Anda di halaman 1dari 4

2.

1 Hospitalisasi

Menjalani perawatan di rumah sakit (hospitalisasi) merupakan pengalaman


yang tidak menyenangkan dan mengancam bagi setiap orang, terutama bagi anak
yang masih dalam tahap proses pertumbuhan dan perkembangan. Hospitalisasi
merupakan suatu alasan darurat atau berencana mengharuskan anak untuk tinggal
dirumah sakit menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali kerumah.
Selama proses tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami berbagai kejadian yang
menurut beberapa penelitian ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat traumatik
dan penuh dengan stres. Beberapa bukti ilmiah menunjukkan bahwa lingkungan rumah
sakit merupakan penyebab stress bagi anak, baik lingkungan fisik rumah sakit seperti
bangunan/ruang rawat, alat alat, bau yang khas, pakaian putih petugas kesehatan
maupun lingkungan sosial, seperti sesama pasien anak, ataupun interaksi dan sikap
petugas kesehatan itu sendiri. Perasaan seperti takut, cemas, tegang, nyeri, dan
perasaan yang tidak menyenangkan lainnya, dialami anak.Perawat memegang posisi
kunci membantu orang tua menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan
perawatan anaknya dirumah sakit karena perawat berada disamping pasien selama 24
jam. (Supartini, 2004).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Coyne (2006) dalam Apriliawati
(2011), menjelaskan bahwa anak yang dihospitalisasi mengalami kecemasan dan
kegelisahan karena perpisahan dengan orang tua dan keluarga, prosedur pemeriksaan
dan pengobatan, dan akibat berada di lingkungan asing. Kecemasan akibat perpisahan
pada hospitalisasi anak juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Folley
(2000), dalam Apriliawati (2011). Penelitian ini menggambarkan bahwa perpisahan
dengan orang tua merupakan aspek yang paling menimbulkan stress dan menimbulkan
efek bagi anak dan orang tua. Orang tua harus beradaptasi terkait perannya sebagai
orang tua dengan anak sakit dan stress yang dialami akibat hospitalisasi pada anak
akan mengakibatkan anak merasa takut danvcemas. Kortisol adalah mediator utama
respon terhadap stress yang berpartisipasi dalam banyak interaksi antara HPA axis
dengan inflamasi yang dimediasi imunologis, sehingga menghambat akumulasi dan
fungsi limfosit, monosit/makrofag, oesonofil, dan neutrophil pada daerah inflamasi. Anak

yang mengalami stres akan terjadi peningkatan kortisol, yang mana kortisol tersebut
akan menghambat pembentukkan antibodi, menurunkan sel darah putih dan imunitas
tubuh. Adanya penekanan sistem imun inilah nampaknya akan berakibat pada
penghambatan proses penyembuhan. Sehingga memerlukan waktu perawatan yang
lebih lama dan bahkan akan mempercepat terjadinya komplikasi-komplikasi selama
perawatan. Bermain merupakan terapi pada anak yang menjalani hospitalisasi (Wong,
2008). Saat anak mengalami sakit dan mereka akan terpaksa berpisah dari lingkungan
yang dirasakannya aman, penuh kasih sayang, dan menyenangkan yaitu rumah,
permainan dan teman sepermainannya. Kebutuhan bermain tidak berhenti selama anak
sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Sehingga perlu dilakukan terapi bermain.Karena
dengan terapi bermain anak-akan lebih rileks dan kooperatif sehingga dapat
mempercepat proses penyembuhan.
Di Amerika Serikat, diperkirakan lebih dari 5 juta anak menjalani hospitalisasi
karena prosedur pembedahan dan lebih dari 50% dari jumlah tersebut, anak mengalami
kecemasan dan stres (Kain,dkk. 2006). Di Indonesia diperkirakan 35 per 1000 anak
menjalani hospitalisasi (Purwandari, 2009). Dalam jurnal Suparto, pada tahun 2002 di
RSUD Dr. Soetomo Surabaya tentang perilaku anak sakit menunjukkan bahwa 70%
pasien pada awalnya menunjukan perilaku yang negatif

