Anda di halaman 1dari 12

10

LAPORAN PRAKTIKUM
PENGGUNAAN DAN MANFAAT OBAT
ACARA 9

ONSET KERJA OBATPADA BEBERAPA JALUR PEMBERIAN

Disusun oleh :
Nama

: Nurul Sukmawati

NIM

: 15/386189/SV/09575

Kelompok : B-2
Asisten

: Ni Made Ayudita Arjani Laksmi W

LABORATORIUM FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016

I.

Tujuan Praktikum :
Mengetahui laju absorpsi obat dengan mengukur waktu antara pemberian obat
sampai timbulnya efek pada beberapa jalur pemberian

II.
Tinjauan Pustaka
A. Pengertian Onset
Onset merupakan tentang bagaimana efek yang dikehendaki (lokal maupun
sistemik) dengan waktu yang digunakan relatif cepat atau yang lambat (Anief, 2007).
Menurut Ningsih (2014), nset adalah waktu dari saat obat diberikan hingga obat terasa
kerjanya, sedangkan durasi adalah lama obat untuk menghasilkan suatu efek terapi.
B. Jalur Pemberian Obat
1) Peroral
Penggunaan obat melalui oral bertujuan terutama untuk mendapatkan efek sistemik
yaitu obat beredar melalui pembuluh darah ke seluruh tubuh. Kecepatan absorpsi
obat melalui oral tergantung pada ketersediaan obat terhadap cairan biologik.bentuk
obat padat untuk pemakaian oral meliputi tablet, kapsul dan serbuk (Anief, 2007).
2) Subkutan
Injeksi subkutan/hipodermik (s. K./h. D.) disuntikkan di bawah kulit ke dalam
alveola dan obatnya lambat diabsorpsi jadi intensitas efek sistemik dapat diatur
(Anief, 2007).
3) Intra muskular
Injeksi intramuskuler (i.m.) disuntikkan masuk otot daging. Injeksi dapat
berupa larutan, suspensi atau emulsi. Suspensi, emulsi dimasudkan untuk
memperoleh efek yang diperpanjang (Anief, 2007).
4) Intra peritoneal
Injeksi intraperitoneal (i. p.) disuntikkan langsung ke dalam rongga perut.
Jarang digunakan sebab bahaya infeksi besar (Anief, 2007).
5) Intra vena
Injeksi intravena (i. v.) disuntikkan langsung ke dalam pembuluh darah.
Larutan injeksinya harus betul-betul jernih. Untuk infus yang merupakan volume
cairan yang besar mengandung elektrolit, substansi nutrisi yang esensial diberikan
hanya melalui injeksi intravena. Beberapa bentuk sediaan yang dapat diberikan
meliputi sediaan berupa larutan dlalam air, larutan dalam minyak, larutan lain,
suspensi obat padat dalam aqua, suspenssi dalam minyak, emulsi, kristal steril
untuk dibuat larutan dengan penambahan pelarut steril (dengan aqua steril), kristal
steril dalam pelarut aque steril, cairan infuss intravena yang berupa larutan dalam
volume untuk dosis tunggal infusa, dan cairan untuk diagnosa (Anief, 2007).
6) Topikal
Penggunaan obat pada kulit dimaksudkan untuk memperoleh efek pada atau di
dalam kulit. Bentuk obat untuk topikal dapat berupa padat, cair, dan semi padat.

