Anda di halaman 1dari 15

A.

PENDAHULUAN
Obesitas mulai menjadi masalah kesehatan diseluruh dunia, bahkan WHO
menyatakan bahwa obesitas sudah merupakan suatu epidemi global, sehingga obesitas
sudah merupakan suatu problem kesehatan yang harus segera ditangani . Di Indonesia,
terutama di kota-kota besar, dengan adanya perubahan gaya hidup yang menjurus ke
westernisasi dan sedentary berakibat pada perubahan pola makan / konsumsi masyarakat
yang merujuk pada pola makan tinggi kalori, tinggi lemak dan kolesterol, terutama
terhadap penawaran makanan siap saji (fast food) yang berdampak meningkatkan risiko
obesitas.
Kegemukan dan obesitas terutama disebabkan oleh faktor lingkungan. Faktor
genetik meskipun diduga juga berperan tetapi tidak dapat menjelaskan terjadinya
peningkatan prevalensi kegemukan dan obesitas. Pengaruh faktor lingkungan terutama
terjadi melalui ketidakseimbangan antara pola makan, perilaku makan dan aktivitas fisik.
Hal ini terutama berkaitan dengan perubahan gaya hidup yang mengarah pada sedentary
life style.
Pola makan yang merupakan pencetus terjadinya kegemukan dan obesitas adalah
mengkonsumsi makanan porsi besar (melebihi dari kebutuhan), makanan tinggi energi,
tinggi lemak, tinggi karbohidrat sederhana dan rendah serat. Sedangkan perilaku makan
yang salah adalah tindakan memilih makanan berupa junk food, makanan dalam kemasan
dan minuman ringan (soft drink).
Selain pola makan dan perilaku makan, kurangnya aktivitas fisik juga merupakan
faktor penyebab terjadinya kegemukan dan obesitas pada anak sekolah. Keterbatasan
lapangan untuk bermain dan kurangnya fasilitas untuk beraktivitas fisik menyebabkan
anak memilih untuk bermain di dalam rumah. Selain itu, kemajuan teknologi berupa alat
elektronik seperti video games, playstation, televisi dan komputer menyebabkan anak
malas untuk melakukan aktivitas fisik.

B.

DEFINISI
Kata obesitas berasal dari bahasa latin: obesus, obedere yang artinya gemuk atau
kegemukan. Obesitas atau gemuk merupakan suatu kelainan atau penyakit yang ditandai
dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan.

Ditinjau dari segi klinis, obesitas adalah kelebihan lemak dalam tubuh, yang
umumnya ditimbun dalam jaringan subkutan (bawah kulit), sekitarorgan tubuh dan
kadang terjadi perluasan kedalam jaringan organnya. Obesitas merupakan salah satu
bentuk salah gizi yang banyak dijumpai di antara golongan masyarakat dengan sosial
ekonomi tinggi. Menurut World Health Organization(WHO) 2006, obesitas didefenisikan
sebagai kumpulan lemak berlebih yang dapat mengganggukesehatan dengan Body Mass
Index(BMI) 30 kg/m2.
Obesitas juga merupakan keadaan dengan peningkatan jumlah lemak tubuh dari
keadaan normal yang masih dapat diterima, disesuaikan dengan umur, jenis kelamin serta
perkembangan tubuh. Peningkatan jumlah lemak tersebut disebabkan oleh peningkatan
jumlah sel lemak, penambahan isi lemak pada masing-masing sel lemak atau gabungan
keduanya (Rahmatullah,2000).
C.

PREVALENSI
Prevalensi obesitas meningkat dari tahun ke tahun, baik di negara maju maupun
negara yang sedang berkembang. Berdasarkan SUSENAS, prevalensi obesitas (>120%
median baku WHO/NCHS) pada balita mengalami peningkatan baik di perkotaan
maupun pedesaan. Di perkotaan pada tahun 1989 didapatkan 4,6% laki-laki dan 5,9%
perempuan, meningkat menjadi 6,3% laki-laki dan 8% perempuan pada tahun 1992 dan
di pedesaan pada tahun 1989 didapatkan 2,3% laki-laki dan 3,8% perempuan, meningkat
menjadi 3,9% laki-laki dan 4,7% perempuan pada tahun 1992.
Hasil RISKESDAS tahun 2010 menunjukkan prevalensi kegemukan dan obesitas
pada anak sekolah (6-12 tahun) sebesar 9,2%. Sebelas propinsi, seperti D.I. Aceh
(11,6%), Sumatera Utara (10,5%), Sumatera Selatan (11,4%), Riau (10,9%), Lampung
(11,6%), Kepulauan Riau (9,7%), DKI Jakarta (12,8%), Jawa Tengah (10,9%), Jawa
Timur (12,4%), Sulawesi Tenggara (14,7%), Papua Barat (14,4%) berada di atas
prevalensi nasional.
Hasil penelitian di beberapa kota menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan prevalensi kegemukan dan obesitas. Hasil penelitian di Yogyakarta (M.
Julia,et al, 2008) menunjukkan adanya peningkatan prevalensi hampir dua kali lipat

dalam waktu lima tahun. Prevalensi kegemukan dan obesitas pada anak sekolah di
Yogyakarta pada tahun 1999 sebesar 8,0%, meningkat menjadi 12,3% pada tahun 2004.
Menurut Dietz terdapat 3 periode kritis dalam masa tumbuh kembang anak dalam
kaitannya dengan terjadinya obesitas, yaitu: periode pranatal, terutama trimester 3
kehamilan, periode adiposity rebound pada usia 6 7 tahun dan periode adolescence.
Pada bayi dan anak yang obesitas, sekitar 26,5% akan tetap obesitas untuk 2
dekade berikutnya dan 80% remaja yang obesitas akan menjadi dewasa yang
obesitas.Menurut Taitz, 50% remaja yang obesitas sudah mengalami obesitas sejak bayi.4
Sedang penelitian di Jepang menunjukkan 1/3 dari anak obesitas tumbuh menjadi
obesitas dimasa dewasa1 dan risiko obesitas ini diperkirakan sangat tinggi, dengan OR
2,0 6,7.
Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa obesitas pada usia 1-2 tahun dengan
orang tua normal, sekitar 8% menjadi obesitas dewasa, sedang obesitas pada usia 10-14
tahun dengan salah satu orang tuanya obesitas, 79% akan menjadi obesitas dewasa.

D.

DIAGNOSIS OBESITAS
Menurut Atikah (2007) dan Budiyati (2011), dalam menegakkan diagnosis obesitas
perlu dilakukan tahapan tahapan sebagai berikut:
1. Anamnesis
a. Saat mulainya timbul obesitas: prenatal, early adiposity rebound, remaja
b. Riwayat tumbuh kembang (mendukung obesitas endogenous)
c. Adanya keluhan: ngorok (snoring), restless sleep, nyeri pinggul
d. Riwayat gaya hidup :
a)

Pola makan/kebiasaan makan

b)

Pola aktifitas fisik: sering menonton televisi, jarang melakukan olahraga

e.

Riwayat keluarga dengan obesitas (faktor genetik), yang disertai dengan resiko
seperti penyakit kardiovaskuler di usia muda, hiperkolesterolemia, hipertensi dan
diabetes melitus tipe II

2. Pemeriksaan Fisik
Adanya gejala klinis obesitas. Secara klinis penampilan fisik dari anak obesitas
mudah dikenali karena mempunyai tanda dan gejala yang khas antara lain wajah yang
membulat, pipi yang tembem, dagu rangkap, leher relatif pendek, dada yang
membusung dengan payudara yang membesar mengandung jaringan lemak, perut
membuncit disertai dinding perut yang berlipat-lipat serta kedua tungkai umumnya
berbentuk X dengan kedua pangkal paha bagian dalam saling menempel dan
bergesekan sehingga menyebabkan laserasi dan ulserasi yang dapat menimbulkan bau
yang kurang sedap. Pada anak laki-laki, penis tampak kecil karena tersembunyi
didalam jaringan lemak suprapubik (burried penis) (Nassar, 1995 dalam Syarif,
2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
Analisis diet, laboratoris, radiologis, ekokardiografi dan tes fungsi paru (jika ada
tanda-tanda kelainan).
4. Pemeriksaan Antropometri
a. Pengukuran berat badan (BB) dibandingkan berat badan ideal (BBI). BBI adalah
berat badan menurut tinggi badan ideal. Disebut obesitas bila BB > 120% BB
Ideal.
b. Mengukur berat badan dan hasilnya dibandingkan dengan berat badan ideal sesuai
tinggi badan (BB/TB). Obesitas didefinisikan sebagai berat badan menurut tinggi
badan di atas persentil ke-90, atau > 120%, atau Z-score = + 2 SD. dibandingkan
berat badan ideal. Namun cara ini tidak mencerminkan massa lemak tubuh.

