Psikologi Fix 1
Psikologi Fix 1
Kelas: B
Amelia Bianika
(R0215008)
Dhisa Claudia
(R0215028)
Intan Safitri
(R0215050)
(R0215074)
(R02150__ )
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
C. Manfaat
BAB II
PEMBAHASAN
faktor-faktor yang tidak diketahui dan tidak dapat diantisipasi. Sedangkan kelompok
dengan pandangan optimistis mengisyaratkan bahwa kecelakaan kerja dapat dikaji
secara ilmiah dan memiliki implikasi praktis pada penanganan kecelakaan dan
keselamatan kerja, dimana kecelakaan kerja adalah seusatu yang dapat dikelola atau
dicegah dan merupakan kejadian yang memiliki sifat terencanakan dan
terharapkan. Disebut terencanakan karena kecelakaan kerrja bisa terjadi karena
didahului oleh sesuatu sebab yang telah disiapkan sebelumnya.
4. Pengertian Psikologi Keselamatan Kerja
Secara harfiah kata psikologi berasal dari kata Yunani, yaitu psyche dan
logos. Pysche memiliki kesamaan arti dengan soul, mind, spirit yang dalam
bahasa Indonesia kesemua kata tersebut berarti jiwa.
Carl Gustav Jung (1975-1961) mencari padanan arti dengan bahasa-bahasa
lain, dan ia menemukan bahwa arti kata psyche sepadan dengan kata anemos dari
bahasa Yunani yang artinya angin, juga kata animus dan anima dalam bahasa
Latin yang masing-masing berarti jiwa dan nyawa. Demikian juga kata psyche dalam
bahasa Yunani juga bisa diartikan meniup, dalam Bahasa Arab ditemukan kata ruh
dan rih yang masing-masing berarti jiwa atau nyawa dan angin. Dalam hal ini ia
menduga bahwa hubungan antara sesuatu yang bernyawa dengan sesuatu yang
bernafas (angin). Oleh karena itu psikologi dianggap sebagai suatu ilmu tentang
sesuatu yang bernyawa.
Pada masa sekarang, meskipun terdapat beberapa rumusan dari para pakar
psikologi, namun intinya menuju ke satu pengertian yaitu bahwa psikologi adalah
ilmu yang mempelajari tingkah laku. Pengertian tingkah laku jauh lebih nyata
daripada pengertian jiwa. Tingkah laku dapat dibuktikan dengan nyata, dapat
dihitung dan diukur secara obyektif. Dengan menggunakan definisi ini psikologi
telah memenuhi persyaratan sebagai ilmu pengetahuan.
Namun demikian, psikologi bukanlah satu-satunya ilmu pengetahuan yang
mempelajari tingkah laku. Sosiologi, antropologi, biologi, ekonomi dan sebagainya
juga mempelajari tingkah laku. Oleh karena itu perlu ditelaah tingkah laku yang
seperti apa yang dimaksudkan di dalam psikologi. Tingkah laku dalam psikologi
tidak hanya tingkah laku nyata yang secara langsung dapat diamati saja, seperi
berjalan dan berbicara, melainkan juga tingkah laku yang tidak dapat diamati secara
langsung, yang merupakan perluasan (ekstensi) dari tingkah laku nyata tersebut.
Ekstensi tingkah laku dapat berupa bekas-bekas (jejak) atau efek yang
permanen yang terdapat pada individu, sebagai akibat dari seringnya suatu tingkah
laku diperbuat. Orang periang yang sering tertawa, akan meninggalkan bekas-bekas
h) Perkembangan karir
2. Bahaya psikosial
Dalam sebuah survei dari sejumlah badan hukum di Negara-negara Uni
Eropa
yang
dilakukan
oleh
Dinas
Kesehatan
dan
Keselamatan
Kerja,
mengidentifikasi sebafian besar dari mereka mengalami stress yang diakibatkan oleh
stressor psikososial. International Labour Organization (1986) telah ditetapkan
dalam bahaya psikosial dalam pekerjaan merupakan suatu interaksi antara konten/isi
dari pekerjaan, organisasi dan manajemen, dan kondisi lingkungan organisasi/ yang
berhubungan dengan pekerjaan serta kompetensi (pengetahuan dan ketrampilan)
antar pekerja, dan lain-lain. Interaksi-interaksi diantara ini telah membuktikan bahwa
ada bahaya yang mungkin dapat menimbulkan dampak kesehatan bagi pekerja
melalui persepsi dan pengalaman.
