Anda di halaman 1dari 29

SKENARIO 4 IDENTIFIKASI BENCANA MASSAL

Pada tanggal 17 Juli 2014, pesawat Malaysia Airlines MH17 dalam


perjalanan dari Amsterdam menuju Kuala Lumpur dan membawa 298 penumpang
ditembak misil di wilayah Ukraina. Seluruh penumpang diperkirakan meninggal.
Penumpang pesawat berkewarganegaraan Belanda, Malaysia, Australia, Indonesia
dan lainnya sehingga tragedi ini menjadi pusat perhatian duni. Tim DVI dari
berbagai negara datang untuk membantu termasuk Indonesia. Dalam kasus
bencana massal, identifikasi dilakukan oleh tim DVI sesuai prosesdur DVI yang
terdiri dari 5 tahapan. Pada fase post mortem (PM) dilakukan identifikasi oleh tim
yang terdiri dari patologi forensik, odontologi forensik, antropologi forensik, ahli
DNA dan lainnya. Tim odontologi forensik melakukan pemeriksaan untuk
menentukan usia korban, kondisi gigi geligi yang ada, dan melakukan pembuatan
PM dental radiograph. Data PM ini kemudian dibandingkan dengan data ante
mortem (AM) yang didapatkan. Tim lain akan melakukan identifikasi berdasarkan
keahlian masing-masing yaitu patologi, antropologi dan DNA.
STEP 1
1. Bencana massal :
Peristiwa yang tidak diinginkan yang menimpa individu maupun
kelompok dengan ketentuan kerusakan yang tidak dapat ditanggulangi
oleh sumber daya atau sarana prasarana setempat terhadap korban (dapat
berupa nyawa, benda, harta maupun lingkungan). Peristiwa ini dapat
disebabkan oleh karena faktor alam atau faktor manusia.
2. Antemortem :
Data korban sebelum kejadian atau meninggalnya seseorang yang dapat
diperoleh dari keluarga, kerabat maupun instalansi.
3. Patologi forensik :
Suatu ilmu tentang penyakit untuk menegakkan hukum dan mengetahui
bagaimana cara suatu penyakit dapat menyebabkan kematian serta sebabsebab kematian.

4. Odontologi forensik :
Ilmu yang menggunakan barang bukti gigi sebagai penegakan keadilan.
5. DVI (Disaster Victim Identification) :
Suatu tahapan yang telah terstandar oleh interpol untuk mengidentifikasi
bencana massal.
6. Antropologi forensik :
Ilmu yang mempelajari tentang tulang dan bentuk ciri khas manusia yang
digunakan sebagai penegakan hukum.
7. Ahli DNA :
Seseorang yang berkompeten dalam identifikasi materi genetik untuk
menentukan kekerabatan seseorang.
8. Postmortem :
Data-data fisik yang ditemukan pada korban yang dapat berupa data
primer maupun data sekunder.
STEP 2
1. Bagaimana peran patologi forensik pada kasus di skenario?
2. Apa saja 5 tahapan dalam DVI? Jelaskan!
3. Siapa pihak yang berwenang dalam manajemen korban?
4. Bagaimana cara membedakan kewarganegaraan korban?
5. Apa yang harus diperhatikan dalam bencana massal apabila banyak warga
negara? Bagaimana peran odontologi forensik, antropologi forensik dan
ahli DNA?
6. Apa saja data yang termasuk dalam antemortem dan postmortem?
7. Ilmu apa saja yang dapat membantu proses identifikasi korban?
8. Bagaimana wewenang dokter gigi sebagai ahli dari odontologi forensik
dalam tim DVI?
9. Mengapa pemeriksaan gigi dapat menentukan umur korban?
10. Apa saja pemeriksaan yang dilakukan pada gigi korban?
11. Apa saja isi odontogram yang berkaitan dengan identifikasi korban?
12. Bidang ahli apa saja yang berperan dalam tim DVI?

13. Bagaimana cara manajemen jenazah?


14. Dalam pengumpulan data antemortem digunakan data rekam medik atau
resume rekam medik?
15. Bagaimana kriteria untuk dilakukan DVI?
16. Bagaimana sikap ideal dokter gigi saat diminta untuk berpartisipasi dalam
pengumpulan data?
17. Tindakan apa yang dilakukan apabila korban tidak teridentifikasi?