c. The World Health Organization (WHO), telah merekomendasikan Indeks masa


tubuh (IMT) sebagai baku pengukuran obesitas pada anak dan remaja adalah cara
termudah untuk memperkirakan obesitas serta berkorelasi tinggi dengan massa
lemak tubuh, selain itu juga penting untuk mengidentifikasi pasien obesitas yang
mempunyai risiko mendapat komplikasi medis. Obesitas bila IMT P > 95 kurva
IMT berdasarkan umur dan jenis kelamin dari CDC-WHO.
d. Pengukuran lemak subkutan dengan mengukur skinfold thickness (tebal lipatan
kulit/TLK). Terdapat empat macam cara pengukuran TLK yang ideal yaitu TLK
biceps, triceps, subskapular, dan suprailiaka. Bila TLK P > 85 merupakan
indikator adanya obesitas.
e. Pengukuran lemak secara laboratorik, misalnya densitometri, hidrometri yang
tidak digunakan pada anak karena sulit dan tidak praktis. DXA adalah metode
yang paling akurat, tetapi tidak praktis untuk dilapangan.

E.

DISTRIBUSI JARINGAN LEMAK


Anak obesitas bentuk fisiknya dapat dibedakan menurut distribusi lemak didalam
tubuhnya yaitu bila lebih banyak lemak dibagian atas tubuh (dada dan pinggang) maka
disebut apple shape body (android), dan bila lebih banyak lemak dibagian bawah tubuh
(pinggul dan paha) maka disebut pear shape body (gynoid). Sedangkan bentuk yang
pertengahan disebut intermediate. Bentuk apple shape cenderung mempunyai resiko
lebih besar mengalami penyakit kardiovaskular, hipertensi dan diabetes dibandingkan
dengan bentuk pear shape (Moller, Tafeit, Sudi & Reibnegger, 2000; Rimm, Hartz, &
Fischer, 1988 dalam Syarif, 2002).

Gambar 1 Distribusi Lemak Tubuh

F.

ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDIPOSISI


Obesitas pada anak merupakan masalah yang sangat kompleks, yang antara lain
terjadi karena anak kelebihan energi yang menetap, akibat pemakaian energi yang
kurang, atau kombinasi keduanya.
Kelebihan energi tersebut dapat disebabkan oleh konsumsi makanan yang yang
berlebihan. Pada bayi seringkali ketika menangis diberikan minuman atau makanan oleh
ibunya dengan harapan bayi berhenti menangis dan juga jika diberikan susu yang terlalu
kental, manis dan berkalori tinggi, bayi akan selalu haus dan ingin minum terus. Selain
susu, ibu juga sering memberikan makanan yang mengandung kalori tinggi pada usia dini
(Vanitallie, 1998). Pemberian makanan padat terlalu dini pada bayi juga menjadi salah
satu faktor penyebab obesitas (Heird,2002).

