Anda di halaman 1dari 7

WAHABIAH DAN GERAKAN ISLAM MODERN

DI INDONESIA
Tiar Anwar Bachtiar
Ada nada peyoratif (merendahkan) ketika menyebut suatu gerakan sebagai
Wahabi, sama seperti ketika menyebut fundamentalis. Nada peyoratif itu diproduksi
oleh media-media Barat yang sengaja ingin mendiskreditkan gerakan-gerakan Islam
yang anti-Barat. Di Indonesia, gerakan-gerakan pro-Barat seperti JIL, selain
menggunkan istilah fundamentalis untuk setiap gerakan yang mereka anggap kolot,
tidak toleran, dan tidak liberal, belakangan juga menggunakan istilah Wahabi dengan
nada yang hampir sama. Barangkali kata itu digunakan untuk menyerang kelompokkelompok yang oleh para analis terdahulu disebut sebagai Muslim Modernis yang
sepertinya mulai tidak simpati dengan gerakan-gerakan liberal a la JIL.
Pendiskreditan ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negara-negara
lain pun rupanya ada fenomena yang sama dan sama-sama dikampanyekan para penulis
dan media Barat. Bahkan di Afrika Utara, gerakan Muhamamd ibn Abdul Wahhab
sering disamarkan dengan gerakan Khawarij Abdul Wahhab ibn Rustum abad ke-2 H
(abad ke-9 M), sebuah gerakan yang tersebar sekitar 9 abad sebelum Muhammad ibn
Abdul Wahhab lahir. Di kawasan Andalusia dan Afrika tersebar fatwa tentang
keharaman gerakan Wahabi dari para mufti mazhab Maliki. Mereka mengira bahwa
fatwa itu mengharamkan gerakan Muhammad ibn Abdul Wahhab, padahal yang
dimaksud adalah gerakan Abdul Wahhab Ibn Rustum yang Khawarij. Para penulis Barat
banyak yang sengaja tiak menjelaskan kesamaan nama itu secara jernih malah
memperkuat tuduhan-tuduhan miring dan fatwa haram terhadap gerakan Muhammad
ibn Abdul Wahhab yang tidak mereka senangi. (lihat Dr. Muhammad ibn Sad AlSyuwaiir, Tashhh Khata Trikhiyyah Haula Al-Wahhbiyyah, Mamlakah Sudiyah
Riyadh, 1419 H).
Dalam kasus Indonesia, memang ada beberapa kesamaan pemikiran antara
Muhammad ibn Abdul Wahhab dengan apa yang disebut Gerakan Modern Islam oleh
Deliar Noer seperti Persis dan Muhammadiyah, sehingga gerakan-gerakan itu dengan
mudah saja dicap sebagai Wahabi. Tapi apakah memang sama persis antara gerakan
Muhammad ibn Abdul Wahhab dengan akar-akar Gerakan Modern Islam itu? Inilah
yang akan kita perbincangkan. Kita akan melihat apa itu gerakan Muhammad ibn Abdul
Wahhab, dan bagaimana perkembangannya. Selain itu, kita akan melihat bagaimana
hubungannya dengan Indonesia. Kalaupun ada kesamaan pemikiran dan ajaran, dari
mana gerakan-gerakan Modern Islam itu sesungguhnya mendapatkannya?
Muhammad Ibn Abdul Wahhab dan Gerakannya
Muhammad ibn Abdul Wahhab lahir kota Uyainah, Nejd tahun 1703 M.
Keluarganya adalah keluarga yang termasyhur sebagai ahli ilmu. Kakeknya, Sulaiman
adalah ulama yang termasyhur di zamannya. Begitu pula pamannya, Ibrahim, dan anak
pamannya, Abdurrahman ibn Ibrahim. Ayahnya sendiri seorang ahli fiqih dan menjadi
Qadhi di Uyainah dan Huraimala.
