Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perdarahan Post Partum (PPP) merupakan perdarahan yang masih
berasal dari tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir dan
jaringan sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu di
samping perdarahan karena hamil ektopik dan abortus. Perdarahan post
partum bila tidak mendapat penanganan yang semestinya akan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu serta proses penyembuhan
kembali (Mochtar, 2002).
Perdarahan post partum adalah perdarahan yang melebihi 500 ml
setelah bayi lahir. Pada praktisnya tidak perlu mengukur jumlah
perdarahan sampai sebanyak itu sebab menghentikan perdarahan lebih dini
akan memberikan prognosis lebih baik. Pada umumnya bila terdapat
perdarahan yang lebih dari normal, apalagi telah menyebabkan perubahan
tanda vital (seperti kesadaran menurun, pucat, limbung, berkeringat
dingin, sesak napas, serta tensi < 90 mmHg dan nadi > 100/menit), maka
penanganan harus segera dilakukan (Prawirohardjo, 2011).
Di Indonesia, Sebagian besar persalinan terjadi tidak di rumah sakit,
sehingga sering pasien yang bersalin di luar kemudian terjadi perdarahan
post partum terlambat sampai ke rumah sakit, saat datang keadaan
umum/hemodinamiknya sudah memburuk, akibatnya mortalitas tinggi.
Menurut Depkes RI, kematian ibu di Indonesia (2009) adalah 650 ibu tiap
100.000 kelahiran hidup dan 43% dari angka tersebut disebabkan oleh
perdarahan post partum.
Penyebab langsung tingginya angka kematian ibu di Indonesia
disebabkan oleh perdarahan 28%, Eklampsia24%, infeksi 20%, komplikasi
Puerperium 8%, abortus 5%, partus macet 5%, trauma obsetri 5 %, emboli

3% (WHO, 2010).data WHO (World Health Organization) tahun 2007


menunjukan bahwa 25% dari kematian maternal disebabkan oleh
perdarahan postpartum dan diperkirakan 100.000 kematian maternal tiap
tahunnya (Admin, 2009).
Perdarahan,

khususnya

perdarahan

post-partum,

terjadi

secara

mendadak dan lebih berbahaya apabila terjadi pada wanita yang menderita
anemia. Seorang ibu dengan perdarahan dapat meninggal dalam waktu
kurang dari satu jam (Kemenkes RI, 2008). Kondisi kematian ibu secara
keseluruhan diperberat oleh tiga terlambat yaitu terlambat dalam
pengambilan keputusan, terlambat mencapai tempat rujukan, terlambat
dalam mendapatkan pertolongan yang tepat di fasilitas kesehatan.
B. Tujuan
1. Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu memahami secara keseluruhan konsep
hiperkalemia dan asuhan keperawatan HPP.
2. Tujuan Umum
1. Di ketahuinya defenisi HPP.
2. Diketahuinya etiologi HPP.
3. Diketahuinya manifestasi HPP.
4. Diketahuinya patofisiologi HPP.
5. Diketahuinya asuhan keperawatan HPP.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Perdarahan Postpartum
1. Pengertian Perdarahan Postpartum
Perdarahan postpartum adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau lebih
setelah kala III selesai (setelah plasenta lahir) (Wiknjosastro, 2000).
Fase dalam persalinan dimulai dari kala I yaitu serviks membuka kurang dari
4 cm sampai penurunan kepala dimulai, kemudian kala II dimana serviks
sudah membuka lengkap sampai 10 cm atau kepala janin sudah tampak,
kemudian dilanjutkan dengan kala III persalinan yang dimulai dengan lahirnya
bayi dan berakhir dengan pengeluaran plasenta. Perdarahan postpartum terjadi
setelah kala III persalinan selesai (Saifuddin, 2002).
Perdarahan postpartum ada kalanya merupakan perdarahan yang hebat dan
menakutkan sehingga dalam waktu singkat wanita jatuh ke dalam syok,
ataupun merupakan perdarahan yang menetes perlahan-lahan tetapi terus
menerus dan ini juga berbahaya karena akhirnya jumlah perdarahan menjadi
banyak yang mengakibatkan wanita menjadi lemas dan juga jatuh dalam syok
(Mochtar, 1995).
2.

Penyebab Perdarahan Postpartum

Penyebab perdarahan Postpartum antara lain :


1. Atonia uteri 50% - 60%
2. Retensio plasenta 16% - 17%
3. Sisa plasenta 23% - 24%
4. Laserasi jalan lahir 4% - 5%
5. Kelainan darah 0,5% - 0,8% (Mochtar, 1995).

3.

Klasifikasi Perdarahan Postpartum


Klasifikasi klinis perdarahan postpartum yaitu (Manuaba, 1998) :
1. Perdarahan Postpartum Primer yaitu perdarahan pasca persalinan yang
terjadi dalam 24 jam pertama kelahiran. Penyebab utama perdarahan

postpartum primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta,


robekan jalan lahir dan inversio uteri. Terbanyak dalam 2 jam pertama.
2. Perdarahan Postpartum Sekunder yaitu perdarahan pascapersalinan yang
terjadi setelah 24 jam pertama kelahiran. Perdarahan postpartum
sekunder disebabkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik,
atau sisa plasenta yang tertinggal.
4.

Gejala Klinik Perdarahan Postpartum


Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak
10% dari volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik, gejala-gejala
baru tampak pada kehilangan darah sebanyak 20%. Gejala klinik berupa
perdarahan pervaginam yang terus-menerus setelah bayi lahir. Kehilangan
banyak darah tersebut menimbulkan tanda-tanda syok yaitu penderita
pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstrimitas
dingin, dan lain-lain (Wiknjosastro, 2005).

5.

Diagnosis Perdarahan Postpartum

Asuhan Keperawatan :
a. Pengkajian :
1. Identitas Klien
Data diri klien meliputi : nama, umur, pekerjaan, pendidikan, alamat,
medical, record dll.
2. Riwayat Kesehatan

Riwayat Kesehatan Dahulu

Riwayat penyakit jantung, hipertensi, penyakit ginjal kronik,


hemofillia, riwayat pre eklampsia, trauma jalan lahir, kegagalan
kompresi pembuluh darah dll.

Riwayat Kesehatan sekarang

Keluhan yang dirasakan saat ini yaitu :kehilangan darah dalam jumlah
banyak (>500 ml), nadi lemah, pucat, lokea berwarna merah, haus,
pusing gelisah, letih, tekan darah rendah,ekstremitas dingin, dan mual.

Riwayat Kesehatan Keluarga

Adanya riwayat keluarga yang pernah atau sedang menderita


hipertensi, penyakit jantung, dan pre eklamsia, penyakit keturunan
hemopillia dan penyakit menular.
3. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan tanda tanda vital


a. Suhu, badan, biasanya meningkatkan sampai 38oC
b. Nadi, akan meningkat cepat karena nyeri
c. Tekanan Darah biasanya stabil, Memperingan hipovelemia
d. Pernafasan juga menjadi tidak normal.