Pada anak yang lebih besar, gangguan emosi merupakan salah satu penyebab
penting. Pada anak yang sedang bersedih hati, memisah diri dari lingkunganya atau
kekurangan kasih sayang dari orang tua akan timbul rasa lapar yang berlebihan sebagai
kompensasi terhadap masalahnya. Dan anak akan melampiaskannya dengan banyak
makan, kebiasaan ini akan menghilang dengan menyembuhkan gangguan emosinya. Juga
perubahan pola makan masa kini, anak lebih menyukai makanan cepat saji yang memiliki
kandungan kalori dan lemak tinggi seperti burger, pizza, ayam goreng, dan kentang
goreng. (Sjarif,2002)
Sedangkan keluaran energi yang kurang disebabkan rendahnya metabolisme
tubuh oleh karena tubuh kurang melakukan aktifitas fisik. Pada anak seringkali memiliki
kebiasaan menonton televisi disertai makan makanan ringan, jika terbiasa menonton
televisi dalam waktu lama maka makanan yang dikonsumsi tidak terasa semakin banyak
Pada anak yang mengalami kecacatan juga berisiko terjadi obesitas, karena anak
kesulitan dalam melakukan aktivitas fisik. (Gallaher dkk, 2001). Termogenesis makanan
juga mempengaruhi keluaran energi, lemak memberi efek termogenesis lebih rendah (3%
dari total energi dihasilkan lemak) dibandingkan dengan karbohidrat (6-7% dari total
energi dihasilkan karbohidrat) dan protein (25% dari total energi dihasilkan protein). Hal
tersebut menunjukkan pentingnya peranan pola dan asupan makanan dalam terjadinya
obesitas. (Maffeis dkk, 2001)
Jika obesitas disebabkan karena nutrisi, konsumsi makanan atau metabolisme
seperti diatas, maka disebut obesitas primer. Sedangkan obesitas sekunder, merupakan
obesitas yang disebabkan oleh penyakit hormonal yang kongenital. Obesitas sekunder
jarang ditemukan, hanya mencakup kurang dari 10% kasus obesitas.

Faktor lain penyebab obesitas antara lain, kelainan hormonal yang sering
didapatkan adalah kelainan pada kelenjar pituitari dan gangguan fungsi hipotalamus yang
abnormal, sehingga terjadi gangguang pusat kenyang di otak. Anak akan mengalami
hiperfagia dan nafsu makannya meningkat. (Lichtenstein dkk, 1998)
Keturunan dari ayah ibu yang obesitas berisiko diturunkan kepada anaknya, jika
hanya salah satu orang tua mengalami obesitas, maka anaknya berisiko 40% mengalami
obesitas, sedangkan jika kedua orang tua mengalami obesitas, 80% anaknya akan
mengalami obesitas. Ibu yang obesitas dan mengalami peningkatan berat badan yang
besar selama kehamilan, juga ibu hamil yang menderita diabetes kemungkinan
melahirkan bayi dengan berat badan lebih. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah lemak
tubuh dipengaruhi sejak masa gestasi oleh berat badan dan kenaikan berat badan maternal
selama periode antenatal. (Dietz, 1993).
Faktor genetik lain yang mempengaruhi adalah ras, pada ras atau suku tertentu
kadang kadang terlihat lebih banyak anggotanya yang obesitas. Dalam hal ini sukar
menentukkan faktor apa yang lebih menonjol, keturunan atau latar belakang kebudayaan,
seperti kebiasaan makan makanan yang kaya energi, kurang gerak badan atau keduanya.
Berkaitan dengan gaya hidup, sikap, dan perilaku. Di Indonesia, orang tua
cenderung salah kaprah mengasosiakan gemuk adalah baik. Anak harus gemuk, montok,
baru dibilang anak yang sehat. Jika anak tidak gemuk, seolah-olah hal tersebut
merupakan kegagalan dari ibu yang notabene penyandang tugas pengasuhan anak. Jadi
tujuan makan bergeser dari memenuhi kebutuhan anak menjadikan anak gemuk. Maka

cara - cara instan seperti mengkonsumsi susu khusus bahkan mengkonsumsi makanan
cair sebagai pengganti susu atau sarapan.
Sosial ekonomi keluarga merupakan keadaan keluarga dilihat dari pendidikan
orang tua, penghasilan orang tua, status pekerjaan orang tua, dan jumlah anggota
keluarga. Kelas sosial dan status sosial ekonomi mempengaruhi prevalensi terjadinya
kelebihan berat badan. Sejalan dengan pendapatan keluarga yang tinggi, kecenderungan
pola makan pun berubah,yaitu terjadi peningkatan dalam asupan lemak dan protein
hewani serta gula, diikuti dengan penurunan lemak dan protein nabati dan karbohidrat.
Pendapatan keluaraga juga berhubungan dengan frekuensi makan diluar rumah yang
biasanya tinggi lemak (WHO,2000).

Penyebab obesitas sebenarnya tidak dapat diketahui secara pasti, karena obesitas
merupakan penyakit multifaktorial. Diduga faktor-faktor penyebab diatas saling
berinteraksi menyebaban obesitas (Heird,2002).

G.

