Anda di halaman 1dari 16

GANGGUAN ELEKTROLIT

PADA PASIEN NEUROSURGERY

PENDAHULUAN
Mekanisme kontrol homeostasis dari tubuh dapat mengalami gangguan pada kondisi
trauma akut pada otak, kraniotomi ataupun komplikasi sistemik dari kondisi yang lain. Hal ini
dikarenakan central nervous system (CNS) mempunyai peran yang penting dalam meregulasi
homeostasis kadar air dan natrium dalam darah. Oleh karena itu pada pasien pasien dengan
permasalahan

neurologis

ataupun

paska

pembedahan

otak

cenderung

mengalami

permasalahan pada keseimbangan cairan dan elektrolit (Layon et al, 2004; Matta et al, 2011).
Selain karena lesi neurologis yang terjadi pada CNS, penyebab kelainan elektrolit ini juga
disebabkan oleh tindakan pembedahan atau iatrogenik, tindakan perawatan post operasi di ICU
(Intensive care unit) (akibat dari tindakan medis, misal obat-obatan dan pemberian cairan
intravena), pemberian diuretik, pemberian steroid dan mannitol. Kelainan elektrolit yang sering
terjadi pada pasien pasien neurosurgery yaitu hiponatremia, dengan tingkat kejadian sekitar 10
50%. Kondisi ini biasanya terjadi pada kasus kasus subarachnoid hemorrhage (SAH),
traumatic brain injury (TBI) dan operasi tumor pituitari (Hannon et al, 2012; Adiga et al, 2012).
Differensial diagnosis untuk kelainan kadar natrium dalam darah cukup banyak dan
cukup sulit, karena kelainan kadar natrium dalam darah ini dapat terjadi pada banyak penyakit
yang secara klinis mungkin mempunyai tanda dan gejala yang hampir mirip walaupun
mempunyai patofisiologi yang berbeda, seperti Syndrom Inappropriate Anti Diuretic Hormone
(SIADH), Cerebral/Renal Salt Wasting Syndrome (C/RSWS) dan Diabetes Insipidus (DI)
(Corradetti et al, 2013). Pada beberapa jurnal disebutkan bahwa hampir 62% pasien pasien
neurosurgery dengan hiponatremia (kadar natrium < 135 mmol/L) disebabkan karena SIADH,
sedangkan sisanya 16,6% karena penggunaan obat obatan dan 4,8% karena CSWS (Grant
et al, 2012).
DI merupakan kondisi hipernatremia (kadar natrium > 145 mmol/L) yang paling sering
muncul pada fase akut setelah tindakan neurosurgery. DI terjadi sekitar 3,8 % pada pasien
pasien neurosurgery. Dari total 3,8% kasus DI, sepertiga kasus berhubungan dengan SAH,
sepertiga lagi karena TBI dan sekitar seperenam dari total kasus DI dikarenakan ICH dan
operasi tumor pituitary. Kelainan ini biasanya transien dan kebanyakan pasien dapat menjaga
kadar natrium dalam darahnya dengan cara peroral. Hipernatremia hanya terjadi jika
penggantian cairan tidak mencukupi untuk mengganti cairan yang hilang. Risiko terjadinya
ketidakcukupan penggantian cairan itu tinggi pada pasien pasien yang mengalami kelainan

kognitif dan penurunan kesadaran. Pada makalah ini, kami mencoba untuk memaparkan
tentang kelainan elektrolit yang terjadi pada pasien pasien neurosurgery dan bagaimana cara
mengatasinya, karena kelainan elektrolit pada pasien pasien neurosurgery apabila tidak segera
ditangani dengan cepat akan dapat menimbulkan secondary brain injury dan dapat mengancam
jiwa jika kelainan elektrolitnya sangat ekstrim (Grant et al, 2012; Hannon et al, 2012; Matta et al,
2011).

KESEIMBANGAN CAIRAN TUBUH


Air merupakan komponen utama dari tubuh manusia. Total air di dalam tubuh (Total
Body Water / TBW) sekitar 45% - 60% dari berat badan. Dari 60% itu dibagi menjadi cairan
ekstraselular (ExtraCellular Fluid / ECF) dan cairan intraseluler (IntraCelluar Fluid / ICF). Cairan
Intra selluler terdiri dari dua pertiga dari TBW dan menyumbang hingga sekitar 40% dari berat
badan. Dan sisa sepertiga dari TBW terdiri dari ECF, yaitu sekitar 20% dari berat tubuh. ECF
meliputi cairan intravaskuler, cairan interstitial, dan cairan transelular (yang terkandung dalam
rongga tubuh tertentu). Air bergerak antara ICF dan ECF tergantung pada jumlah zat terlarut
yang terkandung dalam kompartemen ICF dan ECF. Pergerakan ini terus terjadi sampai
tercapai keadaan keseimbangan antara dua kompartemen cairan tersebut. Pengukuran tingkat
kekentalan cairan (kandungan zat terlarut) ini disebut sebagai osmolalitas dan sering digunakan
bergantian dengan tonisitas. Osmolalitas cairan tubuh dan cairan isotonik adalah sekitar 280300 mOsm / kg, dalam literatur lain disebutkan bahwa kadar osmolalitas dalam darah yang
normal antara 275 290 mOsmol/kg. Kadar osmolalitas dalam darah dapat diukur dengan
rumus ([Na] 2) + (BUN/2.8) + (kadar glukosa darah/18) (Rhoda, 2011; Gres et al, 2004).
Hipovolemia, didefinisikan sebagai deficit dari ECF. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat
dari penurunan volume air, dengan atau tanpa defisit elektrolit. Hipovolemia biasanya
merupakan hasil akhir dari ketidakmampuan tubuh untuk mengatur asupan air (misalnya,
hilangnya mekanisme haus dari seorang pasien atau cairan tubuh terkonsentrasi karena
pemberian nutrisi enteral). Tanda-tanda patognomonik hipovolemia termasuk haus, pusing,
hipotensi, takikardia, turgor kulit menurun, dan penurunan kadar natrium urin (Na)
(<15 mEq/L). Sedangkan hipervolemia didefinisikan sebagai expansi dari volume ECF, dan
dapat terjadi karena perubahan fungsi ginjal, pemberian cairan yang berlebihan, pergeseran
cairan interstitial plasma, atau komplikasi pasca operasi. Hipovolemia sering terlihat setelah
operasi dan tindakan anestesi. Biasanya hal itu terjadi karena pemberian cairan selama operasi
yang masih kurang. Apabila kondisi ini dibiarkan, dapat menyebabkan peningkatan kepekatan
urin bahkan sampai anuria yang disebabkan oleh pelepasan Anti Diuretic Hormone (ADH) yang
berfek pada ginjal (Rhoda, 2011).

GANGGUAN KESEIMBANGAN ELEKTROLIT


GANGGUAN KESEIMBANGAN NATRIUM
Natrium merupakan kation primer cairan ekstraseluler dan merupakan komponen yang
penting pada gradient elektrokimia yang berperan dalam konduksi saraf dan fugsi seluler.
Natrium merupakan osmol utama dalam darah yang berperan penting dalam penentuan volume
cairan ekstraseluler (Gupta and Gelb, 2008). Natrium merupakan kation dengan konsentrasi
yang tinggi di ekstraselular di dalam tubuh dan memainkan peran yang penting dalam
meregulisasi volume ekstrasellular dan intrasellular dalam tubuh. Natrium merupakan kation
mayor yang menentukan kadar osmolalitas dalam darah sehingga terjadinya regulisasi
pengaliran cairan dari satu kompartmen ke suatu kompartmen

yang lain dengan kadar

osmolalitas yang lebih rendah sehingga tercapainya hemostatsis (Bartel et al,2013).


Hiponatremia
Keadaan hiponatremia terjadi apabila konsentrasi natrium serum kurang dari 135
mmol/L. Gejala hiponatremia meliputi sakit kepala, nausea, vomiting, kram otot, letargi, dan
kejang. Hiponatremia berat yang akut dapat menyebabkan edema serebral dan lebih lanjut
dapat menyebabkan koma serta henti nafas. Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone
secretion (SIADH) dan cerebral salt wasting (CSW) merupakan dua penyebab potensial
terjadinya hiponatremia pada pasien dengan gangguan atau kelainan pada sistim saraf pusat .
Penyebab lain hiponatremia pada pasien pasien neurosurgery seperti penggunaan cairan yang
kurang tepat dan defisiensi AdrenoCorticoTropic Hormone (ACTH) (Adiga et al, 2012; Gupta
and Gelb, 2008).
Pendekatan diagnosis dan manajemen pasien pasien dengan hiponatremia meliputi
evaluasi dari tonisitas serum, melihat osmolalitas urine dan menilai status volume tubuh dan
urin. Pendekatan seperti ini merupakan pendekatan yang sering digunakan dan mudah untuk
dilakukan oleh klinisi. Untuk lebih mudahnya, teknik pendekatan ini dapat dilihat dari bagan di
bawah ini (Thompson et al, 2012)

Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone secretion (SIADH)


SIADH merupakan keadaan hiponatremia hipotonik ini disebabkan oleh pelepasan
vasopressin arginin (ADH) yang berlebihan diikuti dengan reabsopsi air. Pasien dengan SIADH
berada dalam keadaan water-expanded tetapi seringkali tidak menunjukkan gejala ekspansi
volume intravaskuler. Hal ini disebabkan karena dua pertiga dari total air yang mengalami
retensi tetap berada didalam kompartemen intraseluler. Diagnosis SIADH ditegakkan
berdasarkan temuan hiponatremia, hipo-osmolalitas, peningkatan osmolalitas urin yang tidak
sesuai, dan eksklusi dari hipoadremalisme serta hipotiroidisme (Gupta and Gelb, 2008).
Kelainan neurologis yang umumnya berhubungan dengan SIADH meliputi infeksi
sistim saraf pusat, perdarahan intracranial, cedera otak, neoplasma otak, aneurisma, SDH
(Subdural Hemorrhage), SAH, TBI dan vaskulitis serebral atau thrombosis. Obat-obat tertentu,
umumnya golongan narkotika, juga dapat menginduksi pelepasan ADH. Stimulus fisiologis dari
ADH juga harus dipertimbangkan, meliputi nyeri, nausea, hipovolemia dam stress (Gupta and
Gelb, 2008; Hannon et al, 2012). Berikut ini kriteria diagnosis untuk SIADH

(Thompson et al, 2012).


Cerebral Salt Wasting Syndrome (CSWS)
CSWS merupakan kelainan hiponatremia yang agak jarang ditemukan pada pasien
pasien neurosurgery. Kelainan ini hanya sekitar 5 6.5 % dari kasus kasus hiponatremia pada
pasien pasien neurosurgery, berbeda dengan SIADH yang bertanggungjawab hampir 60 70 %
hipontremia pada kasus kasus neurosurgery. CSWS pertama kali ditemukan oleh peter dan
kawan kawan pada tahun 1950. Kelainan ini digambarkan dengan tiga tanda pada pasien
pasien neurosurgery yaitu hiponatremia, penurunan volume tubuh karena diuresis dan
natriuresis serta mempunyai fungsi aksis hipothalamus-pituitary-adrenal yang normal (Hannon
et al, 2012; Thompson et al, 2012)

CSWS merupakan keadaan natriuresis primer yang terjadi pada pasien dengan
gangguan neurologis. Keadaan ini menyebabkan keseimbangan negatif dari natrium dan
deplesi volume. Penyebabnya kemungkinan berhubungan dengan faktor circulating natriuretic
atau penurunan input simpatetik pada ginjal, atau keduanya. Penentuan klinis terhadap volume
cairan ekstraseluler merupakan elemen yang penting untuk membedakan SIADH dan CSWS
(Gupta, 2008).
Berikut ini adalah patofisiologi terjadinya CSWS (Yee et al, 2010)

Manajemen Hiponatremia
Manajemen pasien dengan hiponatremia tergantung dari penyebabnya. Peningkatan
intake cairan yang abnormal, SIADH dan hipervolumia secara umum memerlukan restriksi
cairan, sedangkan kelainan lain seperti CSW memerlukan koreksi penggantian natrium dan
pengembalian status hidrasi dari pasien. Kecepatan koreksi hiponatremia harus disesuaikan
dengan tanda dan gejala hiponatremia yang muncul. Secara umum, rekomendasinya adalah
peningkatan kadar natrium 0,5 mmol/L per jam dengan total peningkatan maksimum dalam 24
jam adalah 10 12 mmol/L. Jika pasien mengalami gejala kejang dan hiponatremianya terjadi
secara akut yang menyebabkan edema serebri, maka pemberian NS hipertonik sebaiknya
diberikan selama 2 sampai 4 jam dengan target peningkatan kadar natrium 1,5 2,0
mmol/L/jam. Defisit kadar natrium dalam darah dapat dihitung dengan rumus (0.6xBBx{Kadar
natrium yang diinginkan kadar natrium sekarang}). Karena penurunan cairan intravaskuler
harus dihindari pada pasien dengan injuri neurologis makan maintenance NS hipertonik dapat
digunakan. Tindakan pemberian NS hipertonik ini bukan tanpa efek samping dan sebaiknya
diberikan hanya pada unit khusus dengan monitoring yang ketat oleh tenaga yang
berpengalaman (ICU). Jika kadar natrium dikoreksi terlalu cepat dapat terjadi central pontine

