sama, (8) hak untuk istirahat dan keluangan (leisure), (9) hak memperoleh
tingkat hidup yang memadai, (10) hak anak-anak, (11) hak pendidikan, (12)
hak ambil bagian dalam kegiatan budaya masyarakat, dan (13) hak atas
ketertiban sosial dan internasional.
Sekalipun bukanlah sebuah perjanjian (treaty)sehingga tidak
punya kekuatan hukum dalam suatu masyarakat, namun DUHAM telah
digunakan oleh berbagai pemerintahan dan badan-badan internasional
untuk menilai seberapa jauh HAM diperhatikan di seluruh dunia. Di antara
badan internasional yang bisa dicatat di sini adalah Human Rights Watch,
yang berkantor pusat di Amerika Serikat.
Human Rights Watch (HRW) adalah sebuah LSM yang sangat
penting, memfokuskan diri pada perlindungan hak-hak asasi manusia.
Dimulai 1978 dengan didirikannya Helsinki Watch, yang memantau
ketaatan negara-negara Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada, pada prinsipprinsip hak asasi manusia yang telah disepakati dalam persetujuan Helsinki.
Sekarang Human Rights Watch memunyai 5 divisi di Afrika, Amerika, Asia
dan Timur Tengah, ditambah penandatangan Helsinki Watch. Mereka
melakukan 5 proyek pengawasan atas perdagangan senjata, hak-hak anakanak, kebebasan berekspresi, keadaan-keadaan penjara, dan hak-hak kaum
perempuan. Sekarang Human Right Watch mempunyai kantor-kantor utama
di New York City, Washington D.C., Los Angeles, London, Brussel,
Moskow, Dushanbe, Hongkong, dan Rio de Janeiro. Organisasi ini
menerbitkan Human Rights Watch World Report, setiap Januari yang berisi
uraian mengenai perkembangan pelaksanaan HAM di 70 negara. Sebagai
catatan, tahun lalu HRW menyoroti secara khusus masalah kekerasan
terhadap minoritas agama di Indonesia. Selain itu juga diterbitkan berbagai
laporan yang mengetengahkan masalah khusus HAM, terutama dalam
pencarian fakta pelaksanaan HAM di seluruh dunia.
Komitmen atas HAM
Konstitusi menyediakan kerangka legal yang dalam lingkupnya
pemerintahan diharapkan berjalan. Mempunyai konstitusi berarti bahwa
semua warga negara bahkan juga para pejabat, polisi dan hakim harus taat
kepada hukum negara. Jika pemerintahan menempatkan dirinya di atas
hukum dan bertindak melanggar hukum, konstitusi menjadi rusak. Malah
mungkin konstitusi itu menjadi seperti tidak ada. Hal seperti itu biasanya
terjadi dalam suatu negara yang diperintah dengan sistem satu partai, atau
didominasi oleh satu partai. Jika hal itu terjadi, maka warganegara hanya
menjadi rakyat taklukan. Hak-haknya dipunyai hanya sebagai pemberian
pemerintah, dan tanggung jawab dipaksakan atas mereka, bukannya
dilakukan dengan kebebasan.
Semua bangsa mengalami proses panjang dan tidak mudah dalam
meningkatkan hak-hak asasi dalam kesadaran umum kepada nilai-nilainya.
Inggris harus melewati masa berabad-abad sebelum semuanya menjadi
mantap. Inggris tidak punya konstitusi seperti Amerika. Tetapi rakyat
Inggris sadar akan hak-hak asasi mereka, antara lain melalui tindakan
legislatif parlemen, atau berdasarkan perkembangan hukum umum.
Statuta hak-hak sipil yang penting ialah Habeas Corpus Act 1679
dan Bill of Rights tahun 1689. Dengan kedua statuta itu dan ketentuan-
DUHAM menjadi problematis jika syariat Islam dipandang sebagai hukum Ilahi
yang absolut, yang diobjektivasi dan kemudian dipromosikan sebagai hukum yang
mengikat masyarakat, basis hukum negara Islambukan sebagai aturan atau nilainilai moral yang terbatas pada masyarakat yang mempercayainya.