Bahaya psikososial kerja dapat didefinisikan sebagai aspek-aspek dari desain
kerja, organisasi kerja dan manajemen kerja, serta segala aspek yang berhubungan
dengan lingkungan sosial kerja yang berpotensi dapat menyebabkan gangguan pada
psikologi dan fisik. Risiko yang ditimbulkan dengan adanya bahaya psikososial ini
adalah stress kerja yang berakibat pada kesehatan fisik seperti jantung koroner
(CHD).
Terpajan bahaya psikososial dapat memperngaruhi kesehatan fisik dan
psikologi tidak secara langsung melalui pengalaman stress. Situasi kerja dianggap
sebagai suatu stressor jika terdapat tuntutan pekerjaan yang tidak juga cocok atau
tidak sesuai dengan pengetahuan dan keterampilan pekerja atau kebutuhan mereka.
Setiap aspek dari situasi/kondisi yang ada ditempat kerja yang juga berhubungan
dengan pekerjaan membawa potensi bahaya dan hal ini membahayakan pekerja.
Dalam hal ini akan dibahas beberapa aspek dari bahaya psikososial diantaranya
adalah job content (beban kerja, desain tugas, jadwal kerja dan peralatan kerja) dan
job context (hubungan interpersonal, perkembangan karir seta kebijakan dan
pengawasan).
a. Hubungan Dengan Isi Pekerjaan (Job Content)
Job content menggambarkan bahaya psikososial yang berhubungan dengan
keadaan pekerjaan yang dapat menimbulkan stress dan berpotensi membahayakan
pekerja.
1) Beban kerja
Beban kerja dapat dibedakan menjadi beban kerja kuantitatif dan beban
kerja kualitataif. Beban kerja kuantitaf dapat diartikan ke jumlah pekerjaan
yang harus dilakukan sedangkan beban kerja secara kualitatif merujuk kepada
kesulitan dalam melakukan pekerjaan tersebut. Dua jenis beban kerja tersebut
dapat menyebabkan bahaya bagi pekerja, dan sangat mungkin untuk
mempunyai pekerjaan yang melibatkan beban kerja berlebih secara kuantitatif
dan kurangnya beban kerja secara kualitatif.
Beban kerja berlebih atau terlalu sedikit kuantitatif timbul sebagai
akibat dari tugas-tugas yang terlalu banyak atau terlalu sedikit diberikan
kepada pekerja untuk diselesaikan dalam waktu tertentu, dan beban kerja
berlebih atau sedikit kualitatif, yaitu jika seseorang merasa tidak mampu
untuk melakukan suatu tugas, atau tugas tidak menggunakan ketrampilan
dan/atau potensi dari tenaga kerja. Bekerja dengan beban kerja berlebih secara
kuantitatif maupun kualitatif dapat menimbulkan kebutuhan untuk bekerja
selama jumlah jam yang sangat banyak merupakan sumbaer tambahan akan
kejadian stress.
Jones et all (1988) menemukan bahwa pekerja yang dituntut bekerja
cepat dan mempunyai banyak pekerjaan yang harus diselesaikan (having too
much work) mempunyai risiko mengalami tekanan kerja 4.5 kali lebih besar
dibandingkan pekerja biasa.
Beban kerja berlebih secara fisik maupun mental seperti harus
melakukan banyak hal merupakan kemungkinan sumber stress pekerjaan.