Pemeriksaan Khusus
a. Nyeri / ketidaknyamanan
b. Sistem Vaskuler
c. Sistem Reproduksi
d. Traktus urinarius
e. Traktus gastro intestinal
f. Integritas Ego

b. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko terjadinya syock hipovolemik b/d perdarahan yang
terjadi secara terus menerus.
2. Resiko terjadinya asidosis metabolik b/d penurunan jumlah
darah dalam kapiler.
3. Resiko terjadinya anemia b/d efek dari perdarahan.
Diagnosa
1. Resiko

Intervensi
Anjurkan pasien

Rasional
Peningkatan

terjadinya

untuk lebih

intake

syock

banyak minum

dapat

Observasi TTV

meningkatkan

hipovolem

cairan

ik

b/d

pendaraha
n

yang

terjadi

secara
terus

siap 4 jam

volume

Observasi tanda

intravaskuler

tanda dehidrasi

yang

Observasi intake

meningkatkan

cairan dan output

perfusi jaringan

Kolaborasi dalam

menerus

dapat

Perubahan TTV

pemberian cairan

dapattt

infus atau

merupakan

transfusi

indikator

Tujuan ; tidak terjadi

tejadinya

syock selama dalam

dehidrasi secara

masa perawatan

dini

KH : tidak terjadi

Dehidrasi

penurunan kesadaran,

merupakan awal

ttv dalam batas

terjadinya syock

normal, turgor kulit

bila

dehidrasi

baik

tidak

ditangan

secara baik

Intake
yang

cairan
adekuat

dapat
mengimbangi
pengeluaran
cairan
2. Resiko

Observasi TTV

terjadinya

dalam

asiosis

normal

metabolik

batas

Anjurkan

dan

berlebihan.
Mengurangi
pemecahan
protein

dan

lemak

yang

b/d

motivasi pasien

berlebihan

penurunan

untuk

untuk

minum

yang

jumlah,

yang manis

memenuhi

Kolaborasi

kebutuhan

dalam

dalam

metabolisme.

kapiler

Pemeriksaan

darah

Perubahan TTV

BGA

merupakan

Pemberian

tanda

cairan intravena

deteksi

awal

Tujuan : tidak terjadi

terjadinya

asidosis

asdosis.

selama

metabolik
dalam

masa

perawatan
KH :
hasil BGA dalam batas
normal.
TTV
3. Resiko

dalam

batas

normal.
Indentifikasi

Pengetahuan

terjadinya

pengetahuan

yang

anemia

pasien

memudahkan

b/d

anemia

efek

tentang
dan

cukup

pasien

untuk

dari

jelaskan

pendaraha

penyebab

anemia

tindakan

Anjurkan pada

keperawatan.

pasien

kooperatif
dan

untuk

terhadap

Aktivitas yang

tirah baring

sedikit

Kolaborasi

mengurangi

dalam

metabolisme

pemberian

sehingga beban

nutrisi

yang

adekuat ( diet

suplai

akan

oksigen

kejaringan akan

TKTP)

menjadi

Kolaborasi

bik.

dengan

dokter

lebih

Nutrisi

dalam

merupakan

pemberian

bahan

koagulantia dan

pembentuh ahab

roburantia,

terutama

pemberian

besi.

sebagai
zat

transfusi
Tujuan : tidak terjadi
anemia selama dalam
massa perawatan
KH : Hb > 10 gr,
mukosa tidak pucat.
Kongjungtiva

tidak

anemis

B. Perdarahan Postpartum Primer


1. Pengertian Perdarahan Postpartum Primer
Perdarahan Postpartum Primer yaitu perdarahan pasca persalinan
yang terjadi dalam 24 jam pertama kelahiran. Penyebab utama perdarahan
postpartum primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta,
robekan jalan lahir dan inversio uteri.

2. Penyebab Perdarahan Postpartum Primer


a. Atonia Uteri
Atonia uteri merupakan kegagalan miometrium untuk berkontraksi
setelah persalinan sehingga uterus dalam keadaan relaksasi penuh,
melebar, lembek dan tidak mampu menjalankan fungsi oklusi pembuluh
darah. Akibat dari atonia uteri ini adalah terjadinya perdarahan. Perdarahan
pada atonia uteri ini berasal dari pembuluh darah yang terbuka pada bekas
menempelnya plasenta yang lepas sebagian atau lepas keseluruhan (Faisal,
2008)
Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan
bagian yang terpenting dalam hal kontraksi untuk menghentikan
perdarahan pasca persalinan. Miometrum lapisan tengah tersusun sebagai
anyaman dan ditembus oeh pembuluh darah. Masing-masing serabut
mempunyai dua buah lengkungan sehingga tiap-tiap dua buah serabut
kira-kira berbentuk angka delapan. Setelah partus, dengan adanya susunan
otot seperti tersebut diatas, jika otot berkontraksi akan menjepit pembuluh
darah. Ketidakmampuan miometrium untuk berkontraksi ini akan
menyebabkan terjadinya pendarahan pasca persalinan (Faisal, 2008).
Atonia uteri dapat terjadi sebagai akibat :
1. Atonia uteri dapat terjadi sebagai akibat :
Partus lama
2. Pembesaran uterus yang berlebihan pada waktu hamil, seperti pada
hamil kembar, hidramnion atau janin besar
3. Multiparitas
4. Anestesi yang dalam
5. Anestesi lumbal
Selain karena sebab di atas atonia uteri juga dapat timbul karena
salah penanganan kala III persalinan, yaitu memijat uterus dan

mendorongnya ke bawah dalam usaha melahirkan plasenta, dimana


sebenarnya plasenta belum terlepas dari dinding uterus (Wiknjosastro,
2005).
b. Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir
setengah jam setelah janin lahir. Hal tersebut disebabkan (Wiknjosastro,
2005) :
1. Plasenta belum lepas dari dinding uterus
2. Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan
Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan, tapi
bila sebagian plasenta sudah lepas akan terjadi perdarahan dan ini
merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya. Plasenta belum lepas
dari dinding uterus disebabkan :
1. Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta
adhesiva)
2. Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis
menembus desidua sampai miometrium (plasenta akreta)
3. Plasenta merekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis
menembus sampai di bawah peritoneum (plasenta perkreta).
Plasenta sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar,
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah
penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran kontriksi pada bagian
bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio
plasenta).

