Anda di halaman 1dari 8

0

Tugas Pendidikan Profesi Dokter Hewan

BREEDING SOUNDNESS EXAMINATION (BSE) PADA SAPI


DAN DOMBA SERTA PRESERVASI DAN KRIOPRESERVASI
PADA SEMEN DOMBA

Oleh:
Dini Nurwahyuni, SKH
Halim Bakti Harjo, SKH
Muhammad Zhaahir, SKH
Yanuar Restu Wijaya, SKH

B94144313
B94144320
B94144330
B94144351

BAGIAN REPRODUKSI DAN KEBIDANAN


PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015

HASIL DAN PEMBAHASAN


BREEDING SOUNDNESS EXAMINATION (BSE)
Pemeriksaan Fisik
Secara umum pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan meliputi pengukuran
Body Condition Score (BCS), pemeriksaan mata, kaki, persendian, dan parameter
fisik umum seperti frekuensi nafas, frekuensi jantung, dan suhu tubuh. Selain itu
pemeriksaan organ reproduksi seperti pemeriksaan penis, palpasi scrotum dan
testis perlu dilakukan. Palpasi rektal diperlukan untuk mengetahui adanya
abnormalitas kelenjar assesoris, uretra (Troxel 2011). Dari hasil pemeriksaan fisik
sapi dan domba yang digunakan menunjukan bahwa sapi dan domba tersebut
layak untuk dijadikan pejantan unggul.
Pemeriksaan Semen
Evaluasi semen dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Evaluasi
makroskopis meliputi pengamatan terhadap volume, warna, pH, konsistensi, dan
bau. Sedangkan evaluasi secara mikroskopis meliputi gerakan spermatozoa
(massa dan individu), motilitas spermatozoa (daya gerak), viabilitas spermatozoa
(sperma hidup), konsentrasi spermatozoa, dan morfologi abnormal spermatozoa.
Hasil evaluasi semen sapi dan domba segar secara makroskopik dan mikroskopik
dipaparkan dalam tabel 1.
Tabel 1 Hasil evaluasi karakteristik semen segar sapi dan domba
Ternak
Evaluasi
Makroskopis
Volume (ml)
Warna
pH
Konsistensi
Bau
Mikroskopis
Gerakan spermatozoac
Gerakan massa (+/++/+++)
Gerakan individu (1-5)
Motilitas progresif (0-100%)
Spermatozoa hidup (%)
Konsentrasi spermatozoa (106/ml)
- Estimasi

- Counting chamber (juta/ml)


Morfologi Spermatozoa (abnormal) (%)

Sapi

Domba

6.5
Krem susu
6.4
Sedang
Khas sperma

1
Putih krem
6.4
Kental
Khas sperma

+++
4
80
84.2

+++
4
80
83.13

Semi densum
2620
3.19

Densum
1687
10.12

Berdasarkan hasil pengamatan makroskopis dan mikroskopis diketahui


bahwa volume semen sapi yang diperoleh adalah 6.5 mL. Hasil tersebut sesuai
dengan pernyataan Garner dan Hafez (2000) bahwa volume semen sapi berkisar
antara 5-8 mL per ejakulasi. Warna semen krem, konsistensi sedang, berbau khas
dengan pH 6.4. Kisaran pH normal semen sapi menurut Garner dan Hafez (2000)

yaitu 5-7. Pemeriksaan mikroskopis terhadap gerakan massa, gerakan individu,


motilitas progresif serta viabilitas yang berada dalam kisaran normal. Parker et al.
(2002) melaporkan bahwa ambang batas minimal motilitas spermatozoa yang
diperbolehkan untuk pemilihan pejantan adalah 70%. Penentuan konsentrasi
spermatozoa dilakukan dengan cara estimasi (perkiraan) dan perhitungan pada
counting chamber. Secara estimasi, konsentrasi spermatozoa menunjukkan hasil
densum (>1000x106/mL) yang sesuai dengan perhitungan pada counting chamber
yaitu sebesar 2620x106/mL. Menurut Garner dan Hafez (2000), konsentrasi
spermatozoa sapi berkisar antara 1000-2000 x10 6/mL. Abnormalitas morfologi
menunjukkan angka 3.19% yang telah memenuhi rekomendasi minimal
abnormalitas morfologi pada pejantan yaitu sebesar 30% (Chenoweth, 2002).
Konsentrasi spermatozoa dipengaruhi oleh breed, umur, bobot badan, interval
koleksi semen serta pakan yang diberikan pada sapi.
Hasil evaluasi mikroskopik didapatkan volume dari semen domba adalah 1
mL. Toelihere (1993) menyatakan bahwa volume semen domba berkisar antara
0,8-1,2 mL. Semen domba berwarna putih krem dengan konsistensi kental dan
memiliki bau khas. Semen domba normal memiliki warna putih krem atau krem,
konsistensi kental dan bau amis atau bau khas (Toelihere, 1993). Semakin kental
semen yang didapatkan dapat diartikan bahwa konsentrasinya semakin tinggi.
Pengukuran pH pada semen domba menunjukkan hasil yang normal yaitu 6,4.
Menurut Garner and Hafez (2000), pH semen domba atau kambing berkisar 5,97,3. Gerakan massa pada semen domba dikategorikan +++ karena memberikan
gambaran gelombang yang besar dengan rataan gerakan individunya 4 dan
motilitas progresifnya 80%. Semen domba dapat dikatakan normal apabila
motilitas progresifnya lebih dari 50% (Perkins et al., 1992). Viabilitas
spermatozoa adalah 83,13%. Hasil viabilitas hari pertama sedikit lebih rendah
dibandingkan dengan viabilitas normalnya yaitu 83,60% (Yulnawati dan Herdis,
2009). Hal ini diduga disebabkan oleh faktor lingkungan dan hereditas domba
yang diamati. Selain itu faktor umur dan nutrisi juga dapat mempengaruhi jumlah
spermatozoa hidup (Lunstra et al. 1996). Konsentrasi rata-rata spermatozoa semen
domba yang dievaluasi yaitu 1687 x 106 /mL. Hasil evaluasi berada di bawah
kisaran normal (2000-3000 x 106 /mL) (Hafez, 2000). Konsentrasi spermatozoa
dipengaruhi oleh volume semen, semakin rendah volume semen maka konsentrasi
spermatozoa menjadi lebih tinggi (Toelihere 1981). Rataan abnormalitas
spermatozoa hasil evaluasi adalah 10,12%. Toelihere (1981) menyatakan bahwa
abnormalitas spermatozoa yang melampaui angka 14% menunjukkan adanya
gejala infertilitas atau ketidaksuburan seekor pejantan. Hal ini juga menunjukkan
bahwa semen berkualitas baik.
Hasil yang didapatkan dari pengamatan semen sapi dan domba secara
makroskopis masih dalam kisaran normal. Evaluasi secara mikroskopis juga tidak
menunjukan adanya kelainan. Perbedaan hasil yang didapatkan dari nilai normal
disebabkan oleh beberapa faktor seperti perbedaan umur, ukuran badan, pakan,
frekuensi penampungan semen, dan cara penampungan (Astuti 2012).
Berdasarkan hasil evaluasi di atas, semen domba dan sapi yang dikoleksi layak
dijadikan sebagai pejantan unggul karena memiliki syarat motilita progresif lebih
dari 65% dan abnormalitas kurang dari 20% (Garner et al 2000). Secara
keseluruhan berdasarkan metode BSE maka pejantan sapi dan domba yang
dievaluasi layak dijadikan pejantan untuk produksi sperma.