Muhammad sudah hafal Al-Quran sejak kecil. Ia belajar pada ayahnya dan
syaikh-syaikh di Madinah. Setelah menyelesaikan studinya di Madinah, ia pergi ke
Basrah dan tinggal di kota ini selama empat tahun, kemudian pindah ke Baghdad dan
menikah dengan seorang wanita kaya. Lima tahun kemudian, setelah istrinya
meninggal, ia pindah ke Kurdistan, selanjutnya ke Hamdan dan ke Isfahan. Di kota-kota

itu, Muhammad ibn Abdul Wahhab berguru kepada syaikh-syaikh yang ada di sana.
Setelah bertahun-tahun merantau, akhirnya ia kembali ke kampung halamannya di Nejd.
Di kampung halamannya, ia melihat merebaknya praktik bidah, terutama yang
terjadi di Madinah terhadap kuburan Rasulullah Saw. Banyak orang yang berlebihan
memperlakukan kuburan Rasul sampai-sampai ada yang mengeramatkannya dan
menjadikannya sebagai tempat suci. Banyak pula orang yang menjadikan pohon-pohon
tertentu sebagai tempat ibadah dan benda keramat yang disucikan. Melihat kemusyrikan
yang nyata di hadapan mata seperti itu Muhammad ibn Abdul Wahhab tergerak untuk
meluruskannya. Mulailah dia melakukan gerakan amar maruf dan nahyi munkar. Dia
tidak hanya berteori, tetapi terjun langsung dalam gerakan dakwah. Salah satu yang
menarik dari pendekatan dakwahnya adalah keberhasilannya berkolaborasi dengan salah
seorang penguasa Nejd, Muhammad ibn Saud, yang membuat dakwahnya berpengaruh
ke seluruh penjuru dunia, tak terkecuali Indonesia.
Muhammad ibn Saud adalah raja di negeri Dariyah, salah satu negeri di Nejd.
Muhammad ibn Saud telah tertarik dengan dakwah Muhammad ibn Abdul Wahhab
semenjak awal mereka bertemu sekitar paruh kedua abad ke-18. Di antara keduanya
akhirnya terjadi kesepakatan untuk saling mendukung dalam dakwah menegakkan
tauhid dan membersihkan Islam dari noda-noda syirik. Dengan sokongan Muhammad
ibn Saud, dakwah Muhammad ibn Abdul Wahhab semakin kuat dan semakin mendapat
respon dari masyarakat.
Tahun 1773, Muhammad ibn Saud berhasil menaklukkan Riyadh, ibu kota
Nejd. Keberhasilan ini semakin menambah kekuatan dakwah Muhammad ibn Abdul
Wahhab. Dengan dukungan Ibnu Saud, tidak segan-segan Muhammad ibn abdul
Wahhab menghancurkan tempat-tempat yang dijadikan tempat-tempat kemusyrikan.
Tahun 1787, Muhammad ibn Abdul Wahhab meninggal. Namun, dakwahnya tidak
berhenti. Muhammad ibn Saud melanjutkannya. Tahun 1802 Muhammad ibn Saud
menyerang Karbala, tempat kuburan Husain ibnAli ibn Abi Thalib yang dikeramatkan
oleh warga sekitar terdapat. Tahun 1803-1804, Madinah dan Mekah jatuh ke tangannya.
Namun, tahun 1813 berhasil dikuasai kembali oleh penguasa Daulah Usmani yang
sangat mengkhawatirkan tumbuh pesatnya gerakan ini hingga akan mengancam
kekuasaan Usmani. Muhammad ibn Saud sendiri dibuang ke Kuwait.