Sebenarnya pernyataan yang lebih prinsipil bukanlah memang ada
ide universal tentang manusia dan kemanusiaan (yang ada pada para
pembela DUHAM, jadi sebaliknya dari para pendukung segi lokal dan
kultural), tetapi sejauh mana kebenaran klaim universal konsep-konsep
modern tersebut yang kenyataannya diproduksi di kalangan negaranegara Barat.
Apakah Barat memang dengan sendirinya universal, sehingga setiap produk sosialkulturalnya dengan sendirinya berlaku untuk semua tempat dan waktu?
Apakah Barat itu sedemikian uniknya, sehingga apa pun yang terdapat di sana,
khususnya segi-segi keunggulan, dan perkembangan kemajuannya, tidak dapat
ditiru atau diterapkan di tempat lain?
Kaum sofinis (chauvinist) Timur akan menjawab tidak kepada
pertanyaan pertama, sambil menegaskan bahwa produk-produk sosialkultural di Barat bersifat khas lingkungan sosial-kulturalnya, jadi benarbenar bersifat Barat semata tanpa dengan sendirinya berlaku untuk
lingkungan sosial-kultural lain, khususnya Timur. Argumen ini dipakai
oleh pemikir Muslim yang menolak DUHAM. Tetapi persoalan menjadi
rumit karena jika pertanyaan kedua dijawab tidak maka semua gejala
modern dalam banyak segi kehidupan bangsa-bangsa bukan bukan-Barat
menjadi tidak punya pijakan atau tidak sah, seperti berbagai bentuk
pengaturan sosial-politik dalam bentuk lembaga-lembaga konstitusi,
parlemen, pemilihan umum, sistem pengadilan, dan seterusnya (dan
masalah inilah yang tidak terpecahkan ketika beberapa negara Islam
menerapkan syariat Islam, karena rupanya syariat Islam tidak pernah
memadai untuk menjalankan sistem politik modern). Dan yang paling
mencolok ialah, tentu saja, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Lebih jauh, tentu terdengar aneh bahwa kaum chauvinist Barat juga
akan menjawab tidak kepada pertanyaan pertama dan ya kepada
pertanyaan kedua. Suatu jawaban yang menegaskan keunikan Barat
sehingga, seperti tergambarkan dalam ungkapan Rudyard Kipling yang
terkenal, Barat adalah Barat dan Timur adalah Timur, dan saudara kembar
itu tidak akan bertemu.
Maka mengambil contoh debat DUHAM di Dunia Islam, tanggapan
dengan argumen seperti kaum chauvinist Timur (yang Islam), al-Burudi,
wakil Saudi Arabia dalam perdebatan sebelum pengesahan DUHAM
menegaskan bahwa pola budaya yang dominan di Barat seringkali
bertentangan dengan pola budaya yang dominan di negara Timur. Ia juga
menegaskan bahwa istilah martabat dan hak-hak dalam pasal pertama
DUHAM bersifat subjektif, karena setiap negara akan mempunyai
penafsirannya sendiri.
Maka menarik bahwa pandangan Saudi Arabia itu, makin dipertegas
pada 15 Juni 1970, ketika pemerintah Saudi Arabia menerbitkan
memorandum mengenai HAM dalam Islam, dan aplikasinya di negara
tersebut. Dan isinya berbeda dengan DUHAM yang berisi formula moral,
memorandum tersebut lebih banyak berisi preskripsi dan perintah yang
pasti. Dan di antaranya dikemukakan persoalan larangan pernikahan antara
perempuan Muslim dan laki-laki non-Muslim, dan pernikahan laki-laki
Muslim dengan perempuan politeis (musyrik), dimana pandangan ini
bertentangan dengan pasal 16 DUHAM. Alasan memorandum itu adalah
demi mempertahankan keluarga dari kehancuran. Hal kedua yang mencolok
dari memorandum itu adalah larangan bagi seorang Muslim untuk pindah
agama (bertentangan dengan pasal 18 DUHAM). Bolehnya pindah agama
dalam HAM dianggap sebagai cara yang dapat menimbulkan kekacauan
agama di muka bumi.
Melihat perkembangan kemanusiaan di Barat, dan bagaimana
respon dari sebagian umat Islam atau perkembangan tersebut, Munawir
Sjadzli memberi komentar: Perkembangan di negara-negara Barat yang
dulu tertinggal oleh Dunia Islam itu sekarang ini sangat pesat dan berada
jauh di depan negara-negara Islam. Munawir menegaskan, hal tersebut
karena negara-negara Barat terus mencari dengan memanfaatkan akal budi
yang merupakan pemberian Tuhan yang paling utama kepada umat
manusia. Sementara itu pengembangan intelektual dalam dunia Islam boleh
dikatakan sudah sejak lama berhenti. Para pemikir Muslim sekarang tampak
jera untuk berani berpikir. Islam yang dulu di tangan Nabi merupakan
ajaran yang revolusioner, sekarang mewakili aliran yang terbelakang.
Malah out-dated
Maka berkaitan dengan pikiran mengenai kemanusiaan, saya
menyimpulkan jika pemikiran Islam seperti ini (yang dikemukakan dalam
penolakan terhadap DUHAM di atas), tidak dapat diharapkan mampu
memberi sumbangan kepada peradaban dunia di zaman dimana kita hidup
sekarang ini. Bahkan lebih dari itu, Islam juga terancam tidak dapat ikut
berbicara mengenai peradaban mutakhir.
Respon Positif Pemikir Muslim atas DUHAM
10
11
Penutup
Mengakhiri tulisan ini, menarik memperhatikan refleksi dari
Pangeran Sadruddin Aga Khan, pemikir HAM dan Islam dari Iran, yang
mencoba merenungkan setelah lebih dari 60-tahun DUHAM, ternyata
masih begitu banyak hal yang harus dikerjakan.
Seperti kita ketahui DUHAM yang disepakati bersama secara
universal pada 10 Desember 1948, tujuannya adalah untuk membangun
dunia yang lebih baik. Tetapi rupanya aspirasi yang telah dipadatkan dalam
30 pasal itu, pada umumnya belum terpenuhi secara maksimal. Aga Khan
menyebut misalnya hak untuk hidup, untuk memperoleh tingkat kehidupan
yang layak, kebebasan berpendapat, perlindungan dari penyiksaan,
perlakuan yang tidak manusiawi, bahkan pembebasan dari penahanan yang
sewenang-wenang, masih jauh realisasinya. Kita hampir setiap hari
membaca berita tentang pelanggaran HAM di seluruh bagian dunia ini. Dan
penilaian tentang kondisi HAM itu masih sangat memprihatinkan. Terutama
di Negara-negara miskin. Sementara kita juga mendapati pada negaranegara kaya suatu ketidak pedulian akan kemakmuran yang lebih besar
pada semua orang, termasuk di dalamnya soal keadilan universal dan
perdamaian. Sementara setiap tahun juga perlombaan persenjataan semakin
besar, eksploitasi terhadap sumber-sumber alam semakin parah. Sehingga
semua masalah HAM ini membuat kita bertanya, Apakah kita telah
membuat sebuah standar yang tidak pernah akan tercapai pelaksanaannya?
Mengapa setelah 60 tahun, kita belum juga mempunyai kemampuan meraih
dunia yang penuh perdamaian, pembangunan dan keadilan. Halangan apa
yang ada, sehingga tujuan tersebut belum lagi tercapai. Setelah lebih dari 60
tahun, ada kerinduan untuk menggali lebih dalam makna yang tertulis
dalam DUHAM itu, dan apa inspirasi yang kita peroleh dari sana, bagi
terwujudnya dunia yang lebih baik di masa mendatang.
Keadaan kita di dunia dewasa ini, sepertinya kita hidup dalam suatu
periode dimana kita telah meninggalkan masa lalu, tetapi belum
sepenuhnya memahami dunia esok. Dunia macam apa yang akan ada di
masa depan, kalau kita melihat kenyataan dewasa ini, dunia semakin keras
dan mengarah pada peperangan, dimana 25 juta orang laki-laki dan
perempuan, bahkan anak-anak telah menjadi bagian dari kerasnya
peperangan, dan 100 juta yang lain, juga terlibat dalam peperangan itu
secara tidak langsung. Sementara kita juga tahu, pengeluaran anggaran
militer sekarang ini, sekitar US 2 juta dollar setiap menitnya!. Setelah PD
II, masih ada 25 peperangan besar dan kecil, yang telah menyebabkan
kematian 3 juta orang, dimana 4/5-nya adalah sipil. Sementara penggunaan
senjata kimia telah begitu mengkhawatirkan, selain telah melukai banyak
orang, juga telah merusak ekosisistem (lingkungan). Juga jumlah pengungsi
yang semakin meningkat, yang diperkirakan sekarang berjumlah 13 juta
orang, dan kebanyakan dari mereka tidak mendapat perlindungan UNHCR
PBB.
Sementara anak-anak, adalah kelompok masyarakat yang paling
menderita, mereka adalah korban pertikaian akibat perang bersenjata,
kelaparan, dan bencana alam. Ketika UN Declaration on the Rights of the
Child mengemukakan, bahwa umat manusia berkewajiban memberikan
12
13
Lampiran:
Elemen Hak Kebebasan Beragama dalam HAM
Elemen dari hak kebebasan beragama adalah: internal freedom (kebebasan
internal), noncoercion (tanpa dipaksa), nondiscrimination (tanpa
diskriminasi) dan nonderogability (tidak dapat dikurangi). Elemen-elemen
ini perlu didiskusikan secara filosofis, teologis maupun sosiologis, termasuk
konteks persoalan kebebasan beragama di Indonesia. Beberapa catatan
kesimpulan hal tersebut dari keseluruhan workshop ini:
Kebebasan internal: Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir,
berkesadaran dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk setiap
orang memiliki, menganut, mempertahankan atau pindah agama atau
keyakinan.
Kebebasan eksternal: Setiap orang mempunyai kebebasan, baik sendiri
atau bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau tertutup, untuk
menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran,
pengamalan, ibadah dan penaatan (devotion).
Tanpa dipaksa: Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu
kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau keyakinannya
sesuai dengan pilihannya.
Hak orang tua dan wali: Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan
orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa
pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan
mereka sendiri, selaras dengan kewajiban untuk melindungi hak atas
kebebasan beragama atau berkeyakinan setiap anak seiring dengan kapasitas
anak yang sedang berkembang.
14
Sedikit Biodata:
Budhy Munawar-Rachman, adalah Dosen filsafat dan ilmu-ilmu agama pada
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan Universitas Paramadina. Program
Officer The Asia Foundation untuk isu Hak Asasi Manusia dan Kebebasan
Beragama (sejak 2005-sekarang). Menyelesaikan pendidikan Doktoral di STF
Driyarkara. Pernah bekerja sebagai Direktur Lembaga Studi Agama dan
Filsafat (LSAF) (1993-1995), Direktur Pusat Studi Islam Yayasan Paramadina
(2000-2004), dan dosen tetap dalam bidang filsafat dan Ilmu agama-agama
(religious studies) di Universitas Paramadina (1999-2005), Direktur Center for
the Spirituality and Leadership Project on Pluralism (2004-2006) yang salah
satu pekerjaannya adalah memimpin penyuntingan dan penerbitan Ensiklopedi
Nurcholish Madjid (2008). Menulis buku diantaranya Islam Pluralis (2000),
Fikih Lintas Agama (co-Author, 2003), Sekularisme, Liberalisme dan
Pluralisme (2010), Argumen Islam untuk Sekularisme (2010), Argumen Islam
untuk Liberalisme (2010), Argumen Islam untuk Pluralisme (2010), Islam
Liberal (2011), dan menyunting Ensiklopedi Al-Qur'an M. Dawam Rahardjo
(1998), Ensiklopedi Dunia Islam (2005), Ensiklopedi Islam untuk Anak (2006).
Baru-baru ini menerbitkan 3 jilid buku twitter Nurcholish Madjid A-Z
@fileCaknur (2013), 4 jilid Pendidikan Karakter (2014), dan 4 jilid buku
Membela Kebebasan Beragama (2014) yang merupakan hasil wawancara
dengan 70 tokoh Islam progresif dan antaragama. Juga menulis karangan
kontribusi dalam lebih dari 50 buku dan jurnal.
15
16