Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN
I.

Latar Belakang
Prolapsus alat-alat genitalia dapat disamakan dengan suatu hernia, di mana

suatu organ genitalia turun ke dalam vagina, bahkan bila mungkin ke luar dari liang
vagina. Keadaan ini sebagian besar dikarenakan kelemahan dari otot-otot, fascia dan
ligamentum-ligamnetum penyokongnya. Prolapsus genitalia ini secara umum dapat
berupa prolapsus vagina dan atau prolapsus uteri.1,2
Prolapsus genitalia yang sering ditemukan adalah Pelvic Organ Prolapse
(POP) yaitu prolapsus uteri, uterosistokel, sistokel, atau rektokel. Uretrokel saja
jarang terjadi, sedangkan enterokel lebih sering ditemukan terutama pada pasienpasien pasca tindakan histerektomi. Kasus ini sering terdapat pada wanita dengan
paritas yang tinggi dan 40% dari mereka membutuhkan tindakan pengobatan dan
kasus ini jarang sekali ditemukan pada seorang wanita nullipara.1,4,5
Diperkirakan 50% dari wanita yang telah melahirkan akan menderita
prolapsus genitalia dan hampir 20% kasus ginekologi yang menjalani operasi adalah
akibat kasus prolapsus genitalia. Angka ini akan terus meningkat jumlahnya akibat
usia harapan hidup wanita Indonesia yang terus meningkat.1
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Losif dan Bekazzy (1984)
ditemukan hampir 50% wanita terutama wanita pasca menopause yang mengalami
prolapsus genitalia mempunyai masalah urogenital akibat keadaan tersebut, akan
tetapi prevalensinya secara pasti sangat sulit ditentukan dengan tepat. Hal ini
disebabkan banyak wanita tersebutyang tidak mau atau merasa malu, takut ataupun
enggan untuk membicarakan masalahmasalah yang dialaminya, bahkan tabu, baik
pada teman, keluarga, tenaga kesehatan, maupun dokter.Oleh karena itu, pengetahuan
dan pemahaman tentang prolapsus urogenital cukup penting sehingga setiap wanita
yang mengalaminya dapat hidup dengan layak tanpa memberikan beban yang berat

pada keluarga maupun pada masyarakat apabila ditatalaksana dengan tepat dan benar
sejak dini.5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

ANATOMI UTERUS
Uterus merupakan organ berongga dan berdinding tebal, terletak di

tengahtengah rongga panggul di antara kandung kemih dan rektum. Uterus pada
wanita nulipara dewasa berbentuk seperti buah avokad atau buah pir dengan ukuran
7,5 x 5 x 2,5 cm. Uterus terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu corpus uteri dan
serviks uteri, dimana kedua bagian tersebut menyatu pada bagian yang disebut ismus.
Hampir seluruh dinding uterus diliputi oleh serosa (peritoneum viseral) kecuali di
bagian anterior dan di bawah ostium histologikum uteri internum. Uterus mempunyai
tiga lapisan:
1) Lapisan serosa (peritoneum viseral). Di bawahnya terdapat jaringan ikat subserosa;
lapisan yang paling padat dan terdapat berbagai macam ligamen yang memfiksasi
uterus ke serviks.
2) Miometrium; lapisan otot uterus dan lapisan paling tebal, terdiri atas
serabutserabut otot polos yang dipisahkan oleh jaringan ikat yang mengandung
pembuluh darah. Miometrium terdiri atas tiga lapisan, otot sebelah luar berjalan
longitudinal dan lapisan sebelah dalam berjalan sirkuler, di antara kedua lapisan ini
otot polos berjalan saling beranyaman. Miometrium dalam keseluruhannya dapat
berkontraksi dan berelaksasi. Ketebalan miometrium sekitar 15 mm pada uterus
perempuan nulipara dewasa.

3) Endometrium; lapisan terdalam yang terdapat di sekitar rongga uterus.


Endometrium terdiri atas epitel selapis kubik, kelenjar-kelenjar dan stroma dengan
banyak pembuluh darah yang berkelok-kelok. Endometrium mengalami perubahan
yang cukup besar selama siklus menstruasi. Bagian atas uterus disebut fundus uteri
dan merupakan tempat tuba Falopii kanan dan kiri masuk ke uterus.
Umumnya uterus pada perempuan dewasa terletak di sumbu tulang panggul dalam
posisi anteversiofleksio, yaitu fundus uteri mengarah ke depan, hampir horizontal,
dengan mengadakan sudut tumpul antara korpus uteri dan serviks uteri. Di Indonesia,
uterus sering ditemukan dalam retrofleksio (korpus uteri berarah ke belakang) yang
pada umumnya tidak memerlukan pengobatan.