Korban manusia
Persiapan

Lokasi

Evakuasi

Pemerintah
Penegak hukum
Pemerintah Negara
Tim SAR

Transportasi

Pembentukan tim DVI

- Scene
- Recovery
- Pengelolaan korban

Tahap awal DVI


Pemeriksaan dan pengumpulan data

Antemortem

Keluarga

Property
Ciri khas
Foto
Darah

drg

dr

Postmortem
Luka

Instansi terkait

Patologi forensik
Odontologi forensik
Antropologi

DNA

- Rekam medik Data sekunder


- Resume medik

Manajemen praktik

Data primer

Data sekunder

- Finger print
- DNA
- Gigi

Property

Rekonsiliasi data
Interpretasi korban
Cocok

Dikembalikan pada keluarga

STEP 5

Tidak cocok
Penyimpanan
Dikuburkan

Fotograf

1. Mahasiswa mampu mendefinisikan dan memahami macam-macam korban


yang memerlukan identifikasi
2. Mahasiswa mampu mendefinisikan dan memahami macam-macam luka
pada korban
3. Mahasiswa mampu memahami pengertian otopsi
4. Mahasiswa mampu memahami tahap persiapan lokasi, evakuasi, dan
transportasi
5. Mahasiswa mampu memahami prosedur identifikasi forensik
a) tahap awal
b) pemeriksaan dan pengumpulan data
c) rekonsiliasi
d) interpretasi
6. Mahasiswa mampu memahami organisasi DVI
a) ilmu
b) ahli bidang
7. Mahasiswa mampu memahami manajemen praktik dalam persiapan data
antemortem

LO 1 Macam-Macam Korban yang Memerlukan Identifikasi


Identifikasi forensik merupakan usaha dalam membantu penyidik untuk
menentukan identifikasi seseorang. Dalam mengidentifikasi korban, tidak hanya
dilakukan pada korban mati. Namun, juga dapat dilakukan identifikasi pada
korban hidup.
a. Identifikasi pada Korban Mati
Identifikasi korban mati banyak dilakukan pada kasus-kasus bencana
massal, seperti banjir, tsunami, gunung meletus, pesawat jatuh, kapal
tenggelam, dan sebagainya. Selain itu, identifikasi ini juga dilakukan pada
jenazah yang tidak dikenal, jenazah yang hangus terbakar maupun jenazah
yang hanya tinggal kerangkanya saja. Dokter memiliki tanggung jawab dalam
membantu pekerjaan penyidik dalam mengungkap identitas jenazah, sehingga
jenazah tersebut dapat dikembalikan kepada keluarga korban dan dikubur
secara layak sebagaimana di atur pada Undang-Undang No. 36 tahun 2009
tentang Kesehatan, bagian Kedelapan Belas yaitu Bedah Mayat pada pasal 118
ayat 1 dan 2 yang berbunyi (1) Mayat yang tidak dikenal harus dilakukan
upaya identifikasi; (2) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat harus
bertanggung jawab atas upaya identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
b. Identifikasi pada Korban Hidup
Dalam identifikasi korban hidup sering dilakukan pada kasus-kasus
pidana seperti pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, child abuse dan
KDRT. Dokter forensik wajib melakukan identifikasi yang diminta oleh polisi
atau penyidik agar dari hasil pemeriksaan nanti dapat dijadikan sebagai barang
bukti di persidangan, sehingga dapat memperoleh penjelasa atas peristiwa
yang terjadi secara medis dan mengungkap pelaku kejahatan. Hal tersebut
diatur dalam pasal 179 KUHAP ayat 1 yang berbunyi Setiap orang yang
diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter ahli
lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.

Selain itu, pada Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang


Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada pasal 10, disebutkan
bahwa korban berhak mendapatkan : a. Perlindungan dari pihak keluarga,
kepolisisan, kejaksaan pengadilan, advokat, lembaga sosial atau pihak
lainnya

baik

sementara

maupun

berdasarkan

penetapan

perintah

perlindungan dari pengadilan; b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan


kebutuhan medis; c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan
kerahasiaan korban; d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan
hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; e. Pelayanan bimbingan rohani.
LO 2 Macam-Macam Luka pada Korban
Luka atau trauma yang didapatkan pada tubuh korban merupakan suatu
petunjuk untuk menjawab beberapa pertanyaan di dunia forensic seperti
bagaimana luka itu terjadi, senjata atau benda apa yang menyebabkan luka,
ataupun apakah luka itu yang menyebabkan kematian korban. Berikut adalah
macam-macam jenis luka yang biasa ditemukan pada kasus forensik :

Luka yang disebabkan benda tajam (Luka sayatan,luka tusukan,luka bacokan)


Luka sayatan merupakan luka yang dihasilkan oleh benda tajam, seperti

pisau atau potongan kaca. Bentuk,arah,lebar,dan kedalaman luka, serta hadirnya


partikel asing (kaca,tanah) didalamnya,dapat memberikan petunjuk penting untuk
kecelakaan atau bunuh diri atau pembunuhan bersifat cedera.
Luka tusukan atau lubang adalah luka ini biasa disebabkan oleh obyek
yang kaku ,ramping, dan tajam. Luka ini terdapat variasi dari bentuk dan
kedalaman lubang atau bekas tusukannya. Hal ini menunjukan benda apa yang
menyebabkan terjadinya luka. Penilaian lokasi dan arah dari luka tusukan ini
dapat memberikan bukti obyektif apakah cedera diakibatkan dirisendiri atau
terkait penyerangan.
Luka bacokan merupakan luka yang disebabkan oleh bacokan karena
benda tajam. Bentuk luka lebih berbeda dengan bentuk luka sayatan. Luka
bacokan ini lebih tidak teratur dan lebih dalam. Dari identifikasi luka bacokan ini

tim forensik dapat menentukan bagaimana serangan yang diterima korban dan alat
yang digunakan untuk membacok.