Bentuk obat padat untuk penggunaan topikal adalah serbuk yang tujuannya
menyerap lembab, mengurangi geseran antar dua lipatan kulit dan sebagai bahan
pembawa obatnya. Bentuk obat cairnya meliputi sediaan basah seperti kompres,
celupan untuk mandi, contohnya larutan Rivanol. Losion sebagai contoh dari zat
yang tak larut tersuspensi yang memiliki efek menyejukkan. Obat jenis ini tidak
boleh digunakan pada luka berair, karena akan terjadi kerak dan bakteri dapat hidup
di bawahnya. Selanjutnya ada linimen yaitu suatu larutan dalam alkohol atau
minyak berbentuk suspensi atau emulsi. Obat jenis ini digunakan pada kulit untuk
pengobatan otot yang sakit lemah. Linimen yang basisnya alkohol digunakan untuk
rube facient yaitu untuk melancarkan jalan darah yang menimbulkan kemerahan.
Bentuk bat semi padat pada penggunaan topikal meliputi salep, krim, dan pasta.
Salep adalah sediaan setengah padat untuk dipakai pada kulit. Krim adalah sediaan
setengah padat yang mengandung banyak air. Pasta adalah suatu salep yang
mengandung serbuk yang banyak seperti amilum dan ZnO yang memiliki bersifat
pengering (Anief, 2007).
C. Nasib Obat dalam Tubuh
1. Fase Farmasetik
Fase biofarmasetik melibatkan seluruh unsur-unsur yang terkait mulai saat
pemberian obat hingga terjadinya penyerapan zat aktif. Kerumitan peristiwa
tersebut tergantung pada cara pemberian dan bentuk sediaan, yang secara
keseluruhan berperan pada proses pre disposisi zat aktif dala tubuh.fase
bifarmasetik merupakan salah satu kunci penting untuk memperbaiki aktivitas
terapetik. Fase biofarmasetik bergantung pada banyak faktor yang belum jelas
mekanismenya terutama hal-hal yang menyangkut kefarmasian serta perbedaan
fisiopatologis organ atau jalur pemberian obat. Fase biofarmasetik dapat diuraikan
dalam tiga tahap utama yaitu Liberasi (pelepasan), Disposisi (pelarutan) dan
Absorpsi (penyerapan) (Aiache, et al, 1982).
2. Fase Farmakokinetik
a. Absorpsi
Absorpsi merupakan transfer obat melintasi mebran. Terdapat tiga tipe
membran yaitu membran kulit, membran epitel dan membran sel tunggal.
Dalam mentasi sel membran obat melakukan dengan dua cara yaitu transfer
aktif dan transferr pasif. Transfer aktif memerlukan energi. Pengangkutan
dilakukan dengan mengikat obat zat hidrofil (makromolekul atau ion) pada
enzim spesifik (alat pengangkut, misalnya ATP). Setelah melintasi membran

obat dilepas lagi. Zat yang diresorpsi dengan proses aktif ialah: glukosa, asam
amino, asam lemak, Vit. B1, B2, B12, garam empedu, garam besi, dan lainlain. Pada tranfer pasif membran tidak berperan aktif ketika obat melalui
membran tersebut. Tranfer pasif dibedakan menjadi filtrasi dan difusi. Filtrasi
yaitu zat melalui pori-pori kecil dari membran misalnya dinding kapiler
sementara difusi yaitu zat melarut dalam lapisan lemak dan membran sel.
Absorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti :
Kelarutan obat,
Kemampuan difusi melintasi sel membran,
Konsentrasi obat,
Sirkulasi pada letak absorpsi,
Luas permukaan kontak obat,
Bentuk obat, dan
Rute pemakaian obat
(Anief, 2007).
b. Distribusi
Setelah obat diabsorpsi ke dalam aliran darah untuk mencapai tepat pada
letak aksi, harus melalui membran sel. Distribusi obat dilakukan di dalam
susunan syaraf pusat dan melalui sawar darah-otak. Distribusi obat ke dalam
susunan syaraf mengikuti prinsip-prinsip sama seperti perjalanan obat
melintasi sel membran lainnya. Akumulasi obat dapat terjadi pada tempat
penyimpanan tertentu yaitu (1) ikatan pada protein plasma bersifat reversibel
di dalam darah dan jaringan lainnya, (2) penyimpanan dalam lemak merupakan
penyimpanan kedua bagi obat (Anief, 2007).
c. Metabolisme
1. Metabolisme fase I
Metabolisme fase I meliputi reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis dan
hidrasi, juga isomerasi dan reaksi-reaksi lain yang lebih jarang. Reaksireaksi akan dibicarakan dalam hal tipe reaksi dengan melihat pada oksidasi,
tempat enzim-penggolongan reaksi fase I. Sistem oksidasi yang berlangsung
dengan sistem oksidase fungsi campur mikrosomal dari banyak sel
(misalnya hepar, ginjal, paru-paru dan usus halus) menampilkan banyak
reaksi fungsionalisasi yang berbeda (Gibson, 2006).
2. Metabolisme fase II
Metabolisme fase II atau konjugasi meliputi golongan enzim-enzim yang
berbeda dan bereaksi pada tipe senyawa yang berbeda, umumnya
menghasilkan produk yang larut dalam air dan dapat diekskresikan dalam
empedu atau urin (Gibson, 2006).
3. Metabolisme fase III