Gambar 1. Organ-Organ dalam panggul

Jaringan ikat di parametrium, dan ligamentum-ligamentum membentuk suatu


sistem penunjang uterus, sehingga uterus terfiksasi relatif cukup baik.
Jaringan-jaringan itu ialah:
4

1. Ligamentum kardinale sinistrum dan dekstrum (Mackenrodt) merupakan


ligamentum yang terpenting untuk mencegah agar uterus tidak turun.
Ligamentum ini terdiri atas jaringan ikat tebal, dan berjalan dari serviks dan
puncak vagina ke arah lateral ke dinding pelvis. Didalamnya ditemukan banyak
pembuluh darah, antara lain vena dan arteri uterina.
2. Ligamentum sakrouterinum sinistrum dan dekstrum, yakni ligamentum yang juga
menahan uterus supaya tidak banyak bergerak, berjalan, melengkung dari bagian
belakang serviks kiri dan kanan melalui dinding rektum ke arah os sakrum kiri
dan kanan.
3. Ligamentum rotundum sinistrum dan dekstrum, yakni ligamentum yang menahan
uterus dalam antefleksi, dan berjalan dari sudut fundus uteri kiri dan kanan ke
daerah inguinal kiri dan kanan.
4. Ligamentum puboservikale sinistrum dan dekstrum, berjalan dari os pubis
melalui kandung kencing, dan seterusnya sebagai ligamentum vesikouterinum
sinistrum dan dekstrum ke serviks.
5. Ligamentum latum sinistrum dan dekstrum, yakni ligamentum yang berjalan dari
uterus ke arah lateral, dan tidak banyak mengandung jaringan ikat. Sebetulnya
ligamentum ini adalah bagian peritoneum viserale yang meliputi uterus dan
kedua tuba, dan berbentuk lipatan. Di bagian lateral dan belakang ligamentum ini
ditemukan indung telur (ovarium sinistrum dan dekstrum). Untuk memfiksasi
uterus ligamentum ini tidak banyak artinya.
6. Ligamentum infundibulopelvikum, yakni ligamentum yang menahan tuba
Falopii, berjalan dari arah infundibulum ke dinding pelvis. Di dalamnya

ditemukan urat saraf, saluran-saluran limfe, arteria dan vena ovarika. Sebagai alat
penunjang ligamentum ini tidak banyak artinya.
7. Ligamentum ovarii propium sinistrum dan dektrum, yakni ligamentum yang
menahan tuba Falopii, berjalan dari sudut kiri dan kanan belakang fundus uteri ke
ovarium.

2.2

DEFINISI
Prolapsus uteri adalah suatu keadaan pergeseran letak uterus ke bawah

sehingga serviks atau seluruh uterus berada di dalam orificium vagina, atau keluar
hingga melewati vagina.1 Turunnya uterus melalui dasar panggul atau hiatus genitalis
disebabkan karena kelemahan otot-otot, fascia, ligamentum-ligamentum yang
menyokongnya.2
2.3

ANGKA KEJADIAN
Frekuensi prolapsus genitalia di beberapa negara berbeda, seperti dilaporkan

di klinik d`Gynocologie et Obstetrique Geneva insidensnya 5,7% dan pada periode


yang sama di Hamburg 5,4%, Roma 6,4%. Dilaporkan di Mesir, India, dan Jepang
kejadiannya lebih tinggi, sedangkan pada orang Negro Amerika, Indonesia lebih kecil
angka kejadian pada kasus ini. Pada suku Bantu di Afrika Selatan jarang sekali
terjadi.5
Di Indonesia prolapsus genitalis lebih sering dijumpai pada wanita yang telah
melahirkan, wanita tua yang menopause dan wanita dengan pekerjaan yang cukup
berat. Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dari tahun 1995-2000 telah
dirawat 240 kasus prolapsus genitalia yang mempunyai keluhan dan memerlukan

penanganan terbanyak dari penderita pada usia 60-70 tahun dengan paritas lebih dari
tiga.1

2.4

ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI


Penyebab prolapsus alat genitalia adalah multifaktorial dan semakin

berkembang dari tahun ke tahun. Namun pada dasarnya disebabkan oleh kelemahan
pelvic floor yang terdiri dari otot-otot, fascia endopelvik, dan ligamentumligamentum yang menyokong organ-organ genitalia tersebut. 1,2

Gambar 2. Pelvic Organ Prolapse


Faktor resikonya :

Multiparitas
Persalinan yang sering merupakan faktor resiko terbanyak. Sampai saat ini belum
ada penjelasan mengenai apakah karena kehamilan atau nifas itu sendiri yang menjadi
faktor resiko dari prolapsus uteri. Persalinan pervaginam merupakan faktor risiko
yang paling sering dikutip. Tidak ada kesepakatan apakah kehamilan atau nifas itu

sendiri yang merupakan predisposisi untuk disfungsi dasar panggul. Namun banyak
penelitian