KOMPLIKASI
Dalam berbagai penelitian telah diketahui bahwa obesitas merupakan faktor
predisposisi untuk terjadinya penyakit lain, sehingga obesitas dinilai meningkatkan
morbiditas dan mortalitas (Soetjiningsih,1995).
Obstructive Sleep Apnea juga sering dijumpai dengan gejala mengorok saat tidur,
penyebabnya adalah penebalan jarinngan lemak di daerah dinding dada dan perut yang

menggangu pergerakan dinding dada dam diafragma, sehingga terjadi penurunan volume
dan perubahan pola ventilasi paru serta meningkatkan beban kerja otot pernafasan. Pada
saat tidur terjadi penurunan tonus otot dinding dada yang disertai penurunan saturasi
oksigen dan peningkatan kadar CO2, serta penurunan tonus otot yang mengatur
pergerakan lidah yang meyebabkan lidah jatuh kearah dinding belakang faring yang
menyebabkan obstruksi saluran nafas intermiten dan menyebabkan tidur gelisah,
sehingga keesokan harinya anak cenderung mengantuk dan hipoventilasi. Keadaan ini
akan menghilang bila penderita menurunkan berat badannya (Kopelman,2000). Kelainan
ini bila dalam keadaan berat dengan tanda-tanda somnolen dan hipoventilasi disebut
dengan Pickwickian syndrome. (Pinkan, 2010).
Pada sendi Setiap peningkatan berat badan lebih dari normal akan menimbulkan
beban yang berlebihan pada sendi penyangga berat badan, dan menyebabkan
terelincirnya epifisis kaput femoris yang menimbulkan rasa nyeri pada sendi yang terkena
adalah sendi penyangga berat badan yaitu pinggul, punggung, pangkal paha, lutut dan
pergelangan kaki. Gerakan panggul menjadi terbatas dan gerakan penderitas obesitas
menjadi lambat (Wallace,1982).
Anak yang mengalami obesitas akan mudah berkeringat, tumpukan lemak pada
daerah lipatan seperti lipatan paha dan lengan akan sering terserang jamur dan
menyebabkan gatal dan gerah. Kulit juga menjadi sering bergesekan dan menjadi lecet.
Dampak psikologis juga terjadi pada penderita obesitas, penderita yang terlalu
gemuk sering diejek temannya menjadi kurang percaya diri terhadap bentuk tubuhnya
dan menjadi anak yang pasif dan depresi, sehingga dapat mempengaruhi prestasi
belajarnya. Saat anak menginjak masa remaja, terutama remaja perempuan, akan merasa

malu dan berupaya menurunkan berat badannya, seringkali cara dietnya kurang tepat dan
menyebabkan masalah gizi seperti anemia dan defisiensi mikronutrien (Pinkan, 2010).
Pseudotumor serebri akibat peningkatan ringan tekanan intrakranial pada obesitas
disebabkan oleh gangguan jantung dan paru paru yang menyebabkan peningkatan kadar
CO2 dan menimbulkan gejala sakit kepala, papil edema, lumpuh, diplopia, kehilangan
lapang pandang perifer dan iritabilitas (Syarif, 2003).
Obesitas masa anak jika beranjut hingga dewasa maka dapat menyebabkan
berbagai penyakit, yaitu :
1. Hipertensi
Penderita kegemukan mempunyai risiko yang tinggi terhadap hipertensi.
Seseorang dikatakan menderita hipertensi bila tekanan systole >140 mmHg dan
diastole >90 mmHg. Penderita obesitas tipe buah apel beresiko lebih tinggi dalam
kemungkinan menderita hipertensi dibandingkan dengan orang yang kurus dan
penderita obesitas tipe buah pear. Berat badan yang berlebih sudah tentu akan
meningkatkan beban jantung dalam memompa darah keseluruh tubuh. Hal ini
menyebabkan tekanan darah cenderung akan lebih tinggi. Selain itu, pembuluh darah
pada lansia lebih tebal dan kaku atau disebut aterosklerosis, sehingga tekanan darah
akan meningkat. Untuk itu lansia hendaknya mengurangi konsumsi natrium (garam),
karena garam yang berlebih dalam tubuh dapat meningkatkan tekanan darah (Syarif,
2003).

2.