Luka karena benda tumpul


a. Abrasi (Luka Lecet)
Abrasi adalah luka yang superfisial ditandai dengan adanya
kerusakan jaringan tubuh terbatas hanya pada lapisan epidermis kulit.
Namun, apabila mengenai pembuluh darah akibat luka yang melebihi
jaringan epidermis, maka dapat menyebabkan perdarahan. Luka lecet
memiliki ciri-ciri khas yaitu luka yang disebabkan adanya gesekan atau
pergeseran antara kulit dan benda keras dengan permukaan yang kasar dan
benda tumpul, sebagian atau seluruh epitel hilang terbatas pada lapisan
epidermis kulit, permukaan luka akan tertutup eksudat yang akan kering
menjadi krusta, dan dapat sembuh dalam waktu 2 minggu tanpa
menimbulkan jaringan parut.
Luka lecet dapat dibedakan lagi berdasarkan mekanisme terjadinya
atau penyebab terjadinya luka lecet yaitu, luka lecet gores (Scratch) dan
luka lecet tekan (Impact abrasion). Luka lecet gores adalah luka lecet yang
disebabkan oleh benda tumpul dengan ujung yang runcing misalnya lucu
lecet karena kuku jari yang menggores kulit sehingga menyebabkan
terkelupasnya lapisan epidermis kulit. Luka lecet tekan adalah luka lecet
yang disebabkan oleh benda tumpul yang menekan kulit sehingga akan
menghasilkan bentuk luka lecet yang sama dengan bentuk benda yang
digunakan. Misalnya pada kasus korban yang lehernya dijerat dengan tali
atau korban yang digantung. Pada lehernya akan nampak luka lecet
berwarna coklat kemerahan yang membentuk tali atau tambang yang
digunakan untuk menjerat. Begitu juga pada kasus korban kecelakaan
yang dilindas ban mobil, pada permukaan tubuhnya biasanya akan
ditemukan luka lecet dan memar berbentuk permukaan ban mobil apalagi
jika ban mobil tersebut masih memiliki permukaan yang bagus.
b. Kontusio (Luka Memar)

Luka memar merupakan luka yang disebabkan oleh karena adanya


tekanan yang besar dari benda tumpul yang singkat sehingga tekanan
tersebut menyebabkan kerusakan dan pecahnya pembuluh darah kecil
sehingga menimbulkan perdarahan di bawah jaringan kulit. Luka memar
ada yang superfisial dan ada yang dalam. Luka memar superfisial, ketika
ada tekanan besar segera akan terbentuk memar. Sedangkan luka memar
dalam adalah luka memar yang menunjukkan adanya perdarahan pada
lapisan kulit subkutan yang lebih dalam sehingga tidak segera terbentuk
memar. Pada hari pertama akan terjadi pembengkakan warna merah
kebiruan, hari ke 2-3 warna biru kehitaman, hari 4-6 warna biru kehijauncoklat, dan pada minggu 1-4 memar akan menghilang atau sembuh. Luka
memar hanya terjadi pada manusia yang hidup sedangkan pada korban
meninggal, dinamakan lebam mayat. Perlu mengetahui perbedaan antara
memar dan lebam mayat. Memar dapat terjadi pada daerah seluruh tubuh
sedangkan lebam mayat hanya terjadi pada daerah terendah dari posisi
jenazah. Lebam mayat ketika ditekan dengan jari, warna merahnya akan
hilang sedangkan pada luka memar ketika ditekan warnanya tidak akan
hilang.
c. Laserasi (Luka Robek)
Laserasi adalah luka menyebabkan robekan atau sobek pada
jaringan kulit yang lebih dalam. Laserasi disebabkan oleh benda tumpul
yang memiliki permukaan yang tidak teratur, permukaan benda yang
lancip, balok kayu atau ujung pipa yang lancip. Laserasi ini memiliki tepi
luka yang tidak beraturan dengan tepi yang tumpul.

Luka bakar
Luka bakar atau cedera panas ini mungkin terjadi setelah kerusakan dalam

pengontrolan suhu tubuh atau, secara umum, dari kejadian panas eksternal. Pada
umumnya jaringan tubuh manusia dapat betahan hanya dalam kisaran suhu yang
relative sempit, sekisar 20-40C. ketika panas eksternal terjadi, kerusakan yang
luas tergantung pada :

1.