c. Sisa Plasenta
Sewaktu suatu bagian dari plasenta tertinggal, maka uterus tidak dapat
berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan.
Perdarahan postpartum yang terjadi segera jarang disebabkan oleh retensi
potongan-potongan kecil plasenta. Inspeksi plasenta segera setelah persalinan
bayi harus menjadi tindakan rutin. Jika ada bagian plasenta yang hilang, uterus
harus dieksplorasi dan potongan plasenta dikeluarkan (Faisal, 2008).
d. Robekan Jalan Lahir
Robekan jalan lahir dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri.
Perdarahan pasca persalinan dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya
disebabkan oleh robekan serviks atau vagina (Saifuddin, 2002). Setelah
persalinan harus selalu dilakukan pemeriksaan vulva dan perineum.
Pemeriksaan vagina dan serviks dengan spekulum juga perlu dilakukan setelah
persalinan.
Robekan jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah yang
bervariasi banyaknya. Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu harus
dievaluasi yaitu sumber dan jumlah perdarahan sehingga dapat diatasi. Sumber
perdarahan dapat berasal dari perineum, vagina, serviks, dan robekan uterus
(ruptura uteri). Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma dan robekan jalan
lahir dengan perdarahan bersifat arterill atau pecahnya pembuluh darah vena.
Untuk dapat menetapkan sumber perdarahan dapat dilakukan dengan
pemeriksaan dalam dan pemeriksaan spekulum setelah sumber perdarahan
diketahui dengan pasti, perdarahan dihentikan dengan melakukan ligasi
(Manuaba, 1998).
e. Inversio Uteri
Inversio uteri merupakan keadaan dimana fundus uteri masuk ke dalam
kavum uteri, dapat secara mendadak atau terjadi perlahan (Manuaba, 1998).

Pada inversio uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga
fundus uteri sebelah dalam menonjol ke dalam kavum uteri. Peristiwa ini
jarang sekali ditemukan, terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah
plasenta keluar. Sebab inversio uteri yang tersering adalah kesalahan dalam
memimpin kala III, yaitu menekan fundus uteri terlalu kuat dan menarik tali
pusat pada plasenta yang belum terlepas dari insersinya. Menurut
perkembangannya inversio uteri dibagi dalam beberapa tingkat (Wiknjosastro,
2005) :
1. Fundus uteri menonjol ke dalam kavum uteri, tetapi belum keluar dari
ruang tersebut
2. Korpus uteri yang terbalik sudah masuk ke dalam vagina
3.

Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak di


luar vagina
Gejala-gejala inversio uteri pada permulaan tidak selalu jelas. Akan tetapi,

apabila kelainan itu sejak awal tumbuh dengan cepat, seringkali timbul rasa
nyeri yang keras dan bisa menyebabkan syok
3. Penanganan Perdarahan Postpartum Primer
1. Pencegahan Perdarahan Postpartum Primer
Penanganan terbaik perdarahan postpartum adalah pencegahan. Mencegah
atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus yang disangka akan
terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan
sewaktu bersalin, namun sudah dimulai sejak wanita hamil dengan antenatal
care yang baik. Pengawasan antenatal memberikan manfaat dengan
ditemukannya berbagai kelainan secara dini, sehingga dapat diperhitungkan
dan

dipersiapkan

langkah-langkah

dalam

pertolongan

persalinannya.

Kunjungan pelayanan antenatal bagi ibu hamil paling sedikit 4 kali kunjungan
dengan distribusi sekali pada trimester I, sekali trimester II, dan dua kali pada
trimester III.

Anemia dalam kehamilan harus diobati karena perdarahan dalam batasbatas normal dapat membahayakan penderita yang sudah anemia. Kadar
fibrinogen perlu diperiksa pada perdarahan yang banyak, kematian janin dalam
uterus dan solusio plasenta. Apabila sebelumnya penderita sudah mengalami
perdarahan postpartum, persalinan harus berlangsung di rumah sakit. Di rumah
sakit diperiksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb, golongan darah dan
bila mungkin tersedia donor darah. Sambil mengawasi persalinan, dipersiapkan
keperluan untuk infus dan obat-obatan penguat rahim (uterus tonikum). Setelah
ketuban pecah kepala janin mulai membuka vulva, infus dipasang dan sewaktu
bayi lahir diberikan ampul methergin atau kombinasi 5 satuan sintosinon
(sintometrin intravena) (Mochtar, 1995).
Dalam kala III uterus jangan dipijat dan didorong ke bawah sebelum
plasenta lepas dari dindingnya. Penggunaan oksitosin sangat penting untuk
mencegah perdarahan postpartum. Sepuluh satuan oksitosin diberikan
intramuskulus segera setelah anak lahir untuk mempercepat pelepasan plasenta.
Sesudah plasenta lahir hendaknya diberikan 0,2 mg ergometrin intramuskulus.
Kadang-kadang pemberian ergometrin, setelah bahu depan bayi lahir dengan
tekanan pada fundus uteri plasenta dapat dikeluarkan dengan segera tanpa
banyak perdarahan. Namun salah satu kerugian dari pemberian ergometrin
setelah bahu depan bayi lahir adalah kemungkinan terjadinya jepitan (trapping)
terhadap bayi kedua pada persalinan gemelli yang tidak diketahui sebelumnya
(Wiknjosastro, 2005).
Pada perdarahan yang timbul setelah anak lahir dua hal harus dilakukan,
yakni menghentikan perdarahan secepat mungkin dan mengatasi akibat
perdarahan. Setelah plasenta lahir perlu ditentukan apakah disini dihadapi
perdarahan karena atonia uteri atau karena perlukaan jalan lahir. Jika plasenta
belum lahir (retensio plasenta), segera dilakukan tindakan untuk
2. Manajemen Aktif Kala III

Manajemen aktif persalinan kala III terdiri atas intervensi yang


direncanakan untuk mempercepat pelepasan plasenta dengan meningkatkan
kontraksi rahim dan untuk mencegah perdarahan pasca persalinan dengan
menghindari

atonia

uteri,

komponennya

adalah

(Shane,

2002)

mengeluarkannya (Wiknjosastro, 2005).

a. Memberikan obat uterotonika (untuk kontraksi rahim) dalam waktu dua


menit setelah kelahiran bayi
Penyuntikan obat uterotonika segera setelah melahirkan bayi adalah salah
satu intervensi paling penting yang digunakan untuk mencegah perdarahan
pasca persalinan. Obat uterotonika yang paling umum digunakan adalah
oxytocin yang terbukti sangat efektif dalam mengurangi kasus perdarahan
pasca persalinan dan persalinan lama. Syntometrine (campuran ergometrine
dan oxytocin) ternyata lebih efektif dari oxytocin saja. Namun, syntometrine
dikaitkan dengan lebih banyak efek samping seperti sakit kepala, mual,
muntah, dan tekanan darah tinggi. Prostaglandin juga efektif untuk
mengendalikan perdarahan, tetapi secara umum lebih mahal dan memiliki
bebagai efek samping termasuk diarrhea, muntah dan sakit perut.
b. Menjepit dan memotong tali pusat segera setelah melahirkan
Pada manajemen aktif persalinan kala III, tali pusat segera dijepit dan
dipotong setelah persalinan, untuk memungkinkan intervensi manajemen aktif
lain. Penjepitan segera dapat mengurangi jumlah darah plasenta yang dialirkan
pada bayi yang baru lahir. Diperkirakan penjepitan tali pusat secara dini dapat
mencegah 20% sampai 50% darah janin mengalir dari plasenta ke bayi.
Berkurangnya aliran darah mengakibatkan tingkat hematokrit dan hemoglobin
yang lebih rendah pada bayi baru lahir, dan dapat mempunyai pengaruh anemia
zat besi pada pertumbuhan bayi. Satu kemungkinan manfaat bagi bayi pada
penjepitan dini adalah potensi berkurangnya penularan penyakit dari darah
pada kelahiran seperti HIV.

