4. Odontologi forensik :
Ilmu yang menggunakan barang bukti gigi sebagai penegakan keadilan.
5. DVI (Disaster Victim Identification) :
Suatu tahapan yang telah terstandar oleh interpol untuk mengidentifikasi
bencana massal.
6. Antropologi forensik :
Ilmu yang mempelajari tentang tulang dan bentuk ciri khas manusia yang
digunakan sebagai penegakan hukum.
7. Ahli DNA :
Seseorang yang berkompeten dalam identifikasi materi genetik untuk
menentukan kekerabatan seseorang.
8. Postmortem :
Data-data fisik yang ditemukan pada korban yang dapat berupa data
primer maupun data sekunder.
STEP 2
1. Bagaimana peran patologi forensik pada kasus di skenario?
2. Apa saja 5 tahapan dalam DVI? Jelaskan!
3. Siapa pihak yang berwenang dalam manajemen korban?
4. Bagaimana cara membedakan kewarganegaraan korban?
5. Apa yang harus diperhatikan dalam bencana massal apabila banyak warga
negara? Bagaimana peran odontologi forensik, antropologi forensik dan
ahli DNA?
6. Apa saja data yang termasuk dalam antemortem dan postmortem?
7. Ilmu apa saja yang dapat membantu proses identifikasi korban?
8. Bagaimana wewenang dokter gigi sebagai ahli dari odontologi forensik
dalam tim DVI?
9. Mengapa pemeriksaan gigi dapat menentukan umur korban?
10. Apa saja pemeriksaan yang dilakukan pada gigi korban?
11. Apa saja isi odontogram yang berkaitan dengan identifikasi korban?
12. Bidang ahli apa saja yang berperan dalam tim DVI?
Korban manusia
Persiapan
Lokasi
Evakuasi
Pemerintah
Penegak hukum
Pemerintah Negara
Tim SAR
Transportasi
- Scene
- Recovery
- Pengelolaan korban
Antemortem
Keluarga
Property
Ciri khas
Foto
Darah
drg
dr
Postmortem
Luka
Instansi terkait
Patologi forensik
Odontologi forensik
Antropologi
DNA
Manajemen praktik
Data primer
Data sekunder
- Finger print
- DNA
- Gigi
Property
Rekonsiliasi data
Interpretasi korban
Cocok
STEP 5
Tidak cocok
Penyimpanan
Dikuburkan
Fotograf
baik
sementara
maupun
berdasarkan
penetapan
perintah
tim forensik dapat menentukan bagaimana serangan yang diterima korban dan alat
yang digunakan untuk membacok.
Luka bakar
Luka bakar atau cedera panas ini mungkin terjadi setelah kerusakan dalam
pengontrolan suhu tubuh atau, secara umum, dari kejadian panas eksternal. Pada
umumnya jaringan tubuh manusia dapat betahan hanya dalam kisaran suhu yang
relative sempit, sekisar 20-40C. ketika panas eksternal terjadi, kerusakan yang
luas tergantung pada :
1.
mengetahui jenis bahan peledakj yang digunakan berapa jauh lokasi pusat ledakan
dari korban. Serta dapat mengetahui apakah ledakan ini terpusat atau tersebar
Luka tembak
Luka tembak merupakan luka yang disebabkan oleh senjata api. Bentuk
luka yaitu bulat dan biasanya disertai bentukan bintang disekitar luka yang
terbentuk dari bubuk meseu yang terdapat di peluru tersebut. Dengan
mengidentifikasi luka tembak ini tim forensic akan dapat mengetahui jenis senjata
atau peluru yang digunakan. Serta jarak tembak yang dilakukannya.
Berikut contoh gambar macam-macam luka :
b. Luka tusukan
c. Luka bakar
d. Luka tembak
e. Luka bacokan
LO 3 Otopsi
Otopsi adalah pemeriksaan post-mortem, atau pemeriksaan yang dilakukan
pada tubuh korban yang telah meninggal. Berdasarkan tujuannya, otopsi
diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu:
1. Otopsi Mediko-legal atau Otopsi Forensik
Pemeriksaan ini dilakukan pada korban yang diduga mendapat kekerasan,
korban dengan kematian mencurigakan dan tiba-tiba, korban yang meninggal
karena kesalahan, kelalaian, atau tindakan pembunuhan. Tubuh korban
diperiksa secara eksternal maupun internal untuk menemukan penyebab
kematian, cara kematian dan waktu kematian. Hasil pemeriksaan akan dibuat
dalam bentuk laporan tertulis yang disebut visum et repertum untuk
kepentingan hukum atau justitia. Selain itu, otopsi ini dilakukan untuk
mengidentifikasi identitas seseorang. Salah satu tahapan dalam DVI adalah
identifikasi korban dengan membandingkan data ante-mortem dan postmortem.