Suhu saat itu

2. Kemampuan lapisan luar tubuh mengatasi suhu yang berlebih


3. Lamanya durasi suhu pada kejadian.
Luka bakar ini dapat digolongkan sesuai dengan tingkat keparahannya.
Menurut tingkat keparahannya luka bakar ini terbagi atas 3 grade, yaitu :
1. Grade 1 : Erythema dan pelepuhan tanpa merusak lapisan vascular kulit.
Luka bakar tingkat ini akan membaik tanpa menimbulkan bekas luka
2. Grade 2 : kerusakan penuh ketebalan dari kulit. Luka ini akan
menimbulkan bekas luka, yang biasanya berkontraksi selama proses
penyembuhan, menyebabkan kerutan dan distorsi dari permukaan kulit
3. Grade 3 : kerusakan terjadi sudah mencapai lapisan dibawah kulit. Ini bisa
menjadi keparahan dalam bentuk apa pun, dari kerusakan subkulit lemak
dari otot, tulang dan bahkan seluruh tungkai

Luka karena ledakan


Dengan mengidentifikasi luka akibat ledakan. Dokter forensik dapat

mengetahui jenis bahan peledakj yang digunakan berapa jauh lokasi pusat ledakan
dari korban. Serta dapat mengetahui apakah ledakan ini terpusat atau tersebar

Luka tembak
Luka tembak merupakan luka yang disebabkan oleh senjata api. Bentuk

luka yaitu bulat dan biasanya disertai bentukan bintang disekitar luka yang
terbentuk dari bubuk meseu yang terdapat di peluru tersebut. Dengan
mengidentifikasi luka tembak ini tim forensic akan dapat mengetahui jenis senjata
atau peluru yang digunakan. Serta jarak tembak yang dilakukannya.
Berikut contoh gambar macam-macam luka :

a. Luka akibat ledakan

b. Luka tusukan

c. Luka bakar

d. Luka tembak

e. Luka bacokan

LO 3 Otopsi
Otopsi adalah pemeriksaan post-mortem, atau pemeriksaan yang dilakukan
pada tubuh korban yang telah meninggal. Berdasarkan tujuannya, otopsi
diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu:
1. Otopsi Mediko-legal atau Otopsi Forensik
Pemeriksaan ini dilakukan pada korban yang diduga mendapat kekerasan,
korban dengan kematian mencurigakan dan tiba-tiba, korban yang meninggal
karena kesalahan, kelalaian, atau tindakan pembunuhan. Tubuh korban
diperiksa secara eksternal maupun internal untuk menemukan penyebab
kematian, cara kematian dan waktu kematian. Hasil pemeriksaan akan dibuat
dalam bentuk laporan tertulis yang disebut visum et repertum untuk
kepentingan hukum atau justitia. Selain itu, otopsi ini dilakukan untuk
mengidentifikasi identitas seseorang. Salah satu tahapan dalam DVI adalah
identifikasi korban dengan membandingkan data ante-mortem dan postmortem.
Terdapat dasar hukum yang mendasari otopsi, yaitu KUHAP Pasal 133,
134 dan 179.

Pasal 133
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani
seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga
karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.

Pasal 134
(1) Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian
bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib
memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.
(2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan
dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu
dilakukannya pembedahan tersebut.

Pasal 179
(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakirnan atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan
ahli demi keadilan.
(2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka
yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka
mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang
sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam
bidang keahliannya.

2. Otopsi Klinis/Patologis
Otopsi yang dilakukan untuk mendiagnosa penyakit tertentu yang
menyebabkan kematian seseorang. Otopsi yang dilakukan contohnya
berupa pemeriksaan HPA jaringan dan sero-imun. Otopsi ini dilakukan
untuk memberikan informasi dan petunjuk berupa patogenesis suatu
penyakit yang berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Otopsi ini
dapat dilakukan untuk meneliti pola penyakit terutama modifikasimodifikasi untuk strategi terapi terbaru.

3. Otopsi Anatomis
Otopsi ini dilakukan dengan tujuan akademik atau pembelajaran. Biasanya
korban telah memberikan izin sebelumnya bahwa tubuhnya dapat digunakan
untuk kepentingan pendidikan. Kadaver yang tidak teridentifikasi dalam
waktu yang lama dari kepolisian atau rumah sakit juga dapat diserahkan ke
instansi yang berwenang menjalankan pendidikan medis untuk diotopsi.
Ada 2 cara yang dilakukan untuk otopsi, yaitu:
a. Otopsi konvensional
Pada otopsi konvensional dilakukan diseksi (pemotongan) pada
jaringan tubuh.
b. Otopsi virtual
Otopsi virtual tidak memerlukan diseksi (pemotongan) jaringan tubuh,
melainkan menggunakan alat-alat diagnostik canggih untuk melihat
kelainan yang terjadi dalam organ-organ dalam Pada otopsi virtual tidak
diperlukan pembukaan rongga-rongga badan dan maupun pemotongan
jaringan

tubuh.

Dengan

menggunaan

teknik

pemindaian

yang

memungkinkan melihat secara komplet keadaan tubuh dalam 3 dimensi,


semua informasi yang penting seperti posisi dan ukuran luka maupun
keadaan patologis lainnya dapat diketahui dan didokumentasikan tanpa
harus melakukan tindakan invasif. Teknik ini diyakini menjadi alasan
untuk menghindari alasan-alasan penolakan otopsi konvensional. Dalam
otopsi virtual menggunakan beberapa peralatan pemindaian canggih
seperti Magnetic resonance imaging (MRI). Namun, teknik virtual ini
memiliki kekurangan yaitu memerlukan biaya yang tidak sedikit dan
hasilnya dapat bias.
LO 4 Persiapan Lokasi, Evakuasi, dan Transportasi
A. Tahap Persiapan Lokasi
Apabila didapatkan suatu berita mengenai terjadinya bencana, operasi
penyelamatan harus segera dimulai. Di sekitar tempat kejadian bencana harus

didirikan pos pusat komunikasi dan koordinasi yang biasanya bertempat pada
POLRES atau POLSEK terdekat atau tempat lainnya yang dekat dengan tempat
kejadian bencana. Pendirian pos ini bertujuan untuk :

Menerima dan melakukan instruksi kepada yang berkepentingan di


lapangan.

