Anda di halaman 1dari 15

TATA GUNA TANAH

1. PENGERTIAN TATA GUNA TANAH


"Tanah" dipakai dalam berbagai arti, maka dalam pengunaannya perlu mengetahui
batasan dari pada tanah, agar diketahui dalam arti apa istilah tersebut digunakan. "Tanah",
dalam arti yuridis, menurut undang-undang pokok agraria (UUPA) pasal 4 disebutkan, bahwa
atas dasar hak menguasai dari negara .... ditentukan adanaya bermacam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orangorang.
Dengan demikian jelaslah, bahwa "tanah" dalam pengertian yuridis adalah permukaan
bumi (ayat 1). Sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi,
yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.
Tanah yang diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang
disediakan oleh UUPA, adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan. Diberikannya dan
dipunyainya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna, jika penggunaannya
terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja. Untuk keperluan apa pun tidak bisa
tidak, pasti diperlukan juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air
serta ruang yang ada di atasnya. Oleh karena itu dalam (ayat2) dinyatakan, bahwa hak-hak
atas tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu
permukaan bumi yang bersangkutan, yang disebut "tanah", tapi juga tubuh bumi yang ada di
bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya.
Dengan demikian, maka yang dipunyai dengan hak atas tanah itu adalah tanahnya,
dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi. Tapi wewenang menggunakan yang
bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan sebagian tubuh bumi
yang ada di bawah tanah dan air serta ruang yang ada diatasnya.
Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksud itu bukan kepunyaan pemegang hak atas
tanah yang bersangkutan. Ia hanya diperbolehkan menggunakannya. Penggunaan tanah ini
ada batasnya menurut pasal 4 ayat (2) sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut undang-undang
(UUPA) dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Sedangkan berapa tubuh bumi itu boleh digunakan dan setinggi berapa ruang yang
ada di atasnya boleh digunakan, ditentukan oleh tujuan penggunaannya, dalam batas-batas

kewajaran, perhitungan teknis kemampuan tubuh buminya sendiri, kemampuan pemegang


haknya serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Istilah tata guna tanah biasa juga dikenal dengan istilah asingnya sebagai Land Use
Planning. Apabila istilah tata guna tanah dikaitkan dengan obyek hukum agraria nasional
(UUPA), maka penggunaan istilah tersebut kurang tepat. Hal ini dikarenakan obyek hukum
agraria meliputi: bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Sedangkan tata guna tanah hanya berobyek tanah yang merupakan salah satu bagian dari
obyek hukum agraria. Maka istilah yang tepat adalah Tata Guna Agraria atau Agrarian
Use Planning yang meliputi:
1.Tata Guna Tanah (land use planning)
2.Tata Guna Air (water use palnning)
3.Tata Guna Ruang Angkasa (air use planning)
Dalam ketentuan menimbang huruf a TAP MPR No. IX Tahun 2001 Tentang
Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam ditegaskan bahwa bahwa sumber
daya agraria/sumber daya alam meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya sebagai Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia,
merupakan kekayaan Nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena itu harus dikelola dan
dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam rangka
mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Ada beberapa definisi tata guna tanah yang dapat dijadikan acuan:
1. Tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan untuk mengatur peruntukan, penggunaan dan
persediaan tanah secara berencana dan teratur sehingga diperoleh manfaat yang lestari,
optimal, seimbang dan serasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan negara.
2. Tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan penataan, penyediaan, peruntukan dan
penggunaan tanah secara berencana dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional.
3. Tata guna tanah adalah usaha untuk menata proyek-proyek pembangunan, baik yang
diprakarsai pemerintah maupun yang tumbuh dari prakarsa dan swadaya masyarakat sesuai
dengan daftar sekala prioritas, sehingga di satu pihak dapat tercapai tertib penggunaan tanah,
sedangkan di pihak lain tetap dihormati peraturan perundangan yang berlaku.
Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil unsur-unsur yang ada, yaitu:
a.

Adanya serangkaian kegiatan.

Yang meliputi pengumpulan data lapangan yang menyangkut tentang penggunaan,


penguasaan, dan kemampuan fisik tanah, pembuatan rencana/pola penggunaan tanah untuk
kepentingan pembangunan dan pengawasan serta keterpaduan di dalam pelaksanaanya.
b. Penggunaan tanah harus dilakukan secara berencana.
Ini mengandung konsekuensi bahwa penggunaan tanah harus dilakukan atas dasar prinsipprinsip tertentu. Prinsip-prinsip tersebut ialah lestari, optimal, serasi dan seimbang.
c.