Awal abad ke-20, di bawah putra Muhammad ibn Saud, Abdul Aziz yang
dikenal dengan nama Ibn Saud, gerakan dakwah Muhammad ibn Abdul Wahhab
kembali muncul. Abdul Aziz yang lahir tahun 1880 berhasil membangun kembali
kekuasaan yang pernah dirintis ayahnya. Pada tahun 1901 ia menguasai Riyadh, dan
tahun 1913 berhasil mengkonsolidasikan suruh kekuatan di Nejd. Perhatiannya pun
kemudian ditujukan ke Hijaz yang saat itu berada di bawah kekuasaan Syarif Husein
yang bersekutu dengan Inggris. Konflik dengan Hijaz tidak bisa dihindari, terutama
dipicu oleh sikap Hussein yang terlalu pro-Inggris dan menyepakati perjanjian SykesPicot tahun 1916 yang mengizinkan eksodus bangsa Yahudi ke Palestina. Akhirnya
tahun 1924, ketika kekuasaan Syarif Husein semakin melemah, Abdul Aziz berhasil
menaklukkan Hijaz. Pada saat yang sama, kekuasaan Usmani di Turki runtuh digusur
oleh kelompok nasionalis pimpinan Muftafa Kemal Pasha. Tanggal 8 Januari 1926, Ibnu
Saud memproklamasikan berdirinya kerajaan Saudi Arabia yang membawahi seluruh
kerajaan-kerajaan yang ada di Nejd dan Hijaz. Faktor dukungan penguasa Saudi Arabia
inilah yang membuat dakwah Muhammd ibn Abdul Wahhab memiliki pengaruh hampir
ke seluruh dunia Islam.

Wahabi dan Gerakan Modern Islam di Indonesia awal Abad ke-20


Bagaimana hubungan gerakan dakwah Muhammad ibn Abdul Wahab ini dengan
Indonesia? Tidak mudah memang mencari jawaban untuk itu, terutama disebabkan
ketidaktunggalan proses sejarah. Selalu terjadi gradasi peristiwa-peristiwa di masa lalu
sampai melahirkan sebuah episode sejarah tertentu. Tapi kita akan mencoba melihat
beberapa hal yang paling menonjol dalam proses perkembangan dakwah Muhammad
ibn Abdul Wahab ke luar Jazirah Arab, terutama Indonesia.
Pertama, faktor perjalanan ibadah haji. Faktor merupakan faktor kunci. Ibadah
haji, sampai pertengahan abad ke-20, masih merupakan satu perjalanan ibadah yang
tidak hanya bermakna spiritual seperti yang terjadi hari ini, tapi juga bernilai sosilpolitis yang cukup siginifikan. Setiap perjalanan ibadah haji dari luar Jazirah Arab harus
ditempuh dalam waktu yang panjang. Oleh sebab itu, kesempatan ibadah haji, selain
untuk menunaikan rukun Islam ke-5, tapi juga dijadikan kesempatan untuk
memperdalam Islam di Mekah atau Madinah. Rata-rata dari luar Arab, terutama dari
Asia Tenggara, akan tinggal di Mekah dan sekitarnya paling kurang satu tahun
menunggu angin laut membawa kembali mereka ke kampungnya. Bahkan banyak yang
lebih lama lagi hingga membuat satu pemukiman yang terkenal dengan sebutan Jawah
Muqim. Di sana mereka berinterkasi dengan umat Islam dari seluruh penjuru dunia
yang juga sama-sama menunaikan ibadah haji. Mereka juga berinteraksi dengan
pemikiran-pemikiran yang tengah berkembang saat itu, termasuk dengan perkembangan
dakwah yang dilakukan Muhammad ibn Abdul Wahhab.
Memang tidak semua yang datang ke Mekah menerima paham Muhammad ibn
Abdul Wahhab. Namun, banyak di antara mereka yang bersimpati dan kemudian
membawanya ke kampung halaman masing-masing. Ini misalnya terjadi pada kelompok
Paderi di Sumatera Barat pada pertengahan abad ke-19. Mereka adalah para haji yang
pulang selepas beberapa tahun berada di Arab menunaikan ibadah haji. Mereka
menggerakkan perlawanan terhadap kaum Adat dan menyerukan pembersihan agama,
salah satunya dipicu oleh perkenalan mereka dengan dakwah Muhammad ibn Abdul
Wahhab di Nejd dan Hijaz yang tengah ramai diperbincangkan pada masa itu.