Metabolisme fase III merupakan metabolisme lebih lanjut dari konjugasi


glutatin yang diuraikan di atas (menghasilkan konjugasi sistein dan asam
merkaptural) sebagai metabolisme fase III. Senyawa-senyawa yang
mengandung sulfur atau senyawa-senyawa yang membentuk konjugat yang
mengandung sulfur, seperti 2-asetamido-4-klorometiltiazol, kafein dan
propaklor. Derivat-derivat metiltio yang didapatkan sebagai produk ekskresi
telah dipostulatkan. Pemecahan konjugat glutation ditampilkan oleh C-S
liase dalam mikroflora usus untuk mengubah gugus SH dari glutation ke
substrat, selanjutnya terjadi metilasi S-dan reabsorpsi. Senyawa yang
dimetilasi-S dioksidasi dalam hati menjadi derivat metiltio, dan kemudian
diekskresikan (Gibson, 2006).
d. Eksresi
Ginjal merupakan organ yang paling penting untuk ekskresi obat. Oobat
diekskresikan dalam struktur tidak berubah atau sebagai metabolit melalui
ginjal dalam urine. Obat yang diekskresikan bersama feses berasal dari obat
yang tidak diabsorpsi dari penggunaan obat melalui oral dan obat yang
dieksresikan melalui empedu serta tidak diabsorpsi dari usus. Obat dapat
dieksresikan melalui paru-paru, air ludah, keringat atau dalam air susu. Obat
dalam badan akan mengalami metabolisme dan eksresi. Maka dalam
penggunaan obat pada pasien perlu diperhatikan keadaan pasien yang fungsi
hati atau ginjalnya tidak normal (Anief, 2007).
3. Fase Farmakodinamik
Fase farmakodinamik untuk mekanisme kerja zat aktif belum diketahui dengan
pasti. Dan dapat dipastikan bahwa banyak proses biokimia obat terjadi pada
tingkat seluler atau subseluler. Hal ini berbeda dengan respons yang mungkin
tidak mempunyai korelasi langsung dengan dosis yang diberikan dan atau dengan
kadar zat aktif dalam darah akibat dosis itu sendiri (contoh pada kasus antikoagulan oral). Fase farmakodinamik ini meliputi hubungan antara efek
farmakologik dan kadar zat aktif, lebih tepatnya hubungan antara efek
farmakologis dengan dosis yang diberikan. Dengan demikian dapat dipastikan
adanya hubungan antara perubahan kronologis kuantitatof mediator aktif dalam
tubuh, khususnya pada tingkat biofase yang aktif, para meter intensitas dan
parameter lama efek klinik.

Profil kronologis adanya


mediator aktof di biofase

Intensitas,
waktu
laten,
waktu aksi farmakologik atau
biokimiawi

Respon klinik

Respon klinik tidak hanya bergantung pada respon farmakologik, tetapi juga
tergantung pada faktor yang berkaitan dengan individu penerima. Dengan kata
lain

respon farmakologik idak hanya tergantung pada zat aktiif, melainkan

tergantung juga pada individunya. Faktor fisio-patologik (ragamnya tidak


tergantung pada jenis obat) mudah mempengaruhi fase farmakodinamika. Dalam
bagan terakhir ini konsentrasi zat aktif dalam biofase efektif merupakan
parameter yang berperan dalam aksi farmakologik (Aiache, et al, 1982).
D. Strychnine
Strychnine merupakan alkaloid yang terdapat pada nux vomica, biji suatu pohon
yang berasal dari India yaitu Strychnos nuxvomica yang digunakan sebagai racun
untuk tikus dan hewan hama lain. Penggunaannya sebagai pestisida dan sebagai racun
yang tak sengaja dapat meracuni anak-anak dan hewan lainnya. Striknin menyebabkan
eksitasi di mana semua bagian SSP. Namun, efek ini bukan akibat eksitasi langsung
pada sinaps. Striknin meningkatkan level ekstabilitas neuron dengan merintangi
penghambatan secara selektif. Impuls saraf biasanya terbatas pada jalur yang tepat
oleh pengaruh penghambatan. Jika penghambatan dirintangi oleh striknin, aktivitas
neuron yang sedang berlangsung meningkatkan dan rangsang sensorik menyebabkan
efek reflek berlebihan. Striknin merupakan konvulsan kuat dan kejangnya mempunyai
pola motorik yang khas. Mengingat striknin mengurangi penghambatan, termasuk
menghambat yang terjadi antara otot-otot yang antagonistik, pola konvulsi tersebut
ditentukan oleh otot-otot paling kuat yang bekerja pada sendi tertentu. Pada
kebanyakan hewan percobaan, konvulsi ditandai dengan ektensi tonik tubuh dan
semua anggota gerak. Selama fase depresi postiktal, ekstensi tonik didahului dan
diikuti leh hentakan fase ekstensor yang simetris, yang mungkin diawali oleh bentuk
penerimaan rangsang rensori apa pun (Hardman dan Lee, 2003).
Mekanisme kerja konvulsi dari striknin menurut Hardman (2003) adalah dengan
menganggu penghambatan pascasinaps yang diperantarai glisin. Sementara itu glisin
merupakan transmitter penghambat yang penting ke motoneuron dan interneuron di
spinalis kordata, dan striknin bekerja sebagai antagonis kompetitif yang selektif untuk
merintangi efek penghambatan glisin pada semua reseptor glisin. Kejang klonik
didefinisikan sebagai episode kejang otot yang melibatkan tungkai depan engan atau
tanpa kehilangan refleks meluruskan. Kejang tonik ditandai dengan ventroflexion
yang diikuti oleh perpanjangan secara keseluruhan kaki depan dan kaki belakang
(Rohadi, et al, 2015).

III.
Materi dan metode
a. Materi
Alat :
Timbangan
Gelas beker (500 ml)
Gelas beker (100 ml)
Spuit

: untuk menimbang berat mencit


: digunakan untuk tempat wadah mencit
: digunakan untuk wadah larutan obat
: digunakan untuk injeksi obat intraperitoneal

dan injeksi subcutan


Spuit berkanul
Stopwatch

: digunakan untuk pemberian obat jalur peroral


: digunakan untuk mengatur waktu saat mencit

mulai diinjeksi hingga menimbulkan efek


Bahan :
Strychnine 10 mg/kg
: obat yang akan diinjeksikan pada tiap hewan
dengan pemberian jalur yang berbeda
b. Metode
Ambil tiga buah mencit dari kandangnya kemudian masing-masing
ditimbang berat badannya lalu dicatat
Setelah mencit ditimbang, mencit dimasukkan ke dalam tiga gelas beker
dengan diberi label berisi berat badan dan jalur pemberian obat
Kemudian siapkan obat Strychnine, serta hitung dosis obat yang akan
diberikan pada mencit
Pemberian obat Strychnine 3,48 ml secara peroral menggunakan spuit
berkanul pada mencit pertama dan mulai hidupkan stopwatch
Injeksikan secara subcutan 0,31 ml Strychnine menggunakan spuit pada
mencit kedua dan mulai hidupkan stopwatch
Injeksikan secara intraperitoneal 0,34 ml Strychnine menggunakan spuit
pada mencit ketiga dan mulai hidupkan stopwatch
Kedua mencit diletakkan kembali ke gelas beker masing-masing serta
diamati hingga mencit mengalami kejang dan mati (catat waktu keduanya)
Menghitung onset konvulsinya dan kumpulkan data kelas serta dilakukan
perhitungan statistik untuk mengetahui onset kerjanya

IV.

Hasil praktikum
Tabel 1. Gambar Pemberian Obat Secara peroral, subkutan dan I.P Pada Mencit`
No.

Gambar

Keterangan
Ketiga mencit diambil dari

1.

kandangnya

kemudian

masing-masing

ditimbang

berat

badannya

menggunakan timbangan lalu


catat hasilnya
Setelah

ditimbang

mencit

dimasukkan ke dalam gelas


2.

beker

dan

masing-masing

diberi label mencit berat


badan dan jalur pemberian
obat (PO, SC, IP)
Siapkan larutan Strychnine.
Kemudian

ambil

menggunakan spuit dengan


3.

volume

yang

dibutuhkan

berdasarkan
perhitungan

pada
dengan

berat

badan mencit
Mencit diberikan obat secara
peroral menggunakan spuit
berkanul dengan dosis obat
4.