Adanya tujuan yang hendak dicapai.


Ialah untuk tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat menuju masyarakat yang adil dan
makmur.

4. Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi
penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berujud konsolidasi pemanfaatan tanah
melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu
kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil (Pasal 1 PP No. 16 Tahun 2004
tentang Penatagunaan Tanah). Tanah adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang
merupakan bentukan alami maupun buatan manusia. Pemanfaatan tanah adalah kegiatan
untuk mendapatkan nilai tambah tanpa mengubah wujud fisik penggunaan tanahnya.
Sedangkan pengertian penguasaan tanah adalah hubungan hukum antara orang per orang,
kelompok orang atau badan hukum dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1960 pengertian bumi, selain
permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air.
Sedangkan tanah menurut PP 16 Tahun 2004 ialah wujud tutupan permukaan bumi baik yang
merupakan bentukan alami maupun buatan manusia.
Penatagunaan tanah merupakan bagian dari sub sistem penataan ruang wilayah yang
dituangkan dalam rencana tata ruang wilayah. Rencana tata ruang wilayah ialah hasil
perencanaan tata ruang berdasarkan aspek administrative dan atau aspek fungsional yang
telah ditetapkan.

2. TUJUAN TATA GUNA TANAH


Tujuan penatagunaan tanah sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 Peraturan
Pemerintah No. 16 Tahun 2004 adalah :

a.

Dalam rangka pemanfaatan ruang dikembangkan penatagunaan tanah yang disebut juga pola

pengelolaan tata guna tanah.


b. Penatagunaan tanah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) merupakan kegiatan dibidang
pertanahan dikawasan lindung dan kawasan budidaya. Penatagunaan tanah sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) diselenggarakan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota.
Tujuan dari tata guna tanah harus diarahkan untuk dapat mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut:
1. Mengusahakan agar tidak terjadi penggunaan tanah yang salah tempat.
Maksudnya setiap kegiatan yang memerlukan tanah harus diperhatikan mengenai data
kemampuan fisik tanah untuk mengetahui sesuai tidaknya kemampuan tanah tersebut dengan
kegiatan yang akan dilaksanakan.
2. Mengusahakan agar tidak terjadi penggunaan tanah yang salah urus.
Maksudnya setiap harus melaksanakan kewajibannya memelihara tanah yang dikuasainya.
Hal ini untuk mencegah menurunnya kualitas sumber daya tanah yang akirnya akan timbul
kerusakan tanah.
3. Mengusahakan adanya penggendalian terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat akan
tanah.
Pengendalian ini dilakukan untuk menghindari konflik kepentingan akibat penggunaan tanah.
Mengusahakan agar terdapat jaminan kepastian hukum bagi hak-hak atas tanah warga
masyarakat.
4. Jaminan kepatian hukum penting untuk melindungi warga masyarakat yang tanahnya diambil
untuk kepentingan proyek pembangunan.
Berdasarkan ketentuan PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah tujuan dari
penatagunaan tanah ialah pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan
masyarakat secara adil. Secara rinci penatagunaan tanah bertujuan untuk:
a.

mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi berbagai kebutuhan kegiatan

pembangunan yang sesuai dengan RTRW;


b. mewujudkan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah agar sesuai dengan arahan
c.

fungsi kawasan dalam RTRW;


mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan

d.

tanah serta pengendalian pemanfaatan tanah;


menjamin kepastian hukum untuk memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai
hubungan hukum dengan tanah sesuai dengan RTRW yang telah ditetapkan.

3. PRINSIP-PRINSIP TATA GUNA TANAH


Perencanaan tata agraria harus didasarkan pada tiga prinsip:
a. Prinsip penggunaan aneka (principle of multiple use)
Prinsip ini menghendaki agar rencana tata agraria dapat memenuhi beberapa kepentingan
sekaligus pada satu kesatuan tanah tertentu.
b. Prinsip penggunaan maksimum (principle of maximum production)
Prinsip ini dimaksudkan agar penggunaan suatu bidang agraria diarahkan untuk memperoleh
hasil fisik yang setinggi-tingginya untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang mendesak.
c. Prinsip penggunaan optimum (principle of optimum use)
Prinsip ini menghendaki agar penggunaan suatu bidang agraria dapat memberikan
keuntungan

ekonomis

yang

sebesar-besarnya

kepada

orang

yang

menggunakan/

mengusahakan tanpa merusak sumber alam itu sendiri.


