Kelompok 1
Oleh :
Dwi Setyo Purnomo
NIM. 150070300011004
kehidupan,
individu
secara
sadar
berhasrat
dan
berupaya
5. Melompat
6. Memotong (menyayat dan menusuk)
Perilaku destruktif diri yaitu setiap aktivitas yang jika tidak dicegah, dapat
mengarah kepada kematian. Perilaku ini dapat diklasifikasikan sebagai langsung dan
tidak langsung.
a. Perilaku destruktif diri langsung
Mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh diri. Niatnya adalah kematian, dan
individu menyadari hal ini sebagai hasil yang diinginkan. Lama perilaku berjangka
pendek.
b. Perilaku destruktif diri tidak langsung
Meliputi setiap aktivitas yang merusak kesejahteraan fisik individu dan dapat
mengarah kepada kematian. Individu tersebut tidak menyadari tentang potensial
terjadi kematian akibat perilakunya dan biasanya akan menyangkal apabila
dikonfrontasi. Durasi perilaku ini biasanya lebih lama daripada perilaku bunuh diri
(Gail Stuart, 2006). Perilaku destruktif diri tidak langsung meliputi perilaku berikut:
1. Merokok
2. Mengebut
3. Berjudi
4. Tindakan kriminal
5. Terlibat dalam aktivitas rekreasi beresiko tinggi
6. Penyalahgunaan zat
7. Perilaku yang menyimpang secara sosial
8. Perilaku yang membuat stres
9. Gangguan makan
10. Ketidakpatuhan pada pengobatan medis (Gail Stuart, 2006)
2
RENTANG RESPON
Rentang respons protektif diri mempunyai peningkatan diri sebagai respon
paling adaptif, sedangkan perilaku destruktif diri tidak langsung, pencederaan diri, dan
bunuh diri merupakan respons maladaptif (Gail Stuart, 2006).
Respon Adaptif
Peningkatan
Beresiko
diri
destruktif
Perilaku
destruktif diri
tidak
langsung
Respon Maladaptif
Pencederaan
Bunuh diri
diri
Peningkatan diri
Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan diri secara wajar terhadap
situasional
yang
membutuhkan
pertahanan
diri.Sebagai
contoh
seseorang
menyalahkan
diri
sendiri
terhadap
situasi
yang
seharusnya
dapat
secara optimal.
Perilaku destruktif diri tidak langsung
Seseorang telah mengambil sikap yang kurang tepat (maladptive) terhadap situasi
yang membutuhkan dirinya untuk mempertahankan diri. Misalnya, karena
pandangan pimpinan terhadap kerjanya yang tidak loyal, maka seorang karyawan
menjadi tidak masuk kantor atau bekerja seenaknya dan tidak optimal.
Pencederaan diri
Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau pencederaan diri akibat hilangnya
PENYEBAB
Stressor pencetus secara umum
Stressor pencetus bunuh diri sebagian besar adalah kejadian memalukan,
masalah interpersonal, dipermalukan di depan umum, kehilangan pekerjaan, ancaman
penjara dan yang paling penting adalah mengetahui cara-cara bunuh diri. Faktor
resiko secara psikososial : putus asa, ras, jenis kelamin laki-laki, lansia, hidup sendiri,
klien yang memiliki riwayat pernah mencoba bunuh diri, riwayat keluarga bunuh diri,
riwayat keluarga adiksi obat, diagnostic : penyakit kronis, psikosis, penyalahgunaan
zat.
Faktor Predisposisi
Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor predisposisi,
artinya mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika faktor
berikut dialami oleh individu :
1. Psikologis
Kegagalan yang di alami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian dapat
timbul agresif atau amuk.Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan yaitu
perasaan ditolak, dihina, dianiaya atau saksi penganiayaan.
2. Perilaku
Reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering
mengobservasi kekerasan dirumah atau di luar rumah. Semua aspek ini
menstimulasi individu untuk mengadopsi perilaku kekerasan.
3. Social budaya
Budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dari control social
yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah
perilaku kekerasan diterima (permissive)
4. Bioneurologis
Banyak pendapat bahwa kerusakan lobus frontalis, lobus temporal dan
ketidakseimbangan neurotransmitter juga berperan dalam perilaku kekerasan.
5. Diagnostik psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh
diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tipe gangguan jiwa yang membuat
individu beresiko untuk melakukan tindakan bunuh diri adalah gangguan afektif,
penyalahgunaan zat, skizofrenia.
6. Sifat kepribadian
Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya resiko bunuh
diri adalah antipasti, impulsive dan depresi
7. Lingkungan psikososial
Factor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, diantaranya adalah
pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan social, kejadian-kejadian
negative
dalam
hidup,
penyakit
kronis,
perpisahan
atau
bahkan
adrenalin dan dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat dilihat melalui rekam
gelombang Electro Enchepalo (EEG)
Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi dengan
orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik), keputusasaan,
ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku
kekerasan. Demikian pula dengan situasi yang yang rebut, padat, kritikan yang
mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang di cintai / pekerjaan dan
kekerasan merupakan factor penyebab yang lain. Interaksi social yang provokatif
dan konflik dapat memicu perilaku kekerasan. Perilaku destruktif diri dapat
ditimbulkan oleh stress berlebihan yang dialami oleh individu. Pencetusnya sering
kali berupa kejadian hidup yang memalukan. Factor lain yang dapat menjadi
pencetus adalah melihat atau membaca melalui media mengenai orang yang
melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya
labil, hal tersebut bisa sangat rentan.
Faktor faktor lain yang mempengaruhi bunuh diri
bahwa
memperngaruhi
mood
aktivitas
yang
enzim
memicu
di
dalam
keinginan
pikiran
manusia
mengakhiri
bisa
nyawanya
Gangguan kejiwaan memang dipengaruhi pula oleh factor genetic. Tidak secara
otomatis tetapi melalui proses yang berlangsung secara genetic yang
mempengaruhi proses biologis juga.
Dalam kasus bunuh diri, dikatakan ada proses pembelajaran. Para korban
memiliki pengalaman dari salah satu keluarganya yang pernah melakukan
percobaan bunuh diri atau meninggal karena bunuh diri. Tidak hanya itu bisa juga
hubungan
disayangi.Padahal
atau
terputusnya
hubungan
hubungan
interpersonal
dengan
merupakan
orang
yang
sifat
alami
dan
sekitarnya
akhir-akhir
ini.Tidak
adanya
rasa
aman
untuk
menjalankan usaha bagi warga serta ancaman terhadap tempat tinggal mereka
berpotensi kuat memunculkan gangguan kejiwaan seseorang hingga tahap
bunuh diri.
Faktor Religiusitas
Bunuh diri merupakan sebagai gejala tipisnya iman atau kurang begitu
memahami ilmu agama.Memperkuat keimanan dan pendalaman masalah
keagamaan salah satu jalan keluarnya.Dengan alasan apapun dan di agama
mana pun, bunuh diri di pandang dosa besar dan mengingkari kekuasaan
Tuhan.Di Eropa, Swiss, Negara yang tergolong paling makmur itu, bunuh diri
menempati
urutan
kanker.Ironisnya
ketiga
di
banding
kematian
yang
disebabkan
oleh
Menurut Direja (2011) Tanda Gejala Resiko Bunuh Diri adalah sebagai berikut:
Observasi: Muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara tinggi, berdebat.
Sering pula tampak klien memaksakan kehendak (memukul jika tidak senang).
Wawancara:
dosis mematikan)
status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panic, marah, dan
mengasingkan diri)
kesehatan mental (secara klinis klien terlihat sebagai orang depresi, psikosis,
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh pasien, berisi keinginan untuk
mati disertai oleh rencana untuk mengakhiri kehidupan dan persiapan alat untuk
melaksanakan rencana tersebut. Secara aktif pasien telah memikirkan rencana
bunuh diri, tetapi tidak disertai dengan percobaan bunuh diri (B. A. Keliat, 2006).
Walaupun dalam kondisi ini belum pernah mencoba bunuh diri, pengawasan
ketat harus dilakukan. Kesempatan sedikit saja dapat dimanfaatkan pasien untuk
melaksanakan rencana bunuh dirinya. (B. A. Keliat, 2006)
Mengkomunikasikan secara nonverbal dengan memberikan barang berharga
sebagai hadiah, merevisi wasiatnya, dan sebagainya. Pesan-pesan ini harus
dipertimbangkan
dalam
konteks
peristiwa
kehidupan
saat
ini. Ancaman
Pohon Masalah
Berdasarkan besarnya kemungkinan pasien melakukan bunuh diri, terdapat
tiga macam perilaku bunuh diri, yaitu :
Walaupun dalam kondisi ini belum pernah mencoba bunuh diri, pengawasan
ketat harus dilakukan. Kesempatan sedikit saja dapat dimanfaatkan pasien untuk
melaksanakan rencana bunuh dirinya. (B. A. Keliat, 2006)
Mengkomunikasikan secara nonverbal dengan memberikan barang berharga
sebagai hadiah, merevisi wasiatnya, dan sebagainya. Pesan-pesan ini harus
dipertimbangkan dalam konteks peristiwa kehidupan saat ini. Ancaman
menunjukkan ambivalensi seseorang terhadap kematian. Kurangnya respons
positif dapat ditafsirkan sebagai dukungan untuk melakukan tindakan bunuh diri
(Gail Stuart, 2006).
SP 1
1. Mengidentifikasi benda-benda yang
dapat membahayakan pasien
2. Mengamankan benda-benda yang
dapat membahayakan pasien
3. Melakukan kontrak treatment
4. Mengajarkan cara mengendalikan
dorongan bunuh diri
5. Melatih
cara
mengendalikan
dorongan bunuh diri
SP 1
1. Menjelaskan
masalah
yang
dirasakan keluarga dalam merawat
pasien
2. Menjelaskan pengertian, tanda dan
gejala risiko bunuh diri, dan jenis
waham yang dialami pasien, serta
proses terjadinya
3. Menjelaskan cara merawat pasien
dengan risiko bunuh diri
SP 2
1. Melatih keluarga mempraktikkan
cara merawat pasien dengan risiko
bunuh diri
2. Melatih keluarga melakukan cara
merawat langsung pasien risiko
bunuh diri
SP 3
1. Membantu
keluarga
untuk
membuat jadwal aktivitas di rumah
termasuk minum obat (discharge
planning)
2. Menjelaskan follow up pasien
setelah pulang
SP 2
1. Mengidentifikasi aspek positif pasien
2. Mendorong pasien untuk berpikir
positif terhadap diri
3. Mendorong pasien untuk menghargai
diri sebagai individu yang berharga
SP 3
1. Mengidentifikasi pola koping yang
biasa diterapkan pasien
2. Menilai pola koping yang biasa
digunakan
3. Mengidentifikasi pola koping yang
konstruktif
4. Mendorong pasien memilih pola
koping yang konstruktif
5. Menganjurkan pasien menerapkan
pola
koping
konstruktif
dalam
kegiatan harian
SP 4
1. Membuat rencana masa depan yang
realistis bersama pasien
2. Mengidentifikasi
cara
mencapai
rencana masa depan yang realistis
3. Memberi
dorongan
pasien
melakukan kegiatan dalam rangka
meraih masa depan yang realistis
DAFTAR PUSTAKA
Aziz R, dkk. Pedoman asuhan keperawatan jiwa. Semarang: RSJD Dr. Amino
Gondoutomo. 2003
Direja. S. H, Ade. 2011. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta. Nuha Medika
Damaiyanti, Mukhripah & Iskandar. 2012. Asuhan Keperatan Jiwa. Gunarsa, Aep
(ed). Bandung : PT Refika Aditama.