3,48 ml

Mencit diberikan obat secara


injeksi

subcutan

dengan

dosis 0,31 ml menggunakan

5.

spuit

Mencit diberikan obat secara


injeksi intraperitoneal (I.P.)
dengan dosis 0,34 ml

6.

Perhatikan

adanya

tanda-

tanda konvulsi pada mencit


dan

7.

hitung

waktu

onset

konvulsinya

Perhatikan

tanda-tanda

mencit mati dan hitung serta


catat waktu onset matinya.
8.

Tabel 2.Onset Kerja Obat Pada Beberapa Jalur Pemberian


GRUP

ONSET KONVULSI
ORAL

SUBCUT

A1

100 detik

AN
92 detik

A2

95 detik

B1
B2

ONSET MATI
I.P

ORAL

SUBCUTA

I.P

20 detik

132 detik

N
105 detik

66 detik

68 detik

59 detik

119 detik

92 detik

69 detik

225 detik

129 detik

90 detik

650 detik

162 detik

98 detik

26 detik

86 detik

61 detik

38 detik

120 detik

66 detik

C1

71 detik

86 detik

105 detik

105 detik

C2

148 detik

63 detik

176 detik

79 detik

D1

495 detik

92 detik

84 detik

530 detik

116 detik

111 detik

D2

63 detik

64 detik

63 detik

92 detik

90 detik

93 detik

MEAN

167,33

93,75

65,75

260,17

120,75

85,88

detik

detik

detik

detik

detik

detik

V.

Pembahasan
Pada praktikum onset kerja obat bertujuan untuk mengetahui laju absorpsi obat
dengan mengukur waktu antara pemberian obat sampai timbulnya efek. Onset itu
sendiri adalah waktu antara pemberian obat sampai timbulnya efek. Onset kerja obat
dibagi menjadi dua yaitu onset konvulsi dan onset mati. Onset konvulsi adalah waktu
antara pemberian obat hingga menimbulkan kejang, sementara onset mati adalah
waktu antara pemberian obat hingga menimbulkan kematian. Pada praktikum kali ini
obat yang digunakan yaitu Strychnine.
Menurut Hardman (2003), strychnine merupakan alkaloid yang terdapat pada nux
vomica, biji suatu pohon yang berasal dari India yaitu Strychnos nuxvomica yang
digunakan sebagai racun untuk tikus dan hewan hama lain. Penggunaannya sebagai
pestisida dan sebagai racun yang tak sengaja dapat meracuni anak-anak dan hewan
lainnya. Striknin menyebabkan eksitasi di mana semua bagian SSP. Namun, efek ini
bukan akibat eksitasi langsung pada sinaps. Striknin meningkatkan level ekstabilitas
neuron dengan merintangi penghambatan secara selektif. Impuls saraf biasanya
terbatas pada jalur yang tepat oleh pengaruh penghambatan. Jika penghambatan
dirintangi oleh striknin, aktivitas neuron yang sedang berlangsung meningkatkan dan
rangsang sensorik menyebabkan efek reflek berlebihan. Striknin merupakan
konvulsan kuat dan kejangnya mempunyai pola motorik yang khas.
Langkah kerja yang dilakukan yaitu pertama menyiapkan tiga

ekor mencit

kemudian menimbang beratnya. Berat mencit didapat: 34,8 gram, 31 gram, dan 34
gram. Lalu menempatkan mencit pada gelas beker yang diberi label. Kemudian
menghitung volume strychnine yang akan diberikan dengan dosis 10 mg/ kg BB dan
konsentrasi 0,1. Mencit pertama dengan berat 34,8 gram akan diberi strychnine
secara peroral menggunakan suit berkanul dan mencit 26 gram akan diinjeksi secara
subkutan serta mencit 32 gram akan diinjeksi secara intraperitonial. Untuk
menentukan banyaknya volume obat yang diberikan dapat dijabarkan dalam
perhitungan berikut ini.