statistik

jelas

menunjukkan

bahwa

persalinan

pervaginam

ini

meningkatkan kecenderungan seorang wanita untuk mengalami Pelvic Organ


Prolapse (POP). Sebagai contoh, dalam Dukungan Pelvic Organ Study (POSST),
peningkatan paritas dikaitkan dengan peningkatan resiko prolapsus. Selain itu, risiko
POP meningkat 1,2 kali dengan setiap pengiriman vagina. Studi Kohort Keluarga
Berencana Oxford dari 17.000 wanita, menunjukkan bahwa dibandingkan dengan
wanita nullipara, mereka dengan dua kali persalinan mengalami peningkatan resiko
delapan kali lipat di rumah sakit untuk POP. 3,4
Faktor penyebab lainnya :
Makrosomia, kala dua memanjang akibat peregangan otot-otot jalan lahir
yang terlalu lama bisa menjadi factor resiko yang dapat menyebabkan POP. Selain
itu beberapa ahli ginekologi menganggap trauma jalan lahir akibat episiotomi,
laserasi sfingter anal, penggunaan forceps, stimulasi oksitosin berulang, riwayat
operasi pelvis terutama histerektomi juga dapat meningkatkan resiko terjadinya POP
dikemudian hari walaupun hal ini masih menjadi pertimbangan. Asites dan tumortumor di daerah pelvis akan mempermudah terjadinya prolapsus genitalia. Bila
prolapsus uteri dijumpai pada nullipara, faktor penyebab biasanya disebabkan oleh
adanya kelainan bawaan berupa kelemahan jaringan penunjang uterus.1-4
Faktor resiko yang disebutkan di atas tidak secara pasti dapat dibuktikan. Hal
yang masih menjadi kontroversial adalah penanganan kelahiran menggunakan
forceps ntuk mempersingkat kala kedua dan episiotomy. Beberapa ahli menyatakan
8

penggunaan forceps dan episiotomy tidak dianjurkan

karena

terbukti kurang

bermanfaat dan berpotensi untuk membahayakan ibu dan janin. Pertama, penggunaan
forceps dapat menyebabkan cedera panggul dengan laserasi sfingter anal.Kedua,
Forcep tidak terbukti dalam memperpendek kala dua. Karena

alasan inilah,

pengguanaan forceps tidak dianjurkan. Demikian juga, episiotomi tidak terbukti


bermanfaat tetapi dapat menyebabkan laserasi sfingter anal, inkontinensia urin dan
alvi,konstipasi postpartum,dan nyeri postpartum.4.5.6 Namun hal ini masih mejadi hal
yang dipertanyakan karena belum ada panjelasan jelas mengenai hal tersebut.

Umur
Usia lanjut juga juga merupakan faktor resiko prolapsus uteri. Pada wanita yang
telah menopause, di samping akibat kurangnya hormon estrogen (hipoestrogenism)
yang dihasilkan oleh ovarium serta karena faktor umur menyebabkan otot-otot dasar
panggul seperti diafragma pelvis, diafragma urogenital dan ligamentum serta fasia
akan mengalami atrofi dan melemah, serta terjadi atrofi vagina. Keadaan ini akan
menyebabkan otot-otot dan fascia tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik
sebagai alat penyokong organ sehingga menyebabkan terjadinya prolapsus
genitalia.2,4

Penyakit atau kelainan pada jaringan ikat.


Wanita dengan gangguan jaringan ikat mungkin akan lebih beresiko untuk
terjadinya prolapsus uteri.
9

Ras
Telah dibuktikan dalam beberapa penelitian bahwa wanita berkulit hitam, dan wanita
Asia menunjukkan risiko terendah, sedangkan wanita Hispanik tampaknya memiliki
risiko tertinggi. Meskipun perbedaan dalam komponen kolagen telah dibuktikan
antara ras, namun perbedaan tulang panggul dalam settiap ras mungkin juga
berperan.Misalnya, perempuan kulit hitam, umumnya arcus pubis < 90 derajat dan
umumnya Bentuk panggulnya adalah android atau antropoid.Bentuk panggul ini
mengurangi resiko untuk terjadinya prolapsus uteri dibandingkan dengan ras Barat
dimana rata-rata bentuk panggulnya ginekoid.

Peningkatan Tekanan Intraabdominal


Peningkatan tekanan intra-abdominal yang berlangssung lama diyakini
mempunyai peranan dalam patogenesis Prolapsus uteri.Contohnya dalam kasus ini
adalah pasien yang obesitas, konstipasi yang lama, sering mengangkat berat, batuk
kronis, dan berulang.Selain itu, merokok dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
juga telah terlibat dalam pengembangan PP, meskipun sedikit data mendukung hal
tersebut. Demikian pula, meskipun hasil batuk kronis berulang dalam peningkatan
tekanan intra-abdomen, ada mekanisme yang jelas telah ditunjukkan.

10

Gambar 3. Peningkatan Tekanan Intrabdominal Sebagai Faktor Resiko POP


Faktor resiko terjadinya prolapsus genitalia antara lain:4

Tabel 1. Faktor-faktor Resiko Prolapsus Genitalia

2.5

KLASIFIKASI PROLAPSUS UTERI


11

Mengenai istilah dan klasifikasi prolapsus uteri terdapat perbedaan pendapat


antara para ahli ginekologi. Friedman dan Little (1961) mengemukakan beberapa
macam klasifikasi yang dikenal yaitu:1
1. Prolapsus uteri tingkat I, di mana serviks uteri turun sampai introitus vagina;
2. prolapsus uteri tingkat II, di mana serviks menonjol ke luar dari introitus vagina;
3. prolapsus uteri tingkat III, seluruh uterus ke luar dari vagina, prolapsus ini sering
juga dinamakan prosidensia uteri.

