kronis
stadium 5 merupakan indikasi untuk transplantasi. Meskipun demikian, tidak semua pasien
dengan penyakit ginjal kronis stadium 5 dapat menjadi kandidat untuk transplantasi ginjal.
Prosedur ini dapat terlalu berisiko bagi sebagian karena komorbiditas yang telah diderita
pasien atau karena kontraindikasi tertentu, seperti infeksi kronis yang akan dieksaserbasi oleh
imunosupresi. Kontraindikasi absolut bagi transplantasi ginjal adalah keganasan aktif,
terutama jika telah bermetastasis. Infeksi HIV dan potensi rekurensi penyakit ginjal juga
perlu dipertimbangkan dalam rencana transplantasi.[6]
10. Prognosis
Prognosis pasien dengan penyakit ginjal kronis adalah bervariasi menurut stadium dan
penatalaksanaan yang dilakukan. Dengan deteksi dan penatalaksanaan dini, morbiditas dan
mortalitas diharapkan dapat diturunkan. Kelangsungan hidup anak penderita gagal ginjal

terminal semakin meningkat setelah menjalani transplantasi. Angka mortalitas hanya 9% dan
5 year survival rate penderita yang mendapat transplantasi ginjal dari donor hidup sebesar
80,8% pada anak usia < 1 tahun, dan 97,4% pada anak usia 6-10 tahun.[9]
Prognosis pasien CKD berdasarkan data epidemiologi dan angka kematian meningkat
sejalan dengan fungsi ginjal yang memburuk. Penyebab kematian utama pada CKD adalah
penyakit kardiovaskular. Dengan adanya renal replacement therapy dapat meningkatkan
angka harapan hidup pada CKD stadium 5. Akan tetapi prosedur transplantasi ginjal dapat
menimbulkan komplikasi akibat pembedahan. CAPD meningkatkan angka harapan hidup
dan quality of life dibandingkan hemodialisis dan dialisis peritoneal.[2]
Meskipun tahapan PGK sekarang didefinisikan cukup baik, perjalanan alamiah dari tahap
awal penyakit cukup bervarasi dan sering tak terduga. Namun, data yang tersedia
menunjukkan perkembangan yang lebih lambat menuju ESRD pada pasien dengan gangguan
ginjal bawaan dibandingkan dengan pasien dengan penyakit glomerulus. Untuk alasan ini
proporsi relatif dari penyakit glomerular cukup tinggi pada kelompok pasien dengan stadium
lanjut PGK. Prognosis PGK juga dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko, beberapa di
antaranya (misalnya, obesitas, hipertensi, dan proteinuria) mungkin dapat dimodifikasi,
sedangkan yang lain, termasuk genetik, ras, usia, dan jenis kelamin, tidak dapat dimodifikasi.
[8]

11. Pencegahan
Dokter berperan dalam skrining pasien anak dengan risiko tinggi, mencegah kerusakan
ginjal, dan merubah perjalanan penyakit PGK dengan melakukan terapi awal dan
pengawasan progresifitas penyakit. Pencegahan ini memiliki 3 aspek penting yaitu
pencegahan primer, sekunder, dan tersier.[2]

Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi pemaparan terhadap


faktor-faktor yang dapat menyebabkan penyakit ginjal. Misalnya strategi untuk mengurangi
pemaparan antenatal terhadap infeksi, pencegahan penyakit ginjal yang diturunkan dengan
cara konseling genetik, pencegahan obesitas, deteksi awal dan penanganan hipertensi dan
kencing manis. Deteksi dini dan pengobatan segera penyakit yang mendasari secara adekuat
adalah hal yang dapat mencegah terjadinya gagal ginjal kronik. Pada sebagian besar pasien
gagal ginjal kronik belum ada pengobatan yang spesifik terhadap penyakit primernya.
Beberapa contoh pengobatan kausal adalah upaya untuk mengatasi obstruksi saluran kemih,
mengendalikan hipertensi, mengkoreksi gangguan keseimbangan cairan, asam basa dan
elektrolit, mengobati penyakit autoimun dengan obat imunosupresan, mengatasi infeksi.
Dengan terapi segera dalam 24 jam onset demam pada penderita infeksi saluran kemih dapat
menghindari kerusakan ginjal.[2,9]
Pemakaian obat-obat analgesik ataupun nefrotoksik lainnya secara tepat dan hati-hati
merupakan salah satu pencegahan terjadinya gagal ginjal kronik dan pemakaiannya harus
segera dihentikan saat diketahui adanya tanda penurunan fungsi ginjal, atau bila tidak dapat
dihindari adalah dengan dilakukan penyesuaian dosis.[9]
Pencegahan sekunder yaitu pencegahan terjadinya progresivitas kerusakan ginjal dari
CKD stadium 1-5 dengan melakukan penanganan yang tepat pada setiap stadium CKD.
Pencegahan tersier berfokus pada penundaan komplikasi jangka panjang, disabilitas atau
kecacatan akibat CKD dengan cara renal replacemet therapy misalnya dialisis atau
transplantasi ginjal.[2]

12. Penutup
Penyakit ginjal kronik merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitias pada
anak. Jalan keluar terbaik adalah mencegah agar tidak terjadi penyakit ginjal kronik, yaitu
dengan deteksi dan intervensi dini penyebab penyakit primernya serta menghindari obatobatan nefrotoksik, juga dengan melakukan pola hidup yang baik seperti mengatur diet yang
benar serta olahraga teratur.

Apabila penyakit ginjal kronik telah terjadi, maka usaha yang dilakukan adalah
memperlambat penurunan fungsi ginjal selama mungkin dengan pengaturan nutrisi,
mengendalikan hipertensi dan kontrol secara teratur untuk memonitor perkembangan fungsi
ginjal. Prognosis pasien dengan penyakit ginjal kronis adalah bervariasi menurut stadium dan
penatalaksanaan yang dilakukan. Dengan deteksi dan penatalaksanaan dini, morbiditas dan
mortalitas diharapkan dapat diturunkan.

Referensi
1.

Pardede S, Chunnaedy S. Penyakit Ginjal Kronik. Sari Pediatr 2009;11(3):103540.

2.

Rachmadi D. Chronic Kidney Disease [Internet]. Bandung: Universitas Padjadjaran; 2010.


Available from: http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2013/12/Pustaka_Unpad_Chronic_Kidney_-Disease.pdf.pdf

3.

Alatas H. Anatomi dan Fisiologi Ginjal. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono P, Pardede S, editors.
Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002. page 112.

4.

Hansen JT. Netters Clinical Anatomy, Third Edition. 3rd ed. Philadelphia: Elsevier; 2014.

5.

National Kidney Foundation. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease:
Evaluation, Clasification and Stratification [Internet]. 2002. Available from: www.kdoqi.org

6.

Ervina L, Bahrun D, Lestari HI. Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik pada Anak. Maj Kedokt
Sriwij [Internet] 2015;(2):1449. Available from:
ejournal.unsri.ac.id/index.php/mks/article/download/2758/pdf

7.

Jaya HT, Pardede SO. Nutrisi pada Anak dengan Penyakit Ginjal Kronik. Cermin Dunia Kedokt
2014;41(2):949.

8.

Warady BA, Chadha V. Chronic kidney disease in children: The global perspective. Pediatr
Nephrol 2007;22(12):19992009.

9.

Sekarwana N. Gagal Ginjal Kronik pada Anak. Sari Pediatr 2004;6(1):6884.

10.

Sekarwana N. Gagal Ginjal Kronik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono P, Pardede S, editors.
Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002. page 50930.

11.

Pudjiadi A, Hegar B, Handryastuti S, Idris N, Gandaputra E, Harmoniati E, et al. Pedoman


Pelayanan Medis IDAI. 2nd ed. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.

Anda mungkin juga menyukai