Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PSIKOLOGI KESELAMATAN KERJA

Kelas: B
Amelia Bianika

(R0215008)

Dhisa Claudia

(R0215028)

Intan Safitri

(R0215050)

Nisrina Izdihar .H.

(R0215074)

Wardha Yussy Rha

(R02150__ )

PROGRAM STUDI DIPLOMA IV KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta
2016

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
C. Manfaat

BAB II
PEMBAHASAN

A. Istilah Dalam Psikologi Keselamatan Kerja


Sebelum memahami pengertian tentang psikologi keselamatan kerja, ada
beberapa istilah yang harus diketahui terlebih dahulu, yaitu;
1. Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan salah satu upaya perlindungan
yang ditujukan kepada semua potensi yang dapat menimbulkan bahaya, agar tenaga
kerja dan orang lain yang ada di tempat kerja selalu dalam keadaan selamat dan
sehat. Potensi-potensi yang dapat menimbulkan bahya dapat berasal dari mesin,
lingkungan kerja, sifat pekerjaan, cara kerja, dan proses produksi. K3 melihat hazard
dan risk dengan tujuan me-manage / mengendalikan hazard dan risk tersebut untuk
meminimalisasi terjadinya injury atauoun accident. .
Pengertian keselamatan kerja menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:
a. Keselamatan kerja adalah derajat kebebasan dari risiko dan bahaya dalam
lingkungan apapun (Gloss, 1984).
b. Keselamatan kerja digambarkan sebagai pengetahuan atau keterampilan dalam
metode menghindari kecelakaan atau penyakit. (CoVan, 1995).
c. Keselamatan adalah keadaan yang relatif bebas dari bahaya, bahaya, cedera atau
demage (Brauer, 1990).
d. Keselamatan kerja adalah suatu keadaan yang menunjukkan pada suatu kondisi
yang aman, selamat dari bahaya, kerusakan dan kerugian di tempat kerja.
Keselamatan kerja adalah keselamatan yang berkaitan dengan mesin, alat kerja,
bahan kerja, lingkungan tempat bekerja, serta proses atau cara melakukan
pekerjaan. (Sumamur, 1989)
e. Keselamatan kerja merupakan ilmu pengetahuan dan penerapannya yang
mempelajari tentang tata cara penanggulangan kecelakaan di tempat kerja, yang
tertuju pada kesejahteraan manusia pada umumnya dan tenaga kerja pada
khususnya. (Budiono, 2003)
Berdasarkan pengertian-pengertian ini dapat dilihat bahwa di dalam istilah
keselamatan telah mengandung unsur-unsur kesehatan, misalnya adanya unsur
resiko, bahaya, luka, dan penyakit. Sesuai dengan pandangan-pandangan ini, maka

