: Nerissa Arviana
NPM
: 25212289
Kelas
: 2EB17
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya yang
berlimppah sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya dengan
judul ANALISA KASUS HUKUM MONEY LAUNDERING DI INDONESIA
Makalah ini dibuat untuk memenuhi syarat guna memperoleh nilai tugas individu dan presentasi dalam mata
kuliah Aspek Hukum dalam Ekonomi. Makalah ini berisikan tentang informasi mengenai contoh kasus money
laudering di Indonesia, pengertian dari money laudering, tindak hukum atas kegiatan money laudering di
Indonesia, proses terjadinyamoney laundering, modus-modus yang biasa digunakan dalam kegiatan money
laundering, dan tindak pencegahan dan penanggulangan atas adanya kegiatan money laundering.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua
pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta membantu
penulis dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT. senantiasa meridhai segala
urusan kita semua. Amin.
PENULIS
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....
DAFTAR ISI............................
i
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
13
18
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu contoh dari kasus money laundering ialah kasus Bank Global. Pembobolan bank tersebut bukan
dilakukan melalui suatu teknik yang canggih, melainkan karena adanya niat buruk dari pengelola bank yang
memanfaatkan kelengahan pengawasan BI maupun Bapepam. Maka dari itu pemerintah menutup Bank Global.
Pada waktu dibekukan kegiatan usahanya, Bank Global sudah nyaris kolaps. AngkaCapital Adequacy
Ratio (CAR) atau rasio kecukupan modalnya sudah berada pada titik minus 39 %. Dengan adanya indikasi
berbagai pelanggaran ditambah dengan ketertutupan dari pihak manajemen, maka BI kemudian bertindak lebih
tegas, yakni membekukan kegiatan usaha dengan tujuan demi menyelamatkan asset, mencegah kerugian lebih
besar lagi, serta yang utama ialah mengamankan dana nasabah.
Adapun contoh kasus lainnya tentang money laundering adalah kasus Bank BNI, yaitu adanya pembobolan
Bank BNI sebesar Rp 1,7 triliun melalui L/C (Letter of Credit) fiktif dengan adanya pemberian kredit L/C oleh
pihak Cab.BNI Utama Kebayoran Baru. Bobolnya uang sejumlah Rp 1,7 triliun bermula dari PT. Gramarindo
Mega Indonesia (Perusahaan milik Erri Lumowa dan Adrian Woworuntu) mengajukan permohonan pembiayaan
ekspor impor dari BNI Cab. Kebayoran Baru Jakarta Selatan. PT. Gramarindo rencananya akan melakukan
ekspor pasir dan minyak residu ke negara-negara Afrika dan Timur Tengah. Dalam mengajukan permohonan
pembiayaan tersebut PT. Gramarindo mendapatkan jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya, The Wall Street
Banking Corporation, Middle East Bank Kenya, Ltd. Ross Bank Swiss dan Bank One (New York).
Berdasarkan L/C yang dipecah-pecah menjadi 80 L/C kecil namun keseluruhannya berjumlah Rp 1,7 triliun
tersebut, menghasilkan yang kredit ekspor dalam mata uang dollar dan Euro yang telah dicairkan sejak bulan
Juli 2002 sampai bulan Juli 2003. Belakangan baru diketahui kalau ternyata ekspor tersebut hanya fiktif belaka,
yaitu dengan membuat dokumen ekspor fiktif, PT Gramarindo Group dapat menikmati uang dan menggunakan
uang tersebut. Dalam transaksi perdagangan luar negeri, terjadi hubungan dagang antara penjual dari suatu
negara dan Negara lainnya dibutuhkan pengertian dan kerjasama yang baik dan saling menguntungkan serta
tetap berpedoman kepada ketentuan-ketentuan hukum dagang dari masing-masing negara.
b) Untuk mengetahui apa saja hukum yang berlaku di Indonesia saat ini untuk mengatur dan mencegah
tindakan money laundering.
c)
d)
Untuk mengetahui apa saja modus-modus yang digunakan dalam kegiatanmoney laundering
e) Dan untuk mempelajari bagaimana cara mencegah dan menanggulangi praktek kegiatan money
laundering.