PRESERVASI
DOMBA

DAN

KRIOPRESERVASI

PADA

SEMEN

Sebelum diencerkan untuk dijadikan semen cair dan beku semen yang
dikoleksi harus dievaluasi terlebih dahulu. Evaluasi semen dilakukan secara
makroskopis dan mikroskopis. Evaluasi makroskopis meliputi pengamatan
terhadap volume, warna, pH, konsistensi, dan bau. Sedangkan evaluasi secara
mikroskopis meliputi gerakan spermatozoa (massa dan individu), motilitas
spermatozoa (daya gerak), viabilitas spermatozoa (sperma hidup), konsentrasi
spermatozoa, dan morfologi abnormal spermatozoa. Hasil evaluasi semen domba
segar secara makroskopik dan mikroskopik dipaparkan dalam tabel 2.
Tabel 2 Hasil evaluasi karakteristik semen segar domba.
Domba
Evaluasi
Normal

Hasil

Makroskopis
Volume (ml)

0,8-1,2a

0,8

Warna

Krema

Putih krem

pH

5,9-7,3b

6.4

Konsistensi
Bau

Kental

Kental

Khas sperma

+++

+++

Mikroskopis
Gerakan spermatozoa
Gerakan massa (+/++/+++)
Gerakan individu (1-5)
Motilitas progresif (0-100%)
Spermatozoa hidup (%)

>50%

80

83.60

84,21

Konsentrasi spermatozoa (juta/ml)


-

Estimasi

Densum
e

- Counting chamber (juta/ml)

2000-3000

2425

Morfologi Spermatozoa (abnormal) (%)

<14%

8,7

Normal menurut: a.Toelihere (1993) , b.Garner and Hafez (2000), c.Perkins et al. (1992),
d.Yulnawati dan Herdis (2009), e.Hafez (2000), f. Toelihere (1981)

Hasil evaluasi mikroskopik didapatkan volume dari semen domba adalah


0,8 mL. Semen domba berwarna putih krem dengan konsistensi kental dan
memiliki bau khas. Menurut Garner and Hafez (2000), pH semen domba atau
kambing berkisar 5,9-7,3. Pada pemeriksaan kali ini didapat pH sebesar 6,4.
Gerakan massa pada semen domba dikategorikan +++ karena memberikan
gambaran gelombang yang besar dengan rataan gerakan individunya 4 dan
motilitas progresifnya 80%. Semen domba dapat dikatakan normal apabila
motilitas progresifnya lebih dari 50% (Perkins et al., 1992). Viabilitas
spermatozoa adalah 84,21%. Konsentrasi rata-rata spermatozoa semen domba
yang dievaluasi pada yaitu 2425 x 106 /mL masih berada pada kisaran normal
(2000-3000 x 106 /mL) (Hafez, 2000). Konsentrasi spermatozoa dipengaruhi oleh
volume semen, semakin rendah volume semen maka konsentrasi spermatozoa

menjadi lebih tinggi (Toelihere 1981). Rataan abnormalitas spermatozoa hasil


evaluasi adalah 8,7%. Toelihere (1981) menyatakan bahwa abnormalitas
spermatozoa yang melampaui angka 14% menunjukkan adanya gejala infertilitas
atau ketidaksuburan seekor pejantan. Hal ini juga menunjukkan bahwa semen
berkualitas baik.
Semen yang telah dievaluasi kemudian diencerkan untuk pembuatan
semen beku dan semen cair. Penambahan bahan pengencer bertujuan
untuk memperbanyak volume semen sehingga jumlah betina yang dapat
difertilisasi secara buatan menjadi lebih banyak (Campbell et al. 2003). Bahan
pengencer semen harus mengandung sumber nutrisi, buffer, bahan anti cold shock,
antibiotik, dan krioprotektan bagi semen beku yang dapat melindungi
spermatozoa selama proses pengenceran, pembekuan, dan thawing (Toelihere
1993). Pengencer yang digunakan pada pembuatan semen cair dan beku yaitu tris
kuning telur (TKT) dan sitrat kuning telur (SKT). Pengujian terhadap kualitas
semen setelah diencerkan dapat dilakukan dengan mengamati motilitas dan
viabilitas spermatozoa. Penyimpanan spermatozoa yang digunakan untuk IB dapat
disimpan sebagai semen beku dan semen cair. Hasil pengamatan motilitas dan
viabilitas spermatozoa dalam semen beku disajikan dalam tabel 3.
Tabel 3 Hasil pengamatan motilitas dan viabilitas spermatozoa domba pada semen
beku
Pengencer/
Parameter