pembahasan tentang masalah-masalah kesehatan kerja sudah termasuk dalam


keselamatan kerja.
2. Hazard, Risk, danger dan Injury
Menurut Sanders pada tahun 1993, Hazard adalah potensi suatu kegiatan,
kondisi, yang memiliki potensi menyebabkan cedera atau kematian. Bahaya atau
hazard lebih merupakan faktor kondisi (lingkungan) pekerjaan yang tidak aman
atau unsafe condition yang dapat menyebabkan kecelakaan kerja.Sehingga dapat
diketahui bahwa hazard adalah sesuatu yang mempunyai potensi membahayakan
keselamatan, keamanan, kesehatan, dan kenyamanan orang di tempat kerja serta
dapat menyebabkan cedera pada manusia atau kerusakan pada alat atau lingkungan.
Sementara itu Risk (resiko) didefinisikan sebagai peluang terpaparnya
seseorang atau alat pada suatu hazard (bahaya). Peluang atau kemungkinan tinggi,
sedang, atau rendah, bahwa seorang yang terkena bahaya bisa celaka akibat hal
tersebut.
Hasil dari hazard dan risk disebut sebagai danger (Sanders, 1993). Danger
adalah suatu kondisi yang dapat mengakibatkan peluang bahaya yang sudah mulai
tampak, sehingga memunculkan suatu tindakan. Sedangkan pengertian dari injury
adalah akibat dari kecelakaan" (Reamer, 1980).
3. Kecelakaan Kerja
Oborne (1982) menyatakan "kecelakaan yang malang, tak terduga, tidak
dapat dihindari dan tidak disengaja interaksi dengan lingkungan". Heinrich (1959)
memberikan pengertian bahwa kecelakaan kerja "adalah kejadian yang tidak
direncanakan dan tidak terkendali dari tindakan atau reaksi dari suatu objek,
subtance, orang, atau radiasi sehingga menimbulkan cedera. Menurut Sanders (1993)
dalam budaya tertentu kecelakan kerja diatribusikan debagai acts of God.
Menurut National Safety Council (McCormick, 1992) kecelakaan kerja
dianggap sebagai "Setiap peristiwa tak terduga yang mengganggu kemajuan kegiatan
atau proses produksi "
Brauer (1990) memberi pengertian kecelakaan kerja adalah "Suatu yang
tidak diinginkan, direncanakan satu atau beberapa rentetan kejadian yang disebabkan
oleh tindakan tidak aman, kondisi yang tidak aman atau keduanya dan dapat
mengakibatkan efek yang tidak diinginkan segera atau ditunda.
Terdapat dua pandangan tentang kecelakaan kerja, yaitu kelompok pertama
dengan pandangan yang pesimistis dan kelompok kedua dengan pandangan
optimistis. Kelompok dengan pandangan pesimistis menganggap kecelakaan kerja
sebagai suatu kejadian yang tidak dapat dikontrol dan diprediksikan yang lebih
disebabkan oleh faktor ketidakberuntungan dan kesempatan atau disebabkan oleh

faktor-faktor yang tidak diketahui dan tidak dapat diantisipasi. Sedangkan kelompok
dengan pandangan optimistis mengisyaratkan bahwa kecelakaan kerja dapat dikaji
secara ilmiah dan memiliki implikasi praktis pada penanganan kecelakaan dan
keselamatan kerja, dimana kecelakaan kerja adalah seusatu yang dapat dikelola atau
dicegah dan merupakan kejadian yang memiliki sifat terencanakan dan
terharapkan. Disebut terencanakan karena kecelakaan kerrja bisa terjadi karena
didahului oleh sesuatu sebab yang telah disiapkan sebelumnya.
4. Pengertian Psikologi Keselamatan Kerja
Secara harfiah kata psikologi berasal dari kata Yunani, yaitu psyche dan
logos. Pysche memiliki kesamaan arti dengan soul, mind, spirit yang dalam
bahasa Indonesia kesemua kata tersebut berarti jiwa.
Carl Gustav Jung (1975-1961) mencari padanan arti dengan bahasa-bahasa
lain, dan ia menemukan bahwa arti kata psyche sepadan dengan kata anemos dari
bahasa Yunani yang artinya angin, juga kata animus dan anima dalam bahasa
Latin yang masing-masing berarti jiwa dan nyawa. Demikian juga kata psyche dalam
bahasa Yunani juga bisa diartikan meniup, dalam Bahasa Arab ditemukan kata ruh
dan rih yang masing-masing berarti jiwa atau nyawa dan angin. Dalam hal ini ia
menduga bahwa hubungan antara sesuatu yang bernyawa dengan sesuatu yang
bernafas (angin). Oleh karena itu psikologi dianggap sebagai suatu ilmu tentang
sesuatu yang bernyawa.
Pada masa sekarang, meskipun terdapat beberapa rumusan dari para pakar
psikologi, namun intinya menuju ke satu pengertian yaitu bahwa psikologi adalah
ilmu yang mempelajari tingkah laku. Pengertian tingkah laku jauh lebih nyata
daripada pengertian jiwa. Tingkah laku dapat dibuktikan dengan nyata, dapat
dihitung dan diukur secara obyektif. Dengan menggunakan definisi ini psikologi
telah memenuhi persyaratan sebagai ilmu pengetahuan.
Namun demikian, psikologi bukanlah satu-satunya ilmu pengetahuan yang
mempelajari tingkah laku. Sosiologi, antropologi, biologi, ekonomi dan sebagainya
juga mempelajari tingkah laku. Oleh karena itu perlu ditelaah tingkah laku yang
seperti apa yang dimaksudkan di dalam psikologi. Tingkah laku dalam psikologi
tidak hanya tingkah laku nyata yang secara langsung dapat diamati saja, seperi
berjalan dan berbicara, melainkan juga tingkah laku yang tidak dapat diamati secara
langsung, yang merupakan perluasan (ekstensi) dari tingkah laku nyata tersebut.
Ekstensi tingkah laku dapat berupa bekas-bekas (jejak) atau efek yang
permanen yang terdapat pada individu, sebagai akibat dari seringnya suatu tingkah
laku diperbuat. Orang periang yang sering tertawa, akan meninggalkan bekas-bekas