Kedua, faktor ulama Mesir, Jamaludin Al-Afghani-Muhammad Abduh- Rasyid
Ridha. Faktor kedua ini, bisa menjadi faktor penting yang mengenalkan Muhammad ibn
Abdul Wahhab ke seluruh dunia Islam, tapi pada saat yang sama juga memperlihatkan
kekhasannya sendiri. Sebab, di satu sisi dakwah tauhid, digalakkanya kembali ijtihad,
dan pemberantasan bidah menjadi tema utama gerakan ulama-ulama baru Mesir itu,
namun pada sisi lain afirmasi terhadap modernisasi Barat terlihat sangat kental,
terutama pada Al-Afghani dan Abduh. Pada awal abad ke-20 gerakan inilah yang sangat
dominan berpengaruh pada gerakan-gerakan Islam Modern di Indonesia.
Jamaludin Al-Afghani (1839-1897) adalah seorang aktivis Islam yang sangat
gigih menyerukan bersatunya dunia Islam melawan kolonialisme atau yang dikenal
dengan istilah Pan-Islamisme. Gerakan politiknya ini dipengaruhi oleh pemikirannya
tentang keharusan pembaharuan dalam Islam. Kesesuaiannya dengan pemikiran
Muhammad ibn Abdul Wahhab terletak pada kemestian dibukanya pintu ijtihad dengan
mereinterpretasi ulang Al-Quran dan Al-Hadis sesuai dengan perkembangan zaman.
Memang tidak tercatat adanya hubungan langsung antara Al-Afhgani dengan gerakan
Wahabiyah di Hijaz dan Nejd, namun kesuaian pendapat tentang keharusan ijtihad
inilah yang membuat banyak yang menyamakan pemikiran Al-Afghani dan Muhammad
ibn Abdul Wahhab, padahal tidak seluruhnya sama. Bahkan mungkin ide Al-Afghani
adalah juga ide orisinal seperti halnya ide Muhamamd ibn Abdul Wahhab.

Ide-ide Al-Afghani berpengaruh pada salah satu muridnya yang paling potensial,
Muhammad Abduh (1849-1905). Abduh sangat meminati pemikiran Ibnu Taimiyyah
seperti halnya Muhamamd ibn Abdul Wahhab dan sama-sama memokuskan
perhatiannya pada usaha-usaha mengembalikan kembali pemikiran umat kepada
tauhid. Baginya, tauhid harus didekati secara rasional dan harus melahirkan
kemajuan. Inilah secara prinsipil membedakan pemikiran tauhid Abduh dengan Ibn
Abdul Wahhab. Atas alasan ini pula banyak pengikut setia pemikiran asli Ibn Abdul
Wahhab menolak menyamakan Abduh dengan Ibn Abdul Wahhab. Mereka menyebut
gerakan Abduh sebagai gerakan modernisasi, sementara gerakan dakwah Muhammad
ibn Abdul Wahhab adalah gerakan purifikasi (pembersihan agama). Berbeda pula
dengan Ibn Abdul Wahhab, Abduh lebih menekankan implementasi pemikirannya
melalui pembaharuan pendidikan, yaitu dengan mengenalkan ilmu-ilmu alam dan sosial
kepada para pelajar Islam, bukan pada pemberantasan prtaktik-praktik kemusyrikan
yang nyata. Selain karena cara pandang dasar yang relatif berbeda, juga karena
tantangan zaman yang berbeda.
Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) adalah murid Abduh paling dekat.
Pemikiran-pemikiran Abduh justru banyak dikenal melalui tulisan-tulisan Rasyid Ridha,
terutama dalam publikasi Majalah Al-Manr dan Tafsr Al-Manr (sampai jilid III dari
12 jilid). Pemikiran Ridha, sekalipun sangat dekat dengan Abduh, tidak
berkecenderungan rasional seperti gurunya. Rasyid Ridha kelihatan lebih tekstual.