(agresif maupun depresif)

dengan tidak melihat jenis diagnosanya. Sedangkan menurut data dari RS William
Booth Surabaya jumlah anak sakit selama 3 bulan terakhir yaitu bulan Juli sampai
September 2013 adalah 302 orang.Sakit dan hospitalisasi menimbulkan krisis pada
kehidupan anak dirumah sakit, anak harus menghadapi lingkungan yang asing, pemberi
asuhan yang tidak dikenal, dan gangguan terhadap gaya hidup mereka. Sering kali
anak harus menghadapi prosedur yang menimbulkan nyeri, kehilangan kemandirian,
dan berbagai hal yang tidak diketahui.(Wong, 2003). Selama waktu sakit, anak usia
prasekola mungkin kembali ngompol, atau menghisap ibu jari dan menginginkan orang
tua mereka untuk menyuapi, memakaikan pakaian dan memeluk mereka. Selain itu
juga anak takut pada bagian tubuh yang disakiti dan nyeri. (Potter, 2005).
Sistem pendukung yang mempengaruhi reaksi anak selama masa perawatan
termasuk didalamnya adalah keluarga dan pola asuh yang didapat anak

didalam

keluarganya. Keluarga yang kurang mendapat informasi tentang kondisi kesehatan


anak dirawat di rumah sakit menjadi terlalu khawatir atau stress akan menyebabkan
anak menjadi semakin stress dan takut. Selain itu, pola asuh keluarga yang terlalu
protektif dan selalu memanjakan anak juga dapat mempengaruhi reaksi takut dan
cemas dirawat di rumah sakit. Berbeda dengan keluarga yang suka memandirikan anak
untuk aktivitas sehari-hari anak akan lebih kooperatif bila dirumah sakit. Selain itu,
keterampilan koping dalam menangani stress sangat penting bagi proses adaptasi anak
selama masa perawatan. Apabila mekanisme koping anak baik dalam menerima
kondisinya yang mengharuskan dia dirawat di rumah sakit, anak akan lebih kooperatif
selama menjalani perawatan di rumah sakit. (Rahmawati, 2009)
Perilaku kooperatif anak sangat diperlukan selama menjalani perawatan di
Rumah sakit guna mencapai proses penyembuhan yang optimal. Perilaku kooperatif
anak merupakan respon atau reaksi anak terhadap rangsangan atau stimulus untuk
bekerja sama dalam mencapai tujuan bersama seperti dalam pengukuran suhu,
pemberian obat oral/cair, dan anak tidak merasa takut atau cemas. Perilaku kooperatif
anak dalam menerima perawatan terbagi dalam 4 skala perilaku yang dapat ditunjukkan
anak, yaitu skala 1 (sikap sangat negatif), skala 2 (sikap negatif), skala 3 (sikap positif)
hingga skala 4 (sikap sangat positif). Sebagian besar anak yang mengalami
hospitalisasi menunjukkan sikap negatif terhadap petugas kesehatan yang ditunjukkan
dengan reaksi menangis, menunjukkan rasa takut, serta tidak mau menerima
perawatan.
Anak adalah individu yang mempunyai eksistensi yang mewakili jiwa sendiri,
serta mempunyai hak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan
iramanya masingmasing yang khas. Mereka adalah individu yang utuh, yang bukan
sekedar miniatur dari orang dewasa.Mereka hidup dalam dunianya yang indah, yaitu
dunia bermain. (Wahyudi, 2003). Dunia anak adalah dunia bermain, khususnya bagi
anak yang berusia dibawah 5 tahun. Bermain bagi anak akan mengembangkan
berbagai kemampuan seperti kemampuan motorik dimana anak cepat untuk
bergerak, berlari dan melakukan berbagai kegiatan fisik lainnya

DAFTAR PUSTAKA

Potter, 2005 http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/s1keperaw atan


09/207314028/bab1.pdf, diakses tanggal 16 februari 2012 pukul 14.30 WIB.
Rahmawati, 2009 http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/
uploads/ publikasi_dosen/ tinjauan%20tentang%20STRES.pdf, diakses tanggal
16 Februari 2012 pukul 14.20 WIB
Supartini, 2004 http://reyzhawena-ners.com/2011/03/konsepstres-adaptasi.html,
diakses tanggal 16 Februari 2012: 14.00 WIB.
Wong, 2003 http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/
tinjauan%20tentang%20STRES.pdf, diakses tanggal 16 Februari 2012 pukul
14.20 WIB.

Anda mungkin juga menyukai