di wajahnya, sehingga dengan melihat wajahnya, akan diketahui bahwa ia orang


yang periang. Jejak permanen dari tingkah laku dapat dilihat pada kebiasaankebiasaan, cara berbicara, pandangan hidup, cara berfikir, sikap, kecerdasan,
ketrampilan, cara bereaksi, ingatan dan sebagainya. Oleh karena itu, manusia dengan
ekstensi rangsang yang kemudian timbul sebagai jejak-jejak dalam kesadaran yang
disebut sebagai fungsi mneme (mnemic function), menjadikan manusia dapat
bereaksi terhadap hal-hal yang sudah lewat.
Berdasarrkan pengertian-pengertian yang telah dibahas diatas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa pengertian psikologi keselamatan kerja adalah suatu ilmu yang
berusaha memepelajari tingkah laku individu dalam berinterksi dengan lingkungan
kerja yang secara khusus berhubungan dengan terbentuknya perilaku aman yang
dapat menigkatkan keselamatan dan kesehatan kerja dan mempelajari terbentuknya
perilaku tidak aman dalam bekerja yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan
kerja.
B. Faktor yang mempengaruhi psikologi keselamatan kerja
1. Bahaya kerja (Work Hazard)
The international Labour Organizational (1986), mendefinisikan bahaya kerja
(work hazard) adalah suatu sumber potensi kerugian atau suatu situasi yang
berhubungan dengan pekerja, pekerjaan dan lingkungan kerja yang berpotensi
menyebabkan kerugian/gangguan. Bahaya dapat dibagi menjadi beberapa macam
yaitu:
a. Bahaya Fisik (Physical Hazard)
1) Kebisingan
2) Suhu ekstrim
3) Cahaya yang terlalu suram atau terlalu terang
b. Bahaya Kimia (Chemical Hazard)
1) Gas yang beracun
2) Uap panas
3) Debu yang terlalu banyak di ruangan kerja
4) Bahaya Biologi (Biological Hazard)
5) Bakteri
6) Virus
7) Jamur
8) Bahaya Psikososial (Psychosocial Hazard)
a) Komunikasi yang buruk dengan atasan maupun dengan rekan kerja
b) Jam kerja yang panjang dan tidak adanya rotasi shift kerja
c) Aturan perusahaan yang tidak jelas
d) Beban kerja yang berlebihan
e) Kurang lengkapnya peralatan kerja serta sarana dan fasilitas kerja
f) Pengawasan kerja yang kurang memadai
g) Tidak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan

h) Perkembangan karir
2. Bahaya psikosial
Dalam sebuah survei dari sejumlah badan hukum di Negara-negara Uni
Eropa

yang

dilakukan

oleh

Dinas

Kesehatan

dan

Keselamatan

Kerja,

mengidentifikasi sebafian besar dari mereka mengalami stress yang diakibatkan oleh
stressor psikososial. International Labour Organization (1986) telah ditetapkan
dalam bahaya psikosial dalam pekerjaan merupakan suatu interaksi antara konten/isi
dari pekerjaan, organisasi dan manajemen, dan kondisi lingkungan organisasi/ yang
berhubungan dengan pekerjaan serta kompetensi (pengetahuan dan ketrampilan)
antar pekerja, dan lain-lain. Interaksi-interaksi diantara ini telah membuktikan bahwa
ada bahaya yang mungkin dapat menimbulkan dampak kesehatan bagi pekerja
melalui persepsi dan pengalaman.
Bahaya psikososial kerja dapat didefinisikan sebagai aspek-aspek dari desain
kerja, organisasi kerja dan manajemen kerja, serta segala aspek yang berhubungan
dengan lingkungan sosial kerja yang berpotensi dapat menyebabkan gangguan pada
psikologi dan fisik. Risiko yang ditimbulkan dengan adanya bahaya psikososial ini
adalah stress kerja yang berakibat pada kesehatan fisik seperti jantung koroner
(CHD).
Terpajan bahaya psikososial dapat memperngaruhi kesehatan fisik dan
psikologi tidak secara langsung melalui pengalaman stress. Situasi kerja dianggap
sebagai suatu stressor jika terdapat tuntutan pekerjaan yang tidak juga cocok atau
tidak sesuai dengan pengetahuan dan keterampilan pekerja atau kebutuhan mereka.
Setiap aspek dari situasi/kondisi yang ada ditempat kerja yang juga berhubungan
dengan pekerjaan membawa potensi bahaya dan hal ini membahayakan pekerja.
Dalam hal ini akan dibahas beberapa aspek dari bahaya psikososial diantaranya
adalah job content (beban kerja, desain tugas, jadwal kerja dan peralatan kerja) dan
job context (hubungan interpersonal, perkembangan karir seta kebijakan dan
pengawasan).
a. Hubungan Dengan Isi Pekerjaan (Job Content)
Job content menggambarkan bahaya psikososial yang berhubungan dengan
keadaan pekerjaan yang dapat menimbulkan stress dan berpotensi membahayakan
pekerja.
1) Beban kerja
Beban kerja dapat dibedakan menjadi beban kerja kuantitatif dan beban
kerja kualitataif. Beban kerja kuantitaf dapat diartikan ke jumlah pekerjaan
yang harus dilakukan sedangkan beban kerja secara kualitatif merujuk kepada

kesulitan dalam melakukan pekerjaan tersebut. Dua jenis beban kerja tersebut
dapat menyebabkan bahaya bagi pekerja, dan sangat mungkin untuk
mempunyai pekerjaan yang melibatkan beban kerja berlebih secara kuantitatif
dan kurangnya beban kerja secara kualitatif.
Beban kerja berlebih atau terlalu sedikit kuantitatif timbul sebagai
akibat dari tugas-tugas yang terlalu banyak atau terlalu sedikit diberikan
kepada pekerja untuk diselesaikan dalam waktu tertentu, dan beban kerja
berlebih atau sedikit kualitatif, yaitu jika seseorang merasa tidak mampu
untuk melakukan suatu tugas, atau tugas tidak menggunakan ketrampilan
dan/atau potensi dari tenaga kerja. Bekerja dengan beban kerja berlebih secara
kuantitatif maupun kualitatif dapat menimbulkan kebutuhan untuk bekerja
selama jumlah jam yang sangat banyak merupakan sumbaer tambahan akan
kejadian stress.
Jones et all (1988) menemukan bahwa pekerja yang dituntut bekerja
cepat dan mempunyai banyak pekerjaan yang harus diselesaikan (having too
much work) mempunyai risiko mengalami tekanan kerja 4.5 kali lebih besar
dibandingkan pekerja biasa.
Beban kerja berlebih secara fisik maupun mental seperti harus
melakukan banyak hal merupakan kemungkinan sumber stress pekerjaan.
Banyak atau sedikitnya beban kerja yang diterima seorang tenaga kerja dapat
digunakan untuk menentukan berapa lama seseorang dapat bekerja tanpa
mengalami kelelahan. Selain beban berlebih, yang menjadi stressor lain salah
satunya adalah desakan waktu, yaitu setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan
secepat mungkin secara tepat dan teratur. Pada saat tertentu, deadline justru
dapat meningkatkan motivasi dan menghasilkan prestasi kerja yang tinggi.
Namun bila desakan waktu justru menyebabkan timbulnya banyak kesalahan
atau menyebabkan kondisi kesehatan seseorang berkurang, maka hal ini
cerminan adanya beban berlebih kuantitatif.
2) Desain Kerja
Cox (1985) dalam Research on Work Related Stress, 2002 telah
membahas kembali efek kesehatan dari segi fisik dan psikologi pekerjaan.
Pajanan pada pekerjaan yang berulang dan monoton sering dikaitkan dengan
pengalaman yang membosankan yang pada akhirnya menjadi tertekan dan
gelisah, cepat marah dan secara umum, kesehatan secara psikologi menjadi
berkurang.