Hiperlipidemia, aterosklerosis dan Penyakit Jantung


Konsumsi lemak jenuh dan kolesterol yang berlebihan akan meningkatkan
risiko penyakit jantung. Lemak jenuh dan kolesterol hanya terdapat pada bahan

makanan hewani. Oleh karena itu, lebih disarankan mengkonsumsi ikan karena dapat
menurunkan risiko menderita penyakit jantung dibandingkan sumber protein hewan
lain. Pengaruh kegemukan pada penyakit jantung koroner tidak selalu berdiri sendiri,
tetapi biasanya diperburuk oleh faktor risiko lain seperti hipertensi, diabetes, dan
hiperlipidemia.
Penyakit jantung koroner merupakan penyakit yang terjadi akibat
penyempitan pembuluh darah koroner (pembuluh darah yang mendarahi dinding
jantung). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 500 penderita kegemukan sekitar
88% mendapat risiko terserang penyakit jantung koroner. Meningkatnya faktor risiko
penyakit jantung koroner sejalan dengan terjadinya penambahan berat badan
seseorang (Freedman,2004).
3. Diabetes Melitus
Obesitas ternyata juga mempengaruhi metabolisme tubuh manusia, yang
sangat menyolok dan sering terjadi adalah hubungan langsung antara obesitas dengan
diabetes melitus.
Pada obesitas kemungkinan terkena diabetes melitus 2,9 kali lebih sering bila
dibandingkan yang tidak obesitas. Dikemukakan pula bahwa penderita obesitas sering
mengalami hiperglikemi tetapi dalam keadaan hiperinsulinisme, keadaan ini mungkin
karena adanya resistensi insulin yang meningkat atau kurang pekanya reseptor insulin
terhadap adanya hiperglikemi.
Insulin dalam tubuh berguna untuk menghantarkan glukosa sebagaibahan
bakar pembentuk energi kedalam sel. Dengan memindahkan glukosa kedalam sel
maka insulin akan menjaga kadar gula darah tingkat yang normal. Pada orang gemuk

terjadi penumpukan lemak yang tinggi didalam tubuhnya, sementara lemak sangat
resisten terhadap insulin. Sehingga, untuk menghantarkan glukosa kedalam sel lemak
dan menjaga kadar gula darah tetap normal, pankreas sebagai pabrik insulin, di
bagian pulau-pulau langerhans, memproduksi insulin dalam jumlah yang banyak.
Lama kelamaan, pankreas tidak sanggup lagi memproduksi insulin dalam jumlah
besar sehingga kadar gula darah berangsur naik dan terjadilah apa yang disebut
Diabetes Melitus Tipe 2.
Ada pula yang mengatakan bahwa pada penderita obesitas diabetik, kelainan
dasarnya adalah gangguan keseimbangan kinetik sekresi insulin. Sekresi insulin
terlambat sehingga kadar glukosa darah tidak dapat dikontrol secara teratur dan
terdapat peningkatan sekresi insulin sehingga cenderung terjadi hiperinsulinisme yang
disertai dengan peningkatan resistensi insulin. Kecuali itu, hiperglikemi dan
hiperinsulinemi dapat pula disebabkan oleh karena kualitas insulin yang abnormal,
adanya produk/ hormon yang bersifat antagonis terhadap insulin atau berkurangnya
jumlah reseptor yang sensitif pada membran sel (Bluher, 2004).
4. Penyakit Kandung Empedu
Sewaktu tubuh mengubah kelebihan lemak makanan menjadi lemak tubuh,
cairan empedu lebih banyak diproduksi di dalam hati dan di simpan dalam kantong
empedu. Hal inilah yang meningkatkan risiko terkena penyakit batu empedu (adanya
endapan zat-zat berbentuk seperti batu di dalam empedu). Lebih sering terjadi pada
penderita obesitas tipe buah apel. Penurunan berat badan tidak akan mengobati
penyakit batu empedu, tetapi hanya akan membantu dalam pencegahannya.
5. Kanker

Walau masih menuai kontroversi, beberapa penelitian menyebutkan bahwa


terjadi peningkatan resiko terjadinya kanker usus besar, prostat, kandung kemih dan
kanker rahim pada orang gemuk. Pada perempuan yang telah menopause rawan
terjadi kanker payudara.

Anda mungkin juga menyukai