BAB II
PEMBAHASAN
Pasal 1 ayat 1 UU No 25 tahun 2003 berbunyi: Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri,
menukarkan , atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau diduga (seharusnya patut
diduga) merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul
harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Dan kemudian, kegiatan money laundering juga telah diatur secara yuridis dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, di
mana pencucian uang dibedakan dalam tiga tindak pidana:
Pertama
Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,
membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk,
menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan
tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010).
Kedua
Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap orang yang menerima atau menguasai
penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan
bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
(Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010).
Ketiga
Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian
uang yang dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi,
peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun
dianggap sama dengan melakukan pencucian uang.
Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup berat, yakni dimulai dari hukuman penjara paling
lama maksimum 20 tahun, dengan denda paling banyak 10 miliar rupiah.
Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang yang tercantum pada Pasal 2 UU RI No. 8 Tahun 2010, yaitu:
1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c.
narkotika; d. psikotropika; e. penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h.
di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang; m.
perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan
uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y.
di bidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat)
tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum
Indonesia.
2) Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung
atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi terorisme, atau teroris perseorangan disamakan
sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.
Placement
Placement diartikan sebagai upaya untuk menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan ke
dalam sistem keuangan. Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik dan uang tunai baik melalui penyelundupan
uang tunai dari satu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan
dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan melakukan penempatan uang giral
ke dalam sistem perbankan, misalnya deposito bank, cek atau melalui real estate atau saham-saham atau juga
mengkonversikan ke dalam mata uang lainnya atau transfer uang ke dalam valuta asing.
b)
Layering
Layering diartikan sebagai memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan yang terkait
melalui beberapa tahapan tranaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa
rekening atau lokasi tertentu sebagai hasilPlacement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang
kompleks yang didesain untuk menyamarkan atau mengelabui sumber dana haram tersebut. Layering dapat
pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin perusahaan-per usahaan fiktif dengan memanfaatkan
ketentuan rahasia bank.
c)
Integration
Integration adalah upaya menggunakan harta kekeyaan yang telah tampak sah baik untuk dinikmati langsung,
diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai
kembali kegiatan tindak pidana. Dalam melakjukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan
hasil yang akan diperoleh dan biaya yang harus dikeluarkan, karena tujuan utamanya adalah menyamarkan atau
menghilangkan asal-usul uang sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati atau digunakan secara aman.
Ketiga kegiatan di atas dapat terjadi secara terpisah atau simultan, namun umumnya dilakukan secara tumpang
tindih. Modus operandi pencucian uang dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan menggunakan teknologi
dan rekayasa keuangan yang cukup rumit. Hal itu terjadi baik pada tahap Placement, Layering,
maupun Integration, sehingga penanganannya pun semakin sulit dan membutuhkan peningkatan peningkatan
(capacity building) secara sitematis dan berkesinambungan. Jadi dalam Integration, begitu uang tersebut telah
berhasil diupayakan proses pencuciannya melalui caraLayering, maka tahap selanjutnya adalah menggunakan
uang yang telah menjadi uang halal (clean money) untuk kegiatan bisnis atau kegiatan operasi kejahatan dari
penjahat atau organisasi kejahatan yang mengendalikan uang tersebut.Kesemua perbuatan dalam proses
pencucian uang haram ini memungkinkan para raja uang haram ini dana yang begitu besar dalam rangka
mempertahankan ruang lingkup kejahatan mereka atau untuk terus berproses dalam dunia kejahatan terutama
yang menyangkut narkotika. Untuk menghadapi cara-cara yang digunakan para penjahat ini dengan para
pembantu mereka melalui pelbagai transaksi yang tidak jelas dalam rangka menghalalkan uang mereka dalam
jumlah yang besar, maka ada tiga permasalahan yang harus ditanganin jika ingin menggagalkan praktik kotor
pencucian uang haram ini, yaitu kerahasiaan bank, kerahasiaan financial secara pribadi, dan efesiensi transaksi.