4. ASAS-ASAS TATA GUNA TANAH
Dalam literatur Hukum Agraria biasanya dibedakan 2 kelompok asas tata guna tanah
yang disebabkan oleh karena adanya perbedaan titik berat penggunaan tanah diantara
keduanya dimana penggunaan tanah di daerah pedesaan lebih dititikberatkan pada usahausaha pertanian. Sedangkan penggunaan tanah di daerah perkotaan dititikberatkan pada
kegiatan non pertanian serta perbedaan ciri-ciri kehidupan masyarakat pedesaan dengan
perkotaan. Berdasarkan penjelasan Pasal 13 ayat (5) PP No. 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah, bahwa pedoman teknis penggunaan tanah bertujuan untuk menciptakan
penggunaan dan pemanfaatan tanah yang lestari, optimal, serasi dan seimbang (LOSS)
diwilayah pedesaan serta aman, tertib, lancar dan sehat (ATLAS) di wilayah perkotaan yang
menjadi persyaratan penyelesaian administrasi pertanahan. Secara rinci asas tata guna tanah
itu dijelaskan sebagai berikut:
Asas tata guna tanah untuk daerah pedesaan (rural land use planning). Biasanya
disingkat dengan LOSS.
1.Lestari
Tanah harus dimanfaatkan dan digunakan dalam jangka waktu yang lama yang akan
berdampak pada:
a) Akan terjadi penghematan dalam penggunaan tanah.
b) Agar supaya generasi yang sekarang dapat memenuhi kewajibannya untuk mewarislan
sumber daya alam kepada generasi yang akan datang.
Suatu ungkapan dari seorang raja Afrika bahwa: the land belongs to agreat family of
which many member are dead, some are living and the large number still to the born. (jadi

tanah bukan milik masyarakat sekarang saja, tetapi tanah milik dari masyarakat dulu
masyarakat sekarang dan masyarakat yang akan datang).
2.Optimal
Pemanfaatan tanah harus mendatangkan hasil atau keuntungan ekonomis yang
setinggi-tingginya.
3.Serasi dan seimbang
Suatu ruang atas tanah harus dapat menampung berbagai macam kepentingan pihakpihak, sehingga dapat dihindari adanya pertentangan atau konflik dalam penggunaan tanah.
Asas tata guna tanah untuk daerah perkotaan (urban land use planning)
1.Aman
Maksudnya aman dari: bahaya kebakaran, dari tindak kejahatan, bahaya banjir,
bahaya kecelakaan lalu lintas dan aman dari ketunakaryaan.
2.Tertib
Maksudnya tertib dalam bidang pelayanan, dalam penataan wilayah perkotaan, dalam
lalu lintas, dan dalam hukum.
3.Lancar
Maksudnya lancar dalam pelayanan, lancar berlalu lintas, dan lancar dalam
komunikasi.
4.Sehat
Maksudnya sehat dari segi jasmani dan sehat dari segi rohani.
Sedangkan asas penatagunaan tanah menurut PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan
Tanah ialah keterpaduan, berdayaguna dan berhasilguna, serasi, selaras, seimbang,
berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum (Pasal 2).
5. KEDUDUKAN PGT DI DALAM PEMBANGUNAN DI BIDANG PERTANAHAN
Saat ini tanah merupakan resource yang memiliki posisi strategis dalam kontek
pembangunan nasional. Segala bentuk pembangunan hampir seluruhnya memerlukan tanah
untuk aktifitasnya. Dalam kaitan tersebut, diperlukan upaya untuk lebih meningkatkan peran
penatagunaan tanah untuk dapat mewujudkan pembangunan yang sustainable.
Seperti yang telah dimaklumatkan dalam Pasal 1, PP No. 16/2004 Tentang
Penatagunaan Tanah, yang dimaksudkan penatagunaan tanah adalah sama dengan pola
pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah
yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait

dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara
adil. Penatagunaan tanah ini merujuk pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota
yang telah ditetapkan seperti tercantum pada pasal 3 mengenai tujuan dari penatagunaan
tanah. Dari sini dapat kita telaah bahwasannya, penatagunaan tanah merupakan ujung tombak
dalam mengimplementasikan RTRW di lapangan. Hal ini didasarkan bahwa, dalam setiap
jengkal tanah, pada hakekatnya telah melekat hak kepemilikan tanah. Sehingga untuk
mewujudkan RTRW dalam setiap jengkal tanah mau tidak mau harus berinteraksi dengan
pemegang hak atas tanah tersebut.
Posisi penatagunaan tanah juga semakin jelas seperti yang termaktub dalam Pasal 33
UU No.26/2007 Tentang Penataan Ruang, dimana pemanfaatan ruang mengacu pada rencana
tata ruang yang dilaksanakan dengan penatagunaan tanah, penatagunaan air, dan
penatagunaan udara. Pada hakekatnya, tanah sebagai unsur yang paling dominan dalam
penataan ruang, telah dilandasi dengan PP, memiliki peran yang paling strategis dalam
mewujudkan penataan ruang. Namun demikian, penatagunaan tanah belum begitu dilibatkan
dalam proses penyusunan, implementasi maupun pengawasan penataan ruang. Menurut saya,
proses penataan ruang di Indonesia saat ini memang pada level yang bervariasi. Namun
demikian, secara umum dapat dilihat bahwa, penataan ruang masih bergerak dilevel dasar,
yaitu proses euphoria penyusunan tata ruang. Hal ini terbukti dari banyaknya tata ruang yang
tidak dilaksanakan di lapangan. Seharusnyalah, mulai sekarang, kita bersama-sama harus
lebih memikirkan juga bagaimana implementing di lapangan.
Penatagunaan tanah memiliki dua peran utama dalam mewujudkan rencana tata ruang
guna kepentingan masyarakat secara adil. Pertama, peran secara makro, penatagunaan tanah
bersama-sama dengan instansi lain baik pusat maupun daerah, bekerja sama untuk
merumuskan kebijakan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang.
Hal ini terwujud dalam pembentukan Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN)
maupun didaerah (BKPRD). Perlu diketahui bahwa sampai dengan hari ini, penatagunaan
tanah yang diemban oleh Badan Pertanahan Nasional (Direktorat Penatagunaan Tanah),
masih merupakan instansi vertikal. Kondisi ini lebih memudahkan kontrol maupun
koordinasi antara penatagunaan tanah nasional maupun daerah. Selain itu penatagunaan tanah
juga bertugas untuk menyusun neraca penatagunaan tanah. Di dalam neraca ini terdapat
evalusai kesesuaian RTRW dengan penggunaan tanah saat ini, serta ketersediaan tanah untuk
pembangunan didasarkan pada RTRW, penggunaan, dan penguasaan tanah. Neraca ini
tentunya sangat berguna dalam revisi dan evaluasi RTRW.

Peran penatagunaan tanah di level mikro adalah implementing penatagunaan tanah


dalam pada administrasi pertanahan. Di sini peran penatagunaan tanah semakin jelas, dimana
secara langsung dalam administrasi pertanahan, penatagunaan tanah dapat terlibat langsung
dalam proses administrasi pertanahan. Proses-proses administrasi pertanahan mulai dari
penerbitan hak, pemindahan hak, pelepasan hak, dan lain-lain, kesemuanya harus mengacu
pada rencana tata ruang wilayah. Dalam penyelenggaraan penatagunaan tanah, dapat
ditempuh melalui penataan kembali, upaya kemitraan, dan penyerahan dan pelepasan hak
atas tanah kepada negara. Dalam hal pembinaan dan pengendalian penatagunaan tanah dapat
ditempuh melalui pemberian insentif dan disinsentif.
6. PENGATURAN PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH
a. Penatagunaan Tanah Pertanian
Tanpa adanya planning, maka pemakaian tanah-tanah pertanian terutama hanya akan
berpedoman pada kepentingan masing-masing atau pada keuntungan insidentil yang mereka
harapkan dari jenis-jenis tanaman tertentu. Dengan planning maka dapat dicapai
keseimbangan yang baik antara luas tanah dengan jenis-jenis tanaman yang penting bagi
rakyat dan negara.
Dalam planning diberikan jatah tanah menurut keperluan rakyat dan negara untuk
jenis tanaman-tanaman yang penting bagi program sandang pangan, baik bagi bahan pangan
maupun tanaman perdagangan.Usaha kearah penatagunaan tanah secara teknis telah
dilakukan tetapi belum secara menyeluruh, antara lain dalam bentuk perundang-undangan
seperti:
UU No. 38 Prp Tahun 1960 mengenai luas minimum tanaman tebu yang harus
ditetapkan oleh Menteri Agraria untuk dapat menjamin produksi tebu dan kesinambungan
produktifitas pabrik gula yang harus diimbangi dengan penetapan maksimum luas tanah di
daerah sekitar perkebunan tebu/pabrik gula yang bersangkutan, yang boleh ditanami tanaman
perdagangan lain.
UU No. 20 Tahun 1964 yang mensyaratkan penetapan jumlah sewa yang layak, dalam
arti sewa yang tidak merugikan kaum tani atas tanah-tanah yang diharuskan ditanam (tebu).
Rencana pembangunan Tahunan (Repeta) tahun 2004 di bidang pembangunan sektor
pertanian terdapat beberapa kendala, yaitu:
a.

Masalah teknis yaitu keterlambatan musim hujan

b.

Tekanan dari komoditas pertanian dari luar negeri akibat dibukanya mekanisme impor

dan makin menurunya tarif bea masuk


c.

Terfragmentasinya lahan pertanian yang didorong dengan laju konversi lahan pertanian

yang semakin meningkat.


b. Penertiban Pemakaian tanah secara liar.
Penertiban pemakaian tanah liar sudah sejak lama dilakukan yaitu:
Pada tahun 1948 dengan Ordonansi Onrechtmatige Ocupatie van Gronden
UU Darurat No. 8 Tahun 1954
UU Darurat No. 1 Tahun 1951 yang diganti dengan
UU No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin dari yang berhak
atau kuasanya.
Kepada penguasa daerah diberi wewenang untuk mengambil tindakan-tindakan
penyelesaian atas tanah yang bukan perkebunan dan bukan hutan, yang digunakan tanpa izin
yang berhak atau kuasanya yang sah yang ada di daerahnya antara lain dengan perintah
pengosongan, dengan memperhatikan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan.
Dalam penjelasan UU ini disebutkan mengenai banyaknya tanah-tanah di dalam
maupun di luar kota yang dipakai orang-orang tanpa izin. Juga pemekaian tanah secara tidak
teratur di perkotaan, lebih-lebih yang melanggar norma hukum dan tata tertib yang
menghambat pembangunan yang direncanakan.
c. Penyediaan Dan Penggunaan Tanah Bagi Keperluan Perusahaan
Pembangunan yang terus meningkat jelas menuntut tersedianya tanah sebagai
sarananya. Di satu pihak luas tanah yang tersedia sangat terbatas. Oleh karena itu apabila
keperluan tanah bagi perusahaan-perusahaan terutama perusahaan yang menunjang
perekonomian negara tidak diatur maka akhirnya tanah akan menjadi faktor penghambat
dalam proses pembangunan.
Atas dasar pertimbangan di atas, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan tentang
bagaimana penyediaan dan penggunaan tanah bagi keperluan perusahaan (diatur dalam
PMDN No. 5 Tahun 1974):
Agar tercipta suasana dan keadaan yang serasi dan menguntungkan bagi pelaksanaan kegiatan
pembangunan.
Agar supaya pada satu pihak, kebutuhan para pengusaha dan kegiatan pembangunan yang
memerlukan tanah dapat dicukupi dengan memuaskan.

Dengan demikian penyediaan tanah untuk kepentingan perusahaan tidak hanya


didasarkan pada segi keuntungan ekonomis tetapi juga harus diperhatikan segi-segi yang lain,
yaitu:
segi yuridis
pengaruhnya terhadap situasi sosial politik keamaan nasional didasarkan pada asas-asas
pembangunan nasional.
Dalam kebijaksanaan yang diatur dalam PMDN No. 5 Tahun 1974 yang kemudian diatur
lebih lanjut dalam Keppres No. 83 Tahun 1989 ditentukan antara lain:
a. Penetapan lokasi perusahaan:
1)

Sejauh mungkin dihindari pengurangan areal tanah pertanian yang subur.

2)

Sedapat mungkin harus dihindari pengurangan areal pertanian yang subur.

3)

Hendaknya dihindari pemindahan penduduk dari tempat kediamannya.

4)

Harus memperhatikan persyaratan untuk mencegah terjadinya pengotoran/pencemaran

lingkungan.
Point 1) ini biasanya sering diabaikan yaitu perubahan fungsi dari tanah pertanian menjadi
tanah kering untuk lokasi perusahaan. Perubahan yang demikian biasanya didasarkan pada
pertimbangan:
Kepentingan nasional memang menghendaki perubahan tanah pertanian menjadi lokasi
perusahaan.
Perubahan ini harus mendatangkan keuntungan ekonomis yang lebih tinggi
Perusahaan yang bersangkutan harus dapat menyerap tenaga kerja sebanyak mungkin.
Sedapat mungkin digunakan tanah-tanah yang tidak atau kurang produktif.
Hendaknya dihindari pemindahan penduduk yang tanahnya masuk dalam lokasi proyek.
Harus memperhatikan persyaratan untuk mencegah terjadinya pengotoran/pencemaran
lingkungan.
d. Penetapan luas tanah yang diperlukan
Ditentukan bahwa luas tanah yang diperlukan luasnya disesuaikan dengan kebutuhan
yang nyata artinya kebutuhan yang benar-benar diperlukan untuk menyelenggarakan
usahanya dan kemungkinan perluasan usahanya dikemudian hari. Penetapan luas tanah yang
diperlukan perusahaan harus dilakukan secara tepat dan cermat, hal ini untuk menghindari
akibat-akibat yang tidak baik:
1) Luas tanah yang diberikan melebihi luas yang benar-benar diperlukan.
Ini mengakibatkan ada sebagian tanah yang tidak dimanfaatkan/ditelantarkan dimana hal ini
bertentangan dengan asas optimal dan fungsi sosial hak atas tanah.

2) Untuk mencegah usaha-usaha yang bersifat monopoli dan spekulatif.


Untuk mencegah hal tersebut maka dikeluarkanlah beberapa peraturan:
Surat Keputusan MDN No. 268 tahun 1982 yang menentukan bahwa perusahaan yang
memperoleh tanah dari negara harus memanfaatkan/menggunakan tanah tersebut dalam
waktu 10 tahun sejak keluarnya ijin pembebasan tanah.
Instruksi Mendagri No. 21 Tahun 1973 yang memerintahkan kepada Gubernur untuk
melarang perusahaan baik perseorangan maupun badan hukum untuk memiliki dan
menguasai tanah yang melampaui tanah yang melampaui batas kebutuhan usaha
sesungguhnya.
e. Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah
Berdasarkan ketentuan Pasal 13 PP No. 16 Tahun 2004 ditentukan mengenai
penggunaan dan pemanfaatan tanah. Penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung
atau kawasan budidaya harus sesuai dengan fungsi kawasan dalam RTRW. Penggunaan dan
pemanfaatan tanah di kawasan lindung tidak boleh mengganggu fungsi alam, tidak mengubah
bentang alam dan ekosistem alami.
Penggunaan tanah di kawasan budidaya tidak boleh ditelantarkan, harus dipelihara
dan dicegah kerusakannya. Pemanfaatan tanah di kawasan budidaya tidak saling
bertentangan, tidak saling mengganggu, dan memberikan peningkatan nilai tambah terhadap
penggunan tanahnya. Ketentuan mengenai penggunaan dan pemanfaatan tanah ditetapkan
melalui pedoman teknis penetagunaan tanah, yang menjadi syarat menggunakan dan
memanfaatkan tanah.
Dalam hal penggunaan dan pemanfaatan tanah, pemegang hak atas tanah wajib
menikuti persyaratan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persyaratan ini antara lain pedoman teknis penatagunaan tanah, persyaratan mendirikan
bangunan, persyaratan dalam analisis mengenai dampak lingkungan, persyaratan usaha, dan
ketentuan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Penggunaan dan pemanfaatan tanah pada pulau-pulau kecil dan bidang-bbidang tanah
yang berada di sempadan pantai, sempadan danau, sempadan waduk, dan atau sempadan
sungai harus memperhatikan:
1) Kepentingan umum;
2) Keterbatasan daya dukung, pembangunan yang berkelanjutan, keterkaitan ekosistem,
keanekaragaman hayati serta kelestarian fungsi lingkungan.