Gambar 4. Derajat Prolapsus Uteri


Selain itu dikenal juga pembagian prolapsus uteri menurut Baden-Walker, metode
pemeriksaannya menggunakan pemeriksaan Baden-Walker. Pembagiannya adalah :
1. Stage 0 = Tidak ada prolaps
2. Stage I = Ujung prolaps turun sampai setengah dari introitus
3. Stage II = Ujung prolaps turun sampai introitus
4. Stage III = Ujung prolaps sampai setengahnya diluar vagina
5. Stage IV = Ujung prolaps sampai lebih dari setengahnya ada di luar vagina.

12

Gambar 5. Derajat Prolapsus Uteri Baden-Walker


Pemeriksaan Prolapsus Uterus juga mengenal pembagian berdasarkan system POPQ (
Pelvic Organ Prolapse Quantification) yang dicetuskan oleh Baden-Walker.

Gambar 6. Pembagian Klasifikasi Prolapsus Uteri Menurut Sistem POPQ

13

Tabel 2. Deskripsi dan stadium Prolapsus dengan system POPQ


Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo/FK UI pembagian prolapsus uteri
sebagai berikut:2
1. Prolapsus derajat I, bila serviks uteri belum melewati introitus vagina tetapi uterus
terletak di bawah kedudukan normal,
2. Prolapsus uteri derajat II, bila serviks sudah melewati introitus vagina,
3. Prolapsus uteri derajat III, bila seluruh uterus sudah melewati introitus vagina

14

2.6

PATOFISIOLOGI
Prolapsus uteri terdapat dalam berbagai tingkatan, dari yang paling ringan

sampai prolapsus uteri totalis. Terutama akibat persalinan, khususnya persalinan


pervaginam yang susah dan terdapatnya kelemahan-kelemahan ligamentumligamentum yang tergolong dalam fascia endopelvis dan otot-otot serta fascia-fascia
dasar panggul. Juga dalam keadaan tekanan intraabdominal yang meningkat dan
kronis akan memudahkan terjadinya penurunan uterus, terutama apabila tonus otototot mengurang seperti pada penderita dalam menopause.2,3
Serviks uteri terletak di luar vagina, akan tergeser oleh pakaian wanita
tersebut dan lambat laun akan menimbulkan ulkus yang disebut dengan ulkus
dekubitus. Jika fascia di bagian depan dinding vagina kendor biasanya akibat trauma
obstetrik maka akan terdorong oleh kandungan kencing sehingga menyebabkan
penonjolan dinding depan vagina ke belakang yang di namakan sistokel. Sistokel
yang pada mulanya hanya ringan saja, dapat menjadi besar karena persalinan
berikutnya yang kurang lancar sehingga akan menyebabkan terjadinya uretrokel.
Uretrokel harus dibedakan dari divertikulum uretra.Pada divertikulum keadaan uretra
dan kandung kencing normal, hanya di belakang uretra ada lubang yang membuat
kantong antara uretra dan vagina. 6,7
Kekendoran fascia di bagian belakang dinding vagina oleh trauma obstetrik
atau sebab-sebab lain dapat menyebabkan turunnya rectum ke depan dan
menyebabkan dinding belakang vagina menonjol ke lumen vagina yang dinamakan
rektokel. Enterokel adalah hernia dari kavum Douglasi. Dinding vagina atas bagian
15

belakang turun dan menonjol ke depan. Kantong hernia ini dapat berisi usus dan
omentum.4
PREDISPOSING
FACTORS
Sex: female
Age: y/o

Elderly/ postmenopausal

PATHOPHYSIOLOGY
Pelvic Organ Prolapse
PELVIC
ORGAN PROLAPSE
Increased
in intra-abdominal
pressure

stretching and tearing of the endopelvic fascia


and the levator muscles and perineal body

PRECIPITATING
FACTORS
pregnancy
multiparous women
hypoestrogenism
obesity, chronic
pulmonary disease,
smoking, constipation

decreased perineal muscle tone


stretching

further sagging and stretching of


perineum

vaginal or uterine descent at or through


the introitus

sensation of vaginal fullness


or pressure

ulceration of the protruding cervix


or vagina

coital difficulty

vaginal spotting

displacement of pelvic organs

displacement of the
bladder

16

sacral back pain with


standing

lower abdominal
discomfort

rectal pressure

voiding difficulties
(incontinence,
frequency, and
urgency)

defecatory difficulties
(Constipation,
uncontrollable gas, and
fecal incontinence)

Gambar 7. Skema Patofisiologi Pelvic Organ Prolapse


2.7

GEJALA KLINIS
Gejala-gejala prolapsus genitalia sangat berbeda dan bersifat individual.

Kadangkala penderita yang satu berbeda dengan yang lainnya dan prolapsus genitalia
yang cukup berat dapat tidak mempunyai keluhan apapun, sebaliknya penderita lain
dengan prolapsus yang ringan saja telah mempunyai banyak keluhan. Keluhankeluhan yang hampir selalu dijumpai:1,2
1.

Perasaan adanya suatu benda yang mengganjal atau menonjol di genitalia


eksterna.

2.

Rasa sakit di panggul dan pinggang (backache). Biasanya jika penderita


berbaring, keluhan menghilang atau menjadi kurang.

3.

Sistokel yang dapat menyebabkan gejala-gejala:


a. Miksi yang lebih sering dan sedikit-sedikit mula-mula pada siang hari,
kemudian bila lebih berat juga pada malam hari.

b.

Perasaan seperti kandung kencing tidak dapat di kosongkan seluruhnya.


c. Stress inkontinensia, yaitu tidak dapat menahan kencing jika batuk,
mengejan. Kadang-kadang dapat terjadi retensio urin pada sistokel yang
besar sekali.
17

4.

Rektokel dapat menjadi gangguan pada defekasi:

a.

Obstipasi karena feses berkumpul dalam rongga rektokel.

b.

Baru dapat defekasi, setelah diadakan tekanan pada rektokel dari vagina.
5.

Prolapsus uteri dapat menyebabkan gejala sebagai berikut:


a. Pengeluaran serviks uteri dari vulva mengganggu penderita waktu berjalan
dan bekerja. Gesekan porsio uteri oleh celana akan menimbulkan lecet
sampai luka dan ulkus dekubitus pada porsio uteri.
b. Leukorea karena kongesti pembuluh darah di daerah serviks dan karena
infeksi serta luka pada porsio uteri.

6.

Enterokel dapat menyebabkan perasaan berat di rongga panggul dan rasa


penuh di vagina.

2.8

DIAGNOSIS
Berdasarkan keluhan-keluhan pada penderita dan pemeriksaan ginekologik

umumnya dengan mudah dapat menegakkan diagnosis prolapsus genitalia.


Dari anamnesis ditanyakan mengenai adanya benda asing yang keluar dai
kemaluan, apakah terasa mengganjal di sekitar kemaluanya, apakah seperti ada suatu
ruangan antara anus dan vagina, apakah menggunakan laxatives secara rutin, apakah
ada low back pain, adakah dispareunia, ataupun inkontenensia dan konstipasi.
Pada sistokel dijumpai pada dinding vagina depan berupa benjolan kistik,
lembek dan tidak nyeri tekan. Benjolan ini bertambah besar jika penderita di suruh

18

mengejan.Jika dimasukkan ke dalam kandung kencing kateter logam, lalu kateter itu
diarahkan ke dalam sistokel dapat diraba kateter tersebut dekat sekali pada dinding
vagina. Uretrokel letaknya lebih ke bawah dari sistokel, yaitu dekat pada orifisium
uretra eksternum.2,3
Menegakkan diagnosis retrokel sangatlah mudah yaitu ditandainya dengan
menonjolnya rektum ke lumen vagina sepertiga bagian bawah. Penonjolan ini
berbentuk lonjong, memanjang dari proksimal ke distal, kistik dan tidak nyeri.Untuk
memastikan diagnosis jari dimasukkan ke dalam rektum dan selanjutnya dapat diraba
dinding rektokel yang menonjol ke lumen vagina.Enterokel menonjol ke lumen
vagina lebih atas dari rektokel. Pada pemeriksaan rektal dinding rektum lurus dan
terdapat benjolan ke arah vagina di atas rektum.2,4

Gambar 8. Cara pemeriksaan Pelvic Organ Prolapse

19

a. Anamnesis
Gejala diperberat saat berdiri atau berjalan dalam waktu lama dan pulih saat
berbaring. Pasien merasa lebih nyaman saat pagi hari, dan gejala memberat saat siang
hari. Gejala-gejala tersebut antara lain:1,5,6
-

Pelvis terasa berat dan nyeri pelvis

Protrusi atau penonjolan jaringan

Disfungsi seksual seperti dispareunia, penurunan libido, dan kesulitan


orgasme

Nyeri punggung bawah

Konstipasi

Kesulitan berjalan

Kesulitan berkemih

Peningkatan frekuensi, urgensi, dan inkontinensia dalam berkemih

Nausea

Discharge purulen

Perdarahan

Ulserasi

b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan pelvis lengkap, termasuk pemeriksaan
rektovaginal untuk menilai tonus sfingter. Alat yang digunakan adalah spekulum

20

Sims atau spekulum standar tanpa bilah anterior. Penemuan fisik dapat lebih
diperjelas dengan meminta pasien meneran atau berdiri dan berjalan sebelum
pemeriksaan. Hasil pemeriksaan fisik pada posisi pasien berdiri dan kandung kemih
kosong dibandingkan dengan posisi supinasi dan kandung kemih penuh dapat
berbeda 1-2 derajat prolaps. Prolaps uteri ringan dapat dideteksi hanya jika pasien
meneran pada pemeriksaan bimanual. Evaluasi status estrogen semua pasien. Tandatanda menurunnya estrogen:
o

Berkurangnya rugae mukosa vagina

Sekresi berkurang

Kulit perineum tipis

Perineum mudah robek

Pemeriksaan fisik juga harus dapat menyingkirkan adanya kondisi serius yang
mungkin berhubungan dengan prolaps uteri, seperti infeksi, strangulasi dengan
iskemia uteri, obstruksi saluran kemih dengan gagal ginjal, dan perdarahan. Jika
terdapat obstruksi saluran kemih, terdapat nyeri suprapubik atau kandung kemih
timpani. Jika terdapat infeksi, dapat ditemukan discharge serviks purulen.1,5,6

c. Laboratorium
Pemeriksaan ditujukan untuk mengidentifikasi komplikasi yang serius (infeksi,
obstruksi saluran kemih, perdarahan, strangulasi), dan tidak diperlukan untuk kasus
tanpa komplikasi. Urinalisis dapat dilakukan untuk mengetahui infeksi saluran kemih.

21

Kultur getah serviks diindikasikan untuk kasus yang disertai ulserasi atau discharge
purulen. Pap smear atau biopsi mungkin diperlukan bila diduga terdapat keganasan.
Jika terdapat gejala atau tanda obstruksi saluran kemih, pemeriksaan BUN dan kadar
kreatinin serum dilakukan untuk menilai fungsi ginjal.6

d. Radiologi
USG pelvis dapat berguna untuk memastikan prolaps ketika anamnesis dan
pemeriksaan fisik meragukan. USG juga dapat mengeksklusi hidronefrosis. MRI
dapat digunakan untuk menentukan derajat prolaps namun tidak rutin dilakukan.6

2.9

KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat menyertai prolapsus genitalia adalah:

1. Keratinisasi mukosa vagina dan porsio uteri. Prosidensia uteri disertai dengan
keluarnya dinding vagina (inversio), karena itu mukosa vagina dan serviks uteri
menjadi tebal serta berkerut dan berwarna keputih-putihan.
2. Dekubitus. Jika serviks uteri terus ke luar dari vagina maka ujungnya bergeser
dengan paha pada pakaian dalam, sehingga hal ini dapat menyebabkan luka dan
radang yang lambat laun dapat menjadi ulkus yang disebut ulkus dekubitus.
Dalam keadaan demikian perlu dipikirkan kemungkinan suatu keganasan, lebihlebih pada penderita yang berusia lanjut. Pemeriksaan sitologi biopsi perlu
dilakuakan untuk mendapatkan kepastian akan adanya proses keganasan tersebut.

22

3. Hipertrofi serviks uteri dan elongasio kolli. Jika serviks uteri turun ke dalam
vagina sedangkan jaringan penahan dan penyokong uterus masih kuat maka
akibat tarikan ke bawah di bagian uterus yang turun serta karena pembendungan
pembuluh darah, maka serviks uteri mengalami hipertrofi dan menjadi panjang
pula. Hal yang terakhir ini dinamakan elongasio kolli. Hipertrofi ditentukan
dengan pemeriksaan pandang dan perabaan. Pada elongasio kolli serviks uteri
pada perabaan lebih panjang dari biasanya.
4. Gangguan miksi dan stress inkontinensia. Pada sistokel berat, miksi kadangkadang terhalang sehingga kandung kencing tidak dapat dikosongkan
sepenuhnya. Turunnya uterus bisa juga menyempitkan ureter sehingga bisa
menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis. Adanya sistokel dapat pula
mengubah bentuk sudut antara kandung kencing dan uretra sehingga dapat
menyebabkan stress inkontinensia.
5. Infeksi saluran kencing. Adanya retensi air kencing akan mudah menimbulkan
infeksi. Sistitis yang terjadi dapat meluas ke atas dan dapat menyebabkan pielitis
dan pielonefritis yang akhirnya keadaan tersebut dapat menyebabkan gagal ginjal.
6. Kemandulan, karena serviks uteri turun sampai dekat pada introitus vagina atau
sama sekali ke luar dari vagina sehingga tidak akan mudah terjadi kehamilan.
7. Kesulitan pada waktu persalinan. Jika wanita dengan prolapsus uteri hamil maka
pada waktu persalinan dapat menimbulkan kesulitan dikala pembukaaan sehingga
kemajuan persalinan jadi terhalang.

23

8. Hemoroid. Varises yang terkumpul dalam rektokel akan memudahkan terjadinya


obstipasi sehingga lambat laun akan menimbulkan hemoroid.
9. Inkarserasi usus halus. Usus halus yang masuk ke dalam enterokel dapat terjepit
sehingga kemungkinan tidak dapat direposisi lagi. Dalam hal ini perlu dilakukan
laparotomi untuk membebaskan usus yang terjepit tersebut.
2.10

PENCEGAHAN
Pemendekan waktu persalinan terutama pada saat kala dua dengan

memperbaiki power yaitu memimpin persalinan dengan baik agar penderita dihindari
untuk mengejan sebelum pembukaan lengkap adalah tindakan yang benar, episiotomy
yang benar dipertimbangkan, memperbaiki dan mereparasi luka atau kerusakan jalan
lahir dengan baik, , menghindari paksaan dalam pengeluaran plasenta (perasat Crede),
mengawasi involusi uterus paska persalinan yang tetap baik dan cepat, serta
mencegah atau mengobati hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan intraabdominal
seperti batuk-batuk yang kronis. Menghindari mengangkat benda-benda yang berat
dan menganjurkan para wanita jangan terlalu banyak punya anak atau terlalu sering
melahirkan.2,4

2.11

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanan pada prolapsus genitalia bersifat individual, terutama pada

mereka yang telah memiliki keluhan dan komplikasi, namun secara umum
penatalaksanan dengan kasus ini terdiri dari dua cara yakni konservatif dan
operatif.2,4,
24

1.

Pengobatan Konservatif
Pengobatan cara ini tidak seberapa memuaskan tetapi cukup membantu para
penderita dengan prolapsus uteri. Cara ini biasanya diberikan pada penderita
prolapsus ringan tanpa keluhan atau pada penderita yang masih ingin mendapatkan
anak lagi atau penderita yang menolak untuk melakukan tindakan operasi atau pada
kondisi yang tidak memungkinkan untuk dilakukan tindakan operasi.
Tindakan yang dapat diberikan pada penderita antara lain:4,5
a.

Latihan-latihan otot dasar panggul. Latihan ini sangat berguna pada penderita
prolapsus uteri ringan terutama yang terjadi pada penderita pasca persalinan yang
belum lewat enam bulan. Tujuannya untuk menguatkan otot-otot dasar panggul
dan otot-otot yang mempengaruhi miksi

b.

Stimulasi otot-otot dengan alat listrik. Kontraksi otot-otot dasar panggul dapat
pula ditimbulkan dengan alat listrik, elektrodenya dapat dipasang di dalam
pessarium yang dimasukkan ke dalam liang vagina.

c. Pengobatan dengan pessarium. Pengoabatan dengan pessarium sebetulnya hanya


bersifat paliatif saja, yakni menahan uterus ditempatnya selama alat tersebut
digunakan. Oleh karena itu jika pessarium diangkat maka timbul prolapsus kembali.
Prinsip pemakaian pessarium ialah bahwa alat tersebut mengadakan tekanan pada
dinding vagina bagian atas sehingga bagian dari vagina tersebut beserta uterus tidak
dapat turun dan melewati vagina bagian bawah. Pessarium dapat dipakai selama
beberapa tahun, asalkan penderita diawasi dan diperiksa secara teratur.Pemeriksaan
ulang

sebaiknya

dilakukan

2-3

bulan

sekali.
25

Gambar 9. Jenis-jenis Pessarium


2.

Pengobatan Operatif
Prolapsus uteri biasanya disertai dengan adanya prolapsus vagina, sehingga
jika dilakukan pembedahan untuk prolapsus uteri maka prolapsus vagina perlu
ditangani pula secara bersamaan.Ada kemungkinan terdapat prolapsus vagina yang
membutuhkan pembedahan, padahal tidak ada prolapsus uteri atau prolapsus uteri
yang ada belum perlu dilakukan tindakan operasi. Indikasi untuk melakukan operasi
pada prolapsus vagina ialah jika didapatkan adanya keluhan pada penderita.2,7

26

Di bawah ini akan dibicarakan terapi pembedahan pada jenis-jenis prolapsus


genitalis.2,6
a. Sistokel
Operasi yang lazim dilakukan ialah kolporafi anterior.
Setelah diadakan sayatan pada dinding vagina depan lalu dilepaskan dari
kandung kencing dan uretra, lalu kandung kencing didorong ke atas dan fascia
puboservikalis sebelah kiri dan kanan dijahit di garis tengah. Sesudah dinding vagina
yang berlebihan dibuang maka dinding vagina yang terbuka ditutup kembali.
Kolporafi anterior dilakukan pula pada uretrokel. Kadang-kadang tindakan operasi
ini tidak mencukupi pada sistokel dengan stress inkontinensia yang berat.
b. Rektokel
Pada kaus ini operasi yang dilakukan disebut dengan kolpoperineoplastik.Di
mana mukosa dinding belakang vagina disayat dan dibuang berbentuk segitiga
dengan dasarnya batas antara vagina dan perineum dan dengan ujungnya pada batas
atas rektokel.Sekarang fascia rektovaginalis dijahit di garis tengah dan kemudian
muskulus levator ani kiri dan kanan didekatkan di garis tengah. Luka pada dinding
vagina dijahit, demikian pula otot-otot perineum superfisialis sebelah kanan dan kiri,
lalu dihubungkan di garis tengah dan akhirnya luka pada kulit perineum dijahit.
c. Enterokel
Sayatan pada dinding belakang vagina diteruskan ke atas sampai ke serviks
uteri. Setelah hernia enterokel yang terdiri atas peritoneum dilepaskan dari dinding
vagina lalu peritoneum ditutup dengan jahitan setinggi mungkin. Sisanya dibuang dan
27

di bawah jahitan itu ligamentum sakrouterina kiri dan kanan serta fascia endopelvik
dijahit di garis tengah.
d. Prolapsus uteri
Seperti telah diterangkan di atas bahwa indikasi untuk melakukan operasi
pada prolapsus uteri tergantung dari beberapa faktor, seperti umur penderita,
kemungkinannya untuk masih mendapatkan anak lagi atau untuk mempertahankan
uterus, tingkatan prolapsus uteri dan adanya keluhan yang ditemukan pada penderita.

Macam-macam Operasi Prolapsus Uteri


a) Ventrofiksasi
Pada wanita yang masih tergolong muda dan masih ingin menginginkan anak
lagi, maka dilakukan tindakan operasi untuk membuat uterus ventrofiksasi dengan
cara memendekkan ligamentum rotundum atau mengikatkan ligamentum rotundum
ke dinding perut.
b) Operasi Manchester
Pada tindakan operasi ini biasanya dilakukan amputasi serviks uteri dan
dilakukan penjahitan ligamentum kardinale yang telah dipotong di muka serviks lalu
dilakukan pula kolporafi anterior dan kolpoperineoplastik.Amputasi serviks
dilakukan untuk memendekkan servik yang memanjang (elongasio kolli).

28

Teknik opersi Manchester pada kasus prolapsus uteri dan sistokel


Tindakan ini dapat menyebabkan infertilitas, abortus, partus prematurus dan
distosia servikalis pada saat persalinan berlangsung. Bagian yang paling penting pada
tindakan operasi ini adalah penjahitan ligamentum kardinale di depan serviks karena
dengan tindakan ini ligamentum kardinale diperpendek sehingga uterus akan terletak
dalam posisi anteversiofleksi dan turunnya uterus dapat dicegah.

Teknik opersi rektokel dan enterokel menurut Manchester

29

c) Histerektomi pervaginam
Operasi ini tepat untuk dilakukan pada prolapsus uteri dalam tingkatan yang
lebih lanjut dan pada wanita yang telah menopause.Setelah uterus diangkat, puncak
vagina digantungkan pada ligamentum rotundum kanan dan kiri, bagian atas pada
ligamentum infundebulopelvikum, kemudian tindakan operasi dilanjutkan dengan
melakukan kolporafi anterior dan kolpoperineorafi untuk mencegah terjadinya
prolapsus vagina dikemudian hari.

Teknik operasi histerektomi pervaginam pada prolapsus uteri secara LeFort


d) Kolpoklesis

30

Pada waktu obat-obat serta pemberian anestesi dan perawatan pra dan pasca
tindakan operasi belum baik untuk perempuan tua yang seksual tidak aktif lagi dapat
dilakukan operasi sederhana dengan menjahitkan dinding vagina depan dengan
dinding bagian belakang, sehingga lumen vagina tertutup dan uterus terletak di atas
vagina. Akan tetapi tindakan operasi jenis ini tidak akan memperbaiki sistokel atau
rektokel sehingga akan dapat menimbulkan inkotinensia urin. Obstipasi serta keluhan
pada prolapsus uteri lainnya juga tidak akan hilang pada tindakan ini.
e) Purandare
Purandare adalah operasi yang ditujukan bagi nulipara yang mengalami
prolaps uteri. Yang mempunyai dinding abdomen yang baik. Pada operasi ini, uterus
digantungkan dari ligamentum latum ke fascia muskulus rektus abdominis
menggunakan pita mersilene. Operasi efektif selama dinding abdomen masih kuat.
Ketika dinding abdomen tidak kuat, prolaps uterus dapat terjadi kembali.

2.12

PROGNOSIS
Bila prolaps uteri tidak ditatalaksana, maka secara bertahap akan memberat.

Prognosis akan baik pada pasien usia muda, dalam kondisi kesehatan optimal (tidak
disertai penyakit lainnya), dan Indeks Masa Tubuh ( IMT ) dalam batas normal.
Prognosis buruk pada pasien usia tua, kondisi kesehatan buruk, mempunyai gangguan
sistem respirasi (asma, PPOK), serta IMT diatas batas normal. Rekurensi prolaps
uteri setelah tindakan operasi sebanyak 16%.5

31

BAB III
KESIMPULAN

Kesimpulan
1. Angka kejadian prolapsus alat genitalia cenderung meningkat seiring dengan
bertambahnya usia harapan hidup penduduk di Indonesia.
2. Penyebab prolapsus genitalia multifaktorial dan semakin berkembang dari tahun
ke tahun namun pada dasarnya disebabkan oleh kelemahan pelvic floor yang
terdiri dari otot-otot, fascia endopelvik dan ligamentum-ligamentum yang
menyokong organ-organ genitalia. Penyebab yang paling sering adalah karena
multiparitas.
3. Gejala klinik dari prolapsus itu sendiri berbeda-beda dan berifat individual.
Bisanya gejala yang dirasakan penderita adalah adanya suatu benda yang
menonjol atau mengganjal di genitali eksterna, rasa sakit di pinggang, miksi yang
sedikit tapi sering.
4. Penatalaksanan pada prolapsus genitalis pada umumnya adalah konservatif,
sedangkan tindakan operatif baru dilakukan jika secara konservatif tidak berhasil
dan jika tidak ada kontraindikasi.

32

DAFTAR PUSTAKA

1. Junizaf. Prolapsus alat genitalia. Dalam: Buku ajar: Uroginekologi. Jakarta


Subbagian

uroginokologi rekonstruksi Bagian Obstetri dan Ginekologi

FKUI/RSUPN-CM, 2002; 70-76


2. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Kandungan. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2007: 103-131, 421-446

3. Decherrney AH, Goodwin, TM, et al. Current Diagnosis and Treatment. New
York: The McGraw hill, 2007:720-734
4. Schorge J et al. Williams Gynecology. United States: The McGraw hill, 2008:
chapter 24

5. Fortnes K et al. The Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics.


Baltimore. Lippincott Williams & Wilkins, 2007.
6. Thomson JD. Surgical techniques for pelvic organ prolapse. In: Bent AE,
Ostergard DR, Cundiff GW, et al, eds. Ostergards urogynecology and pelvic floor
dysfunction. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,2003.

33

7. Wong Eric. Patophysiology of menopause organ changes. 2011. Available from :


http://www.pathophys.org/menopause/ Diunduh tanggal 01 Desember 2016

34

Anda mungkin juga menyukai