Anda di halaman 1dari 4

Seorang pria 59 tahun dengan TB 173 cm BB 73 kg masuk UGD dengan gejala mual dan

muntah. Pada pemeriksaan pasien sedikit demam (38C) dengan hepatomegali ringan dan ikterus
sclera ringan. Pasien mengkonsumsi alcohol sedang (10-12 minuman / minggu selama beberapa
tahun terakhir), juga mengkonsumsi 8 tablet Extra-Strength Tylenol (acetaminophen setiap 500
mg) bila perlu setiap hari, selama 2 minggu terakhir untuk menghilangkan rasa sakit cedera lutut
karena jatuh. Analisis laboratorium mengungkapkan terjadi peningkatan ALT serum (535 IU / L,
normal: 4-51 IU / L) dan AST (430 IU / L, normal : 15-45 IU / L), peningkatan bilirubin (41
mol / L ; biasa: <17 mol / L), tingkat glukosa serum 2,0 mmol / L (normal: 3,9-5,8 mmol / L),
dan konsentrasi acetaminophen darah dari 58 ug / mL. Pasien dirawat di rumah sakit dan
diberikan infus intravena yang termasuk glukosa dan N-acetylcysteine (NAC).
Kasus 1:
Penyelesaian kasus:
Asetaminofen merupakan obat NSAID yang diketahui memiliki efek jangka panjang yang
menyebabkan hepatotoksisitas. Kelebihan dosis asetaminofen menjadi penyebab utama gagal
hati akut.
Molekul asetaminofen itu sendiri tidak sangat beracun.Kerusakan hati disebabkan terutama
oleh metabolitnya yang sangat reaktif dan metabolit oksidatif yang tidak stabil, N-asetil-pbenzokuinon iminine (NAPQI). Pada dosis terapi, kurang dari 5% dari acetaminophen
dimetabolisme oleh sistem sitokrom P (CYP) -450 menjadi NAPQI, sementara kebanyakan
dimetabolisme di hati melalui glucuronidation dan sulfation (63% dan 34% masing-masingnya).
Metabolit larut air yang dihasilkan kemudian diekskresikan dalam urin. Pada dosis terapi,
sejumlah kecil NAPQI dibuat oleh sistem CYP-450 terkonjugasi dengan glutathione dalam hati
dan kemudian diekskresikan sebagai asam mercaptopurat; Namun, ketika asetaminofen
digunakan dalam dosis besar, glutathione dan sulfat habis, menyebabkan lebih banyak obat yang
akan didorong ke system CYP-450. Produksi NAPQI dalam konsentrasi tinggiakan mengikat
kelompok sulfhidril pada protein secara kovalen, sehingga menyebabkan kerusakan
hepatoseluler.
Tingkat toksisitas dari NAPQI juga dapat terakumulasi ketika metabolisme hati dipercepat
setelah induksi enzim, skenario biasanya terlihat pada orang yang mengkonsumsi jumlah alcohol
yang berlebihan atau yang sedang mengkonsumsi penginduksi CYP-450 seperti fenobarbital,

fenitoin, atau anti-epilepsi.Faktor risiko tambahan yang dapat menurunkan ambang batas untuk
hepatotoksisitas yang diinduksiasetaminofen termasuk puasa dan malnutrisi.
Analisis kasus :

Acetaminophen diganti dengan obat analgetik lain seperti meloxicam 15 mg jika masih
dibutuhkan untuk mengobati rasa sakit cedera, karena acetaminophen (NSAID) dapat
meningkatkan kadar aminotransferase.

Terjadi peningkatan nilai ALT dan AST dari nilai normal.

Rasio ALT/AST = 1,2 dengan nilai ALT > AST, artinya pasien menderita hepatitis
alkoholik karena pasien juga mengkonsumsi alcohol secara berlebihan setiap hari.

Pasien mengalami hipoglikemik, ha ini disebabkan karena rusaknya fungsi hati akibat
mengkonsumsi alcohol yang berlebihan sehingga hati yang berfungsi untuk mengubah
glikogen menjadi glukosa tidak bekerja dengan sempurna. Untuk itu perlu pemberian
glukosa secara infuse IV.

Pasien juga mengalami toksisitas acetaminofen, untuk itu perlu pemberian N-acetylsistein
yang bertindak sebagai agen hepatoprotektif dengan mengembalikan glutation hati
(pengganti glutation) dan meningkatkan konjugasi sulfat beracun dari asetaminofen.