Apabila terjadi perubahan RTRW, maka penggunaan dan pemanfaatan tanah


mengikuti RTRW yang terakhir. Pemanfaatan tanah dapat ditingkatkan apabila tidak
mengubah penggunaan tanahnya. Peningkatan pemanfaatan tanah harus memperhatikan hak
atas tanahnya serta kepentingan masyarakat. Pemanfaatan tanah untuk kawasan lindung dapat
ditingkatkan untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan
dan tehnologi, dan ekowisata apabila menganggu fungsi kawasan.
Kegiatan dalam rangka pemanfaatan ruang di atas dan di bawah tanah yang tidak
terkait dengan penguasaan tanah dapat dilaksanakan apabila tidak mengganggu penggunaan
dan pemanfaatan tanah yang bersangkutan. Jika kegiatan tersebut menggangu pemanfaatan
tanah harus mendapat persetujuan pemegang hak atas tanah.
Penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan RTRW
disesuaikan melalui penyelenggaraan penatagunaan tanah.
f. Penggunaan Dan Penetapan Luas Tanah Untuk Tanaman-Tanaman Tertentu
Beberapa aturan yang berkaitan dengan penyediaan tanah untuk tanaman-tanaman tertentu
ialah:
1. UU No. 38 Prp Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah bagi tanaman-tanaman tertentu.
2. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI)
Hal-hal yang penting yang harus diperhatikan dalam pengadaan tanah ini:
Mengenai letak tanah
Ditentukan di desa-desa yang termasuk dalam wilayah kerja perusahaan yang memerlukan
tanah
Mengenai luas tanah
Harus memperhatikan kepentingan perusahaan dan masyarakat serta kelangsungan kesuburan
tanah
Pola tanam
Agar tanah yang diperlukan bagi tanaman tertentu ditentukan secara bergiliran.
Kemudian cara untuk memperoleh tanah dapat dilakukan dengan:
1) Perjanjian sewa tanah antara petani pemilik tanah atau kelompok tani dengan perusahaan
yang memerlukan tanah. Yang perlu diperhatikan dalam hal ini ialah besarnya penetapan
uang sewa. Jumlah uang sewa minimal sama dengan hasil yang diperoleh apabila tanah itu
dikerjakan sendiri oleh pemiliknya.
2) Perjanjian bagi hasil tanah pertanian.
Yang perlu diperhatikan dalam hal ini ialah besarnya imbangan pembagian hasil antara
pemilik dengan perusahaan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

7. PERATURAN-PERATURAN YANG MENGATUR PENATAGUAAN TANAH


a.

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dimana dalam pasal tersebut terkandung prinsip-prinsip sebagai
berikut:
Bahwa bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara.
Bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia harus menggunakan

BARA + K tersebut untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.


Bahwa hubungan antara negara dengan BARA + K merupakan hubungan menguasai.
b. Sebagai pelaksana dari pasal 33 ayat (3) UUD 45 adalah Pasal 14 dan 15 UUPA
Pasal 14 menentukan agar pemerintah membuat suatu rencana umum mengenai persediaan,
peruntukan dan penggunaan BARA + K untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat politis,
ekonomis, sosial dan keagamaan.
Dalam penjelasan umum poin 8 dinyatakan bahwa:Akhirnya untuk mencapai apa
yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara di atas dalam bidang agraria perlu adanya suatu
rencana (planning) mengenai peruntukkan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang
angkasa untuk keperluan berbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara: Rencana Umum
(National Planning) yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci
menjadi rencana-rencana khusus (regional planning) dari tiap-tiap daerah. Dengan adanya
planning itu maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga
dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi Negara dan rakyat.
Dalam penjelasan pasal 14 dinyatakan bahwa:Pasal ini mengatur soal perencanaan
persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang telah
dikemukakan dalam penjelasan umum (II angka 8). Mengingat akan corak perekonomian
Negara dikemudian hari dimana industri dan pertambangan akan mempunyai peranan yang
penting, maka disamping perencanaan untuk pertanian perlu diperhatikan, pula keperluan
untuk industri dan pertambangan (ayat 1 huruf d dan e). Perencanaan itu tidak saja
bermaksud menyediakan tanah untuk pertanian, peternakan, perikanan, industri dan
pertambangan, tetapi juga ditujukan untuk memajukannya. Pengesahan peraturan Pemerintah
Daerah harus dilakukan dalam rangka rencana umum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan
sesuai dengan kebijaksanaan Pusat.
Pasal 15 menentukan suatu kewajiban kepada semua pihak yang menggunakan tanah baik
Pemerintah, masyarakat maupun perseorangan untuk memelihara tanahnya.
Undang-undang yang diharapkan memberikan petunjuk lebih lanjut tentang
pembuatan rencana umum penggunaan tanah sebagaimana dikehendaki pasal 14 UUPA ialah
peraturan pemerintah

c. No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.