Banyak atau sedikitnya beban kerja yang diterima seorang tenaga kerja dapat
digunakan untuk menentukan berapa lama seseorang dapat bekerja tanpa
mengalami kelelahan. Selain beban berlebih, yang menjadi stressor lain salah
satunya adalah desakan waktu, yaitu setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan
secepat mungkin secara tepat dan teratur. Pada saat tertentu, deadline justru
dapat meningkatkan motivasi dan menghasilkan prestasi kerja yang tinggi.
Namun bila desakan waktu justru menyebabkan timbulnya banyak kesalahan
atau menyebabkan kondisi kesehatan seseorang berkurang, maka hal ini
cerminan adanya beban berlebih kuantitatif.
2) Desain Kerja
Cox (1985) dalam Research on Work Related Stress, 2002 telah
membahas kembali efek kesehatan dari segi fisik dan psikologi pekerjaan.
Pajanan pada pekerjaan yang berulang dan monoton sering dikaitkan dengan
pengalaman yang membosankan yang pada akhirnya menjadi tertekan dan
gelisah, cepat marah dan secara umum, kesehatan secara psikologi menjadi
berkurang.
minat
yang
rendah
dalam
pemecahan
masalah
di
organisasi.
kegelisahan,
depresi,
stress,
kelelahan
emosional,
tertentu. Hal ini akan berpengaruh terhadap kemampuan kerja dan sikap
karyawan terhadap organisasi perusahaan.
Selain pelatihan, penilaian kerja juga mendukung dalam pengembangan
karir seseorang, sebaiknya dilakukan dengan seadil-adilnya karena banyak
pekerja mengeluh dengan sistem penilaian kinerja yang buruk sehingga mereka
merasa lelah melakukan pekerjaan dengan baik.
Pengembangan karir merupakan pembangkit stres potensial yang
mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang
kurang. Kurang baiknya sistem pengembangan karir yang diharapkan karyawan
dapat menjadi sumber bahaya psikososial, terutama sekali pada perusahaan yang
menitikberatkan hubungan antara pengembangan karir dan kemampuan /
kompensasi dari karyawan.
3) Kebijakan dan Pengawasan
Kebijakan dan pengawasan bersumber pada manajemen puncak atau
pimpinan organisasi. Dalam setiap pembuatan kebijakan dibutuhkan partisipasi
aktif dari setiap anggota organisasi karena keputusan yang dihasilkan akan
dirasakan semua pihak. Begitu juga halnya dengan pengawasan kerja, karakter
pemimpin akan menentukan kinerja dari pekerja yang dipimpin / diawasinya.
Pengawasan kerja yang kurang baik dan tidak adanya keikutsertaan karyawan
dalam pembuatan keputusan sangat erat hubungannya dengan kejadian stress
pada karyawan, kegelisahan, depresi, pengharagaan diri yang kurang dan
meningkatkan gejala penyakit jantung. (Terry & Jimmieson, 1999).
Penelitian membuktikan bahwa jika karyawan berpartisipaasi aktif dalam
pembuatan kebiijakan, maka kayawan akan bereaksi lebih baik terhadap
kebijakan yang dihasilkan dan merasa puas akan penghargaan diri mereka oleh
perusahaan (Spector, 1986).
Agar dapat memenuhi tuntutan perusahaan, karyawan mebmbutuhkan
bimbingan, arahan dan bantuan dari atasan/ supervisor. Jika karryawan tidak
diberikan pengawasan yang sesuai dan tepat maka yang akan terjadi adalah
kejadian stress kerja pada karyawan, kegelisahan, deperesi, pengahargaan diri
yang kurang dan meningkatkan gejala penyakit jantung. Hal lain yaitu
pengambilan keputusan terhadap kebijakan yang dibuat di perusahaan harus
melibatkan kayawan karena karyawan merupakan pelaksana kebijakan tersebut,
bila kebijakan tersebut haynya dibuat pimpinan / sebelah pihak saja maka dapat
menimbulkan gangguan psikologis dan fisik bagi karyawan yang tidak dapat
melaksanakan kebijakan yang dibuat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan