Anda di halaman 1dari 20

Bagian Ilmu Kesehatan THT

Referat

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

ABSES PERITONSIL

Disusun Oleh:
Nikki Junaedy
Nurdiana Oktavia
Pembimbing:
dr. Moriko Pratiningrum, M.Kes, Sp.THT-KL

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2016

BAB I
1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Abses peritonsil termasuk salah satu abses leher bagian dalam. Selain abses peritonsil,
abses parafaring, abses retrofaring, dan angina ludavici (Ludwigs angina), atau abses
submandibula juga termasuk abses leher bagian dalam. Abses leher dalam terbentuk di antara
fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut,
tenggorokan, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Penjalaran infeksi disebabkan oleh
perembesan

peradangan

melalui

kapsula

tonsil.

Peradangan

akan

mengakibatkan

terbentuknya abses dan biasanya unilateral. Gejala dan tanda klinik setempat berupa nyeri
dan pembengkakan akan menunjukkan lokasi infeksi. (3)
Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala
dan leher. Gabungan dari bakteri aerob dan anaerob di daerah peritonsilar. Tempat yang biasa
terjadi abses adalah di bagian pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan
palatum superior.(16)
Abses peritonsil terbentuk karena penyebaran organisme bakteri yang menginfeksi
tenggorokan pada satu ruangan areolar yang longgar disekitar faring yang biasa
menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus bagian kapsul tonsil,
tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring.(17)
Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala
dan leher. Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi
pada umur 20-40. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem
immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan nafas yang signifikan pada anakanak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Di Amerika
insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, kemungkinan
hampir 45.000 kasus setiap tahun. (3)
Peritonsillar
pus (nanah)

yang

abscess

(PTA)

terlokalisir/terbatas

merupakan

kumpulan/timbunan

(localized) pada

terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis.

1.2 Tujuan
2

jaringan

(accumulation)

peritonsillar

yang

1.

Mengetahui

definisi,

etiologi,

patogenesis,

gejala

klinis,

diagnosis,

penatalaksaan, dan komplikasi dari abses peritonsil.


2.

Sebagai syarat menyelesaikan co-assistance bagian THT Universitas

Mulawarman.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3

2.1 Anatomi Tonsil


Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kriptus di dalamnya Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatina, dan tonsil lingual yang ketiga- tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin
Waldeyer. (6)
Gambar 1. Anatomi Tonsil (4)

Gambar 2. Cincin Waldeyer (5)

Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil
pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar
posterior (otot palatofaringeus).

Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-

masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak
selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa
supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh: (16)

Lateral

Muskulus konstriktor faring superior

Anterior

Muskulus palatoglosus

Posterior

Muskulus palatofaringeus

Superior

Palatum mole

Inferior

Tonsil lingual
4

Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi
invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat dan
tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular
dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan
tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling
menyatu dan umumnya memperlihatkan pusat germinal.(3)

Gambar 3.

Tonsilla

Palatina (1)
Fosa Tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah m.
konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat
suatu ruang kecil yang dinamakan fosa supra tonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan
biasanya merupakan tempat nanah memecah keluar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh
fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan
merupakan kapsul yang sebenarnya.
Vaskularisasi Tonsil
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu
1. Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteritonsilaris dan arteri
palatina asenden
2. Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden
3. Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal
4. Arteri faringeal asenden

Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian
posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri
tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina
desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari
faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus
faringeal. (17)

Gambar 4.

Vaskularisasi Tonsil
(14)

2.4 Aliran Getah Bening


Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal
profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus sternokleidomastoideus,
selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus.

Tonsil hanya

mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak
ada.(17)

Gambar 5. Aliran limfe kepala dan leher (13)

Gambar 6. Persarafan Tonsil (14)


Persarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus
glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.

Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit.

Limfosit B

membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah
7

40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. (17) Limfosit B berproliferasi di pusat
germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim
dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar.(7) Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil
dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel
limfoid dan pusat germinal pada folikel ilmfoid. (17) Tonsil merupakan organ limfatik sekunder
yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil
mempunyai dua fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan
efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen
spesifik. (10)
2.2 Fisiologi Tonsil
Peran imunitas tonsil adalah sebagai pertahanan primer untuk menginduksi sekresi
bahan imun dan mengatur produksi dari imunoglobulin sekretoris. Peran tonsil mulai aktif
antara umur 4-10 tahun dan akan menurun setelah masa pubertas. Hal ini menjadi alasan
fungsi pertahanan dari tonsil lebih besar pada anak-anak daripada orang dewasa. Anak-anak
mengalami perkembangan daya tahan tubuhnya terhadap infeksi terjadi pada umur 7 hingga 8
tahun dan tonsil merupakan salah satu organ imunitas pada anak yang memiliki fungsi
imunitas yang luas. (17)
Berdasarkan penelitian, tonsil mempunyai peranan penting dalam fase-fase awal
kehidupan, terhadap infeksi mukosa nasofaring dari udara pernafasan sebelum masuk ke
dalam saluran nafas bagian bawah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa parenkim tonsil
mempu menghasilkan antibodi. Tonsil memegang peranan dalam menghasilkan IgA, yang
menyebabkan jaringan jaringan lokal resisten terhadap organisme patogen. Sewaktu baru
lahir, tonsil secara histologi tidak mempunyai sentrum germinativum, biasanya ukurannya
kecil. Setelah antibodi dari ibu habis, barulah mulai terjadi pembesaran tonsil dan adenoid,
yang pada permulaan kehidupan masa anak-anak dianggap normal dan dapat dipakai sebagai
indeks aktifitas sistem imun. Pada waktu pubertas atau sebelum masa pubertas, terjadi
kemunduran fungsi tonsil yang disertai proses involusi. Terdapat dua mekanisme pertahanan,
yaitu spesifik dan non spesifik.(2)
Mekanisme Pertahanan Non Spesifik
Mekanisme pertahanan non spesifik berupa lapisan mukosa tonsil dan kemampuan
limfoid untuk menghancurkan mikroorganisme. Pada beberapa tempat lapisan mukosa ini
sangat tipis, sehingga menjadi tempat yang lemah dalam pertahanan dari masuknya kman ke
8

dalam jaringan tonsil. Jika kuman dapat masuk ke dalam lapisan mukosa, maka kuman ini
dapat ditangkap oleh sel fagosit. Sebelumnya kuman akan mengalami opsonisasi sehingga
menimbulkan kepekaan bakteri terhadap fagosit. Setelah terjadi proses opsonisasi maka sel
fagosit akan bergerak mengelilingi bakteri dan memakannya dengan cara memasukkannya ke
dalam kantong yang disebut fagosom. Proses selanjutnya adalah digesti dan mematikan
bakteri. Mekanismenya belum diketahui pasti, tetapi diduga terjadi peningkatan konsumsi
oksigen yang diperlukan untuk pembentukan superoksidase yang akan membentuk H2O2 yang
bersifat bakterisidal. H2O2 yang terbentuk akan masuk ke dalam fagosom atau berdifusi di
sekitarnya, kemudian membunuh bakteri dengan proses oksidasi. Di dalam sel fagosit
terdapat granula lisosom. Bila fagosit kontak dengan bakteri maka membran lisosom akan
mengalami ruptur dan enzim hidrolitiknya mengalir dalam fagosom membentuk rongga
digestif, yang selanjutnya akan menghancurkan bakteri dengan proses digestif. (17)
Mekanisme Pertahanan Spesifik
Merupakan mekanisme pertahanan yang terpenting dalam pertahanan tubuh terhadap
udara pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bawah. Tonsil dapat memproduksi
IgA yang akan menyebabkan resistensi jaringan lokal terhadap organisme patogen. Di
samping itu tonsil dan adenoid juga dapat menghasilkan IgE yang berfungsi untuk mengikat
sel basofil dan sel mastosit, dimana sel-sel tersebut mengandung granula yang berisi mediator
vasoaktif, yaitu histamin. Bila ada alergen maka alergen itu akan bereaksi dengan IgE,
sehingga permukaan sel membrannya akan terangsang dan terjadilah proses degranulasi.
Proses ini menyebabkan keluarnya histamin, sehingga timbul reaksi hipersensitifitas tipe 1,
yaitu atopi, anafilaksis, urtikaria, dan angioedema. Dengan teknik immunoperoksidase, dapat
diketahui bahwa IgE dihasilkan dari plasma sel, terutama dari epitel yang menutupi
permukaan tonsil, adenoid, dan kripta tonsil. Mekanisme kerja IgA adalah mencegah
substansi masuk ke dalam proses immunologi, sehingga dalam proses neutralisasi dari infeksi
virus, IgA mencegah terjadinya penyakit autoimun. Oleh karena itu IgA merupakan barrier
untuk mencegah reaksi imunologi serta untuk menghambat proses bakteriolisis.(2)
2.3 Abses Peritonsil
2.3.1 Definisi
Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka
mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses
9

leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat
perjalanan infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal,
telinga tengah dan leher dalam yang terlibat. Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan
Streptococcus, staphylococcus, kuman anaerob acterioides atau kuman campuran. Abses
leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofiring, abses parafarin, abses
submandibular, dan angina ludovici (Ludwigs angina).(6)
2.3.2 Etiologi
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat dari komplikasi tonsilitis akut atau infeksi
yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman
penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Dapat ditemukan kuman aerob dan
anaerob.(6) Abses peritonsil disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun
yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses
peritonsil adalah

Streptococcus

pyogenes

(Group

Beta-hemolitik

streptoccus),

Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang


berperan adalah Fusobacterium, Prevotella, Porphyromonas, dan Peptostreptococcus sp.
Untuk kebanyakan abses peritonsil diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme
aerobik dan anaerobik. Sedangkan virus yang dapat menyebabkan abses peritonsil antara lain
Epstein-Barr, adenovirus, influenza A dan B, herpes simplex, dan parainfluenza.(8)
2.3.3 Prevalensi
Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala
dan leher. Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi
pada umur 20-40. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem
immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan nafas yang signifikan pada anakanak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Di Amerika
insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, kemungkinan
hampir 45.000 kasus setiap tahun. (3)
2.3.4 Patologi
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh
karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini,
sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian
inferior, namun jarang. Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan
tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga
10

daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Pembengkakan peritonsil akan
mendorong tonsil ke tengah, depan, bawah, dan uvula bengkak terdorong ke sisi kontra
lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan
iritasi pada m. pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan,
sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.(6)
2.3.5 Gejala Klinik
Gejala klasik dimulai 3-5 hari, waktu dari onset gejala sampai terjadinya abses sekitar
2-8 hari. Abses peritonsil akan menggeser kutub superior tonsil ke arah garis tengah dan
dapat diketahui derajat pembengkakan yang ditimbulkan di palatum mole. Terdapat riwayat
faringitis akut, tonsilitis, dan rasa tidak nyaman pada tenggorokan atau faring unilateral yang
semakin memburuk. Kebanyakan pasien menderita nyeri hebat.(8)

Gambar 7. Abses Peritonsil()


Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain demam, disfagia, dan odinofagia yang
menyolok dan spontan. Hot potato voice, mengunyah terasa sakit karena m. Masseter
menekan tonsil yang meradang, sakit kepala, rasa lemah, dehidrasi, nyeri telinga (otalgia)
ipsilateral, mulut berbau (foetor ex orae), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore),
banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia) karena oedem palatum molle yang
terjadi karena infeksi menjalar ke radix lingua dan epiglotis atau oedem perifokalis, dan
kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus) yang bervariasi, trismus menandakan adanya
inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna, sehingga menimbulkan spasme
muskulus tersebut. Keparahan dan progresivitasnya ditunjukkan dari trismus. Pernafasan
terganggu biasanya akibat pembengkakan mukosa dan submukosa faring. Sesak akibat
perluasan edema ke jaringan laring jarang terjadi. Bila kedua tonsil terinfeksi maka gejala
11

sesak nafas lebih berat dan lebih menakutkan. Akibat limfadenopati dan inflamasi otot,
pasien sering mengeluhkan nyeri leher dan terbatasnya gerakan leher (torticolis). (6,12)
2.3.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
1.

Anamnesis
Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis abses peritonsil.

Adanya riwayat pasien mengalami nyeri pada tenggorokan adalah salah satu yang
mendukung terjadinya abses peritonsil. Riwayat adanya faringitis akut yang disertai tonsilitis
dan rasa kurang nyaman pada pharingeal unilateral.
2.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring. Inspeksi

terperinci daerah yang membengkak mungkin sulit karena ketidakmampuan pasien membuka
mulut. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan
kavum oral didapatkan hiperemis. Tonsil hiperemis, eksudasi, mungkin banyak detritus dan
terdorong ke arah tengah, depan, dan bawah. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi
kontralateral. Abses peritonsil biasanya unilateral dan terletak di pole superior dari tonsil
yang terkena, di fossa supratonsiler. Mukosa di lipatan supratonsiler tampak pucat dan
bahkan seperti bintil-bintil kecil. Diagnosis jarang diragukan jika pemeriksa melihat
pembengkakan peritonsilaris yang luas, mendorong uvula melewati garis tengah, dengan
edema dari palatum mole dan penonjolan jaringan dari garis tengah.(3) Asimetri palatum mole,
tampak membengkak dan menonjol ke depan, serta pada palpasi palatum mole teraba
fluktuasi.
3.

Pemeriksaan Penunjang (12)


Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan untuk penderita yang

mengalami gangguan pernafasan. Gold standart pemeriksaan yaitu dengan melakukan


aspirasi jarum (needle aspration). Tempat yang akan dilakukan aspirasi di anestesi dengan
menggunakan lidokain atau epinefrin dengan menggunakan jarum berukuran 16-18 yang
biasa menempel pada syringe berukuran 10 cc. Aspirasi material yang purulen merupakan
tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibuat biakannya sehingga dapat diketahui
organisme penyebab infeksi demi kepentingan terapi antibiotika. Pada penderita abses
peritonsil perlu dilakukan pemeriksaan:

12

Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit


(electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures).

Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan tonsillitis
dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita memerlukan
evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu dilakukan pada
penderita dengan hepatomegaly.

Throat culture atau throat swab and culture diperlukan untuk identifikasi organisme
yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan
efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik.

Plain radiographs adalah foto pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue
views) dari nasopharyng dan oropharyng dapat membantu dokter dalam
menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal.

Gambar 8. Foto lateral soft tissue dengan gambaran abses peritonsil (9)

Computerized tomography (CT scan) biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di


apex tonsil yang terinfeksi menandakan adanya cairan pada tonsil yang terkena
disamping itu juga dapat dilihat pembesaran yang asimetris pada tonsil. Pemeriksaan
ini dapat membantu untuk rencana operasi.

13

Gambar 9. CT Scan dari Abses peritonsil dextra (9)

Peripheral Rim Enhancement Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography.


Intraoral ultrasonografi mempunyai sensifitas 95,2 % dan spesifitas 78,5 %.
Transcutaneous ultrasonografi mempunyai sensifitas 80% dan spesifisitas 92,8 %.
merupakan teknik yang simple dan noninvasif dan dapat membantu dalam
membedakan antara selulitis dan awal dari abses. Pemeriksaan ini juga bias
menentukan pilihan yang lebih terarah sebelum melakukan operasi dan drainase
secara pasti.

Gambar 10. Ultrasonografi dari abses peritonsil (9)


2.3.7 Diagnosis Banding
14

1. Abses retrofaring
2. Abses parafaring
3. Abses submandibula
4. Angina ludovici
Abses peritonsil dapat di diagnosis banding dengan penyakit-penyakit abses leher
dalam lainnya yang disebutkan diatas. Hal ini karena pada semua penyakit abses leher dalam,
nyeri tenggorok, demam, serta terbatasnya gerakan membuka mulut merupakan keluhan yang
paling umum. Untuk membedakan abses peritonsil dengan penyakit leher dalam lainnya,
diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat. (6)
2.3.8 Terapi
Beberapa macam terapi yang selama ini dikenal adalah :
a) Pungsi dan aspirasi disertai antibiotik parenteral.
b) Insisi dan mengeluarkan nanah disertai pemberian antibiotika secara parenteral atau
peroral.
c) Pemberian antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.
d) Segera tonsilektomi disertai pemberian antibiotika parenteral.
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian di insisi
untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak,
atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir.
Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya
diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan
perbaikan segera gejala-gejala pasien.
Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal
di ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi a chaud.
Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi a tiede,
dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi a froid. Pada
umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase
abses. (6)
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan obat simtomatik. Juga
perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher. Pemilihan
antibiotik yang tepat tergantung dari hasil kultur mikroorganisme pada aspirasi jarum.
Penisilin merupakan drug of chioce pada abses peritonsil dan efektif pada 98% kasus jika
dikombinasikan dengan metronidazole. Dosis untuk penisilin pada dewasa adalah 600 mg IV
15

tiap 6 jam selama 12-24 jam, dan anak 12.500-25.000 U/Kg tiap 6 jam. Metronidazole dosis
awal untuk dewasa 15 mg/kg dan dosis penjagaan 6 jam setelah dosis awal dengan infus 7,5
mg/kg selama 1 jam diberikan selama 6-8 jam dan tidak boleh lebih dari 4 gr/hari.(16)

Gambar 11. Insisi Abses Peritonsil (6)


Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses peritonsil
berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai
kecenderungan besar untuk kambuh. Angka kekambuhan yang mengikuti episode pertama
abses peritonsiler berkisar antara 0% sampai 22%. Sampai saat ini belum ada kesepakatan
kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan
tonsilektomi 68 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis,
sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera.(16)
2.3.9 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah: (6)

Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru, atau piemia.

Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.
Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis.

Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus


kavernosus, meningitis, dan abses otak.

Sekuele post streptokokus seperti glomerulonefritis dan demam rheumatik apabila


bakteri penyebab infeksi adalah Streptococcus Group A.

Kematian walaupun jarang dapat terjadi akibat perdarahan atau nekrosis septik ke
selubung karotis atau carotid sheath.
16

Peritonsilitis kronis dengan aliran pus yang berjeda.

Akibat tindakan insisi pada abses, terjadi perdarahan pada arteri supratonsilar.

Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis abses peritonsil diabaikan.
Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progresi penyakit. Untuk itulah diperlukan
penanganan dan intervensi sejak dini.
2.3.10 Prognosis
Abses peritonsil merupakan penyakit yang jarang menyebabkan kematian kecuali jika
terjadi komplikasi berupa abses pecah spontan dan menyebabkan aspirasi ke paru. Selain itu
komplikasi ke intrakranial juga dapat membahayakan nyawa pasien. (12)
Abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi, maka
ditunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut peradangan telah mereda, biasanya
terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat operasi.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
17

1. Abses peritonsil adalah nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya
gerakan membuka mulut dan leher karena penyebaran organisme bakteri yang
menginfeksi tenggorokan pada satu ruangan areolar yang longgar disekitar faring
yang biasa menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus bagian
kapsul tonsil, tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring.
2. Etiologi Abses peritonsil terjadi sebagai akibat dari komplikasi tonsilitis akut atau
infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil.
3. Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain demam, disfagia, dan odinofagia yang
menyolok dan spontan. Hot potato voice, mengunyah terasa sakit karena m. Masseter
menekan tonsil yang meradang, sakit kepala, rasa lemah, dehidrasi, nyeri telinga
(otalgia) ipsilateral, mulut berbau (foetor ex orae), muntah (regurgitasi), mulut berbau
(foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia).
4. Penatalaksanaan abses peritonsil bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada
daerah abses, kemudian di insisi untuk mengeluarkan nanah.
5. Prognosis terapi abses peritonsil jarang menyebabkan kematian kecuali jika terjadi
komplikasi berupa abses pecah spontan dan menyebabkan aspirasi ke paru.

DAFTAR PUSTAKA
1. Adam. Peritonsillar Abcess. Diakses dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov pada 30
Oktober 2016.
18

2. Adams GL, Boies LR, Higler PA. BOIES: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi IV. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1994.
3. Anggraini, D., Sikumbang, T. Atlas Histologi Di Fiore Dengan Korelasi Fungsional.
Edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001.
4. Anonim.

Host

Defence

Againts

Pneumococcal

Disease.

Diakses

http://www.ethesis.helsinki.fi/julkaisut/laa/haart/vk/nieminen/review.htm

pada

dari
29

Oktober 2016.
5. Budapest Student. The Waldeyers Ring. Diakses dari http://www.tulip.ccny.cuny.edu
pada 29 Oktober 2016.
6. Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.
7. Eibling, D.E. The Oral Cavity, Pharynx and Esophagus dalam Essential
Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8th Edition. New York: McGraw Hill Medical
Publishing Division; 2003.
8. Fachruddin, Darnila. Abses Leher Dalam dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorokan. Edisi III Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 1998.
9. Henry. Peritonsillar Abcess. Diakses dari http://www.revolutionultrasound.com pada
29 Oktober 2016.
10. Hermani, B., Fachrudin, D., Hutauruk, S.M., Riyanto, B.U., Susilo, Nazar, H.N.
Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. Jakarta: Health Technology Assessment (HTA)
Indonesia; 2004.
11. Kaneshiro, Neil. Tonsillitis. Diakses dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov pada 28
Oktober 2016.
12. Kartosoediro S, Rusmarjono. Abses Leher Dalam. Edisi VI. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
13. Ronald A, Bergman, & Afifi A. Atlas of Human Anatomy. Diakses dari
http://www.anatomyatlases.org pada 29 Oktober 2016.
14. Shannon M. Palatine Tonsil. Diakses dari http://www.webmd.com pada 30 Oktober
2016.
15. The Unversity of Chicago Medicine. Diakses dari https://pedclerk.bsd.uchicago.edu
pada 30 Oktober 2016.
16. Wanri, A. Tonsilektomi. Palembang: Departemen Telinga, Hidung Dan Tenggorok,
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya; 2007.
19

17. Wiatrak, B.J., Woolley, A.L. Pharyngitis and Adenotonsillar Disease dalam
Cummings Otolaryngology Head & Neck Surgery. 4th Edition. Elsevier Mosby
Inc.; 2005.

20

Anda mungkin juga menyukai