myelinolysis, dysarthria, dysphagia, paresis, koma dan kematian (Gupta and Gelb, 2008;
Morgan et al, 2005).
Pada pasien

dengan SIADH, pilihan terapinya ialah restriksi cairan (750 1200

ml/hari). Untuk SIADH yang kronis, dapat diberikan demeclocycline 2 x 150 300 mg.
Demeclocycline dapat digunakan karena ini dapat mempengaruhi aksi ADH di tubulus
collektikus di ginjal. Demeclocycline ini mempunyai onset dan durasi yang sulit diduga. Obat ini
juga dapat menyebabkan nefrotoksik dan skin rash yang fotosensitif. Obat lain yang dapat
digunakan yaitu VAPTAN, yang merupakan suatu vasopressin reseptor antagonis .Terapi lain
dapat digunakan Fludrocortisone dan loop diuretik (Gupta and Gelb, 2008; Thompson et al,
2012; Hannon et al, 2012).
Hipernatremia
Hipernatremia kebanyakan merupakan hasil dari pemberian larutan saline hipertonik
(NaCl 3% atau NaHCO7.5%) yang berlebihan. Pasien dengan hiperaldosteronisme primer dan
sindroma Cushing dapat mengalami sedikit peningkatan konsentrasi natrium serum sejalan
dengan peningkatan retensi natrium. Manifestasi neurologis yang dominan pada pasien dengan
hipernatremia biasanya diakibatkan oleh dehidrasi selular seperti kelemahan otot, letargi, dan
hiperrefleksi yang dapat berlanjut menjadi kejang, koma, bahkan kematian. Gejala ini lebih
berhubungan dengan perpindahan air keluar dari sel otak karena kadar absolut natrium yang
tinggi di intravaskuler. Penurunan cepat dari volume otak dapat menyebabkan rupturnya vena
cerebral dan mengakibatkan perdarahan fokal intraserebral atau subarakhnoid. Kejang dan
kerusakan neurologis serius bisa terjadi, terutama pada anak dengan hipernatremia akut ketika
kadar natrium plasma melebihi 158mEq/L. Hipernatremia kronik biasanya lebih dapat ditoleransi
daripada hipernatremia akut (Bartel et al, 2013).
Diabetes Insipidus (DI) Sentral
DI sentral merupakan kegagalan dari proses homeostasis ADH yang berkaitan dengan
disfungsi axis hipotalamus-pituitari. Karakteristik dari DI sentral seperti poliuria (>3L/hari), dilusi
dari urine (<350 mmol/kg) dan peningkatan osmolaritas plasma (>305 mmol/kg) dan kadar
serum natrium (>145 mmol/L) serta tidak adanya kelainan intrarenal. Berat jenis urine yang
dibawah 1.005 dengan peningkatan kadar natrium dapat mengarah ke DI sentral. Hal ini sering
dijumpai di ICU setelah tindakan operasi pituitari (kejadiannya sekitar 18 38%), TBI, SAH, dan
pasien yang sudah MBO (mati batang otak) (Gupta and Gelb, 2008; Grant et al, 2012).

Onset DI biasanya terjadi pada 24 jam pertama setelah operasi. Walaupun hal ini
dapat terjadi sampai 11 hari setelah operasi. DI ini biasanya transien dan dapat disebabkan
oleh luka kecil pada posterior dari pituitari. Separuh dari kasus DI akan resolusi dengan
sempurna setelah dua minggu (Grant et al, 2012; Hannon et al, 2012).
Untuk

manajemennya

dapat

digunakan

penggantian

cairan

dan

pemberian

vasopressin intranasal/parenteral. Penggantian cairan seharusnya dititrasi sampai kadar