c. Melakukan penegangan tali pusat terkendali sambil secara bersamaan


melakukan tekanan terhadap rahim melalui perut
Penegangan tali pusat terkendali mencakup menarik tali pusat ke bawah
dengan sangat hati-hati begitu rahim telah berkontraksi, sambil secara
bersamaan memberikan tekanan ke atas pada rahim dengan mendorong perut
sedikit di atas tulang pinggang. Dengan melakukannya hanya selama kontraksi
rahim, maka mendorong tali pusat secara hati-hati ini membantu plasenta
untuk keluar. Tegangan pada tali pusat harus dihentikan setelah 30 atau 40
detik bila plasenta tidak turun, tetapi tegangan dapat diusahakan lagi pada
kontraksi rahim yang berikut.
4. Beberapa Faktor yang Memengaruhi Perdarahan Postpartum Primer
1. Umur
Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau lebih dari
35 tahun merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan pasca persalinan yang
dapat mengakibatkan kematian maternal. Hal ini dikarenakan pada usia
dibawah 20 tahun fungsi reproduksi seorang wanita belum berkembang dengan
sempurna, sedangkan pada usia diatas 35 tahun fungsi reproduksi seorang
wanita sudah mengalami penurunan dibandingkan fungsi reproduksi normal
sehingga kemungkinan untuk terjadinya komplikasi pasca persalinan terutama
perdarahan akan lebih besar (Faisal, 2008).
Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan
dan persalinan adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan
melahirkan pada usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi daripada
kematian maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal
meningkat kembali sesudah usia 30-35 tahun (Wiknjosastro, 2005)
Menurut BKKBN (2007) bahwa jika ingin memiliki kesehatan reproduksi
yang prima seyogyanya harus menghindari 4 terlalu dimana dua diantaranya
adalah menyangkut dengan usia ibu. T yang pertama yaitu terlalu muda artinya
hamil pada usia kurang dari 20 tahun. Adapun risiko yang mungkin terjadi jika
hamil di bawah 20 tahun antara lain keguguran, preeklampsia (tekanan darah

tiggi, oedema, proteinuria), eklampsia (keracunan kehamilan), timbulnya


kesulitan persalinan karena sistem reproduksi belum sempurna, bayi lahir
sebelum waktunya, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), fistula vesikovaginal
(merembesnya air seni ke vagina), fistula
retrovaginal (keluarnya gas dan tinja dari vagina) dan kanker leher rahim.
T yang kedua adalah terlalu tua artinya hamil di atas usia 35 tahun. Risiko
yang mungkin terjadi jika hamil pada usia terlalu tua ini antara lain adalah
terjadinya keguguran, preeklampsia, eklampsia, timbulnya kesulitan pada
persalinan, perdarahan, BBLR dan cacat bawaan (Suryani, 2008).
Menurut penelitian Pardosi (2005), bahwa pada tingkat kepercayaan 95%
ibu yang berumur di bawah 20 tahun atau di atas 30 tahun memiliki risiko
mengalami perdarahan postpartum 3,3 kali lebih besar dibandingkan ibu yang
berumur 20 sampai 29 tahun. Selain itu penelitian Najah (2004) menyatakan
bahwa pada tingkat kepercayaan 95% umur ibu di bawah 20 tahun dan di atas
35 tahun bermakna sebagai faktor risiko yang memengaruhi perdarahan
postpartum.
2. Pendidikan
Menurut Depkes RI (2002), pendidikan yang dijalani seseorang memiliki
pengaruh pada peningkatan kemampuan berfikir, dimana seseorang yang
berpendidikan lebih tinggi akan dapat mengambil keputusan yang lebih
rasional, umumnya terbuka untuk menerima perubahan atau hal baru
dibandingkan dengan individu yang berpendidikan lebih rendah.
Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat
agar

masyarakat

mau

melakukan

tindakan-tindakan

(praktik)

untuk

memelihara (mengatasi masalah-masalah), dan meningkatkan kesehatannya.


Perubahan atau tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang
dihasilkan oleh pendidikan kesehatan ini didasarkan kepada pengetahuan dan
kesadarannya melalui proses pembelajaran (Notoatmodjo, 2003).
Wanita dengan pendidikan lebih tinggi cenderung untuk menikah pada
usia yang lebih tua, menunda kehamilan, mau mengikuti Keluarga Berencana

(KB), dan mencari pelayanan antenatal dan persalinan. Selain itu, mereka juga
tidak akan mencari pertolongan dukun bila hamil atau bersalin dan juga dapat
memilih makanan yang bergizi.
Menurut Thadeus dan Maine (1990) yang dikutip dari Suryani (2008), dari
beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai negara menunjukkan adanya
hubungan yang bermakna antara penggunaan pelayanan obstetri dan tingkat
pendidikan ibu.
3. Paritas
Paritas merupakan faktor risiko yang memengaruhi perdarahan postpartum
primer. Pada paritas yang rendah (paritas 1) dapat menyebabkan ketidaksiapan
ibu dalam menghadapi persalinan sehingga ibu hamil tidak mampu dalam
menangani komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan nifas.
Sedangkan semakin sering wanita mengalami kehamilan dan melahirkan
(paritas lebih dari 3) maka uterus semakin lemah sehingga besar risiko
komplikasi kehamilan (Manuaba, 1998).
Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut perdarahan
pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Paritas satu dan
paritas tinggi (lebih dari tiga) mempunyai angka kejadian perdarahan
pascapersalinan lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian
maternal. Risiko pada paritas
1 dapat ditangani dengan asuhan obstetrik yang lebih baik, sedangkan
risiko pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga
berencana. Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan
(Wiknjosastro, 2005).
Menurut penelitian Herianto (2003) bahwa paritas lebih dari 3 bermakna
sebagai faktor risiko yang memengaruhi perdarahan postpartum primer
(OR=2,87; 95% CI 1,23;6,73). Penelitian Miswarti (2007) menyatakan
proporsi ibu yang mengalami perdarahan postpartum primer dengan paritas 1
sebesar 12%, paritas 2-3 sebesar 40% dan paritas lebih dari 3 sebesar 48%,
serta terdapat hubungan yang signifikan antara paritas dengan perdarahan

postpartum primer. Demikian juga dengan penelitian Milaraswati (2008)


menyatakan bahwa proporsi ibu yang mengalami perdarahan postpartum
primer dengan paritas >4 yaitu 69% dan didapatkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara paritas dengan perdarahan postpartum primer.
4.

Jarak Antar Kelahiran


Jarak antar kelahiran adalah waktu sejak kelahiran sebelumnya sampai

terjadinya kelahiran berikutnya. Jarak antar kelahiran yang terlalu dekat dapat
menyebabkan

terjadinya

komplikasi

kehamilan.

Menurut

Moir

dan

Meyerscough (1972) yang dikutip Suryani (2008) menyebutkan jarak antar


kelahiran sebagai faktor predisposisi perdarahan postpartum karena persalinan
yang berturut-turut dalam jangka waktu yang singkat akan mengakibatkan
kontraksi uterus menjadi kurang baik. Selama kehamilan berikutnya
dibutuhkan 2-4 tahun agar kondisi tubuh ibu kembali seperti kondisi
sebelumnya.
Bila jarak antar kelahiran dengan anak sebelumnya kurang dari 2 tahun,
rahim dan kesehatan ibu belum pulih dengan baik. Kehamilan dalam keadaan
ini perlu diwaspadai karena ada kemungkinan terjadinya perdarahan pasca
persalinan.
Menurut penelitian Yuniarti (2004) proporsi kasus dengan jarak antar
kelahiran kurang dari 2 tahun sebesar 41% dengan OR jarak antar kelahiran
2,82. Hal ini berarti ibu yang memiliki jarak antar kelahiran kurang dari 2
tahun berisiko 2,82 kali mengalami perdarahan pasca persalinan.
5.

Riwayat Persalinan Buruk Sebelumnya


Riwayat persalinan di masa lampau sangat berhubungan dengan hasil

kehamilan dan persalinan berikutnya. Bila riwayat persalinan yang lalu buruk
petugas harus waspada terhadap terjadinya komplikasi dalam persalinan yang
akan berlangsung. Riwayat persalinan buruk ini dapat berupa abortus,
kematian janin, eklampsi dan preeklampsi, sectio caesarea, persalinan sulit
atau lama, janin besar, infeksi dan pernah mengalami perdarahan antepartum
dan postpartum.

Menurut Sulistiowati (2001) yang dikutip Suryani (2008), bahwa terdapat


hubungan yang signifikan antara riwayat persalinan buruk sebelumnya dengan
perdarahan pasca persalinan dan menemukan OR 2,4 kali pada ibu yang
memiliki riwayat persalinan buruk dibanding dengan ibu yang tidak memiliki
riwayat persalinan buruk.
6. Anemia
Menurut World Health Organization (WHO) anemia pada ibu hamil
adalah kondisi dengan kadar hemoglobin (Hb) dalam darahnya kurang dari
11,0 gr%.
Volume darah ibu hamil bertambah lebih kurang sampai 50% yang
menyebabkan

konsentrasi

sel

darah

merah

mengalami

penurunan.

Bertambahnya sel darah merah masih kurang dibandingkan dengan


bertambahnya

plasma

darah

sehingga

terjadi

pengenceran

darah.

Perbandingan tersebut adalah plasma 30%, sel darah 18% dan haemoglobin
19%. Keadaan ini tidak normal bila konsentrasi turun terlalu rendah yang
menyebabkan hemoglobin sampai <11 gr%. Meningkatnya volume darah
berarti meningkatkan pula jumlah zat besi yang dibutuhkan untuk
memproduksi sel-sel darah merah sehingga tubuh dapat menormalkan
konsentrasi hemoglobin sebagai protein pengankut oksigen (Winkjosastro,
2000).
Anemia dapat mengurangi daya tahan tubuh ibu dan meninggikan
frekuensi komplikasi kehamilan serta persalinan. Anemia juga menyebabkan
peningkatan risiko perdarahan pasca persalinan. Rasa cepat lelah pada
penderita anemia disebabkan metabolisme energi oleh otot tidak berjalan
secara sempurna karena kekurangan oksigen. Selama hamil diperlukan lebih
banyak zat besi untuk menghasilkan sel darah merah karena ibu harus
memenuhi kebutuhan janin dan dirinya sendiri dan saat bersalin ibu
membutuhkan hemoglobin untuk memberikan energi agar otot-otot uterus
dapat berkontraksi dengan baik.

Pemeriksaan dan pengawasan hemoglobin dapat dilakukan dengan


menggunakan alat sahli. Hasil pemeriksaan dengan alat sahli dapat
digolongkan sebagai berikut (Manuaba, 1998)
1. Hb > 11,0 gr% disebut tidak anemia
2. Hb 9,0 gr% - 10,9 gr% disebut anemia ringan
3. Hb 7,0 gr% - 8,9 gr% disebut anemia sedang
4. Hb < 6,9 gr% disebut anemia berat
Pemeriksaan darah dilakukan minimal dua kali selama kehamilan, yaitu
pada trimester I dan trimester III.
Menurut penelitian Herianto (2003) bahwa anemia bermakna sebagai
faktor risiko yang mempengaruhi perdarahan postpartum primer. Ibu yang
mengalami anemia berisiko 2,8 kali mengalami perdarahan postpartum
primer dibanding ibu yang tidak mengalami anemia (OR= 2,76; 95% CI
1,25;6,12).

5. Pengaruh Paritas terhadap Perdarahan Postpartum Primer


Paritas atau para adalah wanita yang pernah melahirkan bayi (Manuaba,
1998).
Paritas adalah keadaan seorang wanita sehubungan dengan kelahiran anak
yang dapat hidup (Dorland, 2002).
Menurut Prawirohardjo (2002), paritas dapat dibedakan menjadi
primipara, multipara dan grandemultipara
1. Primipara
Primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak yang
cukup besar untuk hidup di dunia luar.
2. Multipara

Multipara adalah wanita yang telah melahirkan anak lebih dari satu
kali.
3. Grandemultipara
Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang
anak atau lebih dan biasanya mengalami penyulit dalam kehamilan
dan persalinan.
Kematian maternal lebih banyak terjadi dalam 24 jam pertama
postpartum yang sebagian besar karena terlalu banyak mengeluarkan
darah. Sebab yang paling umum dari perdarahan yang terjadi dalam 24
jam pertama pascapersalinan atau yang biasa disebut perdarahan
postpartum

primer

adalah

kegagalan

rahim

untuk

berkontraksi

sebagaimana mestinya setelah melahirkan, plasenta yang tertinggal dan


uterus yang turun atau inversi. Dari beberapa sebab perdarahan tersebut,
salah satu faktor pemicunya adalah paritas (Milaraswati, 2008).
Pada paritas yang rendah (paritas 1), menyebabkan ketidaksiapan ibu
dalam menghadapi persalinan sehingga ibu hamil tidak mampu dalam
menangani komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan
nifas. Pada paritas tinggi (lebih dari 3), fungsi reproduksi mengalami
penurunan, otot uterus terlalu regang dan kurang dapat berkontraksi
dengan baik sehingga kemungkinan terjadi perdarahan pascapersalinan
menjadi lebih besar (Manuaba, 1998).

BAB III
PEMBAHASAN
A. Kasus
Ibu "TP" umur 26 tahun telah melakukan persalin pada pukul 10.00
wita. 2 jam setelah plasenta lahir, ibu mengeluh pusing dan mengantuk.

Keadaan umum lemah, kesadaran ibu samnolen, tekanan darah 90/60


mmHg, nadi 100 x/menit, respirasi 30 x/menit dan suhu 360 C. Ibu tampak
pucat, ekstremitas teraba dingin serta warna kuku tampak pucat, TFU 1 jari
diatas pusat, tidak ada kontraksi, kandung kemih kosong, dan pengeluaran
darah dari vagina 600 cc.

B. Asuhan keperawatan
1. Pengkajian data
a. Identitas
Nama : ibu TP
Umur : 26 tahun
Jenis kelamin : perempuan
b. Anamnesa
Keluhan utama : pusing dan mengantuk pasca bersalin
Riwayat kesehatan :
a. Riwayat kesehatan Sekarang : hemoragic post partum
b. Riwayat kesehatan dahulu : c. Riwayat kesehatan keluarga :c. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Keadaan : lemah dan mengantuk
Kesadaran : samnolen
Keadaan fisik : ekstremitas teraba dingin serta warna
kuku tampak pucat,
b. Tanda Vital :
- TD : 90/60 mmHg
- N : 100 X/menit
d. Analisa Data

N
O
1

Analisa data

Etiologi

Do:

Persalinan

1. TD
2.
3.
4.
5.

90/60

mmHg
N : 100 x/i
RR : 30 xi
T : 36c
Keluar
darah

- RR : 30 X/menit
- t : 360 C

Masalah
keperawatan
Defisit Volume
Cairan

Kelahiran bayi

dari vagina

Kelahiran plasenta

600 cc
Plasenta sukar lahir

Plasenta tidak lahir


sepenuhnya

Retensio plasenta

Gangguan retraksi dan


kontraksi

Sinus sinus darah tetap


terbuka

Perdarahan
2

Do:

Anemia

1. Keadaan lemah
2. Tingkat
kesadaran

eritrosit & hemoglobin

somnolent
Ds :
1. Ibu

mengeluh

pusing.
2. Ibu
mengeluh
mengantuk.

O2

Lemah

Anaerobic metabolisme

Kekurangan

kekurangan

ATP

asam
laktat

Kelemahan
3

Do:
1. Pucat.
2. Ekstremitas
teraba dingin.
3. Warna
kuku

kelelahan

Perdarahan massif

Gangguan perfusi
jaringan

Anemia

tampak pucat.
Ds :

kadar Hb

Ibu mengeluh pusing

(-) kompartemen sel


penghantar O2/ zat nutrisi

DO:
1. TD

Gangguan perfusi jaringan


Faktor predisposisi dan
:90/60

mmHg
2. N : 100 x/i
3. RR : 30 xi
4. T : 36c
Ds : -

presipitasi

Hipertrofi ventrikel kiri

Ketidak efektifan
pola nafas

Kontraktilitas jantung
menurun

Penurunan cardiac output

Penurunan darah dan O2


keparu

Dispnea

Hiperventilasi

2. Diagnosa Keperawatan
1. Defisit volume cairan berhubungan dengan perdarahan pada vagina
2. Lemah berhubungan dengan kondisi fisiologi (pasca kehamilan )
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan hipovolemik
4. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan
energy atau kelemahan

3. Rencana Keperawatan
NO
1

Diagnosa
Keperawatan
Defisit volume
cairan
berhubungan

NOC

NIC

v i t a l

Bleeding reduction ( post

s i g n
1. Tekanan
darah sistolik

partum uterus ).
Aktivitas :

dengan
perdarahan pada
vagina

3-5
2. Tekanan

a. Tinjau

kembali

riwayat

darah

obsetri

dan rekam medis

diastolic 3 5
3. Respirasi : 3

untuk

factor

resiko

terhadap

perdaran

-5

post

partum ( riwayat
Blood

loss

severity
Perdarahan
vagina 2 5

utama

dari

hemoragic

post

partum,
pre

induksi,
eklamsia,

riwayat
persalianan,
kelahiran ganda,
kelahiran

secara

cesarean).
b. Gunakan es pada
bagian fundus.
c. Hitung
Jumlah
dari darah yang
hilang.
d. Gunakan

infuse

IV
e. Monitor

TTV

setiap 15 menit
atau lebih sesuai
kebutuhan.
f. Administrasikan
2

Lemah

Activity

produk
E n e r gy

berhubungan

tolerance
1. Respirasi

management :
1. Menilai
status

dengan kondisi
fisiologi (pasca

ketika

fisiologi

pasien

kehamilan )

beraktifitas 3
5
2. Aktifitas

mengetahui
penyebab

sehari hari 3
5
Neurological
status

untuk

kelelahan.
2. Gunakan
instrument yang

consciousness :

tepat

untuk

mengukur tingkat

Membuka mata
ketika diberikan

kelelahan pasien.
3. Pilih intervensi
yang tepat untuk

stimulus 2 5

menangani
kelemahan
dengan
menggunakan
kombinasi

dari

kategori
farmakologi
maupun

non

farmakologi.
Neurologic monitoring
1. Monitor ukuran
pupil, ketajaman,
kesimetrisan dan
reaksinya.
2. Monitor
perkembangan
glow coma scale
3. Monitor
tanda
3

Gangguan

tanda vital
Hypovolemia

Tissue

perfusi jaringan perfusion

management :

berhubungan
dengan
hipovolemik

peripheral
1. Pengisian

1. Monitor

hemodynamic.
2. Monitor

kapiler
sampai

status

ke

jari 3 5
2. Suhu
dari
kulit
ekstremitas

penyebab hidrasi.
3. Monitor intake
dan output.
4. Monitor
akses
vascular

pada

bagian yang di
insersi

dari

infiltrasi, peblitis
dan infeksi jika
diperlikan.
5. Monitor

di

laboratorium
penyebab

dari

kehiulangan
darah.
6. Gunakan

akses

IV
7. Monitor
integritas kulit
Lower extremity
monitoring :
1. Kaji
status
mobilisasi
2. Menentukan
pengaturan
posisi
4

