Anda di halaman 1dari 10

MATA KULIAH TEKNOLOGI PENGOLAHAN PRODUK KONSUMER

ARTIKEL PRAKTIKUM
PRODUK MIE

Oleh:

Nama : Adellia Sonia BorneoPuteri


NIM : 141710101121
Kelas/Kelompok : A / 4

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
2016

MATA KULIAH TEKNOLOGI PENGOLAHAN PRODUK KONSUMER


ARTIKEL PRAKTIKUM
PRODUK OKSIDASI APEL

Oleh:

Nama : Adellia Sonia BorneoPuteri


NIM : 141710101121
Kelas/Kelompok : A / 4

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
2016

A. Definisi Mie
Mie adalah produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa
penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan,
berbentuk khas mie. Mie dengan bahan dasar utama terigu dapat dibagi menjadi
dua kelompok yaitu mie basah dan mie instan. Berdasarkan proses lenjutannya,
mie basah dapat dibagi lagi menjadi mie basah mentah, mie matang dan mie
kering (Team Dosen, 2015).
Berdasarkan bahan bakunya, mie dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
mie dengan bahan baku dari tepung terutama tepung terigu dan mie transparan
dengan bahan baku dari pati misalnya soun dan bihun. Berdasarkan cara
pembuatannya, mie dibedakan menjadi mie basah mentah dan mie basah matang,
sedangkan berdasarkan jenis produk yang tersedia di pasar terdapat dua jenis mie
yaitu mie basah (contohnya mie ayam dan mie kuning) dan mie kering contohnya
mie telur dan mie instan (Chin et al., 2012).
Berdasarkan segi tahap pengolahan dan kadar airnya, mie dapat dibagi
menjadi 5 golongan, yaitu:
1. Mie mentah/segar, adalah mie produk langsung dari proses pemotongan
lembaran adonan dengan kadar air 35%.
2. Mie basah, adalah mie mentah yang sebelum dipasarkan mengalami perebusan
dalam air mendidih lebih dahulu, jenis mie ini memiliki kadar air sekitar 52%.
3. Mie kering, adalah mie mentah yang langsung dikeringkan, jenis mie ini
memiliki kadar air sekitar 10%.
4. Mie goreng, adalah mie mentah sebelum dipasarkan lebih dahulu digoreng.
5. Mie instan (mie siap hidang), adalah mie mentah, yang telah mengalami
pengukusan dan dikeringkan sehingga menjadi mie instan kering atau
digoreng sehingga menjadi mie instan goreng (instant freid noodles).
A. Bahan-Bahan Pembuatan Mie
Tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan mie. Tepung terigu
diperoleh dari biji gandum (Triticum vulgare) yang digiling. Keistimewaan terigu
dinatara serealia lainnya adalah kemampuan membentuk gluten pada saat terigu
dibasahi dengan air. Sifat elastis gluten pada adonan mie menyebabkan mie yang
dihasilkan tidak mudah putus pada proses pencetakan dan pemasakan (Soraya,
2011). Terigu dibuat dari biji gandum yang telah mengalami perlakuan dikupas

dan digiling. Terigu yang beredar dipasaran dikenal bermacam-macam didasarkan


dari kandungan proteinnya. Hard flour merupakan tepung terigu dengan
kandungan protein tertinggi (sekitar 14%). Bila kena bahan cair maka glutennya
akan mengembang dan saling mengikat dengan kuat membentuk adonan yang
sifatnya liat. Medium hard flour memiliki kadar protein berkisar antara 8%-10%,
digunakan pada adonan yang memerlukan kerangka lembut namun masih bisa
mengembang seperti cake. Karena fleksibelnya sehingga sering juga disebut
dengan All Purpose Flour atau Tepung Terigu Serbaguna. Soft flour kadar protein
sekitar 6%-8%, diperlukan untuk membuat adonan yang bersifat renyah dan
crumbly (Murdiati dan Amaliah, 2013).
Berbagai jenis tepung dapat digunakan dalam pembuatan mie basah. Jenis
tepung yang baik adalah tepung terigu dan tepung beras sedangkan tepung tapioka
menghasilkan tekstur mie basah yang tidak baik. Tepung tapioka tidak baik
digunakan untuk pengolahan mie dikarenakan setelah perebusan mie basah
menjadi menyatu dan lengket. Pada saat perebusan mie basah menggunakan
tepung terigu tidak meninggalkan residu di dalam air rebusan, sedangkan jika
menggunakan tepung beras meninggalkan residu di dalam air rebusan. Sehingga
cooking loss mie basah dari tepung beras lebih besar dari pada mie basah dari
tepung terigu. Hal ini disebabkan karena kandungan amilosa pada tepung beras
lebih tinggi daripada tepung terigu, sedangkan pada tepung terigu kandungan
amilopektinnya yang lebih tinggi. Amilosa merupakan fraksi yang terlarut dalam
air panas, sedangkan amilopektin merupakan fraksi yang tidak larut dalam air
panas (Lubis dkk, 2013).
Telur memiliki fungsi sebagai bahan pengikat, bahan pengental, bahan
pelindung, bahan pengembang, bahan penyedap, bahan pengemulsi, dan abahan
pengilat (glazing). Jika ditambahkan bahan kering seperti tepung maka telur akan
mengikatnya menjadi satu adonan. Saat adonan dimasak maka telur akan
membeku dan daya ikatnya semakin permanen. Apabila bahan pangan dicelupkan
terlebih dahulu dalam putih telur. Putih telur akan menghasilkan suatu lapisan
yang tipis dan kuat pada permukaan mie. Lapisan tersebut cukup efektif untuk
mencegah penyerapan minyak sewaktu digoeng dan kekeruhan saus mie sewaktu

pemasakan. Lesitin pada kuning telur merupakan pengemulsi yang baik, dapat
mempercepat hidrasi air pada terigu, dan bersifat mengembangkan adonan
(Wirakusumah, 2005).
Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dan karbohidrat, melarutkan
garam, dan membentuk sifat kenyal gluten. Pati dan gluten akan mengembang
dengan adanya air. Air yang digunakan sebaiknya memiliki pH antara 6 9, hal
ini disebabkan absorpsi air makin meningkat dengan naiknya pH. Makin banyak
air yang 3 diserap, mie menjadi tidak mudah patah. Jumlah air yang optimum
membentuk pasta yang baik. Garam berperan dalam memberi rasa, memperkuat
tekstur mie, meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas mieserta mengikat air.
Garam dapat menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga pasta
tidak bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan. Garam
ditambahkan untuk membumbui mie, tetapi juga dapat memperkuat struktur,
meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas, selain ikatan dengan air (Akhmad et al.,
2013).

Bahan-Bahan
(air 28 38
%, tepung,
Pencampuran garam,
dengantelur)
pengadukan 15-25
menit dengan Roll
suhupress
adonan (2440C)
(pembentukan
Pasta
Mie dengan
lembaran)
tebal 1,2 2 mm
Pembentukan Mie
Pengukusan
Penggorengan dengan minyak pada suhu 140
150C
selama 60-120
Pendinginan
sampaidetik
suhu 40C
Pengemasan

B. Proses Pembuatan Mie

Gambar 1. Skema kerja proses pembuatan mie


DAFTAR PUSTAKA

Akhmad, Z, Abidin, Cinantya Devi & Adeline. 2013. Development of Wet


Noodles Based on Cassava Flour. Journal English Technol. Scl., Vol. 45, No.
1, 2013, 97-111. Departement of Chemical Engineering, Faculty of Industrial
Technology. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Chin, C.K et al. 2012. Incorporation of Surimi Powder in Wet Yellow Noodles and
its Effects on the Physicochemical and Sensory Properties. International Food
Research Journal 19(2): 701-707. Malaysia.
Lubis dkk, 2013.Pengaruh Konsentrasi Rumput Laut (Eucheuma Cottonii) dan
Jenis Tepung pada Pembuatan Mie Basah. Jurnal Rona Teknik Pertanian Vol 6
No 1.
Murdiati, Agnes dan Amaliah.2013. Panduan Penyiapan Pangan Sehat untuk
Semua Edisi Kedua. Kencana Prenadamedia. Jakarta.
Team Dosen, (2015), Penuntun Praktikum Teknologi Pengolahan Pangan,
Universitas Pasundan, Bandung.
Wirakusumah, Emma S. 2005. Menikmati Telur. Gramedia. Jakarta.