Terdapat dasar hukum yang mendasari otopsi, yaitu KUHAP Pasal 133,
134 dan 179.
Pasal 133
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani
seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga
karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
Pasal 134
(1) Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian
bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib
memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.
(2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan
dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu
dilakukannya pembedahan tersebut.
Pasal 179
(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakirnan atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan
ahli demi keadilan.
(2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka
yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka
mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang
sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam
bidang keahliannya.
2. Otopsi Klinis/Patologis
Otopsi yang dilakukan untuk mendiagnosa penyakit tertentu yang
menyebabkan kematian seseorang. Otopsi yang dilakukan contohnya
berupa pemeriksaan HPA jaringan dan sero-imun. Otopsi ini dilakukan
untuk memberikan informasi dan petunjuk berupa patogenesis suatu
penyakit yang berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Otopsi ini
dapat dilakukan untuk meneliti pola penyakit terutama modifikasimodifikasi untuk strategi terapi terbaru.
3. Otopsi Anatomis
Otopsi ini dilakukan dengan tujuan akademik atau pembelajaran. Biasanya
korban telah memberikan izin sebelumnya bahwa tubuhnya dapat digunakan
untuk kepentingan pendidikan. Kadaver yang tidak teridentifikasi dalam
waktu yang lama dari kepolisian atau rumah sakit juga dapat diserahkan ke
instansi yang berwenang menjalankan pendidikan medis untuk diotopsi.
Ada 2 cara yang dilakukan untuk otopsi, yaitu:
a. Otopsi konvensional
Pada otopsi konvensional dilakukan diseksi (pemotongan) pada
jaringan tubuh.
b. Otopsi virtual
Otopsi virtual tidak memerlukan diseksi (pemotongan) jaringan tubuh,
melainkan menggunakan alat-alat diagnostik canggih untuk melihat
kelainan yang terjadi dalam organ-organ dalam Pada otopsi virtual tidak
diperlukan pembukaan rongga-rongga badan dan maupun pemotongan
jaringan
tubuh.
Dengan
menggunaan
teknik
pemindaian
yang
didirikan pos pusat komunikasi dan koordinasi yang biasanya bertempat pada
POLRES atau POLSEK terdekat atau tempat lainnya yang dekat dengan tempat
kejadian bencana. Pendirian pos ini bertujuan untuk :
Pada TKP bencana biasanya banyak massa yang terlibat, baik yang ingin
menolong maupun yang hanya ingin memenuhi rasa keingintahuannya terhadap
kejadian yang terjadi. Massa yang seperti ini dapat mengganggu jalannya operasi
penyelamatan, maka diperlukan adanya pengamanan TKP bencana. Tim
pengamanan TKP terdiri dari Pemda setempat dan TNI/POLRI. Dalam melakukan
pengamanan, TNI/POLRI membuat pagar pembatas atau police line sehingga
tidak sembarang orang dapat masuk ke TKP, serta menyediakan jalur akses yang
terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan dan menyediakan petugas yang
bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja yang memiliki akses untuk masuk
ke TKP.
Setelah itu dilakukan pembuatan sektor-sektor atau zona pada TKP sesuai
dengan situasi dan kondisi geografis, memberikan tanda pada setiap sektor, serta
membuat sketsa dan foto setiap sektor. Pada korban meninggal yang ditemukan,
tahapan yang dilakukan antara lain :
3. Rekonsiliasi
Setelah mengumpulkan data post maupun ante-mortem, selanjutnya
dilakukan rekonsiliasi. Fase rekonsiliasi dapat berlangsung dengan cara:
-
4. Rekonstruksi
Prinsip dari proses identifikasi adalah dengan membandingkan data
data korban (data Post Mortem) dengan data dari keluarga (data Ante
Mortem) atau yang dikenal dengan metode komparasi. Data gigi, sidik
jari, atau DNA secara tersendiri sudah dapat digunakan sebagai faktor
determinan primer, sedangkan data medis, property harus dikombinasikan
untuk dianggap sebagai ciri identitas yang pasti.
Identifikasi terhadap mayat dapat dikatakan positif apabila minimal
satu dari metode identifikasi primer adalah cocok atau jika tidak ada yang
cocok dari metode identifikasi primer, maka seluruh metode identifikasi
sekunder harus cocok. Penentuan identifikasi ini dilakukan di dalam rapat
rekonsiliasi. Adalah sangat penting untuk tetap memperhatikan file record
dan segala informasi yang telah dibuat untuk dikelompokkan dan disimpan
dengan baik. Dokumentasi berkas yang baik juga berkepentingan agar
pihak lain (Interpol misalnya) dapat melihat, mereview kasusnya,
sehingga menunjukkan bahwa proses identifikasi ini dikerjakan sesuai
prosedur dan berdasarkan prinsip ilmiah.
Setelah korban teridentifikasi sedapat mungkin dilakukan perawatan
jenazah yang meliputi antara lain:
a. perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah;
b. pengawetan jenazah (bila memungkinkan);
c. perawatan sesuai agama korban;
d. memasukkan dalam peti jenazah.
Kemudian jenazah diserahkan kepada keluarganya oleh petugas khusus
dari Tim Unit Rekonsiliasi berikut suratsurat yang diperlukan pencatatan
yang penting pada proses serah terima jenazah antara lain:
a. tanggal (hari, bulan, tahun) dan jamnya;
b. nomor registrasi jenazah;
c. diserahkan kepada siapa, alamat lengkap penerima, hubungan keluarga
dengan korban;
d. dibawa kemana atau akan dimakamkan di mana.
Salah satu keterbatasan yang akan timbul di lapangan adalah adanya
kemungkinan korban yang tak teridentifikasi. Hal ini mungkin saja
disebabkan seringkali begitu banyaknya laporan korban atau orang hilang
sedangkan yang diperiksa tidak sama jumlahnya seperti yang dilaporkan.
Apabila dalam proses tersebut ada yang tidak teridentifikasi, maka Tim
DVI Melakukan koordinasi dengan pihak terkait untuk melakukan
penguburan massal dengan beberapa ketentuan antara lain mayat harus
diambil sampel DNA nya terlebih dahulu dan dikuburkan dengan
dituliskan nomor label mayat pada bagian nisannya.
LO 6 Organisasi DVI
Disaster Victim Identification yang selanjutnya disingkat DVI adalah
kegiatan identifikasi terhadap korban mati akibat bencana yang dilakukan
secara ilmiah sesuai standar interpol dan dapat diper- tanggungjawabkan secara
hukum. DVI ini merupakan salah satu bidang yang dimiliki oleh Kepolisian
Republik Indonesia (POLRI). Pelaksana DVI ini adalah Pusat Kedokteran dan
Kesehatan POLRI (Pusdokkes POLRI) yang mempunyai peran sebagai unsur
pendukung dalam susunan organisasi mabes polri seperti yang termaktub dalam
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2010 Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Satuan Organisasi Pada
Tingkat Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 4,49 dan
57 (poin c) yang berisi sebagai berikut :
Pasal 4
Susunan organisasi Mabes Polri terdiri dari:
a. unsur pimpinan;
b. unsur pengawas dan pembantu pimpinan/pelayanan;
c. unsur pelaksana tugas pokok; dan
d. unsur pendukung.
Pasal 49
Unsur pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d, terdiri dari:
a. Lemdikpol;
b. Puslitbang Polri;
c. Puskeu Polri;
d. Pusdokkes Polri; dan
e. Pusjarah Polri.