Setelah Ekuilibrasi

Post Thawing
Suhu 37 C
Air kran
o

Tris-Kuning Telur
Motilitas (%)
Viabilitas (%)
NaSitrat-Kuning Telur

70
76,32

40
65

35
47,3

Motilitas (%)
Viabilitas (%)

70
81,16

30
63.6

25
51

Hasil pengamatan semen beku menunjukkan bahwa spermatozoa mampu


mempertahankan motilitas dan viabilitasnya. Kedua pengencer tidak
menunjukkan adanya pengaruh yang nyata, hal ini terlihat dari hasil pengamatan
yang tidak ada perbedaan. Waktu ekuilibrasi merupakan waktu penyesuaian diri
spermatozoa dengan pengencer supaya ketika pembekuan tidak terjadi kerusakan
spermatozoa berlebihan. Menurut Salamon dan Maxwell (2000) waktu ekuilibrasi
yang baik sekitar 3-4 jam karena pada waktu ekuilibrasi optimum akan
memberikan kesempatan terbaik bagi gliserol untuk melindungi spermatozoa dari
pengaruh cold shock selama peroses pembekuan. Pada ekuilibrasi tidak hanya
terjadi keseimbangan konsentrasi gliserol, tetapi juga komponen ekstender
osmosis aktif lainnya.
Hasil evaluasi semen beku dilakukan dengan suhu air thawing yang
berbeda. Suhu thawing dilakukan menggunakan air hangat (37 oC) dan air keran.
Bahan pengencer semen beku harus mengandung sumber nutrisi, buffer, bahan
anti cold shock, antibiotik, dan krioprotektan yang dapat melindungi spermatozoa
selama proses pembekuan dan thawing. Bahan pengencer untuk semen beku juga

ditambahkan gliserol untuk mencegah terjadinya cold shock. Gliserol berfungsi


memodifikasi pembentukan kristal es melalui pencegahan peningkatan
konsentrasi elektrolit di atas efek yang membahayakan dalam medium (Kumar et
al. 1992). Selian itu juga berguna untuk mencegah pengumpulan molekul H2O
dan kristalisasi es pada daerah titik beku larutan (Mazur 1980). Pada semen
kambing konsentrasi gliserol yang optimum adalah 3-7% (Rizal et al. 2002).
Konsentrasi gliserol yang berlebihan akan menimbulkan efek toksik pada sel
sperma, sebaliknya apabila kurang, gliserol tidak akan memberikan efek yang
optimal.
Hasil pengamatan viabilitas dan motilitas setelah dilakukan thawing
menunjukkan bahwa pada bahan pengencer tris kuning telur dan Na-Sitrat kuning
telur lebih tinggi pada air hangat dibandingkan air kran. Hal ini dikarenakan
spermatozoa merupakan bahan yang tersusun atas protein, sehingga memiliki sifat
sama dengan protein. Protein pada suhu yang optimum akan bekerja dan bergerak
maksimum. Menurut Molinia et al. (1994) persentase motilitas semen domba
yang dikriopreservasi setelah thawing dengan pengencer tris yang mengandung
6% gliserol adalah 51,7 %. Hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil motilitas pada
thawing dengan air hangat pada perlakuan.
Motilitas dan viabilitas spermatozoa dalam bahan pengencer tris kuning
telur lebih baik dibandingkan dengan Na-Sitrat kuning telur. Hal ini dibuktikan
dengan tingginya hasil pengamatan motilitas dan viabilitas pada bahan pengencer
tris kuning telur baik setelah pengenceran, setelah ekuilibrasi, dan setelah
dithawing. Hasil ini sesuai dengan penelitian Wahdini (2011) yang menyatakan
bahwa bahan pengencer yang terbaik digunakan adalah bahan pengencer tris
kuning telur.
Tabel 4 Hasil pengamatan motilitas dan viabilitas spermatozoa domba pada semen
cair
Hari ke1
2
3
4
5
6
7

Motilitas spermatozoa dalam bahan


pengencer
Tris (%)
Sitrat (%)
70
70
50
45
50
45
40
30
30
30
20
10
0 (mati)
0 (mati)

Viabilitas spermatozoa dalam bahan


pengencer
Tris (%)
Sitrat (%)
80
79
72
70
70
59
61
55
47
46
40
34

Syarat agar semen cair dapat digunakan untuk IB adalah memiliki motilitas
diatas 40%. Tabel diatas menunjukan bahwa semen cair dengan bahan pengencer
tris kuning telur mampu mempertahankan motilitas diatas 40% sampai hari
keempat. Sedangkan pada bahan pengencer Na-Sitrat kuning telur hanya bertahan
sampai hari ketiga. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh adanya perbedaan
komposisi yang terkandung dalam bahan pengencer.
Menurut Solihati (2008), kandungan bahan pengencer tris kuning telur lebih
lengkap dibandingkan dengan bahan pengencer Na-Sitrat kuning telur. Bahan
pengencer tris terdiri atas tris hydroxymethyl aminomethan, asam sitrat, fruktosa,
antibiotic, lipoprotein dan lacitin. Disamping itu bahan pengencer tris juga

berfungsi sebagai buffer terhadap perubahan pH akibat adanya asam laktat dari
hasil metabolisme spermatozoa dan juga dapat mempertahankan keseimbangan
elektrolit spermatozoa. Selain itu pada tris kuning telur juga terdapat fruktosa
yang berperan sebagai substrat penghasil energi berupa ATP, sehingga
spermatozoa dapat bergerak dengan lebih cepat (Tambing et al. 2000).
Penelitian yang dilakukan oleh Eduard (1997) terhadap domba priangan
menyatakan bahwa bahan pengencer tris kuning telur merupakan bahan pengencer
terbaik karena memiliki komposisi yang lebih lengkap. Walau demikian antara
bahan pengencer tris kuning telur dan Na-Sitrat kuning telur tidak terlihat adanya
perbedaan yang signifikan. Rendahnya motilitas spermatozoa pada bahan
pengencer Na-Sitrat kuning telur diduga disebabkan oleh adanya kandungan ion
sitrat. Ion sitrat dapat berikatan dengan Ca yang terdapat dalam plasma semen,
sehingga dapat menghilangkan fungsi Ca sebagai agen cryoprotectant dan pemacu
motilitas spermatozoa.
Viabilitas spermatozoa pada kedua bahan pengencer tidak menunjukkan
hasil yang terlalu berbeda. Viabilitas spermatozoa pada hari pertama sampai hari
ketiga masih di atas 70% dan dinyatakan masih layak untuk digunakan dalam
proses IB. Semakin lama penyimpanan semen dalam lemari pendingin akan
menyebabkan penurunan viabilitas sperma. Hal ini dapat dilihat pada hari
keempat sampai hari keenam terjadi penurunan viabilitas pada kedua bahan
pengencer. Hal ini karena metabolisme spermatozoa dapat berlangsung dengan
baik dalam larutan pengencer yang mengandung gula yang mudah dipecah.
Kualitas semen cair yang tinggi pada perlakuan penambahan fruktosa dalam
pengencer menunjukkan bahwa spermatozoa domba dapat mempertahankan
kualitas semen cair yang dihasilkan (Aisen et al. 2002).
Semen cair yang dapat digunakan untuk inseminasi buatan harus memiliki
viabilitas minimal sebesar 40%. Hasil pengamatan menunjukkan semen dengan
bahan pengencer tris kuning telur lebih baik dibandingkan dengan bahan
pengencer Na-Sitrat kuning telur. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan
bahwa bahan pengencer tris kuning telur dan Na-Sitrat kuning telur menunjukkan
hasil yang cukup baik dalam mampu mempertahankan daya hidup spermatozoa.