Melayani pertanyaan-pertanyaan dari keluarga korban maupun pers.

Apabila terdapat keterlibatan warga negara asing (WNA) dalam bencana,


pos komunikasi dapat membantu menghubungi secretariat NCB Interpol di
Jakarta agar dapat membantu dalam komunikasi dengan Negara asal
korban.

Pada TKP bencana biasanya banyak massa yang terlibat, baik yang ingin
menolong maupun yang hanya ingin memenuhi rasa keingintahuannya terhadap
kejadian yang terjadi. Massa yang seperti ini dapat mengganggu jalannya operasi
penyelamatan, maka diperlukan adanya pengamanan TKP bencana. Tim
pengamanan TKP terdiri dari Pemda setempat dan TNI/POLRI. Dalam melakukan
pengamanan, TNI/POLRI membuat pagar pembatas atau police line sehingga
tidak sembarang orang dapat masuk ke TKP, serta menyediakan jalur akses yang
terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan dan menyediakan petugas yang
bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja yang memiliki akses untuk masuk
ke TKP.
Setelah itu dilakukan pembuatan sektor-sektor atau zona pada TKP sesuai
dengan situasi dan kondisi geografis, memberikan tanda pada setiap sektor, serta
membuat sketsa dan foto setiap sektor. Pada korban meninggal yang ditemukan,
tahapan yang dilakukan antara lain :

Memberikan label orange (human remains label) pada jenazah. Label


diikatkan pada potongan tubuh atau ibu jari kanan jenazah.

Mencantumkan label putuh (property label) pada barang-barang yang


tercecer.

Mengisi formulir interpol DVI PM.

Gambar 1. Contoh pembuatan sektor


B. Tahap Evakuasi dan Transportasi
Pada saat melakukan evakuasi dan transportasi, berikut ini terdapat beberapa
tahapan yang akan dilakukan antara lain :

Memasukkan jenazah dan potongan jenazah dalam kantong jenazah dan di


beri label sesuai label jenazah.

Formulir interpol di masukkan ke dalam plastik agar terlindung dari basah


dan sobek kemudian turut dimasukkan dalam kantong jenazah.

Masukkan barang-barang yang terlepas dari tubuh korban kemudian di


beri label sesuai nama jenazah.

Di angkut ke tempat pemeriksaan dan penyimpanan jenazah dan di buat


berita acara penyerahan kolektif.

LO 5 Prosedur Identifikasi Forensik


Sesuai Interpol Guide Disaster Victim Identification tahun 2014, proses
identifikasi korban terbagi menjadi 4 fase, yaitu:

Fase 1 : Scene (pemrosesan jenazah dan barang bukti pada tempat


kejadian)

Fase 2 : Post-mortem (pemeriksaan jenazah)

Fase 3 : Ante-mortem (pengumpulan data orang hilang semasa hidup)

Fase 4 : Rekonsiliasi (pencocokan data post-mortem dan ante-mortem)

Dengan berpedoman Interpol Guide Disaster Victim Identification tahun 2014,


diskusi kali ini kami mengelompokkan prosedur identifikasi forensik sebagai
berikut:
1. Tahap awal
Pada tahap awal, perlu dilakukan pengamanan lokasi kejadian,
stabilisasi TKP, evakuasi korban dan transportasi korban (telah dijelaskan
sebelumnya pada learning objective nomor 4). Setelah itu, tim identifikasi
menerima jenazah dari recovery command centre (pusat komando
pencarian) dan menyiapkan penyimpanan dan pendingin jenazah yang
layak. Setelah tim mengelola jenazah maka dipersiapkan transportasi yang
mengangkut jenazah ke tempat atau rumah sakit yang ditunjuk untuk
dilakukan pemeriksaan forensik.
Setibanya di tempat pemeriksaan forensik atau rumah sakit terkait,
jenazah diregistrasi, dan dilakukan pencatatan atau dokumentasi tentang
tempat area ditemukannya jenazah untuk membantu penelusuran korban
atau barang bukti lain.
2. Pemeriksaan dan pengumpulan data
a. Mengoleksi data post mortem/Collecting post mortem data
Data post mortem adalah data-data hasil pemeriksaan forensik
yang dilihat dan ditemukan pada jenazah korban. Kita harus mencatat
data data yang didapat pada jenasah selengkap lengkapnya. Mulai dari
cici-ciri umum, perkiraan umur, jenis kelamin, ras.
Pertama ambil foto keadaan jenasah secara utuh baik masih
menggunakan pakaian atau yang telah dilepas, kemudian lakukan
pemeriksaan fisik untuk melihat ciri-ciri fisik khusus yang ada pada

tubuh korban. Kemudian ambil sidik jari korban, lakukan pemeriksaan


radiologis gunanya yaitu untuk melihat apakah pada jenasah memiliki
tanda khusus pada bagian dalam tubuh, sperti pemasangan pen pada
patah tulang, dll. Setelah itu identifikasi gigi. Setelah semua itu
dilakukan cegah peruban pada jenasah. Pemeriksaan DNA pada
Korban juga harus dilakukan untuk membandingkan dengan pihak
keluarga korban
Body Tagging and Bagging
Pelabelan tubuh masing-masing dengan nomor identifikasi yang
unik, diikuti oleh penempatan di dalam kantong kedap air yang
dilakukan oleh tim DIV. DVI merancang sistem pelabelan yang terdiri
urutan angka berikut: telepon kode negara internasional-situs nomor (5-digit) tubuh nomor (misalnya 65-1-00123).
Fingerprinting
Forensic Pathology
Setiap tubuh berlabel diperiksa oleh tim 4-anggota DVI, yang
terdiri dari ahli patologi forensik, seorang teknisi anatomis, seorang
penulis, dan seorang fotografer. Dalam bencana massal hebat, tujuan
dari pemeriksaan post-mortem adalah untuk mendapatkan petunjuk
identitas dari para korban yang meninggal, bukan untuk menetapkan
penyebab kematian.
Forensic Dentistry
Ilmu gigi forensik terdiri 2 bagian: pemeriksaan gigi dan radiologi
gigi. Untuk memudahkan pemerikasaan dilakukan insisi bilateral dari
leher anterior atas ke bagian belakang telinga. Kulit dan jaringan di
bawahnya kemudian terdorong ke

atas seluruh wajah untuk

mengekspos rahang atas dan rahang bawah.


Pada bagian pemeriksaan gigi, 1 dokter gigi memeriksa gigi tetap,
sementara yang lain (juru tulis) mendokumentasikan hasilnya. Jumlah
tim bisa sampai dengan 4 orang.
Pertama gigi-gigi disikat bersih untuk dokumentasi fotografi. Foto

diambil dari pandangan frontal gigi anterior, dan pandangan oklusal


rahang atas dan bawah. Foto-foto ini diberi label dengan nomor tubuh.
Tim kemudian menulis catatan post-mortem gigi. Dokter gigi
melakukan pemeriksaan gigi dan melaporkannya untuk setiap jenis
gigi, dicatat dalam form DVI merah muda berpedoman interpol dental
charting system.
Selama pemeriksaan gigi, gigi-gigi tersebut akan dicocokan untuk
diidentifikasi untuk penyelidikan lebih lanjut mengunakan radiografi.
Gigi yang dipilih untuk di ekstraksi sebagai sumber DNA dari pulpa
adalah gigi geraham, karena pulpanya relatif lebih besar, gigi utuh
lainnya juga bisa dipilih.
Pada bagian radiologi gigi, odontologists bekerja berpasangan.
Satu dokter gigi akan melakukan prosedur x-ray gigi tetap, sementara
yang lain, mengirim film untuk diproses.
b. Mengoleksi data ante-mortem/Collecting ante mortem data
Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah
sebelum kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah
maupun orang yang terdekat dengan jenazah. Data yang diperoleh
dapat berupa foto korban semasa hidup, interpretasi ciri ciri spesifik
jenazah (tattoo, tindikan, bekas luka, dll), rekaman pemeriksaan gigi
korban, data sidik jari korban semasa hidup, sampel DNA orang tua
maupun kerabat korban, serta informasi informasi lain yang relevan
dan dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi, misalnya
informasi mengenai pakaian terakhir yang dikenakan korban.

3. Rekonsiliasi
Setelah mengumpulkan data post maupun ante-mortem, selanjutnya
dilakukan rekonsiliasi. Fase rekonsiliasi dapat berlangsung dengan cara:
-