Ketidak
efektifan

Respiratory
pola

nafas
berhubungan
dengan

Airway

status
management
1. Respirasi
1. Buka jalan nafas,
3-5
2. Tanda

gunakan

teknik

membuka

dagu

penurunan
energy
kelemahan

tanda
atau

vital 3-5

dan rahang jika


diperlukan.
2. Posisikan pasien
kearah

yang

memiliki potensi
ventilasi

yang

maksimal.
3. Auskultasi suara
nafas.
4. Monitor respirasi
dan

status

oxygen

jika

diperlukan.
Respiratory monitoring
1. Monitor rata rata
ritme dan juga
tekanan
respirasi.
2. Monitor

dari
pola

nafas
(

bradypnea,

tachypnea,
hyperventilasi,
respirasi
kusmaul).
3. Palpasi ekspansi
paru

dari

sisi

yang sama.
4. Perkusi
bagian
anterior

dan

posterior

dari

thorax dari apex


ke basis secara

bilateral.
5. Tandai

locasi

trakea.
6. Monitor respirasi
dan status O2
7. Monitor
tanda
tanda vital.
Vital sign monitoring
1. Monitor tekanan
darah, nadi, dan
respirasi

jika

dibutuhkan.
2. Monitor tekanan
darah

pasien

ketika

duduk,

berdiri dan tidur


sebelum

dan

sesudah
pergantian posisi
jika dibutuhkan.
3. Monitor warna
kulit,
temperature, dan
kelembabannya.
4. Identifikasi
factor penyebab
4. Implementasi dan Evaluasi
N

Hari/ Tanggal D

O
1

X
1

Senin ,31
Oktober 2016

Implementasi

Evaluasi

08.00

1. meninjau

kembali

Pasien

riwayat mengatakan

obsetri dan rekam medis untuk perdarahan


factor resiko terhadap perdaran pada vagian
post partum ( riwayat utama sudah
dari hemoragic post partum, berkurang
O : Pasien
induksi, pre eklamsia, riwayat
tampak lebih
persalianan, kelahiran ganda,
tenang dan
kelahiran secara cesarean).
2. Menggunakan es pada bagian nyaman
fundus.
A : masalah
3. Menghitung Jumlah dari darah
teratasi
yang hilang.
4. Menggunakan infuse IV
sebagian
10.00
1. Memonitor
menit

atau

TTV

setiap

lebih

15

sesuai

P : intervensi
dilanjutkan

kebutuhan.
2. mengadministrasikan produk
2

Senin ,31
Oktober 2016

08.00

pasien

1. Menilai status fisiologi pasien mengatakan


untuk mengetahui penyebab tidak

lelah

kelelahan.
lagi
2. Menggunakan instrument yang O : pasien
tepat untuk mengukur tingkat tampak
kelelahan pasien.
3. Memilih intervensi yang tepat
10.00

sudah

bias

,elakukan
aktifitas

1. Memonitor

ukuran

pupil,

ketajaman, kesimetrisan dan


reaksinya.
2. Memonitor

perkembangan

glow coma scale


Memonitor tanda tanda vital :

dengan
lancer

dan

sadar
A : masalah
teratasi
sebagian

P:
intervensi
3

Senin ,31

Oktober 2016

dilanjutkan
S:
pasien

08.00
1. Memonitor

status mengatakan

hemodynamic.
pusing dan
2. Memonitor penyebab hidrasi.
ngantuk
3. Memonitor intake dan output.
4. Memonitor akses vascular berkurang
pada bagian yang di insersi

dari infiltrasi, peblitis dan

ekstremitas
infeksi jika diperlikan.
pasien tidak
5. Memonitor di laboratorium
teraba
penyebab dari kehiulangan
dingin, tidak
darah.
6. Mengunakan akses IV
pucat
dn
7. Memonitor integritas kulit
tidak lemah
10.00
A : masalah
1. Mengkaji
status
teratasi
mobilisasi
2. Menentukan pengisian sebagian
drainase
P : intervensi
4

Senin ,31
Oktober 2016

dilanjutkan
S: Pasien

08.00

1. Memposisikan pasien kearah mengatakan


yang

memiliki

potensi sesak nafas

ventilasi yang maksimal.


berkurang
2. Mengauskultasi suara nafas.
3. Memonitor respirasi dan status
P: Pasien
oxygen jika diperlukan.
4. Memonitor rata rata ritme dan tampak
juga tekanan dari respirasi.
bernafas
5. Memonitor
pola
nafas
dengan

bradypnea,

tachypnea, normal

hyperventilasi,

respirasi

kusmaul).
A: Masalah
6. mempalpasi ekspansi paru dari
Teratasi
sisi yang sama.
sebagian
7. Memperkusi bagian anterior
dan posterior dari thorax dari
apex ke basis secara bilateral.
8. Menandai locasi trakea.
10.00

P: intervensi
dilakukan
dengan

1. Memonitor
nadi,

dan

dibutuhkan.
2. Memonitor

tekanan
respirasi

darah, Masalah
jika keperawatan
selanjutnya

tekanan

darah

pasien ketika duduk, berdiri


dan tidur sebelum dan sesudah
pergantian
dibutuhkan.
3. Memonitor

posisi

jika

warna

kulit,

temperature,

dan

kelembabannya.
4. Mengidentifikasi
penyebab

pada

tanda tanda vital.

factor
perubahan

Hari/ Tanggal D

O
1

X
1

Selasa ,1
November
2016

Implementasi

Evaluasi

08.00

5. meninjau

kembali

Pasien

riwayat mengatakan

obsetri dan rekam medis untuk perdarahan


factor resiko terhadap perdaran pada vagina
post partum ( riwayat utama hilang
dari hemoragic post partum,
induksi, pre eklamsia, riwayat

O : Pasien
tampak lebih

persalianan, kelahiran ganda,

tenang dan
kelahiran secara cesarean).
nyaman
6. Menggunakan es pada bagian
fundus.
A : masalah
7. Menghitung Jumlah dari darah
teratasi

yang hilang.
8. Menggunakan infuse IV

P : intervensi

10.00

dilanjutkan

3. Memonitor
menit

atau

TTV

setiap

lebih

15

sesuai

kebutuhan.
4. mengadministrasikan produk

dengan
masalah
keperawatan
selanjutnya

Selasa ,1

November

08.00

pasien

4. Menilai status fisiologi pasien mengatakan

2016

untuk mengetahui penyebab tidak

lelah

kelelahan.
lagi
5. Menggunakan instrument yang
O : pasien
tepat untuk mengukur tingkat
tampak
kelelahan pasien.
6. Memilih intervensi yang tepat sudah
bias
10.00

,elakukan

3. Memonitor

ukuran

pupil, aktifitas

ketajaman, kesimetrisan dan dengan


reaksinya.
4. Memonitor

lancar
perkembangan

dan

sadar

glow coma scale


Memonitor tanda tanda vital :