Ajarannya yang sangat terkenal adalah kemestian kembali kepada Al-Quran dan AlSunnah. Oleh sebab itu, pemikir yang juga sangat dipengaruhi Ibnu Taimiyyah ini
lebih banyak kesamaannya dengan Muhammad ibn Abdul Wahhab dalam banyak hal.
Pada awal abad ke-20 Rasyid Ridha-lah yang pandangan-pandangannya banyak
mempengaruhi gerakan-gerakan Islam modern di berbagai tempat melalui majalah AlManr yang diterbitkannya. Indonesia termasuk salah satu di dalamnya. Selain melalui
Al-Manr, pemikiran Abduh-Ridha juga dikenal melalui mahasiswa-mahasiswa yang
menuntut ilmu di Al-Azhar dan dari jamaah haji yang menyengaja datang ke Mesir.
Pada awal abad ke-20 gerakan-gerakan Islam yang tumbuh di Indonesia seperti
Muhammadiyah dan Persis sesungguhnya lebih banyak dipengaruhi oleh Al-Manr,
bukan secara langsung oleh pemikiran Muhammad ibn Abdul Wahhab. Indikasi ini bisa
dilihat dari karangan-karangan ulama Persis dan Muhammadiyah yang ditulis sampai
pertengahan abad ke-20. Kecenderungan-kecenderungan pemikirannya lebih banyak
merujuk pada Al-Manr, daripada kepada Muhamamd ibn Abdul Wahhab. Oleh sebab
itu, kecenderungan rasionalisme Abduh lebih terlihat jelas, daripada tekstualisme
Muhammad ibn Abdul Wahhab. Bukti inipun menunjukkan bahwa pemikiran-pemikiran
yang berkembang di Muhammadiyah, Persis, dan Al-Irsyad bukan pemikiran baru dan
orisinil hasil pemikiran para ulama mereka. Pengaruh Timur Tengah sangat kental dan
sulit dinafikan.
Pada awal abad ke-20 gerakan para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab
sendiri baru menapakkan kembali kakinya sekitar tahun 1924 ketika Abdul Aziz ibn
Muhammad ibn Saud berhasil merebut kembali Hijaz dari tangan Syarif Husain dan
mendirikan kerajaan Saudi Arabia. Karena kesamaan pikiran dan pandangan dalam
banyak hal, terutama masalah politik, Ibn Saud berhubungan dekat dengan Ridha.
Bahkan Ridha meninggal tahun 1935 setelah mengantarkan Ibnu Saud ke kapal di Suez.
Inilah barangkali yang membuat para orientalis H.A.R. Gibb menyamaratakan
pemikiran Muhamad ibn Abdul Wahhab dengan pemikiran-pemikiran Muhamamd
Abduh dan Rasyid Ridha, sehingga gerakan-gerakan modern Islam awal abad ke-20 di

Indonesia yang terpengaruh oleh Abduh-Ridha dianggap pula sebagai gerakan Wahhabi.
Namun, menyamaratakan begitu saja malah menghilangkan karakter khas pemikiran
Ridha dan Ibn Abdul Wahhab.
Sekalipun terdapat banyak kesamaan, terutama kecenderungan Ridha yang lebih
tekstualis dibandingkan Abduh, namun terdapat mozaik perbedaan di antara keduanya.
Perhatian terhadap berdirinya kembali khilafah dan kristenisasi adalah salah satu
perhatian khas Ridha yang menular pada gerakan-gerakan Islam modern di Indonesia,
terutama Muhammadiyah (lihat Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan
Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristenisasi di Indenesia, Mizan Bandung,
1998). Pada Ridha juga tidak terdapat kekerasan sikap terhadap praktik-praktik
kemusyrikan seperti Ibn Abdul Wahhab. Ia lebih menekankan pada intelektualisme dan
pengembangan pemikiran.
