Anda di halaman 1dari 6

Shortness of breath (Dyspnea)

Definisi1
Shortness of breath (Dyspnea) didefinisikan sebagai pernapasan yang abnormal
atau kurang nyaman dibandingkan dengan keadaan normal seseorang sesuai dengan
tingkat kebugarannya. Dyspnea merupakan gejala yang umum ditemui dan dapat
disebabkan oleh berbagai kondisi dan etiologi. Organ yang paling sering berkontribusi
dalam dyspnea adalah jantung dan paru.

Patofisiologi1,2,3
Dyspnea berkaitan dengan ventilasi. Ventilasi dipengaruhi oleh kebutuhan
metabolic dari konsumsi oksigen dan eliminasi karbondioksida. Frekuensi ventilasi
bergantung pada rangsangan pada kemoreseptor yang ada di badan karotid dan aorta.
Selain itu, frekuensi ini juga dipengaruhi oleh sinyal dari reseptor neural yang ada di
parenkim paru, saluran udara besar dan kecil, otot pernapasan, dan dinding toraks.
Pada dyspnea, terjadi peningkatan usaha otot dalam proses inspirasi dan
ekspirasi. Karena dypsnea bersifat subjektif, maka dypsnea tidak selalu berkorelasi
dengan derajat perubahan secara fisiologis. Beberapa pasien dapat mengeluhkan
ketidakmampuan bernapas yang berat dengan perubahan fisiologis yang minor,
sementara pasien lainnya dapat menyangkal terjadinya ketidakmampuan bernapas
walaupun telah diketahui terdapat deteriorasi kardiopulmonal.
Tidak terdapat teori yang dipakai secara universal dalam menjelaskan mekanisme
dypsnea pada seluruh situasi klinik. Campbell dan Howell (1963) telah memformulasikan
teori length-tension inappropriateness yang menyatakan defek dasar dari dypsnea
adalah ketidakcocokan antara tekanan yang dihasilkan otot pernafasan dengan volume
tidal (perubahan panjang). Kapanpun perbedaan tersebut muncul, muscle spindle dari
otot interkostal mentransmisikan sinyal yang membawa kondisi bernapas menjadi
sesuatu yang disadari. Reseptor jukstakapiler yang terlokasi di interstitium alveolar dan
disuplai oleh serat saraf vagal tidak termielinisasi akan distimulasi oleh terhambatnya
aktivitas paru. Segala kondisi tersebut akan mengaktivasi refleks Hering-Breuer dimana
usaha inspirasi akan dihentikan sebelum inspirasi maksimal dicapai dan menyebabkan
pernapasan yang cepat dan dangkal. Reseptor jukstakapiler juga bertanggung jawab
terhadap munculnya dyspnea pada situasi dimana terdapat hambatan pada aktivitas
paru, seperti pada edema pulmonal.
Pada pasien dengan edema pulmonal, cairan yang terakumulasi akan
mengaktifkan serat saraf di interstitium alveolar dan secara langsung menyebabkan
dyspnea. Substansi yang terhirup yang dapat mengiritasi akan mengaktifkan reseptor di
epitel saluran pernafasan dan memproduksi nafas yang cepat, dangkal, batuk, dan
bronkospasm. Dalam merespon kegelisahan, sistem saraf pusat juga dapat
meningkatkan frekuensi pernapasan. Pada pasien dengan hiperventilasi, koreksi
penurunan PCO2 sendiri tidak mengurangi sensasi dari nafas yang tidak tuntas. Ini
merefleksikan interaksi antara pengaruh kimia dan saraf pada pernafasan.

Teori lain mengaitkan dyspnea dengan ketidakseimbangan asam basa,


mekanisme sistem saraf pusat, berkurangnya kapasitas bernafas, meningkatnya usaha
untuk bernafas, peningkatan tekanan transpulmonal, kelemahan otot respiratorik,
meningkatnya kebutuhan oksigen untuk bernafas, ketidaksinergisan otot interkostal dan
diafragma, serta aliran respirasi yang abnormal.
Dyspnea pada saat aktivitas fisik dapat disebabkan oleh output ventrikel kiri yang gagal
untuk meningkat selama berolahraga dan mengakibatkan meningkatnya tekanan vena
pulmonal. Pada asma kardiak, bronkospasme diasosiasikan dengan terhambatnya
aktivitas paru dan kemungkinan disebabkan karena cairan edema pada dinding bronkus.
Dyspnea pada akhirnya akan dapat diinduksi oleh empat hal utama, yaitu:

Meningkatnya kebutuhan ventilasi


Menurunnya kapasitas ventilasi
Meningkatnya resistensi saluran nafas
Menurunnya compliance paru.

Differential diagnosis1,2
Differential Diagnosis dari dyspnea (shortness of breath) memiliki keberagaman
yang sangat luas dan dapat dikategorikan menjadi empat, yaitu kardiak, pulmonal,
gabungan kardiak atau pulmonal, dan nonkardiak atau nonpulmonal.
1. Kardiak

Gagal jantung
Penyakit arteri koroner
Kardiomiopati
Disfungsi katup

2. Pulmonal

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)


Asma
Penyakit paru restriktif
Penyakit paru herediter
Pneumotoraks

3. Gabungan kardiak atau pulmonal

PPOK dengan hipertensi pulmonal atau cor pulmonale


Emboli paru kronik
Trauma

4. Nonkardiak atau nonpulmonal

Kondisi metabolik, misal asidosis


Nyeri
Penyakit neurmuskular
Penyakit otorinolaringeal
Fungsional: Gelisah, panic, hiperventilasi

Hiipertrofi ventrikel kiri


Hipertrofi katup asimetrik
Perikarditis
Aritmia

Apabila pasien mengalami shortness of breath (dypsneu) lebih dari 1 bulan


makatermasuk kedalam dysnea kronik dengan differential diagnosis sebagai berikut: 4


Menurut buku Ajar Kardiologi, penderita gagal jantung ringan mungkin
hanya perlu membatasi aktivitas yang lebih berat dari biasanya yaitu menurut klasifikasi
NYHA (New york heart association) pada kapsitas fungsional pada kelas 1 dan 2,
sedangkan pasien dengan indikasi rawat inap atau perlu tirah baring adalah kelas 3 dan
4 berdasarkan kapsitas fungsional (NYHA)5.

Daftar Pustaka:

1. Morgan WC, Hodge HL. Diagnostic evaluation of dyspnea. Diakses pada Jumat,
23 Desember 2016. Diunduh dari: http://www.aafp.org/afp/980215ap/morgan.html

2. Chemo Care. Dyspnea (shortness of breath). Diakses pada Jumat, 23


Desember
2016.
Diunduh
dari:
http://www.chemocare.com/MANAGING/dyspnea.asp

3. Mukerji V. Dypsnea, orthopnea, and paroxysmal nocturnal dyspnea. Diakses


pada
Jumat,
23
Desember
2016.
Diunduh
dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK213

4. Wahls Steven A. Cause and evaluation of chronic dyspnea. Am fam physician.

2012;86(2):173-180
5. Rilantono I Lily, Baraas Faisal, Karo K Santoso, et al. Buku ajar kardiologi. Jakarta : .
Fakultas kedokteran universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai