Proses pembukaan tambang Ertsberg hingga mencapai produksi mengalami dinamika
yang cukup ekstrim dan telah dilalui Freeport. Pemboran secara sistematis perlu dilakukan untuk mengevaluasi cadangan bijih. Namun, dengan adanya medan yang sulit serta teknologi dan infrastruktur yang pada saat itu belum mendukung cukup membuat Freeport kebingungan. Usaha pertambangan ini tentunya tidak hanya mengalami problema dari sisi perusahaan. Faktor alam, faktor social hingga politik dan keamanan Negara juga menjadi salah satu kendala dalam pembangunan tambang Ertsberg. Adanya dinamika politik, perebutan tanah andara hindia Belanda dengan Pemerintah Indonesia juga turut menjadi salah satu hambatan dalam melakukan proyek Ertsberg. Kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Freeport dalam pembangunan Kontrak Karya (KK) juga memerlukan perundingan hingga memberikan hasil yang baik. Kedua belah pihak pun melakukan kerjasama sangat baik, saling menghargai dan menolong apabila salah satunya mengalami masalah. Berbagai tenaga ahli dari seluruh penjuru dunia pun didatangkan baik untuk sebagai Insiyur, advokat, hingga operator untuk pembangunan tambang. Posisi tambang Ertsberg yang terdapat pada lokasi yang ekstrim, kondisi cuaca dan tanah rawa yang tidak stabil mengakibatkan berbagai hambatan dalam mempersiapkan lahan seperti landasan helicopter, pemukiman, akses jalan, tempat pengolahan dan produksi. Setelah melalui berbagai hambatan, Ertsberg membangun jalur akses sepanjang 101 km, jalur Darnell, terowongan, pemukiman yang disebut Tembagapura, landasan helicopter, kereta kabel untuk membawa batuan bijih ke pabrik pengolahan, pipa untuk mengaliri konsentrat dari pabrik ke pantai sepanjang 109 km, dengan menggunakan campuran air 64-67% dengan kecepatan 5 km/jam untuk mengaliri konsentrat yang bersifat abrasive agar pipa tidak cepat aus dan tersumbat. Hingga pada akhir tahun 1972, tambang Ertsberg berhasil mengapalkan 10.000 ton bijih tembaga ke Jepang. Hal ini terus menjadi perkembangan baik bagi Freeport.