Adapun perihal proses pencucian uang, menurut Anwar Nasution, ada empat faktor yang dilakukan, yaitu:
1)
merahasiakan siapa pemilik yang sebenarnya maupun sumber uang hasil kejahatan itu.
2)
3)
merahasiakan proses pencucian uang itu sehingga menyulitkan pelacakan oleh petugas hukum.
4)
pemilik perusahaan di Indonesia memliki dana yang sah, karena telah tercuci melalui hasil pejualan sahamsahamnya di perusahaan Indonesia.
6) Modus Real Estate Carousel, yakni dengan menjual suatu properti berkali-kali kepada perusahaan di
dalam kelompok yang sama. Pelaku Money Laundering memiliki sejumlah perusahaan (pemegang saham
mayoritas) dalam bentuk real estate. Dari satu ke lain perusahaan.
7) Modus Investasi Tertentu, investasi tertentu ini biasanya dalam bisnis transaksi barang atau lukisan atau
antik. Misalnya pelaku membeli barang lukisan dan kemudian menjualnya kepada seseorang yang sebenarnya
adalah suruhan si pelaku itu sendiri dengan harga mahal. Lukisan dengan harga tak terukur, dapat ditetapkan
harga setinggi-tingginya dan bersifat sah. Dana hasil penjualan lukisan tersebut dapat dikategorikan sebagai
dana yang sudah sah.
8) Modus Over Invoices atau Double Invoice. Modus ini dilakukan dengan mendirikan perusahaan eksporimpor negara sendiri, lalu diluar negeri (yang bersistem tax haven) mendirikan pula perusahaan bayangan (shell
company). Perusahaan di Negara tax Havenini mengekspor barang ke Indonesia dan perusahaan yang ada di
diluar negeri itu membuatinvoice pembelian dengan harga tingi inilah yang disebut over invoice dan bila dibuat
2invoices, maka disebut double invoices.
9) Modus Perdagangan Saham, Modus ini pernah terjadi di Belanda. Dalam suatu kasus di Busra efek
Amsterdam, dengan melibatkan perusahaan efek Nusse Brink, dimana beberapa nasabah perusahaan efek ini
menjadi pelaku pencucian uang. Artinya dana dari nasabahnya yang diinvestasi ini bersumber dari uang gelap.
Nussre brink membuat 2 (dua) buah rekening bagi nasabah-nasabah tersebut, yang satu untuk nasabah yang
rugi dan satu yang memiliki keuntungan. Rekening di upayakan dibuka di tempat yang sangat terjamin proteksi
kerahasaannya, supaya sulit ditelusuri siapa benefecial owner dari rekening tersebut.
10) Modus Pizza Connection. Modus ini dilakukan dengan mnginvestasikan hasil perdagangan obat bius
diinvestasikan untuk mendapat konsesi pizza, sementara sisi lainnya diinvestasikan di Karibia dan Swiss.
11) Modus La Mina, kasus yang dipandang sebagai modus dalam money laundering terjadi di Amerika Serikat
tahun 1990. Dana yang diperoleh dari perdagangan obat bius diserahkan kepada perdagangan grosiran emas
dan permata sebagai suatu sindikat. Kemudian emas, kemudian batangan diekspor dari Uruguay dengan
maksud supaya impornya bersifat legal. Uang disimpan dalam desain kotak kemasan emas, kemudian dikirim
kepada pedagang perhiasan yang bersindikat mafia obat bius. Penjualan dilakukan di Los Angeles, hasil uang
tunai dibawa ke bank dengan maksud supaya seakan-akan berasal dari kota ini dikirim ke bank New York dan
dari kota ini di kirim ke bank New York dan dari kota ini dikirim ke bank Eropa melalui Negara Panama. Uang
tersebut akhirnya sampai di Kolombia guna didistribusi dalam berupa membayar onkosongkos, untuk investasi
perdagangan obat bius, tetapi sebagian untuk unvestasi jangka panjang.