Terdapat beberapa aspek dari desain tugas yang mempunyai potensi


menimbulkan hazard misalnya rendahnya nilai pekerjaan, tidak ada
ketrampilan, pekerjaan yang monoton, ketidakpastian pekerjaan, tidak ada
kesempatan untuk belajar, perintah bekerja yang menuntut lebih, dan
kurangnya sumber daya. Hal ini dapat menimbulkan kejenuhan atau
kebosanan, ketidakpuasan kerja, depresi, menurunnya rasa percaya diri dan
dalam jangka waktu panjang akan cenderung menyebabkan stress kerja.
3) Jadwal kerja
Ada 2 masalah utama yang berhubungan dengan rencana kerja,
sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan yaitu shift kerja dan jam kerja
yang panjang / kerja jangka panjang. Para pekerja shift umumnya lebih sering
mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut daripada pekerja pagi / siang
dan dampak dari kerja shift terhadap kebiaasaan makan yang mungkin
menyebabkan gangguan-gangguan perut. Pengaruhmya adalah emosional dan
biological, karena gangguan ritme circardian dari tidur/daur keadaan bangun,
pola suhu, dan ritme pengeluaran adrenalin. Bekerja dengan sistem shift,
terutama shift malam, menyebabkan gangguan dari circadian rhytms, pola tidur
dan memiliki tingkat stress yang tinggi yang dapat berpengaruh terhadap
sistem kekebalan tubuh.
Jadwal kerja yang mencakup jam kerja dan shift kerja bisa menjadi
bahaya psikososial jika pengaturannya tidak sesuai misalnya bekerja lebih dari
8 jam sehari atau tidak adanya perputaran shift kerja. Hal ini akan
meningkatkan risiko terhadap penyakit kardiovaskular, tingkat kelelahan yang
tinggi, kurang tidur, serta kejadian stress kerja.
4) Peralatan kerja
Dalam setiap kegiatan manusia selalu terdapat kemungkinan terjadinya
kecelakaan. Kecelakaan dalam suatu proses kerja sesungguhnya merupakan
hasil akhir dari suatu aturan atau kondisi kerja yang tidak aman. Namun
demikian kecelakaan itu sendiri dapat dicegah, karena kecelakaan itu tidak
terjadi dengan sendirinya. Kecelakaan biasanya timbul sebagai gabungan dari
beberapa faktor, 3 faktor yang paling utama adalah faktor peralatan teknis,
lingkungan kerja dan pekerja itu sendiri. (ILO, 1998). Kurang lengkapnya
peralatan kerja serta pemeliharaan peralatan kerja yang dipakai akan menjadi
stressor tersendiri bagi karyawan, dimana hal ini akan berpengaruh terhadap
produktifitas pekerja. Ketersediaan maupun pemeliharaan alat dalam

melaksanakanpekerrjaan merupakan hal yang sangat penting yang harus


diperhatikan karena dengan kurangnya alat serta pemeliharaan yang tidak
sesuai dengan banyaknya tugas yang harus diselesaikan dapat menimbulkan
potensi hazard yang nantinya menimbulkan resiko injury atau kecelakaan kerja
serta menurunkan produktifitas karyawan.
b. Hubungannya dengan pekerjaan (context to work)
Bahaya psikososial yang berkaitan dengan hubungannya dengan kerja
dapat menyebabkan stres dan berpotensi mengakibatkan kerugian/mengganggu
kesehatan.
1) Hubungan interpersonal
Hubungan antara pekerja dan anggota kerja kelompok sangat penting
untuk kesehatan individu dan organisasi. Penelitian menunjukkan bahwa
pekerjaan yang terisolasi, dimana tenaga kerja tidak dapat berbicara dengan
tenaga kerja lain selama jam kerja, jadi bekerja sendirian sepanjang hari dan
pekerjaan yang berdesakan, tempat sejumlah tenaga kerja harus bekerja dalam
ruanga kerja yang sempit, dapat merupakan pembangkit stress.
Hubungan kerja yang tidak baik terlihat dengan adanya gejala-gejala
seperti : kepercayaan yang rendah, tingkat pemberian dukungan yang rendah,
dan

minat

yang

rendah

dalam

pemecahan

masalah

di

organisasi.