Peroral
Diketahui
Konsentrasi
Dosis
Berat badan
Ditanya
Jawab
V (ml)

:
: 0,1%
: 10 mg/kg BB
: 34,8 gr = 0,0348 kg
: volume (ml) ....?
:
= berat badan (kg) x dosis (mg/kg BB)
Konsentrasi
= 0,034 kg x 10 mg/kg BB
1
= 3,48 ml
Jadi, mencit pertama diberikan dosis obat 3,48 ml secara peroral.
Subcutan
Diketahui
:
Konsentrasi : 0,1%
Dosis
: 10 mg/kg BB
Berat badan : 31 gr = 0,031 kg
Ditanya
: volume (ml) ....?
Jawab
:
V (ml)
= berat badan (kg) x dosis (mg/kg BB)
Konsentrasi
= 0,031 kg x 10 mg/kg BB
1
= 0,31 ml
Jadi, mencit pertama diberikan dosis obat 0,31 ml secara injeksi subcutan.
Injeksi intraperitoneal
Diketahui
:
Konsentrasi : 0,1%
Dosis
: 10 mg/kg BB
Berat badan : 34 gr = 0,034 kg
Ditanya
: volume (ml) ....?
Jawab
:
V (ml)
= berat badan (kg) x dosis (mg/kg BB)
Konsentrasi
= 0,034 kg x 10 mg/kg BB
1
= 0,34 ml
Jadi, mencit pertama diberikan dosis obat 0,34 ml secara injeksi subcutan.
Volume strychnine yang diberikan secara peroral 3,48 ml , secara subkutan 0,31 ml
dan secara intraperitonial sebanyak 0,32 ml. Setelah memasukkan obat lalu tekan
stopwatch untuk menghitung waktu dari mulai masuknya obat ke dalam tubuh mencit.
Lalu mencit diletakkan ke dalam gelas beker dan diamkan serta amati. Amati hingga
terjadi efek kejang/konvulsi dan catat waktunya.
Hasil dari rata-rata percobaan keseluruhan group, diperoleh Onset Konvulsi
peroral selama 167,33 detik dan onset matinya adalah 260,17 detik. Onset konvulsi
rata-rata subcutan selama 93,75 detik dan onset matinya 120,75 detik. Sedangkan

secara injeksi intraperitoneal onset konvulsinya 65,75 detik dan onset matinya 85,88
detik. Berdasarkan data pemberian secara peroral membutuhkan waktu lebih lama dari
injeksi subcutan dan injeksi intraperitoneal. Dari kecepatan obat bekerja, injeksi
intraperitonial lebih cepat dari pada injeksi secara subcutan, dan subcutan lebih cepat
dari peroral.
VI.

Kesimpulan
Onset kerja obat dapat di pengaruhi oleh beberapa factor antara lain lokasi
penyuntikan obat dan dosis obat yang diberikan.
Pemberian obat untuk melihat onset kerjanya bisa diberikan secara I.P
(intraperitoneal), subcutan, dan peroral.
Pemberian secara I.P lebih cepat dari pada subcutan ini di karenakan
pemberian secara I.P dibagian yang banyak pembuluh darahnya, sedangkan
secara subcutan banyak melewati lapisan kulit sehingga obat lebih lama masuk
ke pembuluh darah. Sedangkan secara oral, obat akan lebih lama masuknya
karena harus melewati saluran-saluran dimana obat akan banyak mengalami
absorpsi atau penyerapan, jadi pemberian secara oral akan lebih lama dari pada

VII.

I.P dan subcutan.


Daftar pustaka
Aiache, J.M., Devissaguet, J., Herman, A.M.G. 1982. Farmasetika dan Biofarmasi
Edisi Kedua. Paris : Lavoiser.
Anief, M. 2007. Apa Yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Gibson, G. G., Fil, P. S. 2006. Pengantar Metabolisme Obat. Jakarta : Penerbit
Universitas Indonesia.
Hardman, J. G., Limbird, L. E. 2003. Dasar Farmakologi Terapi Volume 2. Jakarta :
Penerbit EGC.
Ningsih, S., Rahma, N.W. 2014. Kemampuan Efek Sedasi Infusa Umbi Rumput Teki
(CyperusRotundusL ) Pada Mencit Jantan Ras Swiss. IJMS Indonesian
Journal On Medical Science, Vol.1 (2) : 66-73.
Rohadi,D., Bachri, M.S., Nurani, L.H. 2015. Aktivitas Antikonvulsan Fraksi Etil
Asetat Dan Fraksi Tidak Larut Etil Asetat DaunSirsak (AnnonaMuricata L.)
Pada Mencit. Jurnal Aktivitas Antikonvulsan Fraksi Etil Asetat, Vol.2 (6) :
213-216

Anda mungkin juga menyukai