Mengkoordinasikan rapat-rapat dalam penentuan identitas korban mati


antara unit TKP, unit postmortem dan unit antermortem

Mengumpulkan data-data korban yang dikenal untuk dikirim ke rapat

Membandingkan data antemortem dan postmortem yang telah


didapatkan

Check dan recheck hasil unit pembanding data

Mengumpulkan semua hasil identifikasi korban

Membuat sertifikat identifikasi, surat keterangan kematian untuk


korban

Mempublikasi yang benar dan terarah untuk rekonsiliasi agar dapat


membantu masyarakat

4. Rekonstruksi
Prinsip dari proses identifikasi adalah dengan membandingkan data
data korban (data Post Mortem) dengan data dari keluarga (data Ante
Mortem) atau yang dikenal dengan metode komparasi. Data gigi, sidik
jari, atau DNA secara tersendiri sudah dapat digunakan sebagai faktor
determinan primer, sedangkan data medis, property harus dikombinasikan
untuk dianggap sebagai ciri identitas yang pasti.
Identifikasi terhadap mayat dapat dikatakan positif apabila minimal
satu dari metode identifikasi primer adalah cocok atau jika tidak ada yang
cocok dari metode identifikasi primer, maka seluruh metode identifikasi
sekunder harus cocok. Penentuan identifikasi ini dilakukan di dalam rapat
rekonsiliasi. Adalah sangat penting untuk tetap memperhatikan file record
dan segala informasi yang telah dibuat untuk dikelompokkan dan disimpan
dengan baik. Dokumentasi berkas yang baik juga berkepentingan agar
pihak lain (Interpol misalnya) dapat melihat, mereview kasusnya,
sehingga menunjukkan bahwa proses identifikasi ini dikerjakan sesuai
prosedur dan berdasarkan prinsip ilmiah.
Setelah korban teridentifikasi sedapat mungkin dilakukan perawatan
jenazah yang meliputi antara lain:
a. perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah;
b. pengawetan jenazah (bila memungkinkan);
c. perawatan sesuai agama korban;
d. memasukkan dalam peti jenazah.
Kemudian jenazah diserahkan kepada keluarganya oleh petugas khusus
dari Tim Unit Rekonsiliasi berikut suratsurat yang diperlukan pencatatan
yang penting pada proses serah terima jenazah antara lain:
a. tanggal (hari, bulan, tahun) dan jamnya;
b. nomor registrasi jenazah;
c. diserahkan kepada siapa, alamat lengkap penerima, hubungan keluarga

dengan korban;
d. dibawa kemana atau akan dimakamkan di mana.
Salah satu keterbatasan yang akan timbul di lapangan adalah adanya
kemungkinan korban yang tak teridentifikasi. Hal ini mungkin saja
disebabkan seringkali begitu banyaknya laporan korban atau orang hilang
sedangkan yang diperiksa tidak sama jumlahnya seperti yang dilaporkan.
Apabila dalam proses tersebut ada yang tidak teridentifikasi, maka Tim
DVI Melakukan koordinasi dengan pihak terkait untuk melakukan
penguburan massal dengan beberapa ketentuan antara lain mayat harus
diambil sampel DNA nya terlebih dahulu dan dikuburkan dengan
dituliskan nomor label mayat pada bagian nisannya.
LO 6 Organisasi DVI
Disaster Victim Identification yang selanjutnya disingkat DVI adalah
kegiatan identifikasi terhadap korban mati akibat bencana yang dilakukan
secara ilmiah sesuai standar interpol dan dapat diper- tanggungjawabkan secara
hukum. DVI ini merupakan salah satu bidang yang dimiliki oleh Kepolisian
Republik Indonesia (POLRI). Pelaksana DVI ini adalah Pusat Kedokteran dan
Kesehatan POLRI (Pusdokkes POLRI) yang mempunyai peran sebagai unsur
pendukung dalam susunan organisasi mabes polri seperti yang termaktub dalam
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2010 Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Satuan Organisasi Pada
Tingkat Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 4,49 dan
57 (poin c) yang berisi sebagai berikut :
Pasal 4
Susunan organisasi Mabes Polri terdiri dari:
a. unsur pimpinan;
b. unsur pengawas dan pembantu pimpinan/pelayanan;
c. unsur pelaksana tugas pokok; dan
d. unsur pendukung.

Pasal 49
Unsur pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d, terdiri dari:
a. Lemdikpol;
b. Puslitbang Polri;
c. Puskeu Polri;
d. Pusdokkes Polri; dan
e. Pusjarah Polri.
Pasal 57
Susunan organisasi Pusdokkes Polri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf
d sebagai berikut:
c. Bidang Kedokteran Kepolisian (Biddokpol), terdiri dari:
1. Subbidang Kedokteran Forensik (Subbiddokfor);
2. Subbidang Disaster Victim Identification (Subbid DVI);
3. Subbidang

Kesehatan,

Keamanan

dan

Ketertiban

Masyarakat

(Subbidkeskamtibmas); dan
4. Urmin.
Kemudian DVI secara lanjut dijelaskan dalam Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Kedokteran Kepolisian Bagian Kedua Pasal 8, yang berbunyi :
Bagian Kedua
Disaster Victim Identification
Pasal 8
(1) Kegiatan DVI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dilaksanakan:
a. pada tingkat Mabes Polri oleh Pusdokkes Polri;
b. pada tingkat Polda oleh Bidang Kedokteran dan Kesehatan
(Biddokkes) Polda; dan
c. pada tingkat Polres oleh Urusan Kesehatan (Urkes) Polres.