12) Modus Deposit Taking, Mendirikan perusahaan keuangan seperti Deposit Taking Institution (DTI) Canada.
DTI ini terkenal dengan sarana pencucian uangnya sepertichartered bank, trust company dan credit union.
Kasus Money Laundering ini melibatkan DTI antara lain transfer melalui telex, surat berharga, penukaran valuta
asing, pembelian obligasi pemerintahan dan teasury bills.
13) Modus Identitas Palsu, yakni modus yang memanfaatkan lembaga perbankan sebagai mesin pemutih uang
dengan cara mendepositokan dengan nama palsu, menggunakan safe deposit box untuk menyembunyikan hasil
kejahatan, menyediakan fasilatas transfer supaya dengan mudah ditransfer ke tempat yang dikehendaki atau
menggunakan electronic fund transferuntuk melunasi kewajiban transaksi gelap, menyimpan atau
mendistribusikan hasil transaksi gelap itu.
2.5 Upaya-upaya dalam Pencegahan dan Penanggulangan Kasus Money Laudering di Indonesia
Pemberantasan kegiatan money laundering atau pencucian uang dapat dilakukan melalui pendekatan pidana
atau pendekatan bukan pidana, seperti pengaturan dan tindakan administratif. Partisipasi Pemerintah RI dalam
upaya pemberantasan kegiatan pencucian uang merupakan pelaksanaan dari amanta PBB dalam the
UN Convention Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang kemudian
diratifikasi oleh Pemerintah melalui UU No. 7 Tahun 1997. Dengan penandatanganan konvensi tersebut maka
setiap negara penandatangan diharuskan untuk menetapkan kegiatan pencucian uang sebagai suatu tindak
kejahatan dan mengambil langkah-langkah agar pihak yang berwajib dapat mengidentifikasikan, melacak dan
membekukan atau menyita hasil perdagangan obat bius.
Di bawah ini adalah beberapa langkah yang telah diambil oleh Pemerintah RI guna menindaklanjuti komitmen
pemberantasan kegiatan pencucian uang, yaitu:
a)
Pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan psikotropika,
antara lain UU No. 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika 1971,UU No. 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika. Di samping itu, terdapat beberapa Peraturan Menteri Kesehatan tahun 1997 tentang
Peredaran Psikotropika dan Ekspor Impor Psikotropika. Dalam UU ini diatur antara lain mengenai persyaratan
dan tata cara ekspor dan impor peredaran serta penyaluran psikotropika agar hal-hal tersebut tidak digunakan
sebagai sarana kegiatan pencucian uang.
b)
Pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan narkotika,
antara lain UU N. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta protokol yang
mengubahnya, UU No. 22 Tahun 1977 tentang Narkotika yang menggantikanUU No. 9 Tahun 1976 tentang
Narkotika. UU Narkotika ini mengatur masalah narkotika yang dibutuhkan sebagai obat dan sekaligus mencegah
dan memberantas bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 22
Tahun 1997 disebutkan, bahwa narkotika dan peralatan yang dipergunakan dalam pelanggaran narkotika dan
hasil-hasilnya dapat disita untuk negara.
c)
Pasal 31 ayat (1) mengatur sebagai berikut: Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk menghentikan
sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap
suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan.
Penjelasan atas ayat (1) tersebut menguraikan bahwa yang dimaksud dengan tranaksi tertentu antara lain
hdala transaksi dalam jumlah besar yang diduga berasal dari kegiatan melanggar hukum. Dalam pengertian ini
tentunya termasuk pula kegiatan pencucian uang.
d)
UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar
Sebagaimana diketahui, kegiatan pencucian uang dapat dilakukan melalui pergerakan dana dalam transaksi
internacional. UU No. 24/1999, secara tidak langsung memberikan landasan untuk memantau kegiatan ini. Pasal
3 ayat (2), misalnya, mengatur sebagai berikut:
Setiap penduduk wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan lalu lintas devisa yang
dilakukannya, secara langsung atau melalui pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Keterangan dan data yang diminta antara lain meliputi nilai dan jenis transaksi, tujuan atau maksud transaksi,
pelaku transaksi, dan negara tujuan atau asal pelaku transaksi.
e)
Banyak sekali ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang secara langsung atau tidak langsung dapat
mencegah atau memberantas kegiatan money laundering secara administratif, antara lain:
1)
Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/191A/KEP/DIR tentang Pengeluaran atau
Pemasukan Mata Uang Rupiah Dari Atau Ke Dalam Wilayah Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan SK Dir.