A. Definisi Apel

Apel (Malus domestica Borkh.) termasuk rajanya buah komersial karena


konsumennya luar biasa banyaknya. Di Indonesia, apel diperkenalkan oleh orang
Belanda dan dikembangkan oleh orang Indonesia. Sayangnya daerah di Indonesia
yang cocok ditanami apel masih sangat terbatas. Daerah Batu, Malang, merupakan
sentra apel di Indonesia karena tanaman ini banyak diusahakan sebagai suatu
usaha tani. Oleh penduduk di Malang tanaman ini ditanam di pekarangan maupun
di kebun (Putri et al, 2009).
Apel (Malus sylvestris Mill) merupakan suatu produk hasil pertanian
termasuk buah berdaging dalam golongan pome yaitu anggota famili Rosaceae.
Bagian-bagian buah apel terdiri dari kulit, daging buah, hati, rongga biji dan biji.
Apel memiliki umur simpan yang relatif pendek yakni sekitar 7 hari pada suhu
kamar. Apel setelah dipetik, akan mengalami perubahan komposisi dan terjadi
kerusakan karena kegiatan fisiologis. Selain itu, dapat terjadi kerusakan
mikrobiologis seperti pembusukan oleh mikroba. Apel memiliki suhu kritis 36-38
0

F. Bentuk kerusakan apel jika disimpan di bawah suhu kritis yaitu adanya

pencoklatan di bagian dalam, bagian tengah coklat, lembek/lunak dan lepuh.


Konsentrasi atmosfir yang dianggap baik bagi penyimpanan dan pengangkutan
buah apel yakni dengan O2 2-3% dan CO2 1-8% (Putri et al, 2009).
B. Kandungan Gizi Apel
Apel diketahui mengandung beberapa vitamin dan mineral yang bermanfaat
bagi manusia. Sebutir apel berdiameter 5-7 cm mengandung vitamin A 900
IU/100 g, tiamin 7 mg, riboflavin 3 mg, niasin 2 mg, vitamin C 5 mg, protein 3 g,
energi 58 kalori, lemak 4 g, karbohidrat 14,9 g, kalsium 6 mg, besi 3 mg, fosfor
10 mg, dan kalium 130 mg (Sari et al, 2012). Berikut adalah kandungan kimia
apel varietas manalagi, rome beauty dan anna :
Komponen
Total gula (%)

Manalagi
8.29

Rome beauty
9.79

Anna
11.5

Total asam (%)

0.32

0.35

0.39

Mh

4.62

3.65

3.46

Vitamin C

7.43

11.42

8.18

(mg/100 g)

Dengan kandungan seperti itu ada orang berpendapat bahwa tingkat keasaman
yang rendah pada apel meningkatkan produksi air liur yang baik untuk kesehatan
gigi. Penelitian menunjukkan bahwa memakan apel sebutir sehari memperkecil
risiko terkena asma, arthritis, dan penyakit kulit.
Selain dimakan segar, apel bisa diolah menjadi jam (selai), jeli, dan sari buah.
Meski namanya olahan, tetapi bukan berarti yang dipakai apel busuk atau cacat.
Biasanya yang diolah apel berukuran kecil atau buah apel hasil penjarangan.
Kandungan pektin pada apel sekitar 24%. Pektin yang dapat membentuk gel bila
ditambah gula pada pH tertentu, memegang peranan penting dalam industri jeli,
sari buah, dan selai (Santoso, 2006).
C. Kerusakan Apel
Apel adalah buah pomaceous dengan ruang biji di dalamnya sementara bagian
luarnya berdaging dan berair. Selain vitamin A dan C, kalium, serat, air dan nutrisi
lainnya, apel mengandung enzim yang disebut oksidase polifenol (PPO) atau
tryosinase. Enzim inilah yang menyebabkan perubahan warna coklat pada apel.
Ketika apel diiris atau digigit dan dibiarkan beberapa saat, lama kelamaan akan
berubah menjadi berwarna coklat.Perubahan warna ini menunjukkan

bahwa zat

kimia pada apel telah bereaksi dengan oksigen di udara yaitu enzim PPO tersebut
muncul dan bereaksi dengan oksigen sehingga mengoksidasi senyawa fenolik
yang dalam jaringan apel, o-kuinon. O-kuinon kemudian menghasilkan produkproduk sekunder berwarna coklat yang merubah dari warna asli apel. Dimana
Oksidasi itu sendiri merupakan jenis reaksi kimia yang melibatkan pengikatan
oksigen, pelepasan hidrogen, atau pelepasan elektron. Proses oksidasi adalah
peristiwa alami yang terjadi di alam dan dapat terjadi dimana-mana tak terkecuali
di dalam tubuh kita (Isyuniarto dan Agus, 2007).
Proses diatas dapat disebut juga sebagai proses Browning atau pencokelatan.
Proses Browning atau pencoklatan merupakan proses di mana suatu zat, pada
umumnya berupa makanan, berubah warna menjadi kecokelatan. Perubahan
warna tersebut umumnya diikuti oleh perubahan rasa pada makanan dan dapat
mengurangi cita rasa/kelezatan pada makanan itu sendiri sehingga proses ini
seringkali dianggap merugikan. Namun, ada pula proses pencokelatan yang

diinginkan dan sengaja dilakukan pada bahan pangan. Terdapat dua jenis proses
pencokelatan, yaitu: proses pencokelatan yang melibatkan kerja enzim atau
pencokelatan enzimatik dan proses pencokelatan yang terjadi tanpa kerja dari
enzim atau pencokelatan oksidatif.
Proses pencoklatan atau browning sering terjadi pada buah-buahan seperti
pisang, peach, pear, salak, apel, dan pala. Buah yang memar atau terluka akibat
pemotongan dan lain-lain juga mengalami pencoklatan. Bagian yang luka tersebut
menjadi berwarna gelap karena terjadi kontak dengan udara. Proses pencoklatan
enzimatis berlangsung karena aktivitas enzim terhadap senyawa polifenol.
Terjadinya reaksi pencoklatan diperkirakan melibatkan perubahan dari bentuk
kuinol yang teroksidasi menjadi kuinon lalu mengalami polimerisasi menjadi
pigmen berwarna coklat (Isyuniarto dan Agus, 2007).
Adanya

sejumlah

enzim

terutama

katalase

dan

peroksidase

yang

bersifat heat-resistant dalam buah-buahan dan sayuran, dapat menimbulkan


perubahan yang tidak dikehendaki selama masa penyimpanan. Agar perubahan
tersebut tidak terjadi, aktivitas enzim tersebut harus ditekan. Cara yang lazim
dilakukan untuk inaktivasi enzim tersebut adalah dengan memblansing buahbuahan dan sayuran tersebut sebelum diproses lebih lanjut. Lama pemanasan
sangat menentukan efektivitas inaktivasi enzim (Isyuniarto dan Agus, 2007).
Pencoklatan pangan terjadi secara luas, misalnya pada bahan pangan yang
akan diolah atau memar karena perlakuan mekanis. Pencoklatan enzimatis ini
terjadi pada beberapa buah dan sayuran seperti kentang, apel, dan pisang apabila
bagian jaringannya memar, dipotong, dikupas, terkena penyakit atau karena
kondisi yang tidak normal. Jaringan yang memar akan cepat menjadi gelap
apabila kontak dengan udara, atau disebabkan oleh konversi senyawa fenol
menjadi melanin yang berwarna coklat dan menyebabkan pencoklatan enzimatis.
Enzim yang berperan dalam reaksi pencoklatan ini diantaranya adalah polifenol
oksidase atau fenolase (Khurniyati dan Teti, 2015).
DAFTAR PUSTAKA

Isyuniarto dan Agus Purwadi. 2007. Pengaruh penggunaan Oksidan Ozon dalam
Pengemas Plastik Polietilen untuk Menyimpan Buah Apel Manalagi (malus
sylvestris M). Ganendra 10 (1) : 13-18.
Khurniyati, Maylina Ilhami dan Teti Estiasih. 2015. Pengaruh Konsentrasi
Natrium Benzoat dan Kondisi Pasteurisasi (Suhu dan Waktu) terhadap
Karateristik Minuman Sari Apel Berbagai Varietas : Kajian Pustaka. Jurnal
Pangan dan Agroindustri 3 (2) : 523-529.
Putri, Ratna Ika., Ika Noer S., La Choviya Hawa dan Diah Meilany. 2009.
Aplikasi Mikrokontroller pada Pembangkit Pulsa Tegangan Tinggi dengan
Pengaturan Waktu Pengolahan untuk Pasteurisasi Sari Buah Apel. Inkom 3 (12) : 31-40.
Santoso. 2006. Teknologi Pengawetan Bahan Segar.
Sari, Elok Kurnia N., Bambang Susilo dan Sumardi Hadi S. 2012. Proses
Pengawetan Sari Buah Apel (Malus sylvestris Mill) secara Non-Termal
Berbasis Teknologi Oscillating Magneting Field(OMF). Jurnal Teknologi
Pertanian 13 (2) : 78-87.

Anda mungkin juga menyukai