Pola Pengaruh Wahabi Akhir Abad ke-20
Pemikiran-pemkiran revivalis Rasyid Ridha pada perkembangan selanjutnya,
yaitu setelah Perang Dunia II sempat tenggelam. PD II telah mengukuhkan dominasi
Eropa dan Amerika di seluruh dunia hingga modernitas menjadi sesuatu yang lebih
dipercayai akan membawa keajuan umat. Alhasil, di Indonesia pun semangat
modernisasi lebih diterima oleh kalangan intelektual. Gerakan-gerakan baru pun muncul
dengan semangat modernisasi. Yang terlihat jelas adalah munculnya gerakan-gerakan
mahasiswa dan pelajar seperti HMI, PII, dan PMII serta munculnya PT Islam seperti
UII di Jogja dan IAIN-IAIN di berbagai kota. Masyumi yang mendominasi gerakan
Islam di Indonesia pasca-PD II itu menjadi icon gerakan modernisasi Islam. Organisasiorganisasi yang berdiri awal abad ke-20 seperti Muhammadiyah, Persis, NU, dan
sebagainya, oleh moment politik disatukan dalam Masyumi, sekalipun tahun 1952 NU
memilih untuk keluar dari Masyumi. Tokoh-tokoh Masyumi inilah yang mempelopori
gerakan modernisasi Islam di Indonesia yang sesungguhnya. Proyek modernisasi ini
telah melahirkan tokoh-tokoh seperti Nurchalis Madjid, Endang Saefudin Anshari,
Tamar Djaja, Ahmad Baiquni, Mukti Ali, Dawam Rahardjo, Amin Rais, Imadudin
Abdulrahim, dan sebagainya. Pemikiran-pemikiran merekalah yang selama hampir tiga
dekade mewarnai percaturan pemikiran Islam di Indonesia.
Kegagalan negara-negara Arab dalam perang melawan Israel tahun 1967 telah
menimbulkan kekecewaan besar Dunia Islam terhadap proyek modernisasi.
Modernisasi Islam (baca: liberalisasi Islam) yang dikampanyekan, antara lain oleh
Abduh dan murid-muridnya selain Rasyid Ridha (Thaha Husein, Rifaat Tahtawi, dll)
sejak awal abad ke-20, memunculkan gelombang sejarah baru, yaitu kembali
merebaknya semangat revivalisme Islam (kembali ke akar-akar Islam, dalam bahasa
arab disebut salaf). Pikiran-pikiran Rasyid Ridha, Hasan Al-Banna, Al-Maududi, dan
pemikir revivalis Islam lain yang sempat tenggelam karena arus modernisasi kembali
mendapatkan tempat. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang diprakarsai keluarga
besar Masyumi adalah juga yang kemudian secara sistemik menghidupkan kembali
pemikiran-pemikiran revivalis ini ke Indonesia. Ketidaksepakatan mereka terhadap
pikiran-pikiran tokoh modernis seperti Nurcholish Madjid dan Harun Nasution yang
dianggap terlampau liberal memperlihatkan kekecewaan di atas. Tokoh seperti M.
Rasjidi, Endang Saefudin Anshari, Tamar Djaja, dan lainnya yang sebelumnya ikut juga
dalam arus modernisasi memilih untuk berada di blok yang kritis terhadap pemikiranpemikiran neo-modernisme Cak Nur (lihat Endang Saefudin Anshari, dkk. Kritik atas

Faham dan Gerakan Pembaharuan Drs. Nurcholish Madjid. Bulan Sabit Bandung,
1973).