d. UU No. 4 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
e. UU No. 38 Prp Tahun 1960 jo UU No. 20 Tahun 1964 tentang Penggunaan dan Penetapan
luas tanah untuk tanaman-tanaman tertentu.
Mengenai penertiban/pemanfaatan:
a.
b.
c.
d.

UU No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang berhak atau kuasanya.
Instruksi Mendagri No. 2 Tahun 1982 tertanggal 30 Januari 1982
Keputusan Mendagri No. 268 Tahun 1982 tertanggal 17 Januari 1982
PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.
Menurut Mieke Komar Kantaatmadja, selain aspek-aspek tujuan penataan ruang,
penatagunaan tanahpun harus mengacu pada kebijaksanaan dasar mengenai pertanahan yang
terkandung dalam UUPA dan undang-undang lain yang berkaitan dengan penggunaan tanah.
Dasar-dasar penatagunaan tanah itu adalah:

a)

Kewenangan untuk mengatur persediaan, peruntukkan dan penggunaan tanah serta

pemeliharaan tanah ada pada Negara;


b) Hak atas tanah memberikan wewenang kepeda pemegang hak untuk menggunakan tanah
yang bersangkutan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah
itu;
c) Kewenangan pemegang hak atas tanah untuk mempergunakan tanah tersebut dibatasi oleh
ketentuan bahwa hak atas tanah berfungsi sosial;
d) perlunya perlindungan terhadap pihak ekonomi lemah dalam proses penatagunaan tanah;
e) penatagunaan tanah tidak dapat dipisahkan dari pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah;
f) penggunaan tanah disamping sebagai subsistem penatagunaan ruang juga merupakan
subsistem dari system pembangunan;
g) Karena sifatnya multidimensi (dimensi fisik, ekonomi, soaial, politik, hankam) dan
multisektor maka penatagunaan tanah dalam prakteknya harus diselenggarakan secara
koordinatif;
h) penatagunaan tanah harus mampu menyediakan tanah bagi semua kegiatan pembangunan
i)

yang sifatnya dinamis, karena penatagunaan tanah bersifat dinamis dan sibernetik;
Penyelenggaraan penatagunaan tanah merupakan tugas pemerintah pusat yang
pelaksanaannya di daerah berdasarkan dekonsentrasi atau medebewind.
Salah satu sasaran yang akan dicapai dari pelaksanaan tata guna tanah adalah
terjadinya penatagunaan tanah yang terdapat di perkotaan dan pedesaan sehingga akan
muncul suatu konsep penataan tanah yang baik serta serasi dari aspek lingkungan. Konsep

yang dimaksud untuk menata penggunaan tanah di perkotaan dan pedesaan ialah Konsolidasi
Tanah.

Sumber:
http://dokumen.tips/download/link/tata-guna-tanah-559393d0aa01e

diakses

tanggal

27

September 2015 Pukul 20.00 WIB


http://www.scribd.com/doc/266116115/Pengertian-Tata-Guna-Tanah#scribd diakses tanggal 27
September 2015 Pukul 20.00 WIB
http://www.slideshare.net/AndhikaFrancisco/tata-guna-tanah-ppt diakses tanggal 27 September
2015 Pukul 20.00 WIB
http://dedimuhadi15.blogspot.co.id/2014/04/hukum-agraria-tata-guna-tanah.html

diakses tanggal

17 Oktober 2015 Pukul 09.00 WIB


http://tata-guna-tanah.blogspot.co.id/ diakses tanggal 17 Oktober 2015 Pukul 09.00 WIB
https://santosa.wordpress.com/2009/12/02/peran-penatagunaan-tanah-dalam-mewujudkan-tataruang-roles-of-land-use-in-implementing-spatial-planning/ diakses tanggal 17 Oktober 2015
Pukul 09.00 WIB

Anda mungkin juga menyukai