BI ini setiap orang yang membawa mata uang Rupiah ke luar atau masuk ke dalam wilayah RI dengan jumlah
lebih dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) wajib mengisi formulir deklarasi. Selain itu, bagi setiap orang yang
membawa mata uang Rupiah ke luar atau masuk ke dalam wilayah RI dengan jumlah lebih dari Rp
100.000.000,- (seratus juta rupiah) selain wajib mengisi formulir deklarasi juga harus memperoleh izin dari Bank
Indonesia.
2)
Pasal 6 huruf b menetapkan bahwa sumber dana yang digunakan untuk pembelian saham bank dalam rangka
kepemilikan dilarang berasal dari dan untuk tujuan money laundering.
3)
Pasal 6 ayat (1) huruf j dari PBI ini mengatur bahwa dalam rangka permohonan izin pendirian bank umum, calon
pemegang saham bank wajib melampirkan surat pernyataan bahwa setoran awal bank tidak berasal dari dan
untuk tujuan money laundering. Selanjutnya Pasal 14 huruf b menetapkan bahwa sumber dana yang digunakan
dalam rangka kepemilikan bank atau pembelian saham bank dilarang berasal dari dan untuk tujuan pemutihan
uang.
4) PBI No. 1/6/PBI/1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Complience Director) dan Penerapan
Standar Pelaksanaan Fungs audit.
Intern Bank Umum PBI ini bertujuan untuk memastikan kepatuhan bank terhadap ketentuan yang berlaku.
Dalam hal ini bank diwajibkan untuk menugaskan salah satu anggota direksinya sebagai Compliance
Director yang memastikan bahwa bank telah memenuhi ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundangundangan yang berlaku untuk perbankan. Bank juga diwajibkan untuk membentuk satuan kerja unit intern yang
bertugas melakukan pengawasan terhadap kegiatan bank secara keseluruhan.
5)
PBI No. 3/3/PBI/2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valas oleh Bank
Dalam ketentuan ini diatur larangan dan pembatasan transaksi-transaksi tertentu oleh bank terhadap WNA,
badan hukum asing lainnya, WNI yang memiliki status penduduk tetap negara lain dan tidak berdomisili di
Indonesia, kantor bank ataubadan hukum Indonesia di luar negeri. Ketentuan ini sekurang-kurangnya dapat
menjadi sarana yang kondusif untuk mencegah terjadinya transaksi yang berkaitan dengan kegiatan pencucian
uang.
6) Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Mengenal Nasabah (Know Your
Customers Principles)
Sebagai salah satu entri bagi masuknya masuknya uang hasil kejahatan, bank atau jasa keuangan lain harus
mengurangi resiko dipergunakan sebagai sarana pencucian uang dengan cara mengenal dan mengetahui
identitas nasabah, memantau transaksi dan memelihara profil nasabah, serta melaporkan adanyan tansaksi
keuangan yang mencurigakan (suspicious transactions) yang dilakukan oleh pihak bank atau perusahaan jasa
keuangan lain. Penerapan prinsip mengenal nasabah atau lebih dikenal umum dengan Know Your Costumer
Principle (KYC Principle) ini didasari pertimbangan bahwa KYC tidak saja penting dalam rangka pemberantasan
pencucian uang, melainkan juga dalam rangka penerapan prudential banking untuk melindungi bank atau
perusahaan jasa keuangan lain dari berbagai risiko dalam berhubungan dengan nasabah dancounter-party.