DDII membuka arus pemikiran revivalis ini kembali melalui penerjemahan
buku-buku tokoh revolusiner seperti Sayyid Quthb, Said Hawa, Musthafa Masyhur,
Musthafa Al-Shibai dan sebagainya. Selain itu, DDII pun mengirimkan mahasiswamahasiswa Indonesia unutk belajar di Timur Tengah, antara lain ke Al-Azhar Mesir,
Universitas Ibnu Saud Riyadh, dan Universitas Islam Madinah yang didirikan atas
kerjasama pemerintah Saudi dengan sarjana-sarjana Mesir yang sebagian besar
berafiliasi kepada Ikhwanul Muslimin. Dalam hal ini DDII, karena M. Natsir yang
disegani oleh seluruh tokoh Islam di Indonesia maupun di dunia sebagai figur
sentralnya, DDII diberi privilege untuk merekomendasikan siapa yang akan dikirim ke
Timur Tengah. Kedekatan DDII dengan Muhamadiyah dan Persis lebih
memungkinkannya untuk mengirimkan kader-kader Muhammadiyah dan Persis untuk
dikirim ke Timur Tengah. Selain itu, DDII juga merestui berdirinya LIPIA (Lembaga
Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) tahun 1979 sebagai kelas jauh dari Universitas Ibnu
Saud Riyadh. Sejak saat itulah, pemikiran-pemikiran revivalis Islam baru yang tengah
merebak di Timur Tengah seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut-Tahrir, Jamaah Tabligh,
dan sebagainya masuk dengan sangat deras ke Indonesia, terutama melalui mahasiswa
yang belajar ke Timur Tengah.
Tahun 1980-an, Indonesia mulai panen sarjana-sarjana dari Timur Tengah.
Pada saat yang sama pemikiran-pemikiran revivalis Islam telah juga digandrungi oleh
generasi muda Islam di kampus-kampus excelent seperti UI, IPB, UGM, ITB, UNPAD,
UNDIP, dan sebagainya. Pertemuan kedua arus ini akhirnya menggelinding pada satu
gerakan yang dinamai gerakan tarbiyah. Gerakan ini lebih banyak mengadopsi gaya
gerakan Ikhwanul Muslimin daripada gerakan revivalis yang lain. Selama sekitar 20
tahun gerakan ini terus bergerilya di kampus-kampus mengalahkan gerakan-gerakan
mahasiswa Islam lama seperti HMI dan PMII yang mulai tersedot ke pusaran
kekuasaan, tidak lagi berada di aras gerakan sipil. Puncak gerakan ini terjadi setelah
meletus gerakan Reformasi 1998 dengan berdirinya Partai Keadilan (Sejahtera). Karena
banyak kader Muhammadiyah dan Persis yang menjadi aktivis gerakan tarbiyah karena
kedekatan dengan DDII di atas, wajar bila kader-kader Muhammadiyah dan Persis-lah
yang kemudian mendominasi Partai Keadilan (Sejahtera).
Bagaimana hubungannya dengan gerakan para penerus dakwah Muhammad bin
Abdul Wahab (Wahabi)? Hubungan gerakan-gerakan itu dengan Wahabi tidak selalu
bersifat langsung. Persentuhan dengan Saudi dan pemikiran-pemikiran yang lahir dari
Madrasah Rasyid Ridha inilah yang menyambungkan nasab gerakan ini kepada
gerakan Wahabi. Namun, gerakan-gerakan revivalis itu tidak mengikuti pola gerakan
Muhammad ibn Abdul Wahab. Dalam beberapa kasus, gerakan-gerakan itu dinasabkan
kepada gerakan Wahabi juga disebabkan oleh kitab tauhid Muhammad ibn Abdul
Wahhab, Ushl Al-Tsaltsah, Kitb Al-Tauhd dan syarahnya, Fath Al-Majd dijadikan
buku pegangan. Namun, secara gerakan sama sekali berbeda dengan pola gerakan
Muhammad ibn Abdul Wahhab dahulu. Gerakan ini muncul benar-benar sebagai respon
terhadap kegagalan modernisme Islam.
Perang Teluk tahun 1991 telah mengubah peta gerakan revivalisme Islam ini.