natrium menurun 1 - 2 mmol/jam jika terjadi akut hipernatremia dengan tanda tanda kejang dan
kadar natrium > 160 mmol/L. Kadar natrium seharusnya dikoreksi lebih lambat (0.5 mmol/L) jika
hipernatremianya kronis dan asimptomatik. Untuk defisit cairannya dapat dihitung dengan
rumus, defisit cairan = (kadar Natrium sekarang 140 x BB x 0.6 )/140. Cairan yang diberikan
dapat berupa NaCl, Ringer Laktat ataupun D5. Jika diberikan cairan yang mengandung
glukosa, pemberian insulin dan kalium mungkin dapat dipertimbangkan (Gupta and Gelb, 2008;
Cottrell et al, 2007).
DDAVP (desmopresin), merupakan asam amino pengganti dari ADH, mengurangi
produksi urin dan mempermudah terapi cairan. Penggunaan DDAVP sebaiknya hanya diberikan
pada DI yang berat atau menetap setelah hari ketiga. Beberapa jurnal menyebutkan, kurang
dari 2% pasien DI yang membutuhkan DDAVP setelah 10 hari paska operasi. DDAVP diberikan
dengan dosis 0.4 1 mikrogram intravena dan durasinya 8 12 jam (Gupta and Gelb, 2008;
Grant et al, 2012).
GANGGUAN KESEIMBANGAN KALIUM
Kalium merupakan kation terbesar di intracelluler (total 3500 mmol) dengan kadar
yang relatif rendah pada exktra selluler. Ini direabsorbsi di tubulus proksimalis secara pasif dan
di ascending loop secara aktif. Sekresi ke tubulus kolektivus tergantung pada aliran tubuler,
kadar aldosteron dan kadar natrium (Gupta and Gelb, 2008; Adiga et al, 2012).
Hipokalemia
Hipokalemia (kadar kalium < 3.5 Meq/L) biasanya terjadi pada pasien pasien
neurosurgery karena efek dari poliuria karena penggunaan obat obatan diuretik ataupun karena
mekanisme injuri di otak. Injuri pada otak akan menyebabkan poliuresis melalui berbagai
macam mekanisme. Sebagaimana kita tahu bahwasanya trauma otak merupakan stress yang
akan mengaktifkan sistem saraf simpatis yang akan menstimulasi kontraksi vena dan arteri.
Sehingga akan terjadi peningkatan preload, inotropik dan tekanan darah. Hal ini akan direspon

ginjal dengan terjadinya natriuresis karena tekanan darah yang meningkat akibat gejolak
hemodinamik. Efek diuresis inilah yang menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan elektrolit
salah satunya hipokalemia (Adiga et al, 2012).
Gejala hipokalemia seperti kelemahan otot, paralysis, rhabdomyolysis, aritmia dan
nefrogenic DI. Perubahan EKG meliputi ST depresi, flattening dari gelombang T, dan munculnya
gelombang U. Sebagai tambahan dapat diberikan penggantian kalium secara oral dan intravena
tetap dibutuhkan dengan tetap menterapi dari penyebabnya. Karena efek kalium yang
mengiritasi vena perifer, maka pemberian dari vena perifer maksimal dengan kecepatan 8 - 10
mmol/jam. Jika melalui vena central dapat diberikan 20 mmol/jam. Untuk kondisi yang
mengancam jiwa dapat diberikan 40 mmol/jam dengan diberikan melalui vena central dan
monitoring ketat kondisi jantungnya melalui monitor electrocardiography (EKG). Dan hal yang
perlu diperhatikan ialah dengan penurunan kadar kalium 1mmol/L setara dengan penurunan
kadar total kalium dalam tubuh 200 400 mEq dan biasanya dalam koreksi hipokalemianya
memerlukan kadar magnesium yang cukup untuk reabsorbsi kalium di ginjal (Gupta and Gelb,
2008; Morgan et al, 2005).
Hiperkalemia
Hiperkalemia (kadar kalium > 5.5 Meq/L) pada pasien pasien neurosurgeri biasanya
berkaitan dengan TBI, Spinal Cord Injury dan penggunaan mannitol. Mannitol biasanya
digunakan pada neurosurgery untuk mengurangi tekanan intrakranial. Gangguan elektrolit,
termasuk salah satunya hiperkalemia merupakan salah satu komplikasi dari penggunaan
mannitol ini. Walaupun data data dari MEDLINE sejak tahun 1980 2000 menunjukkan hanya
satu kasus hiperkalemia pada penggunaan mannitol, tetapi pada tahun 2000 ditemukan 7 kasus
hiperkalemia pada pasien kraniotomi yang diberikan mannitol. Salah satu mekanisme mannitol
menyebabkan hiperkalemia adalah efek dari hiperosmolalitas dari cairan ini. Pemberian
mannitol dosis tinggi

( 2g/kgBB) akan menyebabkan perpindahan kalium intraselluler menuju

ke kompartemen cairan ekstraselluler. Hal ini disebabkan karena efek difusi dari kalium untuk
mencapai keadaan steady cell osmolality (Cottrell et al, 2007; Nakasuji et al, 2013).
Manifestasi klinis dari hiperkalemia biasanya baru akan muncul jika kadar kalium
dalam darah > 7 mmol/L atau kadarnya meningkat dengan cepat. Gejalanya biasanya
kelemahan otot atau paralisis. Hiperkalemia dapat menyebabkan gangguan konduksi EKG yang
berat, T tall, pemanjangan PR dan QRS interval, ventricular fibrillation (VF) dan Asystole. Terapi
hiperkalemia dapat diberikan 1 g calcium gluconas / 500 mg calcium chloride (Antagonis

fisiologis kalium) untuk menstabilisasi otot jantung pada pasien dewasa, Insulin 5 10 iu dan
glukosa 25 50 g, bicarbonat, salbutamol/albuterol untuk menginduksi pemindahan
transelluler, furosemide 20 40 mg dan hemodialysis jika perlu (Gupta and Gelb, 2008; Miller et
al, 2005).
GANGGUAN KESEIMBANGAN MAGNESIUM dan FOSFAT
Kondisi keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien dengan kelainan CNS yang
dilakukan tindakan anestesi dan operasi merupakan tantangan khusus bagi seorang dokter
anestesi dan Intesivist. Pasien pasien seperti ini biasanya mendapatkan terapi diuretik (seperti
mannitol dan furosemide) sebagai salah satu manajemen edema otak dan mengurangi tekanan
intrakranial. Di sisi lain efek diuresis dari injuri otak dan penggunaan teknik hipotermi juga akan
menambah kondisi diuresis pada pasien pasien neurosurgeri. Efek diuresis yang berlebihan
inilah yang akan menyebabkan kehilangan beberapa elektrolit dalam darah seperti Magnesium
dan fosfat (Cottrell et al, 2007; Polderman et al, 2001)
Magnesium merupakan elektrolit yang membantu seluruh reaksi yang menggunakan
ATP (Adenosine TriPhosphate). Magnesium juga berperan dalam replikasi dan transkripsi dari
deoxyribonucleic acid (DNA), metabolisme energi seluler, stabilisasi membran, konduksi syaraf,
dan aktifitas channel calcium. Ion magnesium sangat penting untuk regulasi saat transportasi
natrium dan kalium melewati membran melalui pompa Na-K adenosine triphosphate (Gupta,
2008; Polderman et al, 2001).
Kadar Magnesium dalam darah diregulasi oleh tubuh untuk mencapai kadar normal
sekitar 1.72.4 mg/dL. Hypomagnesemia merupakan kelainan yang sering didapatkan pada
pasien yang dirawat di ICU dan sangat berhubungan dengan peningkatan mortalitas.
Manifestasi klinis seperti kelemahan, anoreksia, disritmia (torsades de pointes, ventricular
tachycardia /VT), disfungsi otot (fasikulasi, kram, tremor, tetani, kelemahan otot nafas),
Hypertensi, vasokontriksi dan kejang Terapi hipomagnesemia yaitu memperbaiki penyebabnya
dan penggantian magnesium peroral ataupun intravena. Untuk kondisi aritmia yang
mengancam jiwa, dapat diberikan 1 2 gram MgSO4 intravena dalam 5 menit. Selain dari
kondisi itu, pemberian MgSO4 dapat diberikan dalam beberapa jam atau lewat peroral (Gupta
and Gelb, 2008; Polderman et al, 2001; Miller et al, 2005).
Fosfat merupakan anion utama di intracelluler dan sangat penting untuk pembentukan
strukstur membran, penyimpanan energi, produksi DNA dan RNA (ribonucleic acid)

dan

produksi tulang. Fosfat juga berguna untuk menjaga tonus otot. Kadar fosfat normal dalam
darah berkisar antara 2.4 4.1 mg/dL. Hipofosafatemia berkaitan dengan terganggunya fungsi
kontraktilitas dari otot, salah satunya otot nafas dan diafragma yang menyebabkan kesulitan
weaning dari ventilator di ICU. Kadar fosfat yang rendah juga berkaitan dengan penurunan
cardiac output, vasodilatasi yang berlebihan, disfagia, Ileus, rhabdomyolisis, kegagalan
fagositosis/chemotaksis, penurunan penghantaran oksigen karena penurunan enzim 2,3diphosphoglycerate (2,3-DPG) dan terjadinya VT setelah kondisi infark myocard. Manifestasi
klinis dari hipofosafatemia biasanya terjadi jika kadar serum fosfat < 0,3 mmol/L.
Manajemennya dimulai dengan terapi penyebabnya dan penggantian fosfat peroral ataupun
parenteral dalam bentuk sodium ataupun potasium fosfat (Gupta and Gelb, 2008; Polderman et
al, 2001).

Daftar Pustaka
Adiga, Usha. Vickneshwaran. Kumar, Sanat. 2012. Electrolyte Derangements in Traumatic
Brain Injury. www.basicresearchjournals.org
Bartel, billie. Gau, Elizabeth. Johnson, Thomas. 2013. Critical Care Pharmacotherapeutics :
Chapter 7 Fluid and Electrolyte Management. Jones & Barlett Learning. United States of
America
Corradetti, Valeria. Esposito, Pasquale. Rampino, Teresa. Gregoni, Marilena. Libetta, Carmelo.
2013. Multiple Electrolyte Disorder in a Neurosurgical Patient : Solving the Rebus.
www.biomedcentral.com
Cottrell, James. Newfield, Philippa. 2007. Handbook of Neuroanesthesia, 4th Edition. Lippincott
Williams & Wilkins. Brooklyn New York
Grant, Paul. Whitelaw, Ben. Barazi, Sinan. Aylwin, Simon. 2012. Salt and Water Balance
Following Pituitary Surgery. www.eje-online.org
Gress, Daryl. Diringer, Michael. Green, Deborah. Stephan, Mayer. Bleck, Thomas. 2004.
Neurological and Neurosurgical Intensive Care, 4th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins. Philadelphia
Gupta, Arun. Gelb, Adrian. 2008. Essentials of Neuroanesthesia and Neurointensive Care:
Chapter 37 Electrolyte Disorders. Saunders Elsevier. Philadephia
Hannon, Mark. Finucane, Francis. Sherlock, Mark. Agha, Amar. Thompson, Cristopher. 2012.
Disorder of Water Homeostasis in Neurosurgical Patients. http://jcem.endojournals.org/
content/ 97/5/1423.full
Layon, Joseph. Gabrielli, Andrea. Friedman, William. 2004. Layon : Textbook of Neurointensive
Care 1 ed. Chapter 18. Elsevier Inc. United States of America.
Matta, Basil. Menon, Devid. Smith, Martin. 2011. Core Topics in Neuroanaesthesia and
Neurointensive Care. Cambridge University Press. United States of America

Miller, Ronald. Eriksson, Lars. Kaye, Alan. Riopelle, James. 2009. Miller's Anesthesia 7th
Edition : Chapter 54 Intravascular Fluid and Electrolyte Physiology. Elsevier's Rights
Department. United States of America
Morgan, Edward. Mikhail, Maged. Murray, Michael. 2006. Clinical Anesthesiology 4th Edition.
Appleton & Lange. United States of America
Nakasuji, Masato. Nomura, Masataka. Yoshioka, Miwako. Miyata, Taeko. Imanaka, Norie.
Tanaka, Masuji. 2013. Hypertonic Mannitol-Induced Hyperkalemia during Craniotomy.
www.omicsonline.org
Polderman, Kees. Peederman, Saskia. Girbes, Arman. 2001. Hypophosphatemia and
Hypomagnesemia Induced by Cooling in Patiennts with Severe Head Injury. www.
Ncbi.nlm.nih.gov/pubmed.
Rhoda, Kristen. 2011. Fluid and Electrolyte Management : Putting a Plan in Motion J Parenteral
Enteral Nutrition 35 : 675.
Thompson, Chris. Berl, Tomas. Tejedor, Alberto. Johannsson, Gudmundur. 2012. Differential
Diagnosis of Hyponatremia. http://brp-endocrinology-metabolism.eu
Yee, Alan. Burns, Joseph. Wijdicks, Eelco. 2010. Cerebral Salt Wasting:Pathophysiology,
Diagnosis, and Treatment. www.med.unc.edu/neurology/neurocritical-care

Anda mungkin juga menyukai