Khususnya terhadap para nasabah, pihak bank atau jasa keuangan lain harus mengenali para nasabah, agar
bank atau jasa keuangan lain tidak terjerat dalam kejahatan pencucian uang. Prinsip mengenal nasabah ini
merupakan rekomendasi FATF, yang merupakan orinsip ke lima belas dari dua puluh limaCore Principles For
effective Banking Supervision dan Bassel Committee .
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Prinsip KYC pada dasarnya bertujuan untuk :
a.
membantu bank agar dapat mendeteksi sesegara mungkin setiap aktivitas yang mencurigakan yang
dilakukan nasabah;
b.
c.
d.
mengurangi risiko dimanfaatkannya bank sebagai sarana untuk melakukan aktivitas kejahatan.
e.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari kasus-kasus money laundering yang dilakukan oleh bank-bank di atas dan pembahasan yang
telah diulas secara lengkap oleh penulis di bab sebelumnya, maka dapat kita simpulkan bahwa Money
Laundering adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau
harta kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau harta kekayaan tersebut
tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah atau legal. Money laundering tersebut itu dilakukan melalui
beberapa proses, yaitu:
1. Penempatan; dimana pelaku menempatkan uang atau harta diperoleh dari suatu tindak pidana ke dalam
suatu tempat yang dianggap aman seperti masuk dalam sistem perbankan.
2. Pelapisan; adanya Layering yaitu kegiatan untuk menghilangkan jejak asal uang haram tersebut dengan
menciptakan berbagai transaksi yang berlapis-lapis. Contoh dari kejahatanmoney laundering yang berlapis-lapis
seperti mentransfer uang haram tersebut ke berbagai Negara lain dalam bentuk mata uang asing.Uang haram
tersebut dapat dengan mudah berpindah dari satu rekening ke rekening lainnya baik di dalam maupun di luar
negeri.
3. Integrasi atau Penyatuan; yaitu melakukan penyatuan uang haram tersebut kepada kegiatan-kegiatan
perekonomian.
Dan money laundering tersebut dilakukan oleh berbagai macam modus seperti yang telah dijelaskan pada bab
sebelumnya dan kita wajib waspada jangan sampai ikut terjerumus ke dalam lembah penggelapan dana atau
pencucian uang.
Perlu diketahui, saat ini semakin banyaknya kasus money laundering di Indonesia disebabkan karena kurang
seriusnya Pemerintah dalam menanggulangi kasus tersebut, serta masih lemahnya hukum di negara Indonesia.
Dampak yang terjadi dari praktek ini ialah terlepasnya control arus uang masuk (inflow) dan keluar (outflow)
suatu Negara yang pada gilirannya akan dapat mengganggu mekanisme pasar.
Adapun cara yang dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi praktekmoney laundering ini ialah dengan
cara adanya penindakan tegas dari pemerintah, memperkuat hukum undang-undang yang mengatur
tentang money laundering, dan memaksimalkan kinerja dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan).
DAFTAR PUSTAKA
Mediator Investor, Mengenal Money Laundering dan Tahap-Tahap Proses Pencucian Uang,
Mediatorinverstor.wordpress.com, 2013,http://mediatorinvestor.wordpress.com/artikel/mengenal-moneylaundering-dan-tahap-tahap-proses-pencucian-uang/ , (diakses pada tanggal 10 Juni 2014 pukul 19:23 WIB).
Didik, Makalah tentang Money Laundering, Ilmu Hukum, 30 Oktober
2013,http://didkiklaw.blogspot,com/2013/10/makalah-tentang-money-laundering_30.html , (diakses pada tanggal
10 Juni 2014 pukul 19:30 WIB).
Van Devender, Ryzha, Analisis Kasus Money Laundry, Ryzha39.blogspot.com, 23 November
2013, http://ryzha39.blogspot.com/2013/11/analisis-kasus-money-laundry.html , (diakses pada tanggal 10 Juni
2014 pukul 19:33 WIB).
Wikipedia, Pencucian Uang, http://id.m.wikipedia.org/wiki/pencucian_uang , (diakses pada 10 Juni 2014 pukul
19:40 WIB).