Ketidakpercayaan mengarah ke komunikasi antar pribadi yang tidak sesuai


antara para tenaga kerja dan ketegangan psikological dalam bentuk kepuasan
pekerjaan yang rendah, penurunan kondisi kesehatan dan merasa diacam oleh
atasan dan rekan-rekan kerjanya.
Hubungan interpersonal dengan atasan maupun rekan kerja bisa
menjadi stressor psikososial jika tidak terjalin dengan baik, seperti kurangnya
dukungan ataupun kurang intensnya komunikasi diantara sesama. Hal ini dapat
mengakibatkan

kegelisahan,

depresi,

stress,

kelelahan

emosional,

mempengaruhi kepuasan kerja, serta berkaitan dengan peningkatan risiko


penyakit cardiovaskular.
2) Perkembangan karir
Pentingnya promosi bagi seorang karyawan adalah sebagai suatu reward:
dan intensive. Adanya ganjaran dan perangsang yang berupa promosi dapat
meningkatkan produktifitas bagi karyawan. Selain itu pelatihan dan penilaian
kerja seseorang penting dalam pengembangan karir. Pelatihan adalah
pengalaman belajar terstruktur dengan tujuan mengembangkan kemampuan
menjadi ketrampilan menjadi ketrampilan khusus, pengetahuan dan sikap

tertentu. Hal ini akan berpengaruh terhadap kemampuan kerja dan sikap
karyawan terhadap organisasi perusahaan.
Selain pelatihan, penilaian kerja juga mendukung dalam pengembangan
karir seseorang, sebaiknya dilakukan dengan seadil-adilnya karena banyak
pekerja mengeluh dengan sistem penilaian kinerja yang buruk sehingga mereka
merasa lelah melakukan pekerjaan dengan baik.
Pengembangan karir merupakan pembangkit stres potensial yang
mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang
kurang. Kurang baiknya sistem pengembangan karir yang diharapkan karyawan
dapat menjadi sumber bahaya psikososial, terutama sekali pada perusahaan yang
menitikberatkan hubungan antara pengembangan karir dan kemampuan /
kompensasi dari karyawan.
3) Kebijakan dan Pengawasan
Kebijakan dan pengawasan bersumber pada manajemen puncak atau
pimpinan organisasi. Dalam setiap pembuatan kebijakan dibutuhkan partisipasi
aktif dari setiap anggota organisasi karena keputusan yang dihasilkan akan
dirasakan semua pihak. Begitu juga halnya dengan pengawasan kerja, karakter
pemimpin akan menentukan kinerja dari pekerja yang dipimpin / diawasinya.
Pengawasan kerja yang kurang baik dan tidak adanya keikutsertaan karyawan
dalam pembuatan keputusan sangat erat hubungannya dengan kejadian stress
pada karyawan, kegelisahan, depresi, pengharagaan diri yang kurang dan
meningkatkan gejala penyakit jantung. (Terry & Jimmieson, 1999).
Penelitian membuktikan bahwa jika karyawan berpartisipaasi aktif dalam
pembuatan kebiijakan, maka kayawan akan bereaksi lebih baik terhadap
kebijakan yang dihasilkan dan merasa puas akan penghargaan diri mereka oleh
perusahaan (Spector, 1986).
Agar dapat memenuhi tuntutan perusahaan, karyawan mebmbutuhkan
bimbingan, arahan dan bantuan dari atasan/ supervisor. Jika karryawan tidak
diberikan pengawasan yang sesuai dan tepat maka yang akan terjadi adalah
kejadian stress kerja pada karyawan, kegelisahan, deperesi, pengahargaan diri
yang kurang dan meningkatkan gejala penyakit jantung. Hal lain yaitu
pengambilan keputusan terhadap kebijakan yang dibuat di perusahaan harus
melibatkan kayawan karena karyawan merupakan pelaksana kebijakan tersebut,
bila kebijakan tersebut haynya dibuat pimpinan / sebelah pihak saja maka dapat
menimbulkan gangguan psikologis dan fisik bagi karyawan yang tidak dapat
melaksanakan kebijakan yang dibuat.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai