Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

KEBUTUHAN ELIMINASI
A. Pengertian
Eliminasi urin normalnya adalah pengeluaran cairan.Proses
pengeluaran ini tergantung pada fungsi-fungsi organ eliminasi organ
seperti ginjal, ureter, bladder dan uretra.Ginjal memindahkan air dari
darah dalam bentuk urin.Ureter mengalirkan urin ke bladder.Dalam
bladder urin ditampung sampai mencapai batas tertentu yang kemudian
dikeluarkan melalui uretra (Tarwoto & Wartonah 2004).
Eliminasi urine adalah proses pembuangan sisa-sisa metabolisme.
Eliminasi urine normalnya adalah pengeluaran cairan.Proses pengeluaran
ini sangat bergantung pada fungsi-fungsi organ eliminasi seperti ginjal,
ureter, bladder, dan uretra. (A.Aziz, 2008 : 62)
B. Fisiologi
Organ yang berperan dalam proses terjadinya eliminasi urine adalah
ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra.

1. Ginjal
Ginjal merupakan organ retoperitoneal (di belakang selaput perut),
terdiri atas ginjal sebelah kanan dan kiri tulang punggung. Ginjal
berperan sebagai pengatur komposisi dan volume cairan dalam tubuh
serta penyaring darah untuk dibuang dalam bentuk urin sebagai zat sisa
yang tidak diperlukan oleh tubuh dan menahannya agar tidak bercampur
dengan zat-zat yang di butuhkan oleh tubuh
2. Ureter
Setelah urine terbentuk kemudian akan dialirkan ke pelvis ginjal lalu
ke bladder melalui ureter. Lapisan tengah ureter terdiri atas otot-otot
yang distimulasi oleh transmisi impuls elektrik berasal dari syaraf
otonom. Akibat gerakan peristaltik ureter maka urine didorong ke
kandung kemih (Tarwoto, wartonah, 2006).
Ureter merupakan stuktut trubuler yang mmiliki panjang 25-30 cm
dan berdiameter 1,25 cm pada orang dewasa. Ureter membentang pada
posisi retroperitoneum untuk memasuki kandung kemih didalam rongga
panggul (pelvis) pada sambungan ureterovesikalis. Urine yang keluar
dari ureter ke kandung kemih umumnya steril.
3. Kandung Kemih
Kandung kemih merupakan sebuah kantong yang terdiri atas otot halus,
berfungsi menampung urin.Dalam kandung kemih terdapat beberapa
lapisan jaringan otot yang paling dalam, memanjang ditengah, dan
melingkar yang disebut sebagai detrusor, berfungsi untuk mengeluarkan

urin bila terjadi kontraksi.Pada dasar kandung kemih terdapat lapisan


tengah jaringan otot berbentuk lingkaran bagian dalam atau disebut
sebagi otot lingkar yang berfungsi menjaga saluran antara kandung
kemih dan uretra, sehingga uretra dapat menyalurkan urin dari kandung
kemih ke luar tubuh.
4. Uretra
Uretra merupakan organ yang berfungsi menyalurkan urin ke bagian
luar.Fungsi uretra pada wanita berbeda dengan yang terdapat pada pria.
Pada pria, uretra digunakan sebagai tempat pengaliran urin dan sistem
reproduksi, berukuran panjang 13,7-16,2 cm, dan terdiri atas tiga
bagian, yaitu prostat, selaput (membran) dan bagian yang berongga
(ruang). Pada wanita, eretra memiliki panjang 3,7-6,2 cm dan hanya
berfungsi sebagai tempat penyaluran urin ke bagian luar tubuh (Aziz
Alimul, 2006).
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi urin
1. Diet dan asupan
Jumlah dan tipe makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi
output atau jumlah urin. Potein dan natrium dapat menentukan jumlah
urin yang dibentuk.Selain itu, kopi juga dapat meningkatkan pembentuk
urin.
2. Respon keinginan awal untuk berkemih
Kebiasaan mengabaikan keinginan awal untuk berkemih dapat
menyebabkan urin banyak tertahan didalam vesika urinaria sehingga
memengaruhi ukuran vesika urinaria dan jumlah pengeluaran urin.
3. Gaya hidup
Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi pemenuhan kebutuhan
eliminasi, dalam kaitannya dengan ketersediaan fasilitas toilet.
4. Stress psikologi
Meningkatnya stress dapat mengakibatkan seringnya berkemih. Hal ini
karena meningkatnya sensivitas untuk keinginan berkemih dan jumlah
urin yang diproduksi.
5. Tingkat aktivitas
Eliminasi urin membutuhkan tonus otot vesika urinaria yang baik untuk
fungsi sfringter.Hilangnya tonus vesika urinaria menyebabkan
kemampuan pengontrolan berkemih menurun dan kemampuan tonus
otot didapatkan dengan beraktifitas.
6. Tingkat perkembangan
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan dapat memengaruhi pola
berkemih.Hal tersebut dapat ditemukan pada anak-anak, yang lebih
memiliki kecenderungan untuk mengalami kesulitan mengontrol buang
air kecil. Namun dengan bertambahnya usia, kemampuan mengontrol
buang air kecil meningkat.
7. Kondisi penyakit
Kondisi penyakit tertentu, seperti diabetes melitus, dapat mempengaruhi
produksi urin.
8. Sosiokultural
Budaya dapat memengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi urin,
seperti adanya kultur masyaakat yang melarang untuk buang air kecil di
tempat tertentu,
9. Kebiasaan seseorang
Seseorang yang memiliki kebiasaan berkemih di toilet dapat mengalami
kesulitan untuk berkemih dengan melalui urinal atau pot urin bila dalam
keadaan sakit.

10.Tonus otot
Tonus otot yang memiliki peran penting dalam membantu poses
berkemih adalah kandung kemih, otot abdomen, dan pelvis. Ketiganya
sangat berperan dalam kontraksi pengontrolan pengeluaran urin.
11.Pembedahan
Efek pembedahan dapat menuunkan filtrasi glomeulus yang dapat
menyebabkan penurunan jumlah poduksi urin kaena tampak dari
pembeian obat anestesi.
12.Pengobatan
Efek pengobatan menyebabkan peningkatan atau penurunan jumlah
urin.Misalnya, pemberian diuretik dapat meningkatkan jumlah urin,
sedangkan pemberian obat antikolinergik atau antihipertensi dapat
menyebabkan retensi urin.
D. Masalah-masalah Eliminasi Urin
1. Retensi urine.
Retensi urine merupakan penumpukan urine dalam kandung kemih
akibat ketidakmampuan kandung kemih untuk mengosongkan kandung
kemih.Hal ini menyebabkan distensia vesika urinaria atau merupakan
keadaan ketika seseorang mengalami pengosongan kandung kemih
yang tidak lengkap. Dalam keadaan distensi vesika urinaria dapat
menampung urine sebanyak 3.000 4.000 ml urine (A.Aziz, 2008 : 66).
Retensi urine post partum dapat terjadi pada pasien yang mengalami
kelahiran normal sebagai akibat dari peregangan atau trauma dari
dasar kandung kemih dengan edema trigonum. Faktor-faktor
predisposisi lainnya dari retensio urine meliputi epidural anestesia,
pada gangguan sementara kontrol saraf kandung kemih , dan trauma
traktus genitalis, khususnya pada hematoma yang besar, dan sectio
cesaria. Retensi postpartum paling sering terjadi.Setelah terjadi
kelahiran pervaginam spontan, disfungsi kandung kemih terjadi 9-14 %
pasien; setelah kelahiran menggunakan forcep, angka ini meningkat
menjadi 38 %.Retensi ini biasanya terjadi akibat dari dissinergis antara
otot detrusor-sphincter dengan relaksasi uretra yang tidak sempurna
yang kemudian menyebabkan nyeri dan edema.Sebaliknya pasien yang
tidak dapat mengosongkan kandung kemihnya setelah sectio cesaria
biasanya akibat dari tidak berkontraksi dan kurang aktifnya otot
detrusor. Ketika kandung kemih menjadi sangat mennggembung
diperlukan kateterisasi, kateter folley ditinggal dalam kanndung kemih
selama 24 48 jam untuk menjaga kandung kemih tetap kosong dann
memungkinkan kandung kemih menemukan kembali tonus normal dan
sensasi.
Tanda klinis retensi :

Ketidaknyamanan daerah pubis.

Distensi vesika urinaria.

Ketidaksanggupan untuk berkemih.

Sering berkemih saat vesika urinaria berisi sedikit urine (2550 ml).

Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan


asupannya.

Meningkatnya keresahan dan keinginan berkemih.

Adanya urine sebanyak 3.000- 4.000 ml dalam kandung


kemih.
Penyebab :

Operasi pada daerah abdomen bawah, pelvis, vesika urinaria.

Trauma sumsum tulang belakang.


Tekanan uretra yang tinggi karena otot detrusor yang lemah.
Sphincter yang kuat.
Sumbatan (striktur uretra dan pembesaran kelenjar prostat).

2. Inkontinensia urine.
Inkontinensia urine merupakan ketidakmampuan otot sphincter
eksternal sementara atau menetap untuk menetap unttuk mengontrol
ekskresi urine. Secara umum penyebab dari inkontinensia urine adalah:
proses penuaan (aging process), pembesaran kelenjar prostat, serta
penurunan kesadaran, serta penggunaan obat narkotik. (A.Aziz, 2008 :
66)
3. Enuresis.
Enuresis merupakan menahan kemih (mengompol) yang
diakibatkan tidak mampu mengontrol sphincter eksterna.Biasanya
enurisis terjadi pada anak atau orang jompo.Umumnya enurisis terjadi
pada malam hari.
Faktor penyebab enurisis :
a. Kapasitas vesika urinaria lebih besar dari normal.
b. Anak-anak yang tidurnya bersuara dari tanda-tanda dari indikasi
keinginan berkemih tidak diketahui. Hal itu mengakibatkan
terlambatnya bangun tidur untuk untuk ke kamar mandi.
c. Vesika urinaria peka rangsang, dan seterusnya, tidak dapat
menampung urine dalam jumlah besar.
d. Suasana emosional yang tidak menyenangkan di rumah.
e. Orang tua yang mempunyai pendapat bahwa anaknya akan
mengatasi kebiasaannya tanpa dibantu dengan mendidiknya.
f. Infeksi saluran kemih, perubahan fisik, atau neurologis sistem
perkemihan.
g. Makanan yang banyak mengandung garam mineral.
h. Anak yang takut jalan gelap untuk ke kamar mandi.
4. Perubahan pola eliminasi urine.
Perubahan pola eliminasi urine merupakan keadaan seseorang
yang mengalami gangguan pada eliminasi urine karena obstruksi
anatomis, kerusakan motorik, sensorik, dan infeksi saluran kemih.
Perubahan pola eliminasi terdiri atas :
1. Frekuensi.
Frekuensi merupakan banyaknya jumlah berkemih dalm
sehari.Peningkatan frekuensi berkemih dikarenakan meningkatnya
jumlah cairan yang masuk.Frekuensi yang tinggi ttanpa suatu
tekanan asupan cairan dapat disebabkan sistisis.Frekuensi tinggi
dapat ditemukan juga pada keadaan stress/hamil.
2. Urgensi.Urgensi adalah perasaan seseorang yang takut mengalami
inkontinensia jika tidak berkemih. Pada umumnya anak kecil
memiliki kemampuan yang buruk dalm mengontrol sphincter
eksternal.Biasanya perasaan ingin segera berkemih terjadi pada
anak karena kurangnya kemampuan pengontrolan pada sphincter.
3. Disuria.
Disuria adalah rasa sakit dan kesulitan dalam berkemih.Hal
ini sering ditemukan pada penyakit infeksi saluran kemih, trauma,
dan striktur uretra.
4. Poliuria.

Poliuria merupakan produksi urine abnormal dalam jumlah


besar
oleh
ginjal,
tanpa
adanya
peningkatan
asupan
cairan.Biasanya, ditemukan pada penyakit diabetes dan GGK.
5. Urinari Supresi.
Urinaria supresi adalah berhentinya produksi urie secara
mendadak.Secara normal, urine diproduksi oleh ginjal pada
kecepatan 60 120 ml/jam secara terus menerus. (A.Aziz, 2008 : 67)
II. KEBUTUHAN ELIMINASI ALVI
A. Definisi Eliminasi Alvi
Eliminasi alvi (buang air besar) merupakan proses pengosongan usus.
Terdapat dua pusat yang menguasai refleks untuk buang air besar yang
terletak di medulla dan sumsum tulang belakang.
B. Fisiologi.
Sistem tubuh yang berperan dalam proses eliminasi alvi (buang air
besar) adalah sistem gastrointestinal bawah yang meliputi usus halus
dan usus besar. Usus halus berfungsi dalam absorbs elektrolit Na +, Cl-,
K+, Mg2+, HCO3, dan Ca2+. Usus besar dimulai dari rectum, kolon
hingga anus yang memiliki panjang 1,5 m atau 50-60 inci dengan
diameter 6 cm. Usus besar merupakan bagian bawah atau bagian ujung
dari saluran pencernaan, dimulai dari katup ileum caecum sampai ke
dubur (anus).
Makanan yang diterima usus halus dari lambung dalam bentuk
setengah padat. Chyme baik berupa air, nutrien, maupun elektrolit
kemudian akan diabsorbsi. Produk buangan yang memasuki usus besar
berupa cairan.Setiap hari saluran usus menyerap 800 1000 ml
cairan.Penyerapan inilah yang menyebabkan feses mempunyai bentuk
setengah padat.Jika feses terlalu lama dalam usus besar, maka terlalu
banyak air yang diserap sehingga feses menjadi kering dan keras.Pada
batas antara usus besar dan usus halus terdapat katup ileocaecal.Katup
ini biasanya mencegah zat yang masuk ke usus besar sebbelum
waktunya dan mencegah pembuangan kembali ke usus halus.Makanan
selanjutnya masuk ke dalam kolon sigmoid, berupa feses yang siap
dibuang dan diteruskan ke dalam rectum kemudian anus. (A.Aziz,
2008 : 72)
C. Proses Buang Air Besar
Secara umum terdapat dua macam refleks yang membantu proses
defekasi yaitu refleks defekasi intrinsik dan refleks defekasi
parasimpatis. Refleks defekasi intrinsik dimulai dari adanya zat sisa
makanan (feses) dalam rectum sehingga distensi, kemudian fleksus
mesentrikus merangsang peristaltik dan akhirnya feses sampai anus.
Lalu pada saat sphincter interna relaksasi, maka terjadilah proses
defekasi. Sedangkan refleks defekasi parasimpatis dimulai dari adanya
feses dalam rektum yang merangsang saraf rektum ke spinal cord, dan
merangsang ke kolon desenden, kemudian ke sigmoid, lalu rektum,
dengan gerakan peristaltik dan akhirnya terjadi relaksasi sphincter
interna maka terjadilah proses defekasi.
Feses terdiri atas sisa makanan seperti selulosa yang tidak dicernakan
dan zat makanan lain yang tidak dipakai oleh tubuh, macam
mikroorganisme, sekresi kelenjar usus, pigmen empedu, dan cairan
tubuh. Feses yang normal terdiri atas massa padat, berwarna coklat

karena disebabkan oleh mobilitas sebagai hasil dari reduksi pigmen


empedu dan usus kecil.
D. Faktor Yang Mempengaruhi Eliminasi Alvi
1. Usia.
Setiap tahap perkembangan / usia memiliki kemampuan mengontrol
pproses defekasi yang berbeda. Bayi belum memiliki kemampuan
mengontrol secara penuh dalam buang air besar, sedangkan orang
dewasa sudah memiliki kemampuan secara penuh, kemudian pada
usia lanjut keamampuan itu menurun.
2. Diet.
Diet, pola, atau jenis makanan yang dikonsumsi dapat mepengaruhi
proses defekasi. Makanan yang memiliki kandungan serat tinggi
dapat membantu proses percepatan defekasi.
3. Asupan cairan.
Pemasukan cairan yang kurang di dalam tubuh membuat defekasi
menjadi keras.Oleh karena proses absorbs air yang kurang
menyebabkan proses defekasi sulit.
4. Aktivitas.
Aktivitas dapat mempengaruhi proses defekasi karena melalui
aktivitas tonus otot abdomen, pelvis, diafragma, dapat membantu
kelancaran proses defekasi. Hal ini kemudian membuat proses
gerakan peristaltik pada daerah kolon dapat bertambah baik.
5. Pengobatan.
Pengobatan dapat mempengaruhi proses defekasi, seperti
penggunaan laktansif/antasida yang terlalu sering. Kedua jenis obat
tersebut dapat melunakkan feses dan meningkatkan peristaltik
usus.Penggunaan lama menyebabkan usus besar kehilangan tonus
ototnya dan menjadi kurang responsif terhadap stimulasi yang
diberikan oleh laktansif.
6. Gaya Hidup.
Kebiasaan atau gaya hidup dapat mempengaruhi proses defekasi, hal
ini dapat terlihat pada seseorang yang memiliki gaya hidup
sehat/kebiasaan melakukan buang air besar di tempat yang bersih
atau toilet, ketika seseorang tersebut buang air bersih di tempat
yang terbuka atau tempat kotor, maka ia akan mengalami kesulitan
dalam proses defekasi.
7. Penyakit.
Beberapa penyakit dapat mempengaruhi proses defekasi, biasanya
penyakit-penyakit tersebut berhubungan langsung dengan sistem
pencernaan, seperti gastroenteritis.
8. Nyeri.
Adanya nyeri dapat mempengaruhi kemampuan/keinginan untuk
defekasi.Seperti nyeri pada kasus hemorroid dan episiotomi.
9. Kerusakan Sensoris dan Motoris.
Kerusakan pada sistem sensoris dan motoris dapat mempengaruhi
proses defekasi karena dapat menimbulkan proses penurunan
stimulasi sensoris dalam melakukan defekasi. Hal tersebut dapat
diakibatkan karena kerusakan pada tulang belakang atau kerusakan
saraf lainnya.
E. Gangguan/Masalah Eliminasi Alvi
a. Konstipasi.

b.

c.

d.
e.

Konstipasi merupakan keadaan individu yang mengalami atau


beresiko tinggi mengalami stasis usus besar sehingga menimbulkan
eliminasi yang jarang atau keras serta tinja yang keluar jadi terlalu
kering dan keras.
Tanda klinis :
1. Adanya feses yang keras.
2. Defekasi kurang dari 3 kali seminggu.
3. Menurunnya bising usu.
4. Adanya keluhan pada rektum.
5. Nyeri saat mengejan dan defekasi.
6. Adanya perasaan masih ada sisa feses.
Kemungkinan penyebab :
1. Defek persarafan, kelemahan pelvis, immobilitas karena cedera
serebrospinalis, CVA, dll
2. Pola defekasi yang tidak teratur.
3. Nyeri saat defekasi karena hemorroid.
4. Menurunnya peristaltik karena stress psikologis.
5. Penggunaan obat seperti antasida, laktansif, atau anstesi.
6. Proses menua (usia lanjut).
Diare.
Diare merupakan keadaan individu yang mengalami atau beresiko
mengalami pengeluaran feses dalam bentuk cair.Diare sering
disertai kejang usus, mungkin ada rasa mual dan muntah.
Tanda klinis :
1. Adanya pengeluaran feses cair.
2. Frekuensi lebih dari 3 kali sehari.
3. Nyeri/kram abdomen.
4. Bising usus meningkat.
Kemungkinan penyebab :
1. Malabsorbsi atau inflamasi, proses infeksi.
2. Peningkatan peristaltik karena peningkatan metabolisme.
3. Efek tindakan pembedahan usus.
4. Efek penggunaan obat seperti antasida, laktansif, antibiotic, dll.
5. Stress psikologis
Inkontinensia Usus.
Inkontinensia usus merupakan keadaan individu yang mengalami
perubahan kebiasaan dan proses ddefekasi normal, hingga
mengalami proses pengeluaran feses disadari. Hal ini juga disebut
sebagai inkontinensia alvi.
Tanda klinis:
1. Pengeluaran feses yang tidak dikehendaki.
Kemungkinan penyebab :
1. Gangguan sphincter rektal akibat cidera anis, pembedahan, dll.
2. Distensi rektum berlebih.
3. Kurangnya kontrol sphincter akibat cidera medulla spinalis, CVA,
dll.
4. Kerusakan kognitif.
Kembung.
Kembung merupakan keadaan penuh udara dalam perut karena
pengumpulan gas berlebih dalam usus.
Hemorroid.
Hemorroid merupakan keadaan terjadinya pelebaran vena di daerah
anus sebagai akibat peningkatan tekanan di daerah anus yang dapat
disebabkan karena konstipasi, perenggangan saat defekasi, dll.

f. Fecal Impaction.
Fecal impaction merupakan massa feses keras dilipatan rektum
yang diakibatkan oleh retensi dan akumulasi materi feses yang
berkepanjangan. Penyebab fecal impaction yaitu asupan kurang,
diet rendah serat, dan kelemahan tonus otot. (A.Aziz, 2008 : 75)
F. ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
Eliminasi urine
1. Kebiasaan berkemih
2. Pola berkemih, meliputi:
- Frekuensi berkemih
- Urgensi = perasaan untuk sering berkemih seperti
seorang sering ke toilet karena takut mengalami
inkontinensia urine
- Disuria Poliuria
- Urinaria supresi
3. Volume urine
4. Faktor yang mempengaruhi kebiasaan BAK
5. Karakteristik urine
6. Tanda klinis gangguan eliminasi urine
Eliminasi alvi
1. Pola defekasi dan keluhan selama defekasi
2. Karakteristik feses
3. Faktor yang mempengaruhi eliminasi alvi
4. Pemeriksaan fisik, meliputi:
- Abdomen : ada atau tidaknya distensi, simetris atau tidak,
gerakan peristaltik, adanya massa pada perut, dan
tenderness.
- Rektum dan anus : ada atau tidaknya tanda inflamasi
seperti perubahan warna, lesi, fistula, hemoroid, dan
massa.
G. Diagnosa keperawatan eliminasi urine dan alvi
1. Inkontinensia berhubungan dengan infeksi saluran kemih
2. Konstipasi berhubungan dengan menurunnya peristaltik akibat stress
3. Diare berhubungan dengan psikologis, situasional, dan fisiologis
H. Intervensi
Diagnosa
Inkontine
nsia
berhubun
gan
dengan
infeksi
saluran
kemih

NOC
NIC
Menunjukkan kontinensia
Manajemen eliminasi urine (NIC):
urine: yang dibuktikan oleh 1. Pantau eliminasi urine,
indikator berikut: (sebutan
termasuk frekuensi, konsistensi,
1-5 tidak pernah, jarang,
bau, volume, dan warna; jika
kadang, sering atau selalu)
perlu
2. Kumpulkan spesimen urine
porsi tengah untuk urinalisis,
Indikator
1 2 3 4 5
jika perlu
Mengidenta
3.
Identifikasi faktor yang
sikan
menyebabkan episode
keinginan
inkontinensia
berkemih
4. Penyuluhan untuk pasien atau
Berespons
keluarga

5. Diskusi mengurangi episode


mengompol, pertimbangkan
strategi berikut:
Meningkatkan pencahayaan
lingkungan untuk
meningkatkan penglihatan
Memasang dudukan toilet
yang lebih tinggi dan susur
tangan
Menyediakan kursi buang air,
pispot dan urinal portabel
Melepas karpet yang mudah
bergeser
6. Anjurkan pasien dan keluarga
untuk menetapkan rutinitas
berkemih pada waktu tertentu
(sering diingatkan)
berdasarkan pola eliminasi
pasien untuk menurunkan
episode mengompol.
7. Anjurkan pasien dan keluarga
untuk melakukan perawatan
kulit
dan
higiene
untuk
mencegah kerusakan kulit.
8. Lakukan strategi manajemen
kandung
kemih
selama
melakukan aktivitas di tempat
yang jauh dari rumah
9. Rujuk ke dokter jika tanda dan
gejala infeksi saluran kemih
terjadi

tepat waktu
dorongan
berkemih
Mencapai
toilet antara
waktu
dorongan
berkemih
dan
pengeluaran
urine
Menata
laksana
pakaian
secara
mandiri
Melakukan
eliminasi
secara
mandiri
Mempertah
ankan pada
eliminasi
yang dapat
diduga

Konstipasi
berhubun
gan
dengan
menurunn
ya
peristaltik
akibat
stress

gangguan eksterm
berat
sedang
ringan
tidak ada gangguan
Indikator
Defekasi
dapat
dilakukan
satu kali
sehari.
Konsistensi
feses
lembut
Eliminasi
feses tanpa
perlu
mengejan

1 2 3 4 5

1. Observasi Tanda-tanda vital


2. Tentukan pola defekasi bagi
klien dan latih klien untuk
menjalankannya
3. Atur waktu yang tepat untuk
defekasi klien seperti sesudah
makan
4. Berikan cakupan nutrisi
berserat sesuai dengan
indikasi
5. Berikan cairan jika tidak
kontraindikasi 2-3 liter per
hari
6. Kolaborasi pemberian laksatif
atau enema sesuai indikasi
7. Lakukan latihan fisik, misal
melatih otot perut
8. Anjurkan untuk tidak
memaksakan diri dalam BAB

berlebihan

Diare
berhubun
gan
dengan
psikologis
,
situasiona
l, dan
fisiologis

gangguan eksterm
berat
sedang
ringan
tidak ada gangguan
Indikator
1 2 3 4 5
Pola
eliminasi
Pengendalia
n defekasi
Diare
Darah dan
lender pada
feses

Manajemen diare
1. Informasikan

2.

3.

4.

5.

6.

pasien tentang
kemungkinan
obat
yang
mengakibatkan diare
Ajarkan
pasien
untuk
menggunakan
susu,
kopi,
makanan pedas, dan makanan
yang mengiritasi saluran cerna
Ajarkan
pasien
tentang
penggunaan obat antidiare
yang benar
Ajarkan pasien dan anggota
keluarga
untuk
mencatat
warna, volume, frekuensi dan
konsistensi feses
Anjurkan
pasien
untuk
melapor kepetugas kesehatan
setiap kali diare
Anjurkan
pasien
tentang
teknik menurunkan stress, jika
perlu

DAFTAR PUSTAKA
Baradero, M. 2008. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal.
Jakarta : EGC Edisi 4. Jakarta : EGC
Hidayat Alimul, Aziz. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta:
Salemba Medika
Hidayat, A.Aziz, dkk. 2005. Buku Saku Praktikum Kebutuhan Dasar Manusia.
Jakarta : EGC

Pearce, E.C. 2009.Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta : PT


Gramedia
Potte, P.A dan Perry.A.G. 2005.Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, dan Praktik.
Tarwoto & Wartonah. 2004. KebutuhanDasar manusia dan Proses
Keperawatan. Jakarta: salemba medika

Anda mungkin juga menyukai