Pasal 57
Susunan organisasi Pusdokkes Polri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf
d sebagai berikut:
c. Bidang Kedokteran Kepolisian (Biddokpol), terdiri dari:
1. Subbidang Kedokteran Forensik (Subbiddokfor);
2. Subbidang Disaster Victim Identification (Subbid DVI);
3. Subbidang
Kesehatan,
Keamanan
dan
Ketertiban
Masyarakat
(Subbidkeskamtibmas); dan
4. Urmin.
Kemudian DVI secara lanjut dijelaskan dalam Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Kedokteran Kepolisian Bagian Kedua Pasal 8, yang berbunyi :
Bagian Kedua
Disaster Victim Identification
Pasal 8
(1) Kegiatan DVI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dilaksanakan:
a. pada tingkat Mabes Polri oleh Pusdokkes Polri;
b. pada tingkat Polda oleh Bidang Kedokteran dan Kesehatan
(Biddokkes) Polda; dan
c. pada tingkat Polres oleh Urusan Kesehatan (Urkes) Polres.
(2) Untuk mendukung kegiatan DVI sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan kerjasama lintas sektor dan lintas fungsi melalui Komite DVI
Nasional Indonesia (INDIVIC/Indonesian National DVI Committee).
(3) Komite DVI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyelenggarakan DVI
secara berjenjang sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sebagai berikut:
a. tingkat Nasional oleh Komite DVI Nasional yang ditetapkan oleh
Keputusan Bersama Kapolri dan Menteri Kesehatan;
b. tingkat Regional oleh Komite DVI Regional yang ditetapkan oleh
Keputusan Bersama Kapolri dan Menteri Kesehatan;
c. tingkat Provinsi oleh Komite DVI Propinsi yang ditetapkan oleh
Keputusan Gubernur; dan
d. Provinsi yang belum memiliki Polda dilaksanakan oleh Komite DVI
Provinsi yang bertanggung jawab atas provinsi tersebut sesuai
ketentuan peraturan perundangan.
(4) Kemampuan Dokpol dalam kegiatan DVI meliputi:
a) Patologi Forensik;
b) Antropologi Forensik;
c) DNA profiling;
d) Odontologi forensik
e) Database DNA
f) Database Odontogram;
g) Toksikologi Forensik;
h) Farmasi Forensik;
i) Psikiatri Forensik;
j) Hukum Kesehatan; dan
k) Medikolegal.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis penyelenggaraan kegiatan
DVI diatur dengan Peraturan Kapusdokkes Polri.
Dari pasal diatas telah dijelaskan bagaimana pelaksanaan dari DVI itu
sendiri, siapa yang bertanggung jawab dan juga yang paling penting adalah pada
ayat (4) telah dijelaskan siapa saja yang diperlukan dalam tim DVI berdasarkan
pasal diatas, yakni berkaitan dengan bidang ilmu yang dibutuhkan. Penjelasan
mengenai bidang ilmu pada DVI adalah sebagai berikut:
a. Antropologi forensik bertugas untuk pemeriksaan tulang belulang
manusia serta pemeriksaan titik-titik antropologi manusia dalam
penentuan jenis kelamin korban, ras dan usianya.
b. Patologi forensik bertugas memeriksa keadaan korban dalam
penentuan sebab korban itu meninggal.
c. Odontologi forensik bertugas untuk memeriksa keadaan gigi geligi
dengan membandingkan data antemortem dan postmortem meliputi
rekam medik, hasil foto radiografi (bila ada), serta odontogram korban.
d. Ahli DNA bertugas mengidentifikasi korban berdasarkan sidik DNA,
sample DNA bisa berasal dari keluarga maupun dari barang yang
digunakan oleh korban semasa hidup.
e. Toksikologi forensik bertugas dalam menganalisis racun sebagai bukti
dalam tindak kriminal, mendeteksi dan mengidentifikasi konsentrasi
dari racun.
f. Farmasi forensik bertugas menganalisis apabila dicurigai korban
mengalami efek samping terhadap obat (pada kasus malpraktek).
Sehingga diketahui apakah kematian korban disebabkan oleh
kesalahan pengobata atau bukan.
g. Psikiatri forensik bertugas untuk menganalisis masalah psikologi yang
mendorong bagi seseorang untuk melakukn tindak kejahatan ataupun
bunuh diri.
Selain yang disebutkan diatas, ada beberapa bidang ahli yang juga terlibat
yaitu fotografer, radiologist, dan interview team untuk mengumpulkan data
antemortem dari keluarga.
LO 7 Manajemen Praktik dalam Persiapan Data Antemortem
Rekam medik merupakan salah satu benda/data penting yang menjadi
bagian keperluan data antemortem. Setiap praktik dokter/dokter gigi wajib
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
nomor
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia.
2007.
Pedoman
Teknis