(2) Untuk mendukung kegiatan DVI sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan kerjasama lintas sektor dan lintas fungsi melalui Komite DVI
Nasional Indonesia (INDIVIC/Indonesian National DVI Committee).
(3) Komite DVI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyelenggarakan DVI
secara berjenjang sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sebagai berikut:
a. tingkat Nasional oleh Komite DVI Nasional yang ditetapkan oleh
Keputusan Bersama Kapolri dan Menteri Kesehatan;
b. tingkat Regional oleh Komite DVI Regional yang ditetapkan oleh
Keputusan Bersama Kapolri dan Menteri Kesehatan;
c. tingkat Provinsi oleh Komite DVI Propinsi yang ditetapkan oleh
Keputusan Gubernur; dan
d. Provinsi yang belum memiliki Polda dilaksanakan oleh Komite DVI
Provinsi yang bertanggung jawab atas provinsi tersebut sesuai
ketentuan peraturan perundangan.
(4) Kemampuan Dokpol dalam kegiatan DVI meliputi:
a) Patologi Forensik;
b) Antropologi Forensik;
c) DNA profiling;
d) Odontologi forensik
e) Database DNA
f) Database Odontogram;
g) Toksikologi Forensik;
h) Farmasi Forensik;
i) Psikiatri Forensik;
j) Hukum Kesehatan; dan
k) Medikolegal.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis penyelenggaraan kegiatan
DVI diatur dengan Peraturan Kapusdokkes Polri.
Dari pasal diatas telah dijelaskan bagaimana pelaksanaan dari DVI itu
sendiri, siapa yang bertanggung jawab dan juga yang paling penting adalah pada
ayat (4) telah dijelaskan siapa saja yang diperlukan dalam tim DVI berdasarkan

pasal diatas, yakni berkaitan dengan bidang ilmu yang dibutuhkan. Penjelasan
mengenai bidang ilmu pada DVI adalah sebagai berikut:
a. Antropologi forensik bertugas untuk pemeriksaan tulang belulang
manusia serta pemeriksaan titik-titik antropologi manusia dalam
penentuan jenis kelamin korban, ras dan usianya.
b. Patologi forensik bertugas memeriksa keadaan korban dalam
penentuan sebab korban itu meninggal.
c. Odontologi forensik bertugas untuk memeriksa keadaan gigi geligi
dengan membandingkan data antemortem dan postmortem meliputi
rekam medik, hasil foto radiografi (bila ada), serta odontogram korban.
d. Ahli DNA bertugas mengidentifikasi korban berdasarkan sidik DNA,
sample DNA bisa berasal dari keluarga maupun dari barang yang
digunakan oleh korban semasa hidup.
e. Toksikologi forensik bertugas dalam menganalisis racun sebagai bukti
dalam tindak kriminal, mendeteksi dan mengidentifikasi konsentrasi
dari racun.
f. Farmasi forensik bertugas menganalisis apabila dicurigai korban
mengalami efek samping terhadap obat (pada kasus malpraktek).
Sehingga diketahui apakah kematian korban disebabkan oleh
kesalahan pengobata atau bukan.
g. Psikiatri forensik bertugas untuk menganalisis masalah psikologi yang
mendorong bagi seseorang untuk melakukn tindak kejahatan ataupun
bunuh diri.
Selain yang disebutkan diatas, ada beberapa bidang ahli yang juga terlibat
yaitu fotografer, radiologist, dan interview team untuk mengumpulkan data
antemortem dari keluarga.
LO 7 Manajemen Praktik dalam Persiapan Data Antemortem
Rekam medik merupakan salah satu benda/data penting yang menjadi
bagian keperluan data antemortem. Setiap praktik dokter/dokter gigi wajib

membuat rekam medic pasien yang berkunjung. Kewajiban pembuatan rekam


medik tercantum dalam UU nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran.
Bagian Ketiga
Pemberian Pelayanan
Paragraf 3
Rekam Medis
Pasal 46
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran
wajib membuat rekam medis.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera
dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.
(3) Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan
petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan.
Pasal 47
(1) Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan
milik dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi
rekam medis merupakan milik pasien.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan
dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana
pelayanan kesehatan.
(3) Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Dalam

Peraturan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

nomor

269/Menkes/Per/III/2008 tentang rekam medic juga telah diatur bahwa informasi


di dalam rekam medic dapat dibuka untuk keperluan forensik.
Pasal 10
(2) Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan
dan riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal:
a. Untuk kepentingan kesehatan pasien;
b. Memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum atas perintah pengadilan;
c. Permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri;

d. Permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan;


dan
e. Untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang
tidak menyebutkan identitas pasien.
Data rekam medic asli harus diserahkan kepada Interpol jika diperlukan
untuk keperluan identifikasi. Dalam DVI guide, Interpol menyarankan setiap
rekam medic yang diserahkan dibuat salinan sebagai dokumentasi yang disimpan
oleh dokter/klinik.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen

Kesehatan

Republik

Indonesia.

2007.

Pedoman

Teknis

Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana (mengacu pada


standar internasional). Jakarta : Depkes RI.
Hastry Sumy. 2013. Ilmu Kedokteran Forensik untuk Kepentingan Penyidik.
Jakarta : Rayyana Komunikasindo
Hoediyanto, et al. 2012. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Surabaya :
Departemen Ilmu Forensik Kedokteran dan Medikolegal Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga
Interpol. 2014. INTERPOL Disaster Victim Identification Guide.
Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 59, Nomor: 7, Juli 2009. Otopsi Virtual
oleh Dedi Afandi Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Riau.
Peraturan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269 tahun 2008
tentang Rekam Medis.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010
Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Satuan Organisasi Pada
Tingkat Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Kedokteran Kepolisian.
UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

Anda mungkin juga menyukai