Amerika merasa sangat terganggu dengan dominasi gerakan Ikhwanul Muslimin di
berbagai negara di Timur Tengah, termasuk di Saudi Arabia. Untuk itu, Amerika sebagai
sekutu Saudi meminta agar Saudi membersihkan gerakan-gerakan yang berbau
Ikhwanul Muslimin dari Saudi, karena secara politik akan mengancam kepentingan

politik Amerika maupun Saudi yang semakin dekat dengan Amerika. Saudi benar-benar
mengikuti saran Amerika. Sejak saat itu diberlakukan berbagai kebijakan anti-Ikhwan.
Buku-buku karangan penulis Ikhwan tidak boleh beredar luas di Saudi, terutama Mekah
dan Madinah. Universitas-universitas Islam di Mekah, Madinah, Riyadh, dan
sebagainya mulai dibersihkan dari pengaruh Ikhwan dengan mengubah kurikulum dan
menghetikan dosen-dosen yang berafiliasi ke Ikhwanul Muslimin.
Untuk mengelabui konspirasi itu, pemerintah Saudi mengusung isu Arabisme
dan salafisme. Pemerintah Saudi ingin yang menjadi pengajar-pengajar adalah orangorang asli Hijaz atau Nejd, bukan dari negeri lain. Dengan alasan itu, dengan mudah
pemerintah Saudi menghentikan banyak dosen-dosen yang berkebangsaan Mesir, India,
Pakistan, Syiria, dan sebagainya. Sebagai alternatif, pemerintah Saudi mensponsori
untuk kembali dibagkitkannya ajaran-ajaran Muhamamd ibn Abdul Wahhab yang
kemudian dikenal dengan ajaran Salafiyah (bukan Salafiyah yang dipolulerkan oleh
Rasyid Ridha tahun 1930-an). Gerakan ini cenderung apolitis, berbeda dengan Ikhwanul
Muslimin dan aktivisnya lebih banyak berkebangsaan Arab. Isu inilah yang selalu
digunakan oleh pemerintah Saudi untuk membendung pengaruh politis Ikhwanul
Muslimin.
Imbasnya ke Indonesia, hak privilege DDII untuk menentukan mahasiswa yang
akan dikirim ke Timur Tengah dicabut. Pengiriman mahasiswa akhirnya diseleksi
langsung di Saudi, baik di Madinah maupun Mekah. Sementara ke Mesir, haknya
kembali dipegang Departemen Agama secara penuh melalui IAIN-IAIN. LIPIA pun
kemudian di-salafi-kan. Melalui mahasiswa-mahasiswa yang belejar ke Timur Tengah
periode inilah mulai dikenal gerakan yang sekarang populer sengan sebutan Salafi.
Isu utamanya adalah pembersihan tauhid dan bidah seperti isu yang dibawa
Muhammad ibn Abdul Wahhab dahulu. Gerakannya cenderung keras dan hitam putih,
namun apolitis. Inilah yang oleh Yudi Latif (Intelegensia Muslim dan Kuasa, Mizan
Bandung 2005) disebut gerakan neo-Wahabisme. Gerakan Salafi inilah yang belakang
memang menghidupkan kembali ajaran-ajaran Muhamamd ibn Abdul Wahhab melalui
pengajaran kitab-kitabnya. Afiliasi gerakan ini ke Saudi Arabia sangat jelas terlihat
melalui alumni-alumni Universitas Islam Madinah, sekalipun sebagian ada pula yang
berafiliasi ke Yaman (Syaikh Muqbil ibn Hadi) dan ke Mesir. Apa yang disebut gerakan
Salafi ini ternyata di lapangan tidak satu jenis. Satu sama lain bahkan saling mentahdzr (menganggap sesat dan menyimpang). Namun, masalah ini tidak akan diulas di
sini. Selain bukan pada tempatnya, juga masih butuh penelitian yang lebih intensif.
Wallhu Alam bi Al-Shawwb.

Anda mungkin juga menyukai