A : masalah
teratasi
P:
intervensi
dilanjutkan
dengan
masalah
keperawatan

Selasa ,1
November

08.00
8. Memonitor

selanjutnya
S:
pasien
status mengatakan

2016

hemodynamic.
pusing dan
9. Memonitor penyebab hidrasi.
ngantuk
10. Memonitor intake dan output.
11. Memonitor akses vascular hilang
pada bagian yang di insersi
dari infiltrasi, peblitis dan

ekstremitas

infeksi jika diperlikan.


pasien tidak
12. Memonitor di laboratorium
teraba
penyebab dari kehiulangan
dingin, tidak
darah.
13. Mengunakan akses IV
pucat
dn
14. Memonitor integritas kulit
tidak lemah
10.00
A : masalah
3. Mengkaji
status
teratasi
mobilisasi
4. Menentukan pengisian
P : intervensi
drainase
dilanjutkan
dengan
masalah
keperawatan
4

Selasa ,1
November
2016

selanjutnya
S: Pasien

08.00

9. Memposisikan pasien kearah mengatakan


yang

memiliki

potensi sudah tidak

ventilasi yang maksimal.


sesak nafas
10. Mengauskultasi suara nafas.
11. Memonitor respirasi dan status
P: Pasien
oxygen jika diperlukan.
12. Memonitor rata rata ritme dan tampak
juga tekanan dari respirasi.
bernafas
13. Memonitor
pola
nafas
dengan
(
bradypnea,
tachypnea,
normal
hyperventilasi,
respirasi
kusmaul).
A: Masalah
14. mempalpasi ekspansi paru dari

sisi yang sama.


Teratasi
15. Memperkusi bagian anterior
dan posterior dari thorax dari
apex ke basis secara bilateral.
16. Menandai locasi trakea.

P: intervensi
dilakukan
dengan

10.00
5. Memonitor
nadi,

dan

dibutuhkan.
6. Memonitor

tekanan
respirasi

darah,
jika

tekanan

darah

dan tidur sebelum dan sesudah


dibutuhkan.
7. Memonitor

posisi

jika

warna

kulit,

temperature,

dan

kelembabannya.
8. Mengidentifikasi
penyebab

keperawatan
selanjutnya

pasien ketika duduk, berdiri


pergantian

Masalah

pada

tanda tanda vital.

factor
perubahan

BAB IV
PERBANDINGAN
Setelah membaca dan memahami tinjauan teori pada bab II perdarahan
post partum, dapat kita simpulkan bahwa pasien dalam kasus mengalami
perdarahan post partum yang ditandai dengan adanya perdarahan pervaginam
yang terus-menerus setelah bayi lahir. Kehilangan banyak darahtersebut
menimbulkan tanda-tanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah rendah,
denyut nadi cepat dan kecil, ekstrimitas dingin, Hal ini dibuktikan dengan
pengkajian yang telah dilakukan dan diperoleh sebagai mana tertera pada bab III.
Dari pemeriksaan fisik pada pemeriksaan umum keadaan pasien lemah dan
mengantuk,kesadaran samnolen,keadaan fisik ekstremitas teraba dingin dan warna
kuku tampak pucat dan menunjukkan tanda-tanda vital TD: 90/60 mmHg RR:
30x/menit N: 100x/menit dan t: 36C.
Dari segi diagnosa keperawatan, kami mengangkat diagnose yang berbeda
dengan diagnose pada askep teori. Dari diagnosa teori, kita ketahui bahwa
diagnose yang diangkat adalah syok hipovolemik b/d perdarahan yang terjadi
terus menerus.Sedangkan pada askep kasus kami mengangkat diagnosa utama
yaitudevisit volume cairan. Setelah kami melakukan diskusi kelompok, kami
berpendapat bahwa diagnosa pada askep kasus yaitu devisit voljume cairan, juga
terjadi pada pasien didalam kasus, sesuai dengan DO dan DS pada analisa data.
Sehingga kami juga memasukkan diagnosedevisit volume cairan. Hal ini kami
lakukan berdasarkan gejala gejala yang di alami pasien pada kasus dan setelah
melakukan analisa data, kami sepakat masalah utama yang dialami pasien adalah
devisit volume cairan. Menurut kelompok kami juga, apabila masalah devisit

volume cairan yang dialami pasien dapat diatasi, maka masalah syok hipovolemik
b/d perdarahan yang terjadi terus meneruspasien juga akan ikut membaik dan
dapat diatasi.

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perdarahan post partum adalah perdarahan yang terjadi setelah kehamilan
28 minggu.Biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya dari pada perdarahan
kehamilan sebelum 28 minggu.
Perdarahan post partum dapat disebabkan oleh plasenta previa, solusio
plasenta, ruptura sinus marginalis, atau vasa previa. . Diagnosa secara tepat sangat
membantu menyelamatkan nyawa ibu dan janin.Ultrasonografi merupakan
motede pertama sebagai pemeriksaan penunjang dalam penegakkan plasenta
previa.
Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih dari 500-600 ml selama 24
jam setelah anak lahir. Termasuk perdarahan karena retensio plasenta. Perdarahan
post partum adalah perdarahan dalam kala IV lebih dari 500-600 cc dalam 24 jam
setelah anak dan plasenta lahir , pada kasus seperti ini perlu segera ditangani dan
di ambil tindakan.

B.Saran
Melakukan deteksi dini kemungkinan terjadinya perdarahan antepartum,
intrapartum dan postpartum dan membantu penatalaksanaan secara dini sehingga
dapat mengurangi angka mortalitas.

Penatalaksanaan perdarahan antepartum, intrapartum dan postpartum yang


baik dapat mengurangi angka mortalitas dan morbiditas ibu dan janin.

DAFTAR PUSTAKA
Burns, A., Lovich, R., et al. 2000. Pemberdayaan Wanita dalam Bidang
Kesehatan. Yogyakarta: Yayasan Esensia Medica
Cameron, M.J., Robson, S.C. 2006. Vital Statistic: An Overview. A Textbook of
Postpartum Hemorrhage. AOM Board of Directores
Cunningham, MacDonald, Grant. Terjemahan oleh Joko Suyono dan Andry
Hartono. 2006. Obstetri Williams Edisi 21. Jakarta: EGC
Dahlan, Sopiyudin. 2009. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam
Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika
Dahlan, Sopiyudin. 2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan: Deskriptif,
Bivariat, dan Multivariat Dilengkapi Aplikasi dengan SPSS. Jakarta: Salemba
Medika
Departemen Kesehatan RI. 2007. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2007.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Departemen Kesehatan RI. 2008. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI
www. Google.com/ Asuhan keperawatan maternitas Akses 17 mei09.com
Carpenito, Lynda, (2001), Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Penerbit
Buku KedokteranEGC, Jakarta
Hamilton, C. Mary, 1995, Dasar-dasar Keperawatan Maternitas, edisi 6,
EGC, Jakarta
Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I. Media

Aesculapius.
Marilynn E.Doenges. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, EGC,

Anda mungkin juga menyukai