Pemberian glukosa dan N-acetylsistein secara infus IV karena pasien saat masuk UGD
dalam keadaan mual dan muntah, sehingga tidak memungkinkan untuk minum obat
secara oral.

Kasus 2
Seorang pria 53 tahun TB 178 cm BB 120 kg, didiagnosis dengan resistensi insulin dan
diabetes melitus tipe 2. Kadar glukosa plasma puasa (FPG) adalah 174 mg / dL dan hemoglobinnya (Hb) nilai A1c (70-110 mg / dL normal) adalah suboptimal pada 8,4%. Pasien memiliki
fungsi ginjal dan hati yang normal.Pasien mengkonsumsi alcohol sedang dan tidak sedang
mengkonsumsi obat selain ibuprofen.Dia menyatakan bahwa terjadi peningkatan berat badan
selama 2 tahun terakhir, karena stress akibat beralih pekerjaan.
Dia telah diperintahkan oleh dokter untuk memodifikasi diet, banyak olahraga dan
diresepkan metformin oral (bid 500 mg) dikonsumsi dengan makanan. Pada pemeriksaan tindak
lanjut 3 bulan kemudian, status pasien tidak benar-benar berubah secara signifikan; BB 118 kg,

FPG nya 157 mg / dL, dan HbA1c-nya adalah 8,0%. Dia menilai tidak terjadi perubahan dengan
diet yang dilakukan dan meminum metformin setiap hari.dokter mempertimbangkan pemberian
sulfonilurea oral untuk rejimen pasien, untuk memeriksa lebih lanjut jika pasien sudah memakai
metformin. Dia menginstruksikan pasien untuk membawa botol obat saat kunjungan dalam dua
minggu berikutnya.Ketika kantornya menghubungi apotek lokal di mana pasien mengambil
resepnya, apoteker memberitahu dokter bahwa Resep metformin pasien telah ditebus.
Pada kunjungan kantornya berikutnya, pasien membawa botol resepnya yang masih berisi
tablet metformin, yang seharusnya kosong. Pasien mengaku tidak minum metformin dua kali
setiap hari.Kadang-kadang hanya mengambil obat sekali sehari karena lupa atau terlalu lelah.
Dia juga menyatakan ia memiliki "beberapa" tablet metformin di lemari obat nya yang
disimpandirumah dalam wadah non-resep.
Penyelesaian Kasus:
Metformin merupakan agen anti hiperglikemik oral yang menurunkan produksi glukosa hepatic,
yang mana ia menurunkan penyerapan glukosa di usus, dan dapat meningkatkan sensitivitas
insulin dengan meningkatkan penyerapan glukosa dan penggunaan. Metformin tidak
berhubungan langsung secara kimia atau farmakologi dengan golongan lain dari agen
hipoglikemik oral. Pemberian oral berikutnya, sekitar 90% dari obat diserap dan mengalami
eliminasi ginjal.Dosis awal metformin pada orang dewasa adalah 500 mg dua kali sehari atau
850 mg sekali sehari, diberikan bersamaan makanan pagi dan sore.Jika pasien dengan diabetes
tipe 2 tidak ada perbaikan dengan metformin setelah beberapa minggu, pertimbangan pemberian
sulfonilurea secara bertahap.
Analisis kasus :

Pasien didiagnosis dengan resistensi insulin dan diabetes melitus tipe 2.

Kadar glukosa plasma puasa (FPG) adalah 174 mg/dL (70-110 mg/dL normal) artinya
kadar glukosa puasa pasien tinggi.

Hemoglobin-nya (Hb) nilai A1c 8,4% (normal untuk pasien DM <7%) artinya kadar
HbA1C pasien tinggi sehingga pada pasien DM semakin tinggi nilai HbA1C nya semakin
tinggi resiko komplikasi akibat penyakit DM.

Mengkonsumsi alcohol akan memperberat kerja hati untuk mengubah glukosa menjadi
glikogen.

Setelah minum obat metformin dan diet, kondisi pasien tidak berubah secara signifikan,
hal ini disebabkan Karena pasien tidak teratur minum obat dan tidak diet untuk
menurunkan berat badan yang obesitas.

Disarankan kepada pasien untuk mengontrol kadar gula darah dan menerapkan pola
hidup sehat.

Anda mungkin juga menyukai