DAFTAR PUSTAKA
Aisen EG, Mediana VH, Venturino A. 2002. Cryopreservation adn post-thawed
fertility of ram semen frozen in different trhalose concentration.
Theriogenology. Vol 57:1801-1808.
Astuti S. 2012. Karakteristik spermatozoa domba selama proses pembekuan
dengan medium pengencer yang ditambahkan glutation. [terhubung
berkala].
Dapat
diakses
pada
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/58589. [18 Mei 2015]
Chenoweth PJ. 2002. Semen quality assesment. Proceedings, The Applied
Reproductive Strategies in Beef Cattle Workshop,Manhattan.
Eduard G. 1997. Pengaruh jenis pengencer dan kadar griserol terhadap kuliatas
semen domba priangan pasca pembekuan [skripsi]. Bandung (ID):
Universitas Padjadjaran.

Garner DL dan ESE Hafez. 2000. Spermatozoa and seminal plasma. Hal 96- 109.
Di Dalam: Hafez B dan ESE Hafez (Ed). Reproduction In Farm Animal. Ed
ke-7. Philadelphia (USA): Lippincott & Wilkins.
Garner DL, Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals. Ed ke-7.
Philadelphia (US): Lippincot Williams & Wilkins.
Hafez B, Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals. Ed ke-7. Philadelphia
(US): Lippincott William dan Wilkins.
Hafez ESE. 2000. Preservation in Farm Animal. Edisi ke-6. Philadelphia (USA):
Leaand Febiger.
Herdis, Toelihere MR, Supriatna I, Purwantara B, Adikara RTS. 2005. Optimasi
kualitas semen cair domba garut (Ovis aries) melalui penambahan maltosa
ke dalam pengencer semen tris kuning telur. Media Kedokteran Hewan.
21:88-93.
Kumar S, Sahni KL, Moohan G. 1992. Effect of different levels of glycerols and
egg yolk on freezing and stored of buffalo semen in milk, tris and sodium
citrate buffers. Buffalo J. Vol 2:151-156.
Mazur P. 1980. Fundamental aspects of the freezing of cells, with emphasis on
mammalian ova and embryos. Proceeding 9th International Congress on
Animals Reproduction and AI 1: pp. 99-114.
Molinia FC, Evans G, Maxwell WMC. 1994. Incorporation of penetrating
cryoprotectants in diluents for pellet-freezing ram spermatozoa.
Theriogenology. Vol 42:849-858.
Parker R, Mathis C, Hawkins D. 2002. Evaluating the Breeding Soundness of
Beef Bulls. College of Agricultural, Consumer and Environmental Sciences
NMSU.
Perkins A, Fitzgerald AJ, Price EO. 1992. Sexual performance of rams in serving
capasity test predicts success in pen breeding. J. Anim. Sci. : 2722-2725.
Rizal M, Toelihere MR, Yusuf TL, Purwantara B, Situmorang P. 2002. Kualitas
semen beku domba garut dalam berbagai konsentrasi gliserol. JITV. Vol
7(3):194-199.
Salamon S, Maxwell WMC. 2000. Storage of ram semen. Anim. Reprod. Sci. Vol
62:77-111.
Solihati N. 2008. Studi terhadap kualitas dan daya tahan hidup spermatozoa cauda
epididimis domba Garut menggunakan berbagai jenis pengencer. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; 2008; Bogor, Indonesia.
Tambing SN, Toelihere MR, Yusuf TL, Sutama LK. 2000. Effect of glycerol in tris
extender on frozen semen quality of crossbred Etawah bucks. JITV. Vol
5(2):84-91.
Wahdini S. 2011. Pengaruh penggunaan buffer sitrat, tris aminomethan dan
kombinasi tris aminomethan dengan sitrat yang ditambah kuning telur
terhadap kualitas semen sapi pesisir. [Skripsi]. Padang (ID): Fakultas
Peternakan Universitas Andalas.
Yulnawati, Herdis. 2009. Kualitas semen cair domba garut pada penambahan
sukrosa dalam pengencer Tris kuning telur. JITV. Vol 14(1):45-